Melasa Kepampang merupakan pohon yang aneh. Pohon ini bercabang dua. Cabang yang satu terdiri dari pohon nangka. Sedangkan cabang lainnya, merupakan pohon durian. Keanehan lainnya kebawah. Getahnya sangat beracun. Dan bila terkena getah dari cabang pohon nangka, maka hanya bisa disembuhkan dengan getah dari cabang pohon durian. Begitu sebaliknya.
Setiap kali bulan purnama tiba, suku Tumi melakukan upacara di bawah pohon Melasa Kepampang. Upacara ini dinamakan upacara Bulan Bakha. Mereka mempersembahkan korban 7 kepala manusia. Mereka bernyanyi dan menari sambil meletakkan sesaji. Kemudian mereka membacakan mantera-mantera.
Suku Tumi beranggapan dengan memberikan tumbal kepala manusia, maka kehidupan mereka akan terlepas dari mara bahaya Tanaman mereka menjadi subur. Dan panenan mereka berkimpah ruah.
Kebiasaan suku Tumi ini meresahkan suku-suku lainnya yang tinggal tidaj berjauhan dari mereka. Karena banyak sudah orang-orang dari suku-suku lainnya yang menjadi korban. Namun untuk melawan suku Tumi, mereka tidak berani. Sebab suku Tumi terkenal sakti. Pernah sekali waktu beberapa suku bersatu menyerang, tapi dengan mudah mereka dikalahkan. Maka sejak saat itu banyak suku-suku yang pergi meninggalkan daerahnya. Mereka menghindari kebiadaban suku Tumi.
Peristiwa ini lama kelamaan sampai ke daerah Bukit Pesagi. Di daerah ini tinggal 4 orang empu. Masing-masing bernama Empu Cangih bergelar Ratu Di Puncak, karena tinggal dibagian puncak bukit; Empu Rakihan bergelar Ratu Di Balalau, dan tinggal dibagian tengkuk bukit; Empu Serunting bergelar Ratu Di Pugung, karena tinggal dibagian punggung bukit Empu Aji Saka bergelar Ratu Di Pemanggilan dan tinggal di bagian bawah bukit.
Keempat orang empu kemudian berunding dan sepakat mengirimkan utusan untuk menaklukkan suku Tumi. Tugas ini dipercayakan kepada 7 orang. Mereka dipimpin oleh Poyang Kuasa, dengan anggotanya Poyang Mekuda, Poyang Mapuga, Poyang Nyurang, Sang Pulagai, Sang Balik Kuang serta Sang Gariha. Berangkatlah ketujuh utusan menuju perkampungan suku Tumi.
Berhari-hari mereka berjalan tak kenal lelah. Pada hari ketujuh sampailah mereka di daerah suku Tumi. Tanpa membuang-buang waktu mereka menemui Ratu Skar Mong.
"Wahai, Ratu Skar Mong, salam hormat untukmu. Kami adalah utusan para Punyimbang Bukit Pesagi. Kami datang dengan damai. Maka terimalah maksud kedatangan kami dengan damai pula" ucap Poyang Kuasa membuka kata.
"Hihihi...., kami suku Tumi tidak suka basa-basi. Katakan saja apa yang kalian inginkan" jawab Ratu Skar Mong.
"Ratu Skar Mong. Kekejaman suku Tumi mengorbankan manusia setiap bulan purnama telah menggemparkan seluruh warga Skala Brak. Masyarakat resah, mereka merasa kehidupannya tidak aman. Setiap saat dihantui permusuhan dan pembunuhan oleh suku Tumi. Oleh karena itu agar kita bersama dapat hidup berdampingan penuh persaudaraan; saling hormat menghormati, bergotong royong, saling memberi dan menerima, kami minta kalian menghentikan kebiasaan buruk, mengorbankan manusia dalam upacara Bulan Bakha. Kami harap......"
Belum selesai Poyang Kuasa berbicara, Ratu Skar Mong menukasnya.
"Hihihi....., utusan jelek! suku Tumi tidak suka diatur-atur. Urus saja kehidupan kalian sendiri. Cepat balik badan. Pulang ketempat kalian, atau kalian menjadi bangkai"
"Kami adalah utusan yang menjunjung tinggi pi'il pesenggiri. Lebih baik kami mati bersimbah darah dari pada mengkhianati kepercayaan yang kami terima sahut Poyang Kuasa dengan tenang. "Hihihi....., dasar bodoh! Kalian akan jadi tumbal upacara Bulan Bakha. Hiatttt!"
Sehabis berkata begitu Ratu Skar Mong menyerang Poyang Kuasa. Maka terjadi perkelahian diantara mereka. Sementara ke enam utusan lainnya berhapan dengan rakyat suku Tumi. Betapa dasyat pertempuran yang terjadi. Masing-masing, mengeluarkan kesaktiannya. Pada hari pertama hingga hari kelima, belum terlihat tanda-tanda siapa yang bakal kalah atau menang. Namun menjelang hari ke tujuh Ratu Skar Mong dan Poyang Kuasa mengeluarkan ilmu pamungkas. Terjadilah angin panas menyengat. Udara kering seketika. Pohon-pohon menguning. Rumputan terbakar. Dan kulit rakyat Tumi menghitam serta mengelupas seperti terbakar api. Tiba-tiba Ratu Skar Mong menjerit dengan histeris. Tubuhnya terjengkang ke belakang dengan mulut dan hidung berlumuran darah. Demikian juga rakyatnya. Sedangkan ke tujuh utusan dari Bukit Pesagi masih tampak tegak berdiri.
"Nah, Ratu Skar Mong! Kau terbukti kalah. Maka kalian menjadi tawanan kami, tapi kalian akan kami perlakukan dengan baik, demikian pula rakyatimu" tutur Poyang kuasa. Ratu Skar Mong hanya dapat meringis menahan rasa sakit.
"Kau akan kami bawa menghadap para Empu di Bukit Pesagi. Tapi sebelum itu kami akan menebang pohon Melasa Kepampang. Sebab itulah pesan para empu"
Lalu ke tujuh utusan itu menebang pohon Melara Kepampang bersama Ratu Skar Mong mereka ingin membawa batang pohon itu ke Bukit Pesagi, oleh para Empu batang pohon Melasa Kepampang itu kemudian di buat kursi yang memiliki sandaran. Bentuknya bulat setinggi lutut. Benda itu lantas di sebut "Pepadun" yang berasal dari kata "Pepadun" Dan dijadikan simbol kesatuan dan persatuan empat paksi di Bukit Pesagi.
Karya : Syaiful Irba Tanpaka
No comments:
Post a Comment