CAMPUR ADUK

Saturday, January 26, 2019

SUASANA HARI INI

Dono sedang asik menggambar di kertas gambarnya. Sedangkan Indro baru selesai memasak di dapur dan hasil masakannya di bawa ke ruang tamu. 

"Makan Dono...," kata Indro.

"Iya," jawab Dono sambil mengambil gorengan yang ada di meja.

Indro pun memperhatikan ulah Dono sambil makan gorengan. 

"Tumben...Dono..menggambar. Nyari suasana apa?" kata Indro.

"Suasana apa ya? Paling menghilangkan kejenuhan hidup saja. Abisnya hidup ini penuh kebohongan kalau di cari dan pelajari dengan seksama," kata Dono.

"Ah..Dono......tidak semuanya kebohongan ada juga kejujurannya walau sedikit," kata Indro.

"Oh..iya. Makan kamu enak Indro."

"Terima..kasih," Indro memotong pembicaraan.

"Tumben kamu masak gorengan hari ini ya...Indro?"

"Sama seperti kamu mencari suasana aja yang baik untuk menghilangkan kejenuhan dari kepenatan hidup...Dono."

"Kalau begitu satu sama..aja deh..ya..Indro."

"Ngomong-ngomong ada pendaftaran PNS. Kamu ikutan gak?"

"Kalau PNS...malaslah. Kemungkinan 0%. Kalau sistem perekrutannya benar saya bisa masuk. Kalau kebohongan atau tipu daya demi ini dan itu. Ya untuk apa? Sedangkan orang yang sudah jadi PNS juga masih jadi golongan ini dan itu di masyarakat. Ah...males.......nyape in badan."

"Kok ngomong begitu. Bukan kita  harus optimis untuk menjalankan hidup ini dan meraih segalanya.....ya Dono."

"Iya..tapi jangan PNS lah. Kaya gak ada kerjaan lain. Sudah terikat peraturan. Ehhhh...masih mereka melanggarnya di sana dan sini anggota PNS. Kan pada akhirnya jadi pegawai negeri yang cenderung bagian kantor gak ada kerjaan alias nganggur," kata Dono.

"Kalau masalah itu sih semua orang tahu. Itu sih tergantung ketegasan dari pemimpinnya mengatur anak buahnya. Tapi terkadang malah pemimpinnya juga...ya bikin ulah. Jadi sama aja."

"Kan sama aja baik pemimpin dan anak buahnya."

Dono pun menutup buku gambarnya dan menyelesaikan makan gorengan dan minum. Lalu Dono bergerak keluar dari rumah.

"Dono mau kemana?" tanya Indro.

"Saya..mau main ke rumah Wulan," jawab Dono.

"Wulan atau kah Lesti?"

"Wulan."

"Wulan atau Selfi?"

"Wulan."

"Wulan atau Rara?"

"Wulan."

"Wulan atau Putri?"

"Cukup..Indro mainannya. Tetap Wulan."

"Wulan lagi...Wulan lagi kaya gak ada yang lain...Dono?"

"Siti Badriah," jawab Dono yang tegas.

"Kalau..itu lebih baik," saut Indro.

"Kalau urusan penyanyi dangdut cepet banget jawabnya bagus. Dasar nyeleneh...kamu Indro."

"Suka-suka..saya," jawab Indro sambil makan gorengan dengan santai duduk di ruang tamu.

"Indro saya pergi dulu. Asalamualaikum."

"Waalaikum salam," jawab Indro yang sibuk makan gorengan buatannya.

Dono pun bergerak menuju ke rumah Siti Badriah. Eeeeee salah. Dono pun bergerak menuju rumah Wulan dengan menggunakan motor tuanya. Indro yang sendirian di dalam rumah terlihat boring dan bosen banget. Indro bergerak ke ruang tengah dan menghidupkan Tv dan sekalian PS 4. Indro langsung main game pertualangan Super Mario dengan penuh keceriaan.


Karya: No

PANGGIL AKU LIA

Semua kekesalan Angel menggumpal di dada, bila ditumpuk tentunya telah membentuk gunungan besar yang menari-nari mengejeknya. Andaikan kekesalannya dapat dijejalkan dalam karung dan ditukarkan dengan beras, mungkin ibunya tak perlu membeli beras lagi dua bulan ke depan.

Semuanya bermula saat Angel terpaksa menginap seminggu di Krui, untuk menghibur kakak ibunya atau kerap dipanggil makwo olehnya. Siswi SMA populer di Bandar Lampung seperti di Krui. Bahasa yang tidak ia mengerti, anak laki-laki dengan cat rambut merah yang terus-terusan meliriknya dan memamerkan deretan giginya yang tak rata, pukulan keuntungan di malam hari dan teriakan aneh yang mengganggu tidurnya. Krui memang indah, ombak yang berkilau memantulkan keemasan sang mentari, persawahan yang hijau, namun Angel tak dapat menikmati kemewahan alam tesebut karena kedengkian di hatinya.
"Lina, Angelia!" suara nyaring khas makwo melengking menambah timbunan kekesalan di hati Angel. Angel menutup telinga serapat mungkin, melindungi gendang telinganya dari suara yang terdengar bagaikan sangkala hari akhir.

Makwo mengetuk kamar Angel dengan nada yang dibuat-buat, lalu ia membuka pintu kayu dan menimbulkan suara bedecit yang membuat Angel berusaha mencari alat untuk menyumpal telinganya.

"Apa apa sih, makwo?" tanya Angel kenal.

"Makwo masak sayur ikan kesukaan kamu, Lia" ujar makwo sambil tersenyum sendiri, centong sayur yang berlumuran kuah santah ia ayunkan kesana kemari. Logat lampungnya yang kental menghiasi setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.

