CAMPUR ADUK

Tuesday, October 1, 2019

KENYATAAN HIDUP


Dono santai di rumah untuk menghilangkan rasa capeknya sambil minum teh. Indro pun baru pulang dari kerjaannya. Tak lupa Indro saat masuk rumah mengucap salam "Asalamualaikum".

"Waalaikumsalam," jawab Dono.

"Kapan dateng dari kota Batam?" tanya Indro sambil duduk bersama Dono di ruang tamu.

"Bisa juga baru bisa juga lama kira-kira sudah 30 menit di rumah," kata Dono.

"Yang jemput Kasino ya ke bandara ?" tanya Indro.

"Iya," jawab Dono sambil minum teh.

"Oh iya sistem pelayanan penerbangan sekarang gimana?" tanya Indro.

"Aman dan nyaman," kata Dono.

"Berarti sudah bagus toh," kata Indro.

Indro pun beranjak dari duduknya bersama Dono ke kamar untuk bebenah diri. Kasino pun keluar dari kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya dan langsung ke dapur membuat kopi, setelah itu baru duduk di ruang tengah dan langsung menyetel Tv. Kasino menonton berita di TVRI yang menayangkan pelantikan wakil menteri. 

Indro pun selesai dari berbenah diri dan membuat kopi di dapur. Setelah itu Indro duduk bersama Kasino untuk nonton Tv. Kasino pun bertanya ke Indro tentang urusan masalah pribadinya yang menimpa keluarganya "Gimana perkembangan masalah tentang tanah sengketa?"

"Gimana-gimana lagi Kasino. Urusan bertahun-tahun jadinya menyerah aja jadinya pindah rumah," kata Indro.

"Sayang juga pindah rumah. Padahal sudah menempati tanah tersebut 20 tahun lebih," kata Kasino.

"Ya begitu adanya. Tapi banyak saran orang-orang sih kalau surat gak jelas bisa urus jadi hak milik.  Gara-gara awalnya tinggal di tanah orang yang gak jelas siapa yang punya antara ini dan itu. 20 tahun kemudian jadi masalah. Zaman sekarang sih hidup tambah susah kalau tidak tempat tinggal," kata Indro.

"Kasihan juga keluarga mu....
.ya Indro. Padahal kamu langsung menolongnya untuk tinggal di rumah mu yang kamu usahakan untuk usaha kontrakan," kata Kasino.

"Gimana lagi. Solusinya itu. Untung saja tuh rumah belum di kontrakin ke orang. Jadi bisa nolong keluarga," kata Indro.

"Untung saja ada nasif baik untuk keluarga kamu. Padahal masih urusan Paman dan Bibi. Ternyata ponakannya anak baik," kata Kasino.

"Ya begitu adanya," kata Kasino.

Kasino dan Indro pun fokus lagi nonton pelantikan wakil menteri. Dono pun beranjak duduknya di ruang tamu menuju ruang tengah untuk nonton Tv bersama Kasino dan Indro. 

"Oleh-oleh dari Batam ada gak?" tanya Indro.

"Ada tuh di lemari makan," kata Dono.

"Asik makanan," saut Indro yang seneng.

Dono menikmati minum teh sambil nonton Tv. Indro langsung beranjak dari duduknya untuk mengambil makan di lemari makan yang ada di dapur. Setelah telah di ambil Indro langsung kembali duduk bersama Dono dan Kasino untuk nonton Tv.

"Oh ya Don kamu ke Batam ada urusan apa ?" tanya Indro.

"Keluarga," jawab Dono.

"Keluarga toh," saut Indro.

Indro pun menikmati makan sambil nonton Tv. Kasino dan Dono santai nonton acara pelantikan wakil menteri. Telpon Dono pun berbunyi, jadi segera di angkat Dono. Ternyata dari Rara, jadi Dono telponan dengan Rara dengan pembicaraan singkat. Lalu Dono langsung berganti pakaian di kamar. 

"Mau kemana Don?" tanya Indro.

"Bisa....urusan hati," jawab Dono.

"Hati toh. Don salam untuk ke Rara dari Indro dan Kasino," kata Indro.

"Beres. Asalamualaikum," kata Dono.

"Waalaikumsalam," jawab Indro dan Kasino bersamaan.

Dono pun keluar dari rumah menuju rumah Rara. Indro dan Kasino fokus lagi nonton Tvnya. Selang berapa saat Dono sampai di rumah Rara. Dono pun ngobrol asik dengan Rara di ruang tamu tetap ada yang ngawasin hubungan Dono dan Rara siapa lagi Ibunya Rara. Sampai akhirnya Dono pun makan malam di rumah Rara. Yang masak makan adalah Rara sendiri. Dono menikmati makan yang di masak dengan cinta oleh Rara sambil berbincang-bincang banyak hal ini dan itu. Sang Ibu Rara senang melihat kebahagian Rara dan Dono. Setelah makan malem selesai di rumah Rara, segera Dono pulang ke rumah. 

Sampai di rumah. Dono masuk rumah tak lupa mengucap salam "Asalamualaikum".

"Waalaikumsalam," jawab Kasino dan Indro bersamaan.

Dono duduk bersama Kasino dan Indro di ruang tengah sambil menonton acara Tv yang menghibur. Ya nyanyian lah.

"Don gimana urusan kamu dengan Rara?" tanya Indro ingin tahu.

"Baik-baik saja," jawab Dono.

"Baik toh," saut Indro.

Indro fokus lagi nonton Tv yang acaranya bagus banget karena menghibur. Dono dan Kasino menikmati tontonan Tvnya yang menghibur banget....banget.

LAHIRNYA PEPADUN

Pada masa silam di daerah Skala Brak hiduplah sekelompok suku Tumi. Mereka dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekar Mong. Kehidupan mereka masih sangat primirif. Mereka menyembah sebatang pohon yang disebut Melasa Kepampang.

Melasa Kepampang merupakan pohon yang aneh. Pohon ini bercabang dua. Cabang yang satu  terdiri dari pohon nangka. Sedangkan cabang lainnya, merupakan pohon durian. Keanehan lainnya kebawah. Getahnya sangat beracun. Dan bila terkena getah dari cabang pohon nangka, maka hanya bisa disembuhkan dengan getah dari cabang pohon durian. Begitu sebaliknya.

Setiap kali bulan purnama tiba, suku Tumi melakukan upacara di bawah pohon Melasa Kepampang. Upacara ini dinamakan upacara Bulan Bakha. Mereka mempersembahkan korban 7 kepala manusia. Mereka bernyanyi dan menari sambil meletakkan sesaji. Kemudian mereka membacakan mantera-mantera.

