Pada suatu masa, ada seorang lelaki tua yang hidup bersama dua anak perempuannya, gadis kembar cantik jelita bernama Thao dan Hien. Thao dan Hien terlahir dengan punuk di punggung mereka, tetapi mereka adalah gadis tercantik di desa. Mereka tinggal di kaki gunung bersama sang ayah, yang bekerja sebagai petani, karena ibu mereka sudah lama meninggal dunia. Meski Thao dan Hien terlahir kembar, keduanya mempunyai sifat yang bertolak belakang. Thao selalu bersyukur karena dikaruniai wajah yang cantik dan tidak pernah mengeluh karena memiliki punuk. Tetapi Hien selalu mengeluh dan merasa sangat menderita karena terlahir dengan punuk di punggung. Thao adalah gadis yang rajin mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan Hien adalah gadis pemalas. Hien selalu berpikir bahwa dia tidak bisa melakukan banyak hal karena punuknya yang berat. Akan tetapi, Hien adalah anak kesayangan ayah, sehingga ayah tidak pernah marah dengan kemalasan Hien. Setiap pagi Thao selalu bangun pagi-pagi dan segera menyiapkan sarapan untuk ayah dan saudara kembarnya, Hien. Setelah itu, Thao akan membantu ayahnya di ladang, memetik sayuran dan mencabuti rumput liar. Selain Thao, ayah tidak pernah dibantu siapa-siapa, apalagi Hien. Hien selalu enggan membantu ayah di ladang karena takut kulitnya terbakar sinar matahari.
Thao adalah gadis periang, yang selalu merasa senang membantu ayahnya di ladang. Thao sering meluapkan kegembiraannya dengan bernyanyi. Saat mengambil air dari sumur dan berada di mana pun, Thao selalu bernyanyi dengan suaranya yang sangat merdu. Suara merdu Thao seringkali mengiring burung-burung untuk ikut bernyanyi bersamanya. Suatu hari ayah mereka jatuh sakit. Thao mencoba mengobati sang ayah dengan menumbuk beberapa lembar daun dan mengoleskannya di tubuh ayah. Hari-hari terus berlalu, Thao tak pernah berhenti mengobati ayahnya, tapi ayahnya tidak kunjung sembuh. Thao pun mulai pergi ke ladang untuk menggantikan tugas ayahnya setelah dia menyelesaikan pekerjaan rumah. Seperti biasa, Thao melakukan semua tugasnya dengan gembira. Ia bernyanyi untuk menghibur hatinya yang sedih karena ayahnya yang tak kunjung sembuh. Ia juga memetik beberapa sayuran untuk dibawa pulang.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di ladang, Thao segera pulang dan memasak untuk ayah dan Hien. Malam itu, ayah mereka meminta Thao dan Hien pergi ke hutan untuk mencari tanaman putri malu karena kesehatan ayah tak kunjung membaik. Thao bersedia mencari tanaman itu ke hutan, namun Hien justru merajuk pada sang ayah untuk tetap tinggal di rumah. Ayah pun tidak bisa menolak keinginan Hien, dan mengizinkannya tidak ikut Thao ke hutan. Pagi itu Thao menyiapkan makanan untuk ayah dan Hien sebelum berangkat ke hutan. Setelah Thao menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Thao berpamitan pada ayahnya dan berpesan pada Hien untuk menjaga ayahnya dengan baik. Thao segera berangkat menuju hutan karena perjalanan yang akan dia tempuh cukup jauh. Sesampai di hutan, Thao segera berkeliling untuk mencari tanaman putri malu sebanyak-banyaknya.
Thao harus mencari ke setiap sudut hutan karena tanaman putri malu tidak mudah ditemukan. Suasana hutan yang sepi membuat Thao bernyanyi tanpa henti sambil terus mencari putri malu. Ketika matahari terbenam, Thao sudah mengisi penuh keranjangnya dan segera bergegas pulang. Selama beberapa saat, Thao berusaha keluar dari hutan, namun ia lupa jalan yang ia lewati. Thao mencoba mengingat jalan yang dilaluinya, tapi semua jalan terasa berputar dan sama. Thao terus berjalan sambil membawa keranjangnya, melewati jalan yang terasa asing dan belum pernah dilewatinya. Thao semakin khawatir karena matahari telah terbenam dan hari sudah malam. Suara binatang malam di hutan pun mulai terdengar dikejauhan. Di tengah kebingungannya, Thao melihat sebuah cahaya yang sangat tinggi. Thao segera berjalan dan berusaha mencari asal cahaya itu. Akhirnya, ia menemukan sekelompok orang yang sedang menyalakan api besar. Sekelompok orang itu tampak seperti sebuah suku yang tinggal di hutan tersebut. Mereka terlihat sedang mengadakan pesta karena mereka sedang menyanyi dan menari. Thao sedang menyaksikan pesta yang berlangsung meriah itu dari jauh ketika seseorang dari suku tersebut melihat kehadiran Thao.