"Angel makwo, Angel! Kenapa sih makwo selalu manggil aku Lia? Makwo masih keinget sama Dahlia? Kita semua tau, Dahlia sudah meninggal, kenapa sih makwo belum bisa mengikhlaskan kepergian dia?" ujar Angel dengan emosi yang tak mampu lagi dikuburnya dilontarkan dengan kasar.

Mendengarnya, makwo hanya tertunduk, namun masih tersenyum. "Makwo ikhas, anak makwo satu-satunya, telah pergi mendahului makwo mengahdap Allah Sang Pencipta" ujarnya pelan "Makwo tau kan, Mama Angel menyuruh Angel ke sini cuma ngehibur makwo atas kematian Dahlia, tapi gimana Angel mau menghibur kalo setiap helaan nafas makwo, cuma ada Dahlia terus?"

"Ayo dimakan sayur ikannya, makwo sudah memasak porsi besar untuk kamu" kata makwo seolah tak mendengar ucapan Angel. Ia keluar dari kamar Angel dengan tergesa, kerudungnya yang panjang nyaris menyapu lantai ia sibakkan memudahkan langkannya.

"Angel gak suka ikan, makwo, yang suka sayur ikan itu kan Dahlia!" protes Angel tak lagi didengar oleh makwo. Angel menghentakkan kakinya kesal, diraihnya handphone pink miliknya dan ditekannya nomor Aldi, pacarnya.

Saat didengar suara serak itu menyambutnya di ujung telepon, langsung saja Angel menceritakan unek-uneknya "Aku gak betah tinggal disini, kasurnya gak empuk, lantainya selalu berpasir, belom lagi makwo aku yang cerewet selalu memanggil 'Liaa, Liaa' dengan suaranya yang nyaring. Aku harus ke dokter THT pulang dari sini" keluh Angel.

Di seberang sana, Aldi malah tertawa mendengar ocehan pacarnya. "Kok kamu malah ketawa?" ujar Angel kesal.

"Lagian kamu manja banget sih, makanya cepet pulang dong sayang, aku kangen nih" kata Aldi dengan nada kekanakan.

"Aku juga mau pulang, kalo bisa detik ini juga!" kata Angel. "Kamu jemput aku doong!"

"A...apa?"

"Jemput aku, sayang" kali ini dengan nada yang lebih lembut.

"A, a...apaa?"

"Jemput akuu!"

"A..." lalu sambungan terputus. Angel menjerit kesal, lalu berteriak histeris karena sinyal di handpohonenya hilang. Angel begitu geram, setiap kali menelpon Aldi, baru sekian detik, kemudian sambungannya putus. Sinyal yang tak stabil atau gangguan provider itu sendiri, apapun alasannya Angel tak memedulikannya, ia tengah mendidih dan butuh siraman es di ubun-ubunnya.

"Kenapa Lia?" tanya makwo tergopoh-gopoh memeriksa Angel di kamarnya, setelah mendengar bahana jeringan sang putri nan manja.

"Gak ada sinyal, makwo! Angel gak bisa nelpon Aldi!" jawab Angel sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Aldi? Pacar kamu itu? Makwo kan sudah bilang, jangan pacaran dulu kamu masih kecil, ini salah satu peringatan Allah, biar kamu gak pacaran lagi" omel makwo, masih dengan centong sayur yang kini diacungkan ke hadapan Angel.

"Emangnya kenapa sih gak boleh pacaran? Aldi orangnya baik kok" ujar Angel, teringat pacarnya yang tampan dan perhatin. Mengapa ia tak boleh berpacaran dengan cowok sebaik Aldi, pikirnya.

"Pacaran itu awal dari maksiat, berdekatan dengan lawan jenis yang bukan mukhirm itu hanya akan menimbulkan fitnah bagi kita" makwo menasehati. "Coba kamu shalat tahajud, dekatkan diri pada Allah, kamu shalat 5 waktu saja masih malas, Lia"

"Makwo udah tua sih, gak ngerti perasaan anak muda" ucap Angel ketus.

"Bukan begitu, alangkah baiknya kita menjaga diri kita sendiri, kita gak tahu apa yang dipikirkan pacar kamu itu, bagaimana kalau dia bermaksud buruk?"

"Gak mungkin lah, Aldi itu selalu baik sama Angel, dia selalu ngasih apa yang Angel mau" Angel membela Aldi. Sudah tampan, kaya raya pula, Angel merasa sangat beruntung memiliki Aldi.

Mendengarnya, makwo hanya dapat mengurut dahinya. Tak mau kalah, Angel sendiri memasang raut masam dengan wajah ditekuk seribu. Demi mengakhiri debat dengan keponakannya, makwo kembali merayu Angel untuk memakan masakannya. Namun Angel membuang muda, kakinya sengaja dihentak-hentakkan ketika berjalan keluar kamar menggambarkan kekesalannya. Tak mampu berbicara lagi, makwo kembali mengurut keningnya.

Angel merapatkan kakinya sembari duduk di teras. Didengarnya nyanyian anak kecil membawa musal, lagi-lagi Angel menutup telinganya. Kenapa setiap suara begitu mengganggu pendengarannya? Dengan jarinya yang lentik, ia mengkalkulasi hari-hari yang ia lewati dan kesialan apa yang ia dapatkan.