Suku Tumi beranggapan dengan memberikan tumbal kepala manusia, maka kehidupan mereka akan terlepas dari mara bahaya Tanaman mereka menjadi subur. Dan panenan mereka berkimpah ruah.

Kebiasaan suku Tumi ini meresahkan suku-suku lainnya yang tinggal tidaj berjauhan dari mereka. Karena banyak sudah orang-orang dari suku-suku lainnya yang menjadi korban. Namun untuk melawan suku Tumi, mereka tidak berani. Sebab suku Tumi terkenal sakti. Pernah sekali waktu beberapa suku bersatu menyerang, tapi dengan mudah mereka dikalahkan. Maka sejak saat itu banyak suku-suku yang pergi meninggalkan daerahnya. Mereka menghindari kebiadaban suku Tumi.

Peristiwa ini lama kelamaan sampai ke daerah Bukit Pesagi. Di daerah ini tinggal 4 orang empu. Masing-masing bernama Empu Cangih bergelar Ratu Di Puncak, karena tinggal dibagian puncak bukit; Empu Rakihan bergelar Ratu Di Balalau, dan tinggal dibagian tengkuk bukit; Empu Serunting bergelar Ratu Di Pugung, karena tinggal dibagian punggung bukit Empu Aji Saka bergelar Ratu Di Pemanggilan dan tinggal di bagian bawah bukit.

Keempat orang empu kemudian berunding dan sepakat mengirimkan utusan untuk menaklukkan suku Tumi. Tugas ini dipercayakan kepada 7 orang. Mereka dipimpin oleh Poyang Kuasa, dengan anggotanya Poyang Mekuda, Poyang Mapuga, Poyang Nyurang, Sang Pulagai, Sang Balik Kuang serta Sang Gariha. Berangkatlah ketujuh utusan menuju perkampungan suku Tumi.

Berhari-hari mereka berjalan tak kenal lelah. Pada hari ketujuh sampailah mereka di daerah suku Tumi. Tanpa membuang-buang waktu mereka menemui Ratu Skar Mong.

"Wahai, Ratu Skar Mong, salam hormat untukmu. Kami adalah utusan para Punyimbang Bukit Pesagi. Kami datang dengan damai. Maka terimalah maksud kedatangan kami dengan damai pula" ucap Poyang Kuasa membuka kata.

"Hihihi...., kami suku Tumi tidak suka basa-basi. Katakan saja apa yang kalian inginkan" jawab Ratu Skar Mong.

"Ratu Skar Mong. Kekejaman suku Tumi mengorbankan manusia setiap bulan purnama telah menggemparkan seluruh warga Skala Brak. Masyarakat resah, mereka merasa kehidupannya tidak aman. Setiap saat dihantui permusuhan dan pembunuhan oleh suku Tumi. Oleh karena itu agar kita bersama dapat hidup berdampingan penuh persaudaraan; saling hormat menghormati, bergotong royong, saling memberi dan menerima, kami minta kalian menghentikan kebiasaan buruk, mengorbankan manusia dalam upacara Bulan Bakha. Kami harap......"

Belum selesai Poyang Kuasa berbicara, Ratu Skar Mong menukasnya.

"Hihihi....., utusan jelek! suku Tumi tidak suka diatur-atur. Urus saja kehidupan kalian sendiri. Cepat balik badan. Pulang ketempat kalian, atau kalian menjadi bangkai"

"Kami adalah utusan yang menjunjung tinggi pi'il pesenggiri. Lebih baik kami mati bersimbah darah dari pada mengkhianati kepercayaan yang kami terima sahut Poyang Kuasa dengan tenang. "Hihihi....., dasar bodoh! Kalian akan jadi tumbal upacara Bulan Bakha. Hiatttt!"

Sehabis berkata begitu Ratu Skar Mong menyerang Poyang Kuasa. Maka terjadi perkelahian diantara mereka. Sementara ke enam utusan lainnya berhapan dengan rakyat suku Tumi. Betapa dasyat pertempuran yang terjadi. Masing-masing, mengeluarkan kesaktiannya. Pada hari pertama hingga hari kelima, belum terlihat tanda-tanda siapa yang bakal kalah atau menang. Namun menjelang hari ke tujuh Ratu Skar Mong dan Poyang Kuasa mengeluarkan ilmu pamungkas. Terjadilah angin panas menyengat. Udara kering seketika. Pohon-pohon menguning. Rumputan terbakar. Dan kulit rakyat Tumi menghitam serta mengelupas seperti terbakar api. Tiba-tiba Ratu Skar Mong menjerit dengan histeris. Tubuhnya terjengkang ke belakang dengan mulut dan hidung berlumuran darah. Demikian juga rakyatnya. Sedangkan ke tujuh utusan dari Bukit Pesagi masih tampak tegak berdiri.

"Nah, Ratu Skar Mong! Kau terbukti kalah. Maka kalian menjadi tawanan kami, tapi kalian akan kami perlakukan dengan baik, demikian pula rakyatimu" tutur Poyang kuasa. Ratu Skar Mong hanya dapat meringis menahan rasa sakit.

"Kau akan kami bawa menghadap para Empu di Bukit Pesagi. Tapi sebelum itu kami akan menebang pohon Melasa Kepampang. Sebab itulah pesan para empu"

Lalu ke tujuh utusan itu menebang pohon Melara Kepampang bersama Ratu Skar Mong mereka ingin membawa batang pohon itu ke Bukit Pesagi, oleh para Empu batang pohon Melasa Kepampang itu kemudian di buat kursi yang memiliki sandaran. Bentuknya bulat setinggi lutut. Benda itu lantas di sebut "Pepadun" yang berasal dari kata "Pepadun" Dan dijadikan simbol kesatuan dan persatuan empat paksi di Bukit Pesagi.


Karya : Syaiful Irba Tanpaka

PANGERAN GAJAH DAN PUTRI BUNGA ASYAR

Negeri Skala Brak merupakan sebuah negeri yang subur. Rakyatnya hidup makmur, rukun dan sejahtera. Mereka hidup penuh semangat dan rajin bekerja. Menyiangi padi di sawah, membersihkan kebun di ladang, bergotong, royong memelihara, keasrian lingkungan. Hingga setiap kali musim panen kopi, lada, cengkeh atau padi, mereka selalu mendapatkan keuntungan berlimpah.