Orang itu lalu berteriak pada Thao. “Hei... Sedang apa kamu di sana?”
Thao terkejut, tidak menyangka jika salah seorang anggota suku menyadari kehadirannya. Orang itu tampak berbeda dari anggota yang lain. Sepertinya Kepala Suku, pikir Thao. Kepala Suku berjalan menghampiri Thao, tampak curiga dengan kehadirannya. Ia lalu mengiring Thao ke tengah pesta untuk bertanya bagaimana Thao bisa sampai di tempat mereka. Thao mengikuti langkah Kepala Suku, masuk ke tengah-tengah kerumunan. Ketika wajahnya mulai diterangi cahaya api, semua orang dalam pesta terpukau dengan kecantikannya. Thao lalu menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke tempat itu, sehingga orang-orang suku hutan tidak curiga lagi kepadanya. Setelah menceritakan semuanya, mereka mengajak Thao turut serta dalam pesta dan memberinya makanan serta minuman yang lezat. Pesta semakin semarak. Thao bernyanyi dengan suaranya yang merdu hingga membuat semua orang terpana. Ketika Thao selesai bernyanyi, semua orang bertepuk tangan dengan riuh.
“Bisakah kamu menyanyikan satu lagu lagi untuk kami?” teriak seorang pemuda dengan lantang.
Semua orang mengangguk, meminta hal yang sama. Thao hendak mengabulkan permintaan mereka, ketika tiba-tiba dia teringat pada ayahnya yang sedang sakit. Ia harus segera kembali. Namun, Thao tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah menerimanya dengan baik. Thao pun bersedia untuk bernyanyi lagi. Saat menyelesaikan lagunya, orang-orang semakin bersemangat dan bertepuk tangan dengan riuh. Meski terlihat enggan, Thao segera meminta ijin untuk pulang dan berjanji akan berkunjung serta benyanyi untuk mereka di lain hari. Kepala Suku mengizinkan Thao pulang, tetapi dia meminta satu barang Thao sebagai jaminan janjinya. Seorang pemuda segera mengambil punuk di punggung Thao sebagai jaminan karena gadis itu tidak membawa barang apa-apa selain parang dan keranjang berisi tanaman putri malu. Setelah berpamitan dengan semua orang, Thao bergegas meninggalkan hutan untuk pulang ke rumah.
Thao sampai di rumah ketika matahari hampir terbit. Dia segera merebus tanaman putri malu untuk mengobati ayahnya dan menceritakan semua kejadian yang dia alami di hutan. Thao bercerita tentang suku di hutan dan kebaikan mereka, serta janjinya untuk kembali mengunjungi mereka serta mengambil punuknya. Hien terlihat iri saat mendengar semua cerita Thao dan melihat saudaranya sudah tidak berpunuk lagi. Dia pun berencana menggantikan Thao untuk kembali mengunjungi suku hutan. Hien yakin jika suku itu tidak akan curiga karena wajahnya sangat mirip dengan Thao. Pada suatu hari, Thao hendak pergi ke hutan, namun Hien memohon izin kepada ayahnya untuk menggantikan Thao. Mulanya, ayah melarang Hien pergi karena takut dia akan menghadapi bahaya. Tapi, Hien terus merajuk hingga ayahnya tak bisa melarangnya. Hien pun berangkat ke hutan, menggantikan Thao. Setelah sampai di hutan, Hien menunggu hari gelap hingga ia melihat cahaya yang sama, seperti yang diceritakan Thao.
Hien lalu mendatangi arah cahaya itu dengan berseri-seri. Saat sampai di tempat suku hutan berada, seorang pemuda suku memanggil Hien, yang dikira Thao, untuk bergabung dengan mereka. Mereka segera meminta ‘Thao’ menepati janjinya untuk bernyanyi bagi mereka. Hien tanpa sungkan segera menyanyikan sebuah lagu. Namun, semua orang menertawakan suara Hien yang sangat buruk. Kepala Suku pun memintanya berhenti menyanyi dan pulang meninggalkan pesta. Hien merasa tersinggung dengan perlakuan Kepala Suku dan semua orang suku hutan. Ia pun memaki Kepala Suku hingga membuatnya marah. Kepala Suku segera memanggil seorang pemuda yang menyimpan punuk Thao dan meminta pemuda itu meletakkan punuk itu kembali ke punggung Hien, yang dikiranya Thao. Pemuda itu membawa sebilah pedang yang amat tajam dan membuat Hien ketakutan. Hien pun diusir keluar hutan dan pulang membawa dua punuk di punggungnya. Hien pulang ke rumah dalam isak tangis, menyesali kelicikan dan sikapnya yang tidak pernah bersyukur.
***
Areum selesai membaca bukunya.
"Bagus ah cerita dari asalnya Vietnam," kata Areum.
Areum pun berpikir mau ngapaiin, ya pada akhirnya memutuskan dengan berkata "Main game ah!"
Areum menutup bukunya, ya di susun rapih di meja. Areum main game di Hp-nya dengan baik.
No comments:
Post a Comment