'Seharusnya aku bisa belanja, ada discount besar yang akan berakhir minggu ini'

'Seharusnya aku bisa nonton film berduaan dengan Aldi'

'Seharusnya aku bisa ke salon, menata rambut dan facial'

'Seharusnya aku bisa menginap di rumah teman-temanku, pajama party'

Ah sungguh sial, batin Angel. Karena kepergian Dahlia sepupunya, ia ditugaskan mamanya menemani makwo bawel yang tinggal di pelosok begini. Membangkang sedikit, mama bisa memotong uang jajannya. Bahkan, Hp kesayangannya pun bisa disita. Maklum, mama sangat sayang pada makwo, kakak satu-satunya, ia tak mau kakaknya muram berlarut-larut karena kehilangan buah hatinya. Namun mama sendiri larut dalam kesibukannya, meniti tangga bisnisnya perlahan dengan langkah yang sigap, enggan menoleh khawatir peluangnya melayang.

Pesan masuk, Angel hanya tersenyum kecil, pasti Aldi.

"Sayang, gimana kalo aku jemput kamu? Besok pagi aku berangkat ke sana, kemasi barang-barang kamu yaa, kamu mau kan?"

Angel bersorak gembira. Kini ia tak perlu meratapi detik jam yang merayap begitu lama, pasir yang selalu menempel di tumitnya yang mulus, atau yang paling ia syukuri, ia tak perlu lagi mendengar kicauan makwonya.

***
Berjinjit, tangannya dengan tangguh menggenggam tangan Angel, deru nafas yang tertahan dan tas yang terseret menyapa kerikil yang tunduk dalam kesunyian.

"Bagaimana jika makwo tau?" Angel berbisik, cemas dan ragu.

"Makwo? Tante kamu itu?" suaranya serak, dipelankan hingga volume jangkrik.

"Harusnya kita pamit, Di" ujar Angel, kini merasa bersalah, namun begitu mata Aldi yang dingin menatapnya kaku, ia terpaksa diam. Bukankah ia yang begitu senang saat kemarin malam Aldi mengirim pesan akan menjemputnya, membebaskannya dari nestapa. Ia sendiri yang merengek minta dijemput, namun kini hatinya dikabuti kebimbangan.

Entah kenapa tiba-tiba ia teringat akan masakan makwonya. Makwo yang terus-terusan memanggilnya Lia, hingga ia menyerah dan beranggapan nama Angel tak akan meluncur dari lidahnya yang ia gunakan untuk menjilat sisa makanan di bibirnya. Namanya gulai taboh, ujar makwonya. Angel baru pertama kali merasakannya, masakan khas Lampung yang tak pernah dimasak ibunya. Bukan nudget atau sosis, bukan pula masakan cepat saji khas Italia maupun Jepang, inilah masakan Lampung yang rasanya masih menempel di ujung bibir Angel. Gurih, entah bagaimana menggambarkan rasanya. Angel menyukainya, ia tak menyesal menilik ke dapur dan mencicipi masakan tersebut kemarin malam. Meski dengan gengsi selangit, ia mengejap-ngerjapkan mata menikmati masakan makwonya. Ia merasakan cinta, rasa yang tulus dari sebuah masakan. Ia tak seberapa menyukai ikan, tapi gulai taboh ini sempurna.

Aldi memecahkan balon pikiran Angel, ia menarik lengan Angel dengan kasar masuk ke mobilnya. Angel merengut sambil mengelus tangannya.

Belum sempat Angel protes mengenai tangannya, Aldi sudah mencondongkan tubuhnya pada Angel seraya membisikan namanya. Angel yang merasa risih, mendorong pelan tubuh Aldi pelan seraya tertawa kecil mengira kekasihnya sedang bercanda. Namun, ketika Aldi memiringkan kepalanya mendekat ke wajah Angel, Angel dengan sigap menampar wajah Aldi.

"Jangan jual mahal, aku kesini bukan dengan suka rela, aku ingin dapat balas jasa!" ujar Aldi gusar, tangannya mengunci tangan Angel agar gadis itu tak dapat melawan.

"Maksud kamu apa?" napas Angel tercekal, otaknya tak berjalan semestinya, sepertinya ada baut yang terlepas, ia tak dapat berpikir dengan degup jantung yang membuat wajahnya kehilangan rona.

"Aku ingin memiliki kamu! Memiliki kamu seutuhnya, Angel!" Tangan Aldi dengan tak sabar merambat ke kancing baju Angel dan hendak melepasnya dengan paksa, seketika itu juga Angel berteriak. Ia menerjang tubuh Aldi dengan panik, otaknya belum berjalan sepenuhnya, namun ia tahu dirinya tidak dalam keadaan aman. Aldi, lelaki yang cintai, tidak benar-benar mencintainya. Itu tadi bukan cinta, itu tadi nafsu. Cinta dan nafsu itu berbeda, namun keduanya hanya dipisahkan garis kasat mata berupa sekat setipis serat kapas.

Tuhan menyelamatkan hamba-Nya,  mobil Aldi tak terkunci sehingga Anggel dengan mudah membuka mobilnya dan melarikan diri dari lelaki yang hampir saja merenggut masa depannya. Tas kulit yang lusuh, terseret patuh pada sang majikan, tetesan hangat itu mengalir dari matanya yang kelam, putus asa dan amat kecewa. Ia marah, entah pada siapa, mungkin pada rinai hujan yang menitik pada poninya yang lepek oleh peluh. Angel berteriak, melepaskan emosi, juga sesak yang menghujamnya tanpa ampun.

Mendengar jeringan Angel, makwo dengan kaki telanjang, menyusuri jalan berkerikil dan tanpa basa basi langsung memeluk Angel. Tanpa memerlukan penjelasan, makwo tau keponakannya sedang tak ingin diintrograsi. Rambutnya yang berantakan, tas yang berisi pakaian yang lecet tergores saking tergesa-gesanya. Angel menengok sejenak, sekelebat bayangan itu, mata yang ia kenal sedang menatapnya, mata kekasihnya. Bukan, mata mantan kekasihnya, Aldi.