Sampai suatu hari bencana menimpa negeri Skala Berakh. Penduduk dibuat panik oleh kedatangan galigasing alias raksasa yang memiliki tangan sembilan puluh sembilan jumlahnya. Dan tangan-tangan itu ada yang memegang tongkat batang enau, gada berduri, pedang, tombak, jala, badik, panah, dan berbagai macam senjata lainnya.

Tinggi galigasing itu melebihi pohon kepada. Lebar dadanya lebih dari sedepa. Jalannya lambat. Dan suara langkahnya seperti halilitar. Dar! Dar! Dan membuat penduduk ketakutan; galigasing itu suka memakan daging hewan dan manusia. Setiap hari ia memangsa dua ekor kerbau, atau empat orang dewasa atau enam orang, anak kecil.

Akibatnya penduduk negeri Skala Brak tidak ada yang berani keluar rumah. Mereka bersembunyi berhari-hari hingga persediaan makanan mereka habis. Lalu mereka menderita kelaparan.

"........Tolong! Tolong.......!" terdengar jerit seorang penduduk sambil berlari lintang pukang. Ia berlari kesembarang arah. Beberapa penduduk lainnya yang mengintip dari dalam rumah lalu memberanikan diri keluar.

"Kenapa? Kenapa!?" Tanya seseorang.

"Galigasing itu! Galigasing itu telah memakan kambing dan sapiku"

"Sabarlah kawan, Galigasing itu juga telah memangsa saudaraku" sahut seseorang yang lain.

"Gawat! Kalau begini terus, bisa habis manusia dan hewan di kampung kita" ujar orang pertama yang bertanya.

"Ya! Kalau begitu kita harus mencari jalan membunuh Galigasing itu," Ungkap yang lain.

"Betul! Sekarang ini hidup kita tidak aman. Kita selalu dihantui perasaan ketakut setiap hari!

"Kita harus lawan Galigasing itu!"

"Setuju! Kita harus lawan!"

Maka merekapun berlomba-lomba untuk menjadi pahlawan. Dari orang dewasa, anak muda hingga perempuan. Mereka mempersiapkan diri dengan berbagai senjata.

Tapi sayang; mereka yang pergi mempertaruhkan diri melawan Galigasing. Tidak ada satu pun yang kembali. Semuanya bagai lenyap di telan bumi.

Matahari terik, pohon-pohon kering. Di siang yang gersang itu tibah seorang pengembara di negeri Skala Brak. Namanya Pangeran Gajah. Ia merasa heran menyaksikan kota yang sepi. Hanya ada beberapa ekor anjing kurus berkeliaran. Sesekali debu berdebaran ditiup angin. Daun-daun kuning. Semua menandakan kehidupan yang penuh malapetaka.

Pangeran Gajah terus berjalan menyusuri sudut demi sudut kota. Hingga ia bertemu dengan seorang kakek yang sedang duduk termenung di serambi rumah.

"Salam hormat, kakek. Gerangan apakah yang terjadi di negeri ini? Kota ini seperti kota mati tanpa penghuni"

"Salam kembali anak muda. Tapi......tapi......., kakek itu menjawab ketakutan.

"Jangan takut, kakek. Aku hanya seorang pengembara. Jawablah pertanyaannya ku dengan sejujurnya"

"Anak muda, sebaliknya pergilah dari kota ini sebelum engkau menjadi korban Galigasing bertangan sembilan puluh sembilan dan suka makan daging manusia dan hewan....?"

"Galigasing pemakan manusia dan hewan?"

"Betul, anak muda. Negeri ini sedang dilanda kecemasan. Banyak penduduk yang menjadi korban"

"Maksud, kakek?"

"Mereka mati disantap Galigasing. Kami sudah mencoba melawan, tapi kami tidak berdaya.

"Banyak kesatria negeri yang hilang tak tahu rimbanya"

"Orangtua, ketahuilah; saya adalah Pangeran Gajah dari Negeri Satwalangka. Saya mengembara untuk mengamalkan kebaikan. Sebab kata orang tua saya; kekuatan kita tidak ada artinya tanpa berbuat kebajikan terhadap sesama makluk Tuhan. Karena itu tunjukkan dimana tempat Galigasing itu, saya akan coba melawannya"

"Jangan anak muda. Galigasing itu"

"Jangan Khawatir, kakek" Tukas Pangeran Gajah "Bagi saya, pantang mundur melawan kejahatan. Tunjukkan dimana tempat Galigaring itu"

"Kalau memang maumu, baiklah anak muda. Pergilah engkau ke puncak bukit Cendana. Disanalah Galigasing itu berada"

"Terima kasih, kakek. Saya mohon pamit"

Setelah memberi salam kepada si kakek lalu Pangeran Gajah melesat terbang dengan mengepak-ngepakan telinganya yang besar dan lebar. Pangeran Gajah bernyanyi.

Mamandang alam dari angkasa raya.
Indah kupandang alam mempesona
Tuhan Pencipta Nan Maha Pujangga
Lestarikan, pelihara lingkungan kita bersama

Tak beberapa lama sampailah Pangeran Gajah ke puncak bukit Cendana. Pada saat itu Galigasing baru saja menawan seorang putri yang cantik jelita. Namanya Putri Kembang Asyar.

"Tolong! Tolong! Lepaskan aku, lepaskan aku" begitu Putri Kembang Asyar berteriak teriak.

"Iyek...., iyek......, iyek........, sebentar lagi kau akan jadikan santapan siangku. Iyek......, iyek........, iyek...."
"Jangan Galigasing jangan!"
"O....., tidak ada jangan-janganan. Kalau aku lapar, pokoknya apa saja akan kulahap, tahu?!"
"Tolong!!! Tolong!!!" akhirnya. Putri Bunga Asyar Cuma bisa berteriak.

Saat itulah Pageran Gajah datang. Melihat perlakuan Galigasing terhadap putri Bunga Asyar, seketika Pangeran Gajah menantang.

"Hei, Galigasing jelek! Lepaskan gadis itu!"

