Pantulan sinar matahari membaut matanya semakin jelas dan khas, bulat dan biru. Tampak sinaran kerlap-kerlip diwajahnya sisa air wudhu. Gadis tinggi putih itu adalah Ayukku, Ayuk yang selalu nampak lebih enak dipandang diantara keluarga yang lain. Ayuk Zahra namanya. Enam tahun sebelum aku lahir, ibuku pernah menikah dengan seorang perawat berkebangsaan Sudan saat menjadi relawan di Paletina. Selang beberapa bulan setelah kelahiran Ayuk Zahra, terjadi perompakan di perbatasan Ya'fa yang kemudian memakan banyak korban, termasuk suami pertama ibuku. Semua pasokan makanan diboikot hingga akhirnya Ibu dan Ayuk Zahra berhasil dipulangkan kembali ke Lampung. Lampung tercinta yang menjadi kota kelahiranku.
04 Mei 2002, Ibu dan Ayahku pergi ke Pondok Penghafal Qur'an di daerah Pesawaran, tujuannya untuk menghadiri pelepasan Ayuk Zahra yang telah empat tahun menetap disana. Hari itu palu aku mengikuti Kejuaraan Karate Tingkat Provinsi di Gor Saburai Bandar Lampung. Semua berjalan sesuai rencana. Atas izin Allah, aku pulang membawa mendali perak untuk kategori katak junior, dan Ayuk Zahra dengan 30 Juz hapalan Qur'annya. Kulitnya bertambah putih, bertambah ayu hati dan parasnya. Tak heran kalau bapak-bapak di desa kami sibuk cari perhatian denga ayah. Mereka berlomba ingin menjadikan Ayuk Zahra sebagai mantu. Ibu yang tahu persis keinginan Ayuk Zahra berusaha menolaknya dengan halus. Ayuk Zahra masih punya banyak target dan cita-cita. Selain Ibuku, Ayuklah yang mengajariku banyak hal tentang aurat, ketekunan, dan keyakinan. Ayuk Zahra telah mendokrinku hingga menjadi "Pemimpi" sampai saat ini.
"Ulah api niku mak wat bosan, yuk? Setiap ghani ngebaca buku-buku tebal gogoh es balok," ledekku untuk memecah hening sore itu.
"Bosan tak bosan kalau untuk urusan ilmu tetap harus ditekuni," kata-kata manis meluruh lewat bibir ciutnya.
"Ayuk benar-benar ingin ke Palestin?" selidikku.
"Insya Allah, da'akan saja ya," jawabnya.
"Alangkah baiknya, kalau Ayuk sekolah ke Kairo atau ke Sudan, kan nanti bisa ketemu nenek Zainab," aku terus meyakinkannya.
"Niku ngenah gawoh tini dek," sambil menutup bukunya.
"O.....Atau ikut Tika saja ke Jepang," aku melompat dari ranjang dan kuraih Buku Panduan Belajar Bahasa Jepang Untuk Pemula yang masih berlabel Gramedia Lampung.
"Aamiiiin!! Makanya Tika rajin belajar dan perbanyak amalan sunnah," sambungnya.
Sejak kepulangan Ayuk, keluarga kami jadi sering melakukan ibadah sunnah, seperti puasa Senin Kamis, Shalat dan Puasa sunah lainnya. Tak heran kalau Ayuk Zahra jadi jarang dimarahi. Setiap akhir pekan, aku jadi rajin ikut Ayuk Zahra ta'lim di Masjid Taqwa Metro. Kalau aku mulai bosan, Ayuk Zahra akan mengantarku ke Perpustakaan Kota Metro yang letaknya di belakang Masjid Taqwa. Katanya kebiasaan membaca itu mulia, karena wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca, dan juga membaca adalah jendela dunia. Ada satu hal yang tidak pernah aku lewatkan ketika berkunjung ke Perpustakaan ini, yakni Ensiklopedi dan Budaya Jepang.
Aku memang seorang Japan Holic, karena Negara itu lah yang akan menjadi tujuanku selepas SMA nanti.
Kuhampiri rak-rak buku di sebelah kanan pintu masuk lantai dua, mataku tertuju pada sebuah buku tebal warna hijau tua bertuliskan Biography Salahuddin Al-Ayyubi yang berwarna keemasan. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Nambah ghani, kamar sija nambah nghamai yo yuk!" celotehku. Dengan semangat aku tempel poster-poster besar bendera dunia.
"Unyin sija untuk memotivasi kamu, semoga kelak Allah mengizinkan kamu menjadi Reporter VoA," candanya yang nampak seperti do'a.
"Nanti kalau sudah terkenal jangan lupa liput Ayuk di Palestina ya!" sambungnya. Aku hanya tersenyum sambil mengamini dalam hati. Direkatkannya kembali Bendera Palestina di sebelah kanan Bendera Jepang.
Setelah itu kami rebahkan diri di atas kasur dengan bersadar pada telapak tangan. Kuperhatikan kembali foto-foto pahlawan muslim yang tegak di atas meja belajar Ayuk. Dibawahnya tertulis, Salahuddin Al-Ayubbi. Nah itu dia!!.
"Ayuk...siapa itu Salahuddin Al-Ayubbi?" tanyaku sambil menunjuk foto pahlawan yang paling gagah mengenakan pakaian perang. Ayuk memutar badan ke arahku.
"Salahuddin Al-Ayyubi adalah panglima perang muslim saat Perang Salib. Beliau tak takut mati, hidupnya untuk berjihad di Jalan Allah," ceritanya sambil menerawang ke luar jendela.
"Ada satu kisah mengesankan dibalik kemenangan Perang Salib. Salahuddin Al-Ayuubi menjadikan shalat sebagai salah satu kunci kemenangannya dalam perang. Pahlawan legendaries ini tak akan memulai penyerangan ke benteng-benteng pertahan lawan, apabila masih ada di antara pasukannya yang tidak bangun mendirikan shalat tahajjud pada malam harinya," matanya semakin jauh menerawang. Ekspresinya semakin menampakkan kalau ia benar-benar mengagumi sosok Salahuddin Al-Ayyubi.
Sejak saat itu aku yang termotivasi dengan kisah Salahuddin Al-Ayyubi mulai belajar untuk mendirikan Qiyamullail. Awalnya memang terasa berat. Seminggu pertama Ayuk Zahra selalu mengganti nada alarm hingga akhirnya aku terbiasa bangun sendiri walau dalam keadaan tidak suci.
Ayuk Zahra bilang, udara di Batanghari akan terasa lebih segar jika dihirup sebelum shubuh atau tepatnya sepertiga malam terakhir. Pada jam-jam inilah kerja jantung manusia menguat, mengedarkan darah ke seluruh jaringan dalam tubuh. Mendirikan Qiyamullail membantu memasok oksigen ke dalam darah lebih banyak dibanding saat kita dalam kondisi tidur. Oleh karena itu belajar sebelum akan lebih mudah paham. Dengan merubah kebiasaan ini, Alhamdulillah nilai raportku naik dan komunikasiku dengan Sang Maha Cinta jadi lebih mesra.
Ayuk Zahra melanjutkan studinya di Poltekkes Tanjung Karang jurusan Ilmu Keperawatan. Setelah menyandang gelar Sarjana, Ayuk Zahra mengikuti tes dari Yayasan Bulan Sabit Indonesia, sebuah lembaga yang mengirim para mujahid-mujahidah tanah air ke Palestina. Hasilnya memuaskan, dengan modal hapalan Qur'an serta ilmu keperawatan, Ayuk diterima menjadi Relawan Indonesia untuk Palestina dalam bidang kesehatan. Cita-cita Ayuk telah terkabul, yakni bisa kembali tanah kelahirannya sebagai mujahidah melanjutkan jejak ayahnya. Keluarga kami mengizinkan ayuk untuk pergi karena alasannya, relawan apalagi anggota kesehatan memiliki hak hukum dan tidak boleh diserang saat perang.
Jum'at, 23 September 2006, kami sekeluarga mengantar Ayuk Zahra sampai Bandara Raden Intan, Natar. Berurai air mata seluruh keluargaku melepas permata terindahnya ke ladang jihad.
Kubuka kembali lemari jati dipojok ruang keluarga, mencari kartu keluarga dan akta kelahiranku. Besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta untuk kemudian terbang ke Tokyo. Aku direkomendasikan Dinas Kesehatan Pusat untuk melanjutkan S2 Jurusan Parasitologi di Kyoto University, sekaligus meliput berita di Jepang dan sekitarnya.
Setelah shalat tahajjud, aku kembali berkemas-kemas. Tiba-tiba Ayub menarik bajuku, berpegangan pada kedua betisku dan mencoba untuk berdiri.
"Maammmmaa......," ucapnya terbata-bata tiap kali merayuku untuk membuatkannya susu. Walau belum genap setahun, Ayub sudah terbiasa menemaniku Qiyamullail. Mungkin kebiasaannya ini adalah warisan dari ibunya. Kurengkuh pundaknya dan kuciumi pipi wanginya. Setahun setelah kepulangan Ayuk Zahra dari Palastina, dia menikah dan syahid saat melahirkan anak pertamanya, Salahuddin Al-Ayubbi yang kini memanggilku "Mama".
Jika Ayub sudah baligh, kelak akan aku kisahkan kalau aku pernah memiliki serorang ayuk yang mengajariku banyak hal. Akan kuajarkan pula padanya tentang metode-metode rutin Qiyamullail dan semua hal yang pernah Ayuk Zahra ajarkan kepadaku, termasuk moto hidupnya untuk selalu menghadapi segala kesukaraan dan kegelisahan dengan shalat. Cita-citanya syahid dai tanah jihad Palestina, tapi Allah menetapkan takdir yang lebih mulia, yakni syahid sebagai seorang ibu. Ibunya, Fauziah Az-Zahra, orang Lampung bermata biru. Si Mata Biru yang dalam akhaqnya.
Karya: Atika Cantia Saraswati
No comments:
Post a Comment