***
"Mama!"

Seperti berabad tak bertemu mamanya, Angel memeluk mamanya bahkan saat mamanya belum turun dari mobil. Heran dengan tingkah putrinya, mama memeriksa suhu badan Angel.

"Lia gak sakit kok, ma" ujar Angel.

"Lia? Sejak kapan kamu memanggil diri kamu sendiri Lia? Bukannya kamu yang selalu marah jika dipanggil seperti itu" Makin yakin anaknya sedang sakit.

"Gak apa kok ma, nama itu bagus, makwo selalu memanggil seperti itu" jelasnya, melirik ke belakang tempat makwo berdiri dengan senyum tulusnya. Mamanya hanya ikut tersenyum, melihat kakaknya yang sudah secerah biasanya, putrinya berhasil mengembalikan sinar di mata kakaknya.

"Apa saja yang terjadi seminggu di sini?" tanya mama pada Angel, mungkin kali ini lebih baik dipanggil Lia.

"Banyak sekali, di hari-hari terakhir aku baru merasakan indahnya malam dengan bintang yang berkelip genit, deburan ombak yang menyapu pesisir tanpa gentar, nyanyian nyiur di pantai, siput yang berjalan malu-malu di persawahan dan senandung lucu anak kecil berambut merah cabe, model rambutnya era 80an,  lain kali aku akan mengajaknya ke salon langgananku"

Mama terkikik mendengar cerita anaknya, lalu mengelus kepala anaknya.

"Satu lagi ma," tambah Lia "aku putus dengan Aldi, aku gak mau pacaran lagi"

"Kenapa?"

"Lia mau mendekatkan diri pada Allah, mau menjauhkan diri dari maksiat. Dengan Islam, Lia menemukan jalan Lia, jalan yang lebih baik. Makwo yang mengajarkan semua itu, makwo yang menuntun Lia mengaji, setiap liburan Lia mau ke sini ya?"

Mamanya mengangguk, ia menatap kakaknya, terharu.

"Kalo gitu, pulang dari sini kita beli kerudung ya buat kamu?" mama menawarkan pada Lia, putrinya memberi respons postif dengan anggukan yang mantap.

Kamu pasti bangga memiliki ibu seperti makwo Dahlia.


Karya: Inas Maisa

JALAN LAIN KE ROMA

Open mula-mula jadi guru sekolah rakyat, sudah itu jadi mualim, lantas menjadi pengarang, kemudian tukang jahit.

Tentang perawakannya tak banyak yang dapat diceritakan, ia punya dua kaki, dua tangan, dua telingan, dua mata, dan satu hidung. Bahwa lubang  hidungnya ada dua, itu sudah sewajarnya. Open seperti manusia lain, lain tidak.

Tapi, namanya memang mempunyai riwayat. Itu tidak dapat disangkal. Beribu-ribu nama lain ada, Abdullah dan Effendi, Al'aut dan Binuak, enak kedengarannya dan sedap dilihat jika tertulis. Dan orang-orang yang keritis sudah pasti tidak akan merasa puas, jika diterangkan mengapa Open bernama Open.

Open sendiri sudah barang tentu tak ada bagiannya dalam memberi nama itu. Waktu ia masih merah, sebentar-sebentar ia berteriak dan buru-buru datang ibunya terbuka dada dan disodorkannya bayi ini sesuatu yang menjulur dari dada yang terbuka itu. Open menghirup dengan senangnya, ia berhenti berteriak dan setelah selesai, tidur dengan nyenyaknya.

....

Waktu ini jadi guru sekolah rakyat, saban ia hendak masuk kelas untuk memberi pelajaran, ia selalu ingat kepada cita-cita ibunya ini, dan sebab itu ia selalu mulai pelajarannya dengan, "Selamat pagi, anak-anak. Kemarin aku telah kawin dengan gadis di kota ini. Aku sengaja tidak mengundang kamu sekalian, karena aku pikir, kamu toh tak akan dapat memberi apa-apa. Apa pula yang dapat diharapkan dari anak-anak, bukan?

Atau pada lain kali ia menceritakan panjang lebar tentang perselisihannya itu dengan istrinya itu. Waktu ia pakai celana pendek saja istrinya pegang golok. Kata bersahut dengan kata dan tiba-tiba isterinya mengejar dia dengan golok itu dan dia lari pontang-panting, Dan bagaimana larinya itu, dicobakannya pula di muka kelas. Anak-anak pada tertawa, seorang berkata, "Ah, Pak Guru takut sama istri." Yang lain berkata, "Kasihan Pak Guru, dirongrong terus-terusan oleh istrinya."

Anak-anak yang berpihak pada pendapat pertama lebih banyak dan itu sebabnya sejak dari itu Open bernama, Guru Golok. Dan karena golok sangat baik bersajak dengan goblok, Open akhirnya bernama, Guru Goblok.

....

Orang yang sesabar-sabarnya akhirnya marah juga. Dan Open adalah orang yang selalu menurutkan kata hatinya. Jika hati ini berkata, pegang seorang anak dan pukul dia, ia memang memegang seorang anak yang terdekat dari dia, lalu dipukulnya. Rasanya pada Open, ia memukul hanya pelan, tapi dari telinga anak itu keluar darah.

Dan inilah sebabnya datanglah orang tua murid yang kena pukulan itu ke sekolah, guru kepala maki-maki Open dan akhir cerita, Open diberhentikan.

Tapi waktu Open mau pergi meninggalkan sekolah celaka itu, ia menetang guru kepala,  dan tegas-tegas katanya, "Satu hal, Tuan harus akui, saya tidak goblok! Saya hanya menceritakan pada anak-anak bahwa istri saya pernah mengejar saya dengan golok. Saya lari .... dan anak-anak menamakan saya dari sejak itu guru goblok. Mengapa? Tuhan saja yang tahu. Saya tidak.