"Iyek....., Iyek....., Iyek....., siapa kau berani-beraninya datang ketempatku. Apa kamu sudah bosan hidup? Iyek...., iyek......, iyek...., "Aku Pangeran Gajah. Aku datang untuk membunuh kejahatanmu. Karena itu bertobatlah. Jangan lagi menyengsarakan penduduk negeri Skala Brak. Bila engkau bertaubat, maka aku akan memaafkanmu"

"Iyek......., iyek......, iyek......., belum ada yang dapat pergi hidup-hidup dari hadapanku, tahu?! Anak lancang, akan kurobek-robek tubuhmu, iyek......., iyek........iyek......,"

"Jangan sombong Galigasing. Setiap kekuatan ada kelemahan. Sepandai pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Maka sehebat-hebatnya engkau, pasti akan mengalami kekalahan"

"Jangan cuma ngomong anak jelek. Ayo kita buktikan. Iyek......, Iyek......, Iyek.......,"

Maka perkelahian terjadi. Dengan marah Galigasing menyerang Pangeran Gajah. Tapi Pangeran Gajah menghadapinya dengan tenang. Keduanya mengeluarkan kesaktian dan kekuatan. Tangan-tangan Galigasing menyerang Pangeran Gajah dengan tongkat, dengan tombak, dengan jala, dengan badik, dengan senjata-senjata lainnya yang berada di tangannya. Namun Pangeran Gajah dengan gesit selalu dapat menghindarinya.

Berhari-hari mereka berkelahi. Sampai hari ke tempat puluh, terlihat Pangeran Gajah melompat tinggi sekali ke angkasa. Lalu dengan gadingnya yang tajam ia meleset turun dan menusuk. Kedua dengkul Galigasing, hingga. Robek berdarah. Ajaib. Galigasing sempoyongan. Tubuhnya gementar begitu hebat. Sampai akhirnya tubuhnya roboh merauh-raung, menggelepar dan mati. Ternyata kelemahan Galigasing itu terletak di dengkul. Karena di dengkul itu terletak otaknya.

Lalu Putri Bunga Asyar menghampiri Pangeran Gajah. Ia mengucapkan terima kasih.

"Kalau tidak ada pangeran, entah apa jadinya nasib saya"

"Bersyukur kepada. Tuhan Yang Maha Pengasih. Karena kehendak-Nya. Galigasing itu mati. Dan penduduk negeri Skala Brak dapat hidup tenteram kembali"

"Oh ya, saya Putri Kembang Asyar. Baiklah kita kabarkan ke seluruh negeri kematian Galigasing ini" ucapnya.

Keduanya kemudian menuruni bukit. Mereka di sambut gemuruh sorak sorai penduduk negeri. Memuji-muji kekuatan Pengeran Gajah. Lalu Sang Pemimpin negeri berkata : "Saudara-saudaraku, penduduk negeri Skala Brak yang berbahagia. Mari kita ucapkan terima kasih kepada Pangeran Gajah, Dan sebagai penghormatan kita jodohkan Pangeran Gajah dan Putri Bunga Asyar, setuju?"

Setuju!!!'!

Gemuruh suara rakyat negeri Skala Brak mendukung perjodohan Pangeran Gajah dan Putri Bunga Asyar.

Dan keesokan harinya Pimpinan dan rakyat Negeri Skala Brak menyiapkan pesta perkawinan Pangeran Gajah dan Putri Bunga Asyar selama tujuh hari tujuh malam. Maka sejak saat itu Pangeran Gajah dan Putri Bunga Asyar menjadi pasangan yang berbahagia serta begitu dibanggakan sebagai simbol perdamaian dan ketentraman.

Kemudian Pangeran Gajah dijadikan sebagai panglima, dan setiap senja tiba Putri Bunga Asyar senantiasa bersolek, dengan wajah ceria ia duduk diserambi rumah menunggu kedatangan suami tercinta.


Karya : Syaiful Irba Tanpaka

BATU KEBAYAN

Negeri nan luhur. Adat istiadat dijunjung, Hiduplah sebuah tatanan masyarakat tradisi memiliki cerminan pekerti. Di ufuk barat matahari tenggelam sebuah peradapan hidup. Disebutlah Kerajaan Negeri Paksi. Pak Skala Brak dengan empat kebuaian. Yakni Buai Belunguh, Buai Bejalan Diway, Buai Pemong, dan Buai Nyerupa.

Menjelang Senja suatu hari. Mulli menkanai mengikat janji untuk melakukan hidup yang layak sebagai sepasang suami istri. Tekadnya satu mengarungi bahtera kehidupan Rumah tangga. Kedua orang tua mereka sepakat untuk mengadakan pesta adat 'Nyambai Agung"

Sanak Family handai taulan tokoh adat dari empat kebuaian berkumpul dilamban gedung bersepakat memberi Adok bagi kedua Bujang, Gadis yang hendak, melangsungkan pemikahan, tak lekang cinta oleh kasta tak putus tali kasih oleh pertunangan, Pendeknya guratan takdir menyemai suasana mahligai sepasang remaja diatas kokohnya Lamban Gedung.

Pesta telah siap digelar. Rakyat negeri itu berduka Cita berdandan diri menghias Lamban dengan Tikhai, Khebung dan berbagai perhiasan pelaminan. Tak luput aneka rupa makanan. Kain putih panjang, dan tujuh buah talam mengisahkan kesetiaan bagi pemeluk adat negeri itu.

Prosesi adat perkawinan memberi warna sejarah bagi kehidupan bujang dan gadis. Suasana haru menyelimuti gemerlapnya pelaminan usai ijab kabul berbagai acara dilalui dari mulai pembacaan kisah oleh seorang Jenang mengganti Subang benang dengan sumbang emas sampai pemberian adok hingga Belanger perberian safaat agar kedua penganten mendapat keselamatan dalam menjalankan bahtera kehidupan.

Diiring suara dendang rebana dan syair albaizanzi mempelai duduk di pelaminan bagai Raja dan Ratu dalam mahkota singgasana agung. Adat istiadat menjadi pijakan rakyat yang hadir turut memberi doa restu bagi kedua mempelai. Pengantin berseri di cumbu haru merajut kisah asmara suka.

Malam dibulan purnama disebutkan Bakha pak belas, suasana pesta diwarnai acara Nyambai mulli mekhanai dengan syair-syair sindiran syair merayu, menari, berpantun ria mengungkap rasa suka bahkan terkadang mengikat janji untuk bertemu. Rakyat negeri Skala Brak sering menyembulnya n'jebus berlangsung hingga fajar tiba.

Usai pesta. Keesokan hari sang istri harus dibawa ke rumah sang lelaki. Kembali upacara adat dilakukan para tokoh adat tuha-tuha khaja para sai bathin berkumpul untuk melepas kepergian pengantin putri. Ngehahedo sang putri berpamitan dengan orang tuanya, sanak family, handai taulan dan kerabat dekat pengantin putri. Air mata tak kuasa membanjiri suasana haru, mereka berbesar rasa mengikhlaskan, kepergian pengantin putri,

"Sambut salam ku naken sambut ya senang hati.
Ki pak mak culuk kanan sambut ya culuk kikhi.
Indahne cumbung siom, nakan ngisik bebukhak jawa.
Nyak luah bingin kelom. Luah mak kusengaja.

Ucap pengantin putri diiringi isak tangis. Dengan kain menutup wajahnya nengisahkan tak kuasa dan berat hati untuk pergi lepas dari keluarga. Namun semua yang hadir memberi semangat kepada pengantin putri agar bisa mandiri bersama suami.

Diluar halaman berpagar bunga dan pepohonan jati. Rindang menjulang, riuh melambai, dedaunan jatuh termakan waktu ranting patah direnggut usia. Para petugas pengantar pengantin, dengan kelompok arak-arakan menghias tandu dan alam gemisik serta alam-alam.

Diatas tandu kedua pengantin duduk. Para abdi mengangkatnya saling berganti. Di garis depan seorang juru pembuka jalan memakai tongkat pengusir bala. Para persilat dengan gerakan menghunus pedang bertarung seakan meredam amarah bencana yang akan tiba dengan tabuh rebana dan kulintang pkhing nyaring, melengking menggemakan lagu dendang.

Rombongan arak-arakan telah jauh meninggalkan rumah pengantin putri. Ia terbayang masa remaja dilalui penuh suka cita, bermain di lereng sawah memetik kopi panen buah jeruk memetik lada dengan teman sebayanya, memadu kasih di bawah pohon randu, mandi di sungai dan mencuci pakaian, menari dan berdendang dan semua bayang masa lalu menumpuk dalam ingatannya.

Sampailah disebuah lereng, bukit kecil begitu semangatnya tetabuhan  rebana dan kulintang, teriak syair riuh menghentak suasana terik. Matahari tepat di ubun ubun membakar siang dan tubuh pengarak. Kedua pengantin masih diam diatas tandu menggandeng bahagia melepas duka.

Tiba-tiba nun tinggi diatas bukit seorang, tua renta petapa tersentak oleh desir suara tetabuhan, sekali dua masih ia pejamkan mata dan ketika suara itu makin dekat tak kuasa ia buka kedua matanya yang merah saga memandang rombongan dari atas bukit sambil teriak "Hoi api guwaian kuti!" suara situa itu nyaris tak di dengar mereka. Laju suara tabuhan makin keras mereka terus berlalu menapaki menapaki jalan-jalan bebatuan melintasi rimbun pepohonan. Situa-makin penasaran berteriak sekerasnya "Hoi sapa kebayan se'no" lagi-lagi teriakan itu tak di dengar mereka ibarat anjing menggonggong kapilah berlalu, arak-arakan pengantin itu makin jauh meninggalkan situa.

Situa petapa kesal hatinya. Ia merasa dilecehkan amarahnya tak tertahan. Semburat kecewa berjejal diubun-ubun. Tak kuasa lagi sumpah serapah keluar dari mulutnya "Khompok cawa, kutti ngehama Khia, Sekali khua dapok nyak sabar, kidang mak guna nyak cawa. Kutti nangon mak ngedok khasa, uba, tilu acak jadi batu gawoh Kutti!" ucap situa. Urat-uratnya melingkar seperti akar, mulutnya lebar menjulurkan api kesumat. Tubuhnya gemetar bermandi keringat wajahnya menatap langit seketika mendung , petir mengelepar, tanah terguncang, hujan turun deras mengguyur rombongan arak-arak pengantin itu kontan saja mereka kocal kacil tunggang, langgang, mereka berteduh disebuah tanah datar yang lapang, ditumbuhi bunga-bunga. Namun hujan pun terus mengejar mereka yang sedang duduk berkumpul dirumunan pengantin.

Tak kuasa menahan nasib. Malang tak bisa dihadang, maut segera merenggut. Umpamanya nasi telah menjadi bubur hujan deras bercampur angin serupa badai menggilas mereka. Dan seketika saja mereka berubah beku menjadi batu dan rombongan itu terkapar seperti altar berjajar membantu. Demi supah serapah situa disebutlah Si Pahit Lidah. Hingga saatnya tempat itu diberi nama Batu Kebayan.


Karya : Hermansyah. GA

PUTRI BUNGSU

Alkisah ada tujuh orang puteri bersaudara putra keturunan bangsawan. Mereka tinggal bersama Bapak dan Ibunya. Sayangnya, mereka memiliki perilaku yang buruk yaitu selalu kelaparan dan tidak puas-puasnya makan. Setiap kali memasak nasi selalu saja tidak cukup.

Hingga pada suatu hari raja dan permaisurinya bersepakat untuk membuang ketujuh puterinya. Tapi rupanya puteri Bungsu sempat mendengar percakapan Bapak dan Ibunya. Pagi harinya selesai menanak nasi berkatalah Bapaknya kepada mereka, "Apa nasi sudah disiapkan? Kita akan mencari Bamban Burung. Bawalah bekal !"

"Kau juga harus membawa air, Bapak ?" kata si Bungsu.

"Tidak usah, nanti akan terasa berat. Kita cari air di hutan saja !". Lalu pergilah mereka melewati hutan. Sementara di rumah Ibunya memukul gong.

Setelah berjalan jauh masuk hutan, bertanyalah Bapaknya, "Apakah gong Ibumu masih terdengar?"

"Ya masih jelas!

Lalu mereka melanjutkan perjalanan kembali. Seorang dari ketujuh puteri itu menemukan bamban burung, lalu berteriaklah puteri itu, "Bapak, bapak, ini bamban burungnya Bapak!"

"Mana?"

"Ini," ujarnya sambil menunjuk dengan girang.

"Jangan, Nak. Itu namanya bamban burung si patah pisau, kalau diambil nanti pisau kita patah!"

Mereka berjalan lagi. Lalu bertemu bamban burung yang lain "Bapak, ini bamban burung!"

"Mana?" 

"Tidak usah, Nak. Itu namanya bamban burung sipatah tangan, tidak usah, kalau diambil tangan kita patah." Mereka berjalan lagi, makin jauh, masuk hutan.

"Apakah gong Ibumu masih terdengar, Nak?"

"Masih, samar-samar," jawab ketujuh puteri itu.

Terus mereka berjalan lagi dan menemukan bamban burung lagi, tapi Bapaknya karena itu bamban burung si patah jari nanti jika diambil jari jemari mereka bisa patah. Maka teruslah mereka berjalan semakin jauh ke dalam hutan.

"Bapak, Bapak ini bamban burung!"

"Di mana?"

"Ini dia! seru mereka.

"Apakah gong Ibumu masih terdengar?"

"Tidak lagi," jawab puteri-puterinya.

"Nah, kalau begitu kita ambil bamban burung ini. Tapi kita makan dulu kalian tentu sudah lapar!"

"Iya, Bapak."

Mereka pun makan dengan lahapnya. Udara hutan yang sejuk membuat mereka menghabiskan makanan itu dengan cepat. Sayangnya air minum tidak ada. Lalu, pergilah Bapaknya mencari air,

"Bapak akan mencari air. Kalian boleh mengambil bamban burung sebanyak mungkin di sini sambil menunggu Bapak!"

"Bapaknya akan mencari air. Kalian boleh mengambil bamban burung sebanyak mungkin di sini sambil menunggu Bapak!"

"Baiklah!" kata ketujuh puteri itu.

Lalu mereka, sibuk mengumpulkan bamban burung. Setelah banyak terkumpul mereka Ikat. Tapi, "Dimana, Bapak, kenapa tidak kembali ke sini?" Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Lalu berteriak-teriak memanggil, "Bapak.....Bapak.....!" Tak ada sahutan. Lalu terdengarlah suara.

"Uuuuu.....uuuu!" suara beruk.

"Mungkin itu suara Bapak," mereka menghampiri asal suara itu.

"O, rupanya kamu bentuk. Apakah engkau tadi bertemu dengan Bapak kami?"

"Tadi Bapakmu berjalan ke arah mana?"

Ketujuh puteri Itu menunjuk sebuah arah.

"Ayo kita cari"

Maka, berjalanlah mereka sambil terus memanggil-manggil "Bapak....Bapak.....!" tak lama kemudian terdengar suara, "tuk.....tuk....tuk,"

"O, itu Bapak. Pasti sedang memotong kayu!"

Tapi setelah didekati ternyata burung Teki. Mereka pun bersama-sama mencari Bapak ketujuh puteri yang sempat dilihat oleh burung Teki.

Hari sudah hampir malam. Mereka belum juga menemukan Bapak ketujuh puteri itu.

"Bagaimana kita ini?" kata puteri Kedua dengan rasa cemas. Lalu mereka menemukan sebuah pohon besar. Ketujuh puteri itu mencoba memanjatnya. Mula-mula puteri Sulung mencoba, tetapi gagal. Dilanjutkan putri kedua juga jatuh terpeleset. Di coba lagi oleh puteri ketiga, gagal lagi. Hingga Bungsu. Iaberhasil sampai di atas dan, "aku melihat asap, pasti ada api, di bawah sana. Berarti pasti ada orang disana.

"Ayo ke sana!"

Puteri Bungsu turun. Mereka berjalan ke arah asal api. Begitu sampai mereka mengintip. Dilihatnya dua ekor harimau besar, jantan dan betina.

"Bagaimana ini?"

"Kita bertujuh tentu akan dimakan harimau itu," kata si Sulung.

"Ayo kita intip saja, mereka sedang mandi"

Ketujuh puteri itu pergi ke hulu sungai sementara kedua harimau itu mandi.

Api sudah menyala besar. Selesai mandi, naiklah kedua harimau itu ke para-para untuk beristirahat sambil menghangatkan diri di atas tungku api. Datanglah ketujuh puteri itu memuruskan tali mendengus terbakar terus mati.

Setelah sepasang harimau itu mati, maka berembuklah ketujuh puteri itu.

"Kita akan bertani di sini. Membuka ladang, berkebun menanam bunga dan pisang!"

Mereka sepakat. Maka sejak keesokan harinya mereka membagi kerja, membuat rumah, ladang dan kebun bunga. Bunga yang mereka tanam berbeda-beda hingga kebun bunga itu menjadi semarak dengan aroma dan warna. Indah sekali. Mereka tinggal di hutan dengan tenteram bertahun-tahun. Hingga pada suatu ketika, mereka melihat katak yang hanyut di hulu sungai. Katak itu mereka ambil dan di bawa pulang.

"Coba saya lihat" kata si Sulung.

"Katak apa ini? Ditubuhnya ada semacam besi yang tajam," begitu matanya. Mendekat untuk memeriksa ia terkena cucuk hingga buta. Lalu dilihatlah oleh puteri kedua. Ia juga mendapat nasib yang serupa. Dilihat oleh yang ketiga, ia pun kena cucuk dan matanya jadi buta. Demikian hingga akhirnya giliran puteri Bungsu. Setelah dilihatnya rupanya katak itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan. Lalu ditegurnya katak itu. "Ba, kebebba, kamulah suami saya!" Maka menjelmalah katak itu menjadi manusia. Kemudian menikahlah Puteri Bungsu dengan pemuda itu. Sedang keenam saudaranya menjadi buta.

Ketika si Bungsu akan melahirkan, suaminya meminta ijin untuk kembali pulang ke rumahnya.

"Pergilah, saya tidak mungkin ikut denganmu. Saya sedang hamil besar. Sayang kalau anak kita lahir di jakan!" maka pergilah suaminya sendirian.

Hingga saat akan melahirkan, si Bungsu pergi ke ruang tebgah, lalu pindah ke ruang depan sambil menahan sakit. Tapi saudaranya selalu mengusirnya.

"Pergilah kamu ke bawah pintu, Bungsu!"

Kata yang nomor dua. Lalu diusir lagi oleh yang nomor empat, "Pergilah ke Kakus!" Sesampainya di kakus Ia diusir lagi, "Jangan melahirkan di sini, pergilah ke dapur!"

Begitu sampai di dapur belum sempat ia bernapas lega diusir lagi oleh yang nomor enam, "Bungsu, pergi kau ke bawah kembang!"

Akhirnya, si Bungsu melahirkan di bawah kembang. Sayangnya suaminya belun juga kembali. Beberapa saat kemudian ada seekor elang datang hendak bertelur. Elang itu meminta ijin kepada puteri Sulung, "Kelik-kelik puteri Sulung, saya permisi mau bertelur dikembangmu itu. Telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, talit saya kelereng" Putri nomor dua menjawab. "Pergi ke tempat puteri yang nomor tiga". Maka pergilah elang itu ke nomor tiga, hingga demikian seterusnya ia terus diusir. Sampailah ia ke puteri bungsu "Kelik-kelik putri bungsu, saya permisi mau bertelur di kembangmu itu." telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, tahi saya kelereng." semua boleh kau ambil "Tentu," jawab si Bungsu, "Saya senang kalau kamu kencing dan berak di sana. Nanti saya periksa" Setelah bertelur, elang itu permisi lagi, "Kelik-kelik puteri Bungsu, saya akan pergi dari kembangmu. "Telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, tahi saya kelereng. Semuanya boleh kau ambil." Setelah elang itu terbang, si Bungsu memeriksa kembangnya. Ternyata benar telur elang itu sebesar gantang, kencingnya jarum dan tahinya kelereng emas.

Keenam saudaranya sangat iri dengan keberuntungan putri Bungsu. Lalu mereka memaksa membuka gantang itu, satu persatu. Dengan pisau, golok dan parang. Tapi gantang itu tak juga terbuka. Mereka mencobanya bersama-sama. Tak juga terbuka. Lalu oleh si Bungsu diambilkannya, sembilu bambab burung untuk menyayat telur elang tadi. Terbelahlah telur itu menjadi dua. Di dalam telur itu ada intan berharga yang membuat mereka menjadi kaya raya.

Begitulah hingga anaknya bertambah besar, suami puteri Bungsu belum juga kunjung pulang. Maka pada suatu masa, ketika anaknya sudah tumbuh menjadi bujang, ia meminta Ijin kepada ibunya untuk mencari Bapaknya. Sementara di kampung yang akan di tuju si bujang tengah berlangsung perlombaan untuk memperebutkan puteri raja yang elok parasnya untuk dipersunting. Karena di dorong oleh rasa penasaran yang kuat anak puteri Bungsu ikut dalam perbandingan itu. Taruhannya nyawa sebab ia tak memiliki apa-apa yang, bisa dijadikannya nyaw sebab ia tak memiliki apa-apa yang, bisa dijadikannya taruhan. Maka, satu per satu peserta yang adalah pangeran dan keturunan bangsawan kalah, hingga tiba giliran anak puteri Bungsu. Anak puteri Bungsu yang berasal dari hutan itu akhirnya bisa mengalahkan musuhnya. Tak ada yang bisa mengalahkannya dia. Sesuai dengan ketentuan ia dinikahkan dengan puteri raja dan menggantikan raja berkuasa.

Pada saat pesta pernikahan dan penobatan kedua mempelai itu diundanglah seluruh raja dan permaisuri dari pelosok negeri. Datang juga di situ ke tujuh putri. Dan saat kebetulan juga menghampiri acara besar itu. Lalu mereka saling berpekukan dengan penuh haru. Tangis mereka mengucur dengan deras. Sementara anak puteri Bungsu menjadi raja, sampai saat ini juga belum pernah bertemu dengan Bapaknya. Sampai ia wafat.


Karya : Isbedy Stiawan ZS

SUKMA HILANG

Sukma masih bersolek di kamar, ketika si Ibu berkali-kali memanggil minta Sukma membantu di dapur. Sukma malah masih asyik bersolek.

Sukma, gadis cantik sedesa itu. Meskipun ia dari keluarga tak mampu. Ibunya tak begitu cantik. Namun, sifat Sukma amat buruk. Ia sombong. Cara bersolek layaknya dari keluarga mampu. Jika berjalan dengan sang Ibu, ia tak pernah bersisian dengan Ibu selalu berada di belakang atau di depan Ibu.

Setiap berpapasan dengan orang lain, dan bertanya siapa perempuan tua bersamanya. Sukma akan menjawab enteng "Dia pembantuku." Terkadang mendengar itu, sang Ibu sangat teriris hatinya. Hati perempuan tua itu luka. Meski begitu, ia tetap tersenyum.

Sukma selalu bermimpi menjadi anak orang kaya. Itulah yang membantu pribadinya buruk. Ia memilih-milih menicari teman. Para bujang yang berani menyapanya, tentu bukan orang sembarang. Pastilah dari keluarga terpandang. Sayangnya tak satu pun keluarga bujang yang menyenangi perilaku Sukma. Itu sebabnya sampai berusia 22 tahun, belum ada tanda-tanda yang hendak meminangnya.

"Kamu cantik Sukma...." puji teman-teman perempuannya setiap berjumpa dengannya.

"Kau seperti putri anak seorang raja...."

Mendengar pujian itu, Sukma makin bangga. Ia kembali bersolek. Ia merasa di desa itu, dialah paling cantik. Sukma lupa bahwa kecantikan hanyalah sementara, namun kecantikan yang lahir dari perilaku terpuji itu akan berbekas sepanjang masa.

Akan tetapi fahamkah Sukma?
Tak. Bahkan Ibunya yang berkali-kali menasehatinya selalu ditampik.

"Ingat Sukma, buruk rupa lebih baik dari pada buruk hati!" suatu kesempatan, entah yang sudah ke berapa nasehat itu diterima Sukma. "Buruk rupa hanya sementara dan tidak akan celaka. "Tetapi kalau buruk hati ia akan tercela sepanjang masa. Orang tak akan suka. Kita akan terkucil. Ingatlah nasihat Ibu, ini nak?"

"Ah Ibu tahu soal itu!" tepis Sukma. Sang Ibu mengurut dada.

"Ibu tak usah ajari aku. Lihat saja nanti, justru dengan wajahku yang cantik ini banyak orang yang suka padaku. Tak akan mungkin ada orang yang membenciku!" Sukma kian sombong.

Sukma adalah anak satu-satunya keluarga itu. Ia ditinggal ayahnya yang wafat saat ia berusia enam bulan. Dulu memang ayahnya terpandang, orang kaya di desa itu. Namun sejak ayahnya meninggal, kekayaannya kian hari habis. Tinggal sang Ibu membanting tulang untuk mencari sesuap nasi. Janda itu bekerja apa saja asalkan halal untuk membesarkan Sukma.

Sukma pun tumbuh menjadi kanak-kanak remaja dan kini tengah menginjak dewasa. Tetapi, tak satupun bujang di desa itu yang berani meminang. Mereka takut gagal kasihnya ditolak Sukma. Sementara Sukma sesungguhnya tengah menanti-nanti pemuda yang meminangnya. Perjaka yang tampan, kaya, dan mesti dari keluarga yang terpandang.

Mungkinkah lelaki ideal seperti itu ada didesanya? Itulah soalnya. Di desa Tataan ini mayoritas keluarga miskin. Tak mungkin mampu meminangnya. Jika tampan cukup banyak.

"Tampan saja tak cukup bisa membahagiakan aku!". Aku kan cantik Ibu, maka suamiku mesti kaya!" kata Sukma ketika ada bujang yang hendak melamarnya. Bujang itu tampan, tapi tak kaya!"

"Sukma.... Sukma..... Ingat, Nak. Ingat. Tuhan sangat membenci orang-orang yang sombong, tak mau mensyukuri nikmat-Nya."

"Ah, Ibu lagi-lagi menasihatiku. Ibu tak pantas menasehatiku!"

"Sukma" sang Ibu berkeras suaranya.

Sukma terdiam. Tetapi matanya nyalang. Memandang tajam ke wajah sang Ibu. Setelah keluar rumah meninggalkan Ibunya yang terpaku. Sukma menuju rumah teman perempuannya di seberang desa. Ia tumpahkan kekesalannya. Ia bertekad untuk tidak pulang lagi.

"Aku malu tinggal di rumah buruk ini. Tak pantas bagikku yang cantik ini, tinggal di rumah bersama Ibu tua yang melarat" kata Sukma.

"Tapi, itu Ibumu.  Sukma. Ibu kandungmu...." kata Rosna, temannya.

"Bukan. Dia pembantu dari Ayahku. Karena Ayahku yang kaya itu meninggal akhirnya aku diasuh oleh perempuan buruk itu," Sukma membela diri.

"Lalu, kalau itu bukan Ibumu, yang mana lagi Ibumu?"

"Ada. Ibuku cantik sepertiku. Dia tinggal di desa setelah gunung itu. Kata perempuan itu, Ibuku lari karena ditinggal mati suaminya. Ia talu menikah lagi dan kini punya anak perempuan, cantiknya seperti aku. Kalau kami disanding bak buah pinang dibelah dua sama rata...." kata Sukma lagi.

"Benarkah itu Sukma?.) Jangan-jangan kau hanya bermimpi.....!"Kau tak percaya? Kau bandingkan sendiri, mana mungkin aku yang secantik ini punya Ibu seburuk rupa itu. Tentunya. Ibuku secantikku. Tiada pohon kelapa berbuah semangka, Mustahil!" Sukma berujar lagi.

"Tak mustahil di dunia ini, Suka, kalau Tuhan berkeinginan!" jawab Rosa. "Ingat Sukma, kau sudah berlebihan. Hatimu sudah rusak. Kau pantasnya mendapat kutukan dari Ibumu yang telah melahirkanmu!" Tuhan pasti marah!!"

"Aku bosan dengan nasihat. Aku lari dari rumahku karena Ibuku sering menasehatiku. Sekarang kau mau menasehatiku lagi! sela Sukms "Kamu iri dengan kecantikanku. Kamu tak mampu secantik aku!". Aku harus pergi ke kampung seberang. Aku akan bawa Ibu dan adikku lalu akan kutunjukkan pada orang sedesa ini bahwa aku tidak berdusta!"
Sukma hendak beranjak, Rosa mencegah.

"Mau ke mana? Kau sedang bermimpi, Sukma. Dibalik gunung itu tidak ada lagi desa, selain belantara. Kau akan mati diracik-racik binatang buas!"

"Bohong!" teriak Sukma "Kau membohongi aku. Katakan saja kalau kau iri padaku, kau tak ingin melihatku bersama Ibuku yang memang cantik. Kau takut tersaingi oleh adikku.....!"

"Ibumu, itu yang yang ada di rumahmu. Kini ia menanti kepulanganmu!" kata Rosna sabar. "Aku tidak pernah iri pada siapapun, juga pada kecantikanmu betapapun aku tidak cantik aku merasa bersyukur, Tuhan masih memberi anggota tubuhku yang sempurna.....!" jawab Rosna.

Kata Rosna lagi. "Kecantikan hanyalah semu, sementara. Yang abadi adalah kecantikan lahir dan perilaku yang baik, dan hati yang bersih. Untuk apa cantik jika hati ini tak bersih. Kecantikan itu tak akan memancar!"

"Cukup aku muak nasihatmu, Rosna. Aku permisi pergi jangan sebut aku temanmu lagi. Aku akan ke kampung sebelah gunung itu. Aku ingin hidup bersama Ibuku. Di sana aku akan bahagia. Tetangga-tetangga yang kaya, para bujang yang tampan. Tidak seperti disini, aku bosan hidup seperti ini!"

Sukma kemudian meninggalkan rumah temannya itu. Ia tak pamit lagi pada sang Ibu. Tak berbekal apa pun Ia menuju gunung yang dari jauh hanya tampak kabut putih. Ia tembus pematang, padang, belantara. Tubuhnya makin mengecil dalam pandangan Rosna. Sekejap kemudian, lenyap di telan belantara yang lebat.

Rosna menceritakan kejadian itu pada Ibu Sukma. Perempuan tua nan miskin itu tak bisa berbuat apa-apa. Hatinya telah benar-benar luka. Di dalam hati ia mengutuki anaknya, namun pada bagian hatinya yang lain Ia berdoa demi keselamatan anaknya. Ia berharap Tuhan akan membalikkan hati Sukma, balik ke rumah lagi.

Harapan itu sia-sia. Doa perempuan itu belum dikabulkan Tuhan, atau mungkin sengaja untuk memberi pelajaran kepada perempuan-perempuan berparas cantik lain jangan sombong.

Suka lenyap sampai kegunung itu. Tubuhmu lenyap, sukmanya hilang. Orang-orang sedesa terus menerus memanggil namanya. Ibunya begitu pula. Bahkan menangis sejadinya. Sedih. Duka. Menyesal.....

"Sukma......"

"Sukma......"

"Sukma hilanggggg....."

Berhari-hari orang-orang mencari. Para bujang tak lelah berharap bisa Sukma, dengan harapan jika berjumpa bisa menjadikan istrinya.

Tetapi, sudah berbulan-bulan Sukma tak dijumpai. Alkisah, sesungguhnya desa disebelah gunung itu tiada. Belantara yang terbentang. Sukma lenyap bersama kabut putih yang menyedot tubuhnya.

Sejak itu, gunung sebelah barat dari kota Bandar Lampung itu, disebut Gunung Sukma Hilang. Konon, jika perempuan sombong berani menaiki gunung itu akan lenyap.


Karya : Isbedy Setiawan ZS

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK