Menjelang Senja suatu hari. Mulli menkanai mengikat janji untuk melakukan hidup yang layak sebagai sepasang suami istri. Tekadnya satu mengarungi bahtera kehidupan Rumah tangga. Kedua orang tua mereka sepakat untuk mengadakan pesta adat 'Nyambai Agung"
Sanak Family handai taulan tokoh adat dari empat kebuaian berkumpul dilamban gedung bersepakat memberi Adok bagi kedua Bujang, Gadis yang hendak, melangsungkan pemikahan, tak lekang cinta oleh kasta tak putus tali kasih oleh pertunangan, Pendeknya guratan takdir menyemai suasana mahligai sepasang remaja diatas kokohnya Lamban Gedung.
Pesta telah siap digelar. Rakyat negeri itu berduka Cita berdandan diri menghias Lamban dengan Tikhai, Khebung dan berbagai perhiasan pelaminan. Tak luput aneka rupa makanan. Kain putih panjang, dan tujuh buah talam mengisahkan kesetiaan bagi pemeluk adat negeri itu.
Prosesi adat perkawinan memberi warna sejarah bagi kehidupan bujang dan gadis. Suasana haru menyelimuti gemerlapnya pelaminan usai ijab kabul berbagai acara dilalui dari mulai pembacaan kisah oleh seorang Jenang mengganti Subang benang dengan sumbang emas sampai pemberian adok hingga Belanger perberian safaat agar kedua penganten mendapat keselamatan dalam menjalankan bahtera kehidupan.
Diiring suara dendang rebana dan syair albaizanzi mempelai duduk di pelaminan bagai Raja dan Ratu dalam mahkota singgasana agung. Adat istiadat menjadi pijakan rakyat yang hadir turut memberi doa restu bagi kedua mempelai. Pengantin berseri di cumbu haru merajut kisah asmara suka.
Malam dibulan purnama disebutkan Bakha pak belas, suasana pesta diwarnai acara Nyambai mulli mekhanai dengan syair-syair sindiran syair merayu, menari, berpantun ria mengungkap rasa suka bahkan terkadang mengikat janji untuk bertemu. Rakyat negeri Skala Brak sering menyembulnya n'jebus berlangsung hingga fajar tiba.
Usai pesta. Keesokan hari sang istri harus dibawa ke rumah sang lelaki. Kembali upacara adat dilakukan para tokoh adat tuha-tuha khaja para sai bathin berkumpul untuk melepas kepergian pengantin putri. Ngehahedo sang putri berpamitan dengan orang tuanya, sanak family, handai taulan dan kerabat dekat pengantin putri. Air mata tak kuasa membanjiri suasana haru, mereka berbesar rasa mengikhlaskan, kepergian pengantin putri,
"Sambut salam ku naken sambut ya senang hati.
Ki pak mak culuk kanan sambut ya culuk kikhi.
Indahne cumbung siom, nakan ngisik bebukhak jawa.
Nyak luah bingin kelom. Luah mak kusengaja.
Ucap pengantin putri diiringi isak tangis. Dengan kain menutup wajahnya nengisahkan tak kuasa dan berat hati untuk pergi lepas dari keluarga. Namun semua yang hadir memberi semangat kepada pengantin putri agar bisa mandiri bersama suami.
Diluar halaman berpagar bunga dan pepohonan jati. Rindang menjulang, riuh melambai, dedaunan jatuh termakan waktu ranting patah direnggut usia. Para petugas pengantar pengantin, dengan kelompok arak-arakan menghias tandu dan alam gemisik serta alam-alam.
Diatas tandu kedua pengantin duduk. Para abdi mengangkatnya saling berganti. Di garis depan seorang juru pembuka jalan memakai tongkat pengusir bala. Para persilat dengan gerakan menghunus pedang bertarung seakan meredam amarah bencana yang akan tiba dengan tabuh rebana dan kulintang pkhing nyaring, melengking menggemakan lagu dendang.
Rombongan arak-arakan telah jauh meninggalkan rumah pengantin putri. Ia terbayang masa remaja dilalui penuh suka cita, bermain di lereng sawah memetik kopi panen buah jeruk memetik lada dengan teman sebayanya, memadu kasih di bawah pohon randu, mandi di sungai dan mencuci pakaian, menari dan berdendang dan semua bayang masa lalu menumpuk dalam ingatannya.
Sampailah disebuah lereng, bukit kecil begitu semangatnya tetabuhan rebana dan kulintang, teriak syair riuh menghentak suasana terik. Matahari tepat di ubun ubun membakar siang dan tubuh pengarak. Kedua pengantin masih diam diatas tandu menggandeng bahagia melepas duka.
Tiba-tiba nun tinggi diatas bukit seorang, tua renta petapa tersentak oleh desir suara tetabuhan, sekali dua masih ia pejamkan mata dan ketika suara itu makin dekat tak kuasa ia buka kedua matanya yang merah saga memandang rombongan dari atas bukit sambil teriak "Hoi api guwaian kuti!" suara situa itu nyaris tak di dengar mereka. Laju suara tabuhan makin keras mereka terus berlalu menapaki menapaki jalan-jalan bebatuan melintasi rimbun pepohonan. Situa-makin penasaran berteriak sekerasnya "Hoi sapa kebayan se'no" lagi-lagi teriakan itu tak di dengar mereka ibarat anjing menggonggong kapilah berlalu, arak-arakan pengantin itu makin jauh meninggalkan situa.
Situa petapa kesal hatinya. Ia merasa dilecehkan amarahnya tak tertahan. Semburat kecewa berjejal diubun-ubun. Tak kuasa lagi sumpah serapah keluar dari mulutnya "Khompok cawa, kutti ngehama Khia, Sekali khua dapok nyak sabar, kidang mak guna nyak cawa. Kutti nangon mak ngedok khasa, uba, tilu acak jadi batu gawoh Kutti!" ucap situa. Urat-uratnya melingkar seperti akar, mulutnya lebar menjulurkan api kesumat. Tubuhnya gemetar bermandi keringat wajahnya menatap langit seketika mendung , petir mengelepar, tanah terguncang, hujan turun deras mengguyur rombongan arak-arak pengantin itu kontan saja mereka kocal kacil tunggang, langgang, mereka berteduh disebuah tanah datar yang lapang, ditumbuhi bunga-bunga. Namun hujan pun terus mengejar mereka yang sedang duduk berkumpul dirumunan pengantin.
Tak kuasa menahan nasib. Malang tak bisa dihadang, maut segera merenggut. Umpamanya nasi telah menjadi bubur hujan deras bercampur angin serupa badai menggilas mereka. Dan seketika saja mereka berubah beku menjadi batu dan rombongan itu terkapar seperti altar berjajar membantu. Demi supah serapah situa disebutlah Si Pahit Lidah. Hingga saatnya tempat itu diberi nama Batu Kebayan.
Karya : Hermansyah. GA
No comments:
Post a Comment