....

Dan dalam keadaan Open sekarang ini, tidak punya pekerjaan lagi, diusir sebagai anjing boleh dikatakan, pada waktu itu lebih-lebih lagi ia bersyukur karena punya sepeda. Waktu ia menaiki sepeda itu, terasa olehnya seolah-olah menaiki kuda yang dicintainya dan yang berguna sekali sebagai teman hidup sehari-hari kesusahan, ia sebenarnya ingat untuk menjual  sepeda itu sewaktu-waktu. Dengan ingatan itu Open merasa lega sedikit. Dan ia sekarang dapat menggunakan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang lain.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Anak-anak nakal, ia memukul anak itu sampai berdarah telinganya. Ia diberhentikan dan anak-anak boleh belajar terus dengan senangnya. Di mana keadilan?

Ibunya berkata, "Open, engkau harus berterus-terang dalam segala hal. Dengan jalan begitu engkau dapat memajukan dunia yang penuh dengan kebohongan ini."

Dan perkataan ibu itu benar seratus persen, pada pendapat Open. Ke mana pun juga ia melihat, selalu ia bertemu dengan kebohongan, kebusukan-kebusukan yang disimpan baik-baik.

Kelas sekolah bagi Open adalah tempat yang terbaik untuk menyebarkan benih terus-terang ini. Itu sebabnya ia menjadi guru, tapi akhirnya itu pula sebabnya yang melemparkan dia dari kelas itu.

Buat pertama kali terasa oleh open bahwa dunia penuh dengan kurang terima kasih.

....

Open memeluk sayang istrinya, dan keesokan harinya, hari keduanya dan hari seterusnya, Open pakai pantaloon. Orang-orang desa tercengang. Beberapa orang berbisik-bisik. "Lihat mualim kita sudah gila!" Ya, ada pula yang berani berkata. "Mualim kita sudah gila!" Ya, ada pula yang berani berkata. "Mualim kita sudah jadi mata-mata Jepang, awas jangan didatangi rumahnya lagi. Jangan biarkan lagi anak-anak belajar pada dia."

Akhirnya semua itu tak tertahankan lagi, lebih-lebih oleh Surtiah. Pada suatu malam pula, kata Surtiah pada Open. "Kak, mari kita ke kota. Coba mengarang di sana. Ingat mualim di kota dulu." Dan Open memeluk sayang istrinya pula dan mereka pergi ke kota. Open akan jadi pengarang.

Open dan Surtiah tiba di kota. Orang yang pertama sekali dikunjunginya ialah mualim dulu yang selalu pakai pantaloon itu. Maksud Open hanya untuk bercakap-cakap saja tentang pekerjaan karang-mengarang mualim itu. Tapi sayang tak sampai bertemu, karena kata istri mualim itu, suaminya beberapa bulan yang lalu ditangkap Jepang. Sebabnya ialah karena ia tak mau bekerja sama dengan Jepang, tak mau membacakan khotbah Jumat yang telah disiapkan oleh Kantor Urusan Agama Jepang.

Setelah mendengar ini, tiba-tiba pandangan Open terhadap segala apa yang dilihatnya berlarian sekali. Jika ia melihat orang di tengah jalan pakai celana karung, timbul pertanyaan padanya, mengapa?

Kembali ia ingat kepada mualim yang ditangkap Jepang dan waktu timbul pula dalam hatinya pertanyaan, mengapa, mengapa, semua segera menjadi terang-benderang baginya. Jepang datang untuk kemakmuran, Jepang datang untuk memperkosa kemerdekaan agama, untuk melaparkan dan untuk menelanjangi bangsa Indonesia, dan orang Indonesia sendiri tidur lelap, seperti sejak tiga abad yang lalu. Dan seperti torpedo ke luar dari kapal selam, ke luar perkataan dari mulutnya, "Rakyat Indonesia harus dibangunkan, dibangunkan, dibangunkan!"

Dan hampir bersamaan terbayang di hadapannya wajah ibunya, Open, engkau harus berterus-terang."

....

Open, dengan karangan itu pergi kepada seorang redaktur. ....

"Tuan ini berbahaya bagi tuan sendiri. Lebih baik tuan simpan saja. Atau bakar.

....

Karangan Open ini diterbitkan, bahkan mula-mula mau diberikan hadiah nomor satu, tapi kemudian Badan Sensor Jepang menyesal telah meloloskan karangan itu. Terlambat sensor itu melihat bahwa karangan itu sangat berbahaya. Bahwa karangan itu adalah serangan sehebat-sehebatnya terhadap Tenno Heika. Terlambat, tapi ada satu yang belum terlambat, yaitu menangkap Open. Open diminta datang di Kenpetai. Di sini ia tidak di tanyai baik-baik, tapi segera dipukuli dan dipaksa mengaku bahwa karangan itu adalah serangan atas Tenno Haika Maharaja Jepang.

Sebenarnya memaksa Open tidak perlu sama sekali, karenaa ia toh akan mengatakan dengan terus-terang bahwa karangan itu dimaksudkanya begitu. Tapi dikatakannya pula dongeng itu bukan dibikin-bikinnya begitu saja, tapi betul-betul pernah didengarnya dan mungkin sekali betul-betul pernah terjadi.

Setelah mengaku, Open dipukuli. Darah mengalir di seluruh badan. Setelah itu ia disuruh mandi, sampai kaku. Lalu disuruh duduk di bawah panas terik. Beberapa hari setelah itu luka-luka di badannya dengan sendirinya baik kembali. Rupanya demikianlah cara Jepang mengobati luka-luka, dimandikan sampai kaku, dijemur sampai terbakar, dan luka baik dengan sendirinya, tidak dengan yodoform atau yodium-yodium atau salep, tapi dengan obat-obat yang disediakan alam. Hampir tidak dapat dipercayai.

Sejak itu Open ditutup dalam kamar terkunci. Badannya tambah lama tambah kurus. Tapi mujurlah ia tak pernah dipukul-pukul lagi. 

Dalam kamar tertutup itu, buat pertama kali. Open insaf akan harga kemerdekaan. Kemerdekaan ada dua macam, kemerdekaan jasmani, dan kemerdekaan rohani. Kemerdekaan jasmani boleh diambil orang lain, seperti halnya dengan dirinya sekarang ini, tapi kemerdekaan rohaninya tiada seorang pun yang dapat mengambilnya. Ia bisa pergi ke mana-mana dengan pikirannya, biar pun di sekeliling badannya menjulang tinggi tembok empat persegi. Tapi kemerdekaan tujuan hidup? Tidakkah kemerdekaan hanya alat untuk mencapai tujuan itu? Dan apakah tujuan itu?

Pada waktu yang lain, ia ingat kepada ibunya, "Open, engkau harus terus-terang dalam segala hal. "Sebenarnya maksud ibunya sama saja, Tuhan ....Kusucian ....Terus-terang ....Kebenaran!

Ibunya memang bukan orang desa lagi, pernah sekolah HIS di kota. Tapi karena bergaul dengan orang-orang sederhana ia mengucapkan segalanya dengan sederhana pula. Ia bukan mengatakan Tuhan atau Kesucian atau Kebenaran, tapi terus-terang! Ya, sama saja maksud ibunya sebenarnya.

Sejak Open menjadi pengarang, ia banyak membaca buku-buku filsafat. Pada waktu ia dalam penjara Kenpetai ini, dalam mana ia kadang-kadang hampir-hampir menjadi gila dan putus asa,  selalu ditutup dalam kamar kecil, buang air besar dan buang air kecil, makan dan minum di tempat itu juga, pada waktu penderitaannya memuncak, hanya satu ahli filsafat yang menemani kesengsaraannya, Boethius. Ya, ada kadang-kadang ia merasa dialah Boethius sendiri. Di penjara, karena hendak berbuat baik kepada manusia sesamanya, ia di penjara oleh kebaikan itu sendiri.

Tapi Boethius sendiri berkata, kesengsaraan itu sebenarnya tidak apa-apa. Hanya anggapan yang salah terhadap kesengsaraan itu, itu yang menjadikan orang putus asa dan merasa celaka.

Perkataan Boethius itu tergores dalam hati Open sebagai suatu kebenaran dan adalah hiburan baginya, setelah ia yakin bahwa kewajibannya dalam penjara itu ialah menghilangkan anggapan salah tentang kesengsaraan. Kesengsaraan bukan musuh, anggapan itulah musuh. Setelah ia dapat melepaskan anggapan itu dan dapat melihat kesengsaraan yang di deritanya sebagai wajarnya, ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih pada Boethius. Demikian, ia dengan sabar dapat menanggungkan penderitaannya dalam penjara Kenpetai itu.

Waktu Republik Indonesia diproklamasikan, ia lepas. Badannya memang agak kurus, tapi isi pikirannya bertambah gemuk. Ia bukan Open yang dulu lagi, ini adalah Open yang berlainan sekali, lebih berpaham dan melihat kehidupan secara luas. Itu sebabnya ia tidak ikut-ikut dengan revolusi membunuh Jepang, Belanda Indo, dan Cina. Revolusi baginya baik, tapi segera ia menunjukkan anasir-anasir yang jahat. Ia harus dicek kembali, dialirkan melalui tempat yang lebih baik, menuju cita-cita yang sama juga. Revolusi baik. Dia sendiri mengalami revolusi yang paling hebat dalam dirinya sendiri. Revolusi tidak lain daripada akibat evolusi yang berlaku, evolusi berupa pemerasan perlahan-lahan dan secara teratur. Tapi revolusi tidak membunuh, revolusi hanya berarti mengguncangkan yang ngelamun dan membangunkan yang tidur serta selangkah lebih besar menuju cita-cita. Dalam pada itu karangan-karangannya yang dibikinnya dulu diterbitkan orang dan segera nama Open terkenal ke mana-mana. Satu dua kali ia mendapat surat dari pembaca, yang mengancam jika dia berani juga mengeluarkan karangan-karangan yang kotor itu. Dan ada pula yang menamakan dia pengarang tolol. Tapi ini hanya perkecualian. Biasanya dia mendapat penghargaan kanan kiri.

Open sendiri girang membaca karangan-karangan itu kembali, tapi sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ia rasa tak bisa membikin karangan-karangan seperti itu lagi. Jika ia nanti toh menulis lagi, pasti akan berlainan sekali. Lebih halus, barangkali dan mungkin juga lebih berisi. Tapi sekarang ini belum bisa. Ia memang telah banyak memikirkan soal-soal kehidupan yang pelik-pelik, tentang tujuan hidup, tapi ia merasa serasa masih ada lowongan dalam kalbunya yang harus diisinya dulu dengan air kefilsafatan  yang merupakan pandangan hidup yang lebih tegas.

Tidak! Sekarang ini biarlah Open mengeluarkan karangan-karangan yang dulu satu per satu dan tidak menulis yang baru. Ia tahu dan yakin bahwa pada suatu ketika lowongan dalam kalbunya pasti akan terisi penuh dan barulah tiba waktunya untuk  menulis lagi dengan keyakinan yang lebih tegas.

Waktunya revolusi mulai tenang. Open terpaksa mencari pekerjaan untuk hidupnya. Ia dapat pekerjaan, mula-mula sebagai penolong tukang jahit, tapi kemudian ia lekas pintar menjahit sendiri.
....


Karya: Idrus

MATA BIRU

Pantulan sinar matahari membaut matanya semakin jelas dan khas, bulat dan biru. Tampak sinaran kerlap-kerlip diwajahnya sisa air wudhu. Gadis tinggi putih itu adalah Ayukku, Ayuk yang selalu nampak lebih enak dipandang diantara keluarga yang lain. Ayuk Zahra namanya. Enam tahun sebelum aku lahir, ibuku pernah menikah dengan seorang perawat berkebangsaan Sudan saat menjadi relawan di Paletina. Selang beberapa bulan setelah kelahiran Ayuk Zahra, terjadi perompakan di perbatasan Ya'fa yang kemudian memakan banyak korban, termasuk suami pertama ibuku. Semua pasokan makanan diboikot hingga akhirnya Ibu dan Ayuk Zahra berhasil dipulangkan kembali ke Lampung. Lampung tercinta yang menjadi kota kelahiranku.

04 Mei 2002, Ibu dan Ayahku pergi ke Pondok Penghafal Qur'an di daerah Pesawaran, tujuannya untuk menghadiri pelepasan Ayuk Zahra yang telah empat tahun menetap disana. Hari itu palu aku mengikuti Kejuaraan Karate Tingkat Provinsi di Gor Saburai Bandar Lampung. Semua berjalan sesuai rencana. Atas izin Allah, aku pulang membawa mendali perak untuk kategori katak junior, dan Ayuk Zahra dengan 30 Juz hapalan Qur'annya. Kulitnya bertambah putih, bertambah ayu hati dan parasnya. Tak heran kalau bapak-bapak di desa kami sibuk cari perhatian denga ayah. Mereka berlomba ingin menjadikan Ayuk Zahra sebagai mantu. Ibu yang tahu persis keinginan Ayuk Zahra berusaha menolaknya dengan halus. Ayuk Zahra masih punya banyak target dan cita-cita. Selain Ibuku, Ayuklah yang mengajariku banyak hal tentang aurat, ketekunan, dan keyakinan. Ayuk Zahra telah mendokrinku hingga menjadi "Pemimpi" sampai saat ini.

"Ulah api niku mak wat bosan, yuk? Setiap ghani ngebaca buku-buku tebal gogoh es balok," ledekku untuk memecah hening sore itu.

"Bosan tak bosan kalau untuk urusan ilmu tetap harus ditekuni," kata-kata manis meluruh lewat bibir ciutnya.

"Ayuk benar-benar ingin ke Palestin?" selidikku.

"Insya Allah, da'akan saja ya," jawabnya.

"Alangkah baiknya, kalau Ayuk sekolah ke Kairo atau ke Sudan, kan nanti bisa ketemu nenek Zainab," aku terus meyakinkannya.

"Niku ngenah gawoh tini dek," sambil menutup bukunya.

"O.....Atau ikut Tika saja ke Jepang," aku melompat dari ranjang dan kuraih Buku Panduan Belajar Bahasa Jepang Untuk Pemula yang masih berlabel Gramedia Lampung.

"Aamiiiin!! Makanya Tika rajin belajar dan perbanyak amalan sunnah," sambungnya.

Sejak kepulangan Ayuk, keluarga kami jadi sering melakukan ibadah sunnah, seperti puasa Senin Kamis, Shalat dan Puasa sunah lainnya. Tak heran kalau Ayuk Zahra jadi jarang dimarahi. Setiap akhir pekan, aku jadi rajin ikut Ayuk Zahra ta'lim di Masjid Taqwa Metro. Kalau aku mulai bosan, Ayuk Zahra akan mengantarku ke Perpustakaan Kota Metro yang letaknya di belakang Masjid Taqwa. Katanya kebiasaan membaca itu mulia, karena wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca, dan juga membaca adalah jendela dunia. Ada satu hal yang tidak pernah aku lewatkan ketika berkunjung ke Perpustakaan ini, yakni Ensiklopedi dan Budaya Jepang.

Aku memang seorang Japan Holic, karena Negara itu lah yang akan menjadi tujuanku selepas SMA nanti.

Kuhampiri rak-rak buku di sebelah kanan pintu masuk lantai dua, mataku tertuju pada sebuah buku tebal warna hijau tua bertuliskan Biography Salahuddin Al-Ayyubi yang berwarna keemasan. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya.

"Nambah ghani, kamar sija nambah nghamai yo yuk!" celotehku. Dengan semangat aku tempel poster-poster besar bendera dunia.

"Unyin sija untuk memotivasi kamu, semoga kelak Allah mengizinkan kamu menjadi Reporter VoA," candanya yang nampak seperti do'a.

"Nanti kalau sudah terkenal jangan lupa liput Ayuk di Palestina ya!" sambungnya. Aku hanya tersenyum sambil mengamini dalam hati. Direkatkannya kembali Bendera Palestina di sebelah kanan Bendera Jepang.

Setelah itu kami rebahkan diri di atas kasur dengan bersadar pada telapak tangan. Kuperhatikan kembali foto-foto pahlawan muslim yang tegak di atas meja belajar Ayuk. Dibawahnya tertulis, Salahuddin Al-Ayubbi. Nah itu dia!!.

"Ayuk...siapa itu Salahuddin Al-Ayubbi?" tanyaku sambil menunjuk foto pahlawan yang paling gagah mengenakan pakaian perang. Ayuk memutar badan ke arahku.

"Salahuddin Al-Ayyubi adalah panglima perang muslim saat Perang Salib. Beliau tak takut mati, hidupnya untuk berjihad di Jalan Allah," ceritanya sambil menerawang ke luar jendela.

"Ada satu kisah mengesankan dibalik kemenangan Perang Salib. Salahuddin Al-Ayuubi menjadikan shalat sebagai salah satu kunci kemenangannya dalam perang. Pahlawan legendaries ini tak akan memulai penyerangan ke benteng-benteng pertahan lawan, apabila masih ada di antara pasukannya yang tidak bangun mendirikan shalat tahajjud pada malam harinya," matanya semakin jauh menerawang. Ekspresinya semakin menampakkan kalau ia benar-benar mengagumi sosok Salahuddin Al-Ayyubi.

Sejak saat itu aku yang termotivasi dengan kisah Salahuddin Al-Ayyubi mulai belajar untuk mendirikan Qiyamullail. Awalnya memang terasa berat. Seminggu pertama Ayuk Zahra selalu mengganti nada alarm hingga akhirnya aku terbiasa bangun sendiri walau dalam keadaan tidak suci.

Ayuk Zahra bilang, udara di Batanghari akan terasa lebih segar jika dihirup sebelum shubuh atau tepatnya sepertiga malam terakhir. Pada jam-jam inilah kerja jantung manusia menguat, mengedarkan darah ke seluruh jaringan dalam tubuh. Mendirikan Qiyamullail membantu memasok oksigen ke dalam darah lebih banyak dibanding saat kita dalam kondisi tidur. Oleh karena itu belajar sebelum akan lebih mudah paham. Dengan merubah kebiasaan ini, Alhamdulillah nilai raportku naik dan komunikasiku dengan Sang Maha Cinta jadi lebih mesra.

Ayuk Zahra melanjutkan studinya di Poltekkes Tanjung Karang jurusan Ilmu Keperawatan. Setelah menyandang gelar Sarjana, Ayuk Zahra mengikuti tes dari Yayasan Bulan Sabit Indonesia, sebuah lembaga yang mengirim para mujahid-mujahidah tanah air ke Palestina. Hasilnya memuaskan, dengan modal hapalan Qur'an serta ilmu keperawatan, Ayuk diterima menjadi Relawan Indonesia untuk Palestina dalam bidang kesehatan. Cita-cita Ayuk telah terkabul, yakni bisa kembali tanah kelahirannya sebagai mujahidah melanjutkan jejak ayahnya. Keluarga kami mengizinkan ayuk untuk pergi karena alasannya, relawan apalagi anggota kesehatan memiliki hak hukum dan tidak boleh diserang saat perang.

Jum'at, 23 September 2006, kami sekeluarga mengantar Ayuk Zahra sampai Bandara Raden Intan, Natar. Berurai air mata seluruh keluargaku melepas permata terindahnya ke ladang jihad.

Kubuka kembali lemari jati dipojok ruang keluarga, mencari kartu keluarga dan akta kelahiranku. Besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta untuk kemudian terbang ke Tokyo. Aku direkomendasikan Dinas Kesehatan Pusat untuk melanjutkan S2 Jurusan Parasitologi di Kyoto University, sekaligus meliput berita di Jepang dan sekitarnya.

Setelah shalat tahajjud, aku kembali berkemas-kemas. Tiba-tiba Ayub menarik bajuku, berpegangan pada kedua betisku dan mencoba untuk berdiri.

"Maammmmaa......," ucapnya terbata-bata tiap kali merayuku untuk membuatkannya susu. Walau belum genap setahun, Ayub sudah terbiasa menemaniku Qiyamullail. Mungkin kebiasaannya ini adalah warisan dari ibunya. Kurengkuh pundaknya dan kuciumi pipi wanginya. Setahun setelah kepulangan Ayuk Zahra dari Palastina, dia menikah dan syahid saat melahirkan anak pertamanya, Salahuddin Al-Ayubbi yang kini memanggilku "Mama".

Jika Ayub sudah baligh, kelak akan aku kisahkan kalau aku pernah memiliki serorang ayuk yang mengajariku banyak hal. Akan kuajarkan pula padanya tentang metode-metode rutin Qiyamullail dan semua hal yang pernah Ayuk Zahra ajarkan kepadaku, termasuk moto hidupnya untuk selalu menghadapi segala kesukaraan dan kegelisahan dengan shalat. Cita-citanya syahid dai tanah jihad Palestina, tapi Allah menetapkan takdir yang lebih mulia, yakni syahid sebagai seorang ibu. Ibunya, Fauziah Az-Zahra, orang Lampung bermata biru. Si Mata Biru yang dalam akhaqnya.


Karya: Atika Cantia Saraswati

SENYUM KARYAMIN

Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan menanjak  sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan nafas serta ayunan  tangan demi keseimbangan yang sempurna.

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh, lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.

Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski denga lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi lehernya muncul menyembul kulit.

Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.

"Bangsat!" teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suaru dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka para pengumpul batu itu,  senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. 

"Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus," kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.

"Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran istrimu. Jangan percaya pada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya."

"Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!"

Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat  perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.

Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang tertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hama. Dan Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.

Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat seuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu mereka tangkap.

"Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?"

Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu ini, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum  adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.

Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin menbabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyamin sadar; dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.

Jadi, Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan,  kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika manapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.

"Masih pagi kok mau pulang, Min?" Tanya Saidah. "Sakit?"

Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.

"Makan, Min?"

"Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang."

"Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?"

Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.

"Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?"

Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sangai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.

"Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?" Tanya Saidah ketika Karyamin bangkit. 

"Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak lega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan."

"Iya Min, iya. Tetapi ...."

Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.

Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.

Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. "Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang."

Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam ronga matanya. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sekitar sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya  juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.

Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.

Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan batu batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.

"Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari Kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?"

"Menghindar?"

"Ya. Kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit,"

Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung  sendiri. Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.

"Kamu menghina aku, Mina?"

"Tidak, Pak. Sungguh tidak."

"Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-tersenyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?"

Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.

Karya: Ahmad Tohari.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK