Hingga pada suatu hari raja dan permaisurinya bersepakat untuk membuang ketujuh puterinya. Tapi rupanya puteri Bungsu sempat mendengar percakapan Bapak dan Ibunya. Pagi harinya selesai menanak nasi berkatalah Bapaknya kepada mereka, "Apa nasi sudah disiapkan? Kita akan mencari Bamban Burung. Bawalah bekal !"
"Kau juga harus membawa air, Bapak ?" kata si Bungsu.
"Tidak usah, nanti akan terasa berat. Kita cari air di hutan saja !". Lalu pergilah mereka melewati hutan. Sementara di rumah Ibunya memukul gong.
Setelah berjalan jauh masuk hutan, bertanyalah Bapaknya, "Apakah gong Ibumu masih terdengar?"
"Ya masih jelas!
Lalu mereka melanjutkan perjalanan kembali. Seorang dari ketujuh puteri itu menemukan bamban burung, lalu berteriaklah puteri itu, "Bapak, bapak, ini bamban burungnya Bapak!"
"Mana?"
"Ini," ujarnya sambil menunjuk dengan girang.
"Jangan, Nak. Itu namanya bamban burung si patah pisau, kalau diambil nanti pisau kita patah!"
Mereka berjalan lagi. Lalu bertemu bamban burung yang lain "Bapak, ini bamban burung!"
"Mana?"
"Tidak usah, Nak. Itu namanya bamban burung sipatah tangan, tidak usah, kalau diambil tangan kita patah." Mereka berjalan lagi, makin jauh, masuk hutan.
"Apakah gong Ibumu masih terdengar, Nak?"
"Masih, samar-samar," jawab ketujuh puteri itu.
Terus mereka berjalan lagi dan menemukan bamban burung lagi, tapi Bapaknya karena itu bamban burung si patah jari nanti jika diambil jari jemari mereka bisa patah. Maka teruslah mereka berjalan semakin jauh ke dalam hutan.
"Bapak, Bapak ini bamban burung!"
"Di mana?"
"Ini dia! seru mereka.
"Apakah gong Ibumu masih terdengar?"
"Tidak lagi," jawab puteri-puterinya.
"Nah, kalau begitu kita ambil bamban burung ini. Tapi kita makan dulu kalian tentu sudah lapar!"
"Iya, Bapak."
Mereka pun makan dengan lahapnya. Udara hutan yang sejuk membuat mereka menghabiskan makanan itu dengan cepat. Sayangnya air minum tidak ada. Lalu, pergilah Bapaknya mencari air,
"Bapak akan mencari air. Kalian boleh mengambil bamban burung sebanyak mungkin di sini sambil menunggu Bapak!"
"Bapaknya akan mencari air. Kalian boleh mengambil bamban burung sebanyak mungkin di sini sambil menunggu Bapak!"
"Baiklah!" kata ketujuh puteri itu.
Lalu mereka, sibuk mengumpulkan bamban burung. Setelah banyak terkumpul mereka Ikat. Tapi, "Dimana, Bapak, kenapa tidak kembali ke sini?" Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Lalu berteriak-teriak memanggil, "Bapak.....Bapak.....!" Tak ada sahutan. Lalu terdengarlah suara.
"Uuuuu.....uuuu!" suara beruk.
"Mungkin itu suara Bapak," mereka menghampiri asal suara itu.
"O, rupanya kamu bentuk. Apakah engkau tadi bertemu dengan Bapak kami?"
"Tadi Bapakmu berjalan ke arah mana?"
Ketujuh puteri Itu menunjuk sebuah arah.
"Ayo kita cari"
Maka, berjalanlah mereka sambil terus memanggil-manggil "Bapak....Bapak.....!" tak lama kemudian terdengar suara, "tuk.....tuk....tuk,"
"O, itu Bapak. Pasti sedang memotong kayu!"
Tapi setelah didekati ternyata burung Teki. Mereka pun bersama-sama mencari Bapak ketujuh puteri yang sempat dilihat oleh burung Teki.
Hari sudah hampir malam. Mereka belum juga menemukan Bapak ketujuh puteri itu.
"Bagaimana kita ini?" kata puteri Kedua dengan rasa cemas. Lalu mereka menemukan sebuah pohon besar. Ketujuh puteri itu mencoba memanjatnya. Mula-mula puteri Sulung mencoba, tetapi gagal. Dilanjutkan putri kedua juga jatuh terpeleset. Di coba lagi oleh puteri ketiga, gagal lagi. Hingga Bungsu. Iaberhasil sampai di atas dan, "aku melihat asap, pasti ada api, di bawah sana. Berarti pasti ada orang disana.
"Ayo ke sana!"
Puteri Bungsu turun. Mereka berjalan ke arah asal api. Begitu sampai mereka mengintip. Dilihatnya dua ekor harimau besar, jantan dan betina.
"Bagaimana ini?"
"Kita bertujuh tentu akan dimakan harimau itu," kata si Sulung.
"Ayo kita intip saja, mereka sedang mandi"
Ketujuh puteri itu pergi ke hulu sungai sementara kedua harimau itu mandi.
Api sudah menyala besar. Selesai mandi, naiklah kedua harimau itu ke para-para untuk beristirahat sambil menghangatkan diri di atas tungku api. Datanglah ketujuh puteri itu memuruskan tali mendengus terbakar terus mati.
Setelah sepasang harimau itu mati, maka berembuklah ketujuh puteri itu.
"Kita akan bertani di sini. Membuka ladang, berkebun menanam bunga dan pisang!"
Mereka sepakat. Maka sejak keesokan harinya mereka membagi kerja, membuat rumah, ladang dan kebun bunga. Bunga yang mereka tanam berbeda-beda hingga kebun bunga itu menjadi semarak dengan aroma dan warna. Indah sekali. Mereka tinggal di hutan dengan tenteram bertahun-tahun. Hingga pada suatu ketika, mereka melihat katak yang hanyut di hulu sungai. Katak itu mereka ambil dan di bawa pulang.
"Coba saya lihat" kata si Sulung.
"Katak apa ini? Ditubuhnya ada semacam besi yang tajam," begitu matanya. Mendekat untuk memeriksa ia terkena cucuk hingga buta. Lalu dilihatlah oleh puteri kedua. Ia juga mendapat nasib yang serupa. Dilihat oleh yang ketiga, ia pun kena cucuk dan matanya jadi buta. Demikian hingga akhirnya giliran puteri Bungsu. Setelah dilihatnya rupanya katak itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan. Lalu ditegurnya katak itu. "Ba, kebebba, kamulah suami saya!" Maka menjelmalah katak itu menjadi manusia. Kemudian menikahlah Puteri Bungsu dengan pemuda itu. Sedang keenam saudaranya menjadi buta.
Ketika si Bungsu akan melahirkan, suaminya meminta ijin untuk kembali pulang ke rumahnya.
"Pergilah, saya tidak mungkin ikut denganmu. Saya sedang hamil besar. Sayang kalau anak kita lahir di jakan!" maka pergilah suaminya sendirian.
Hingga saat akan melahirkan, si Bungsu pergi ke ruang tebgah, lalu pindah ke ruang depan sambil menahan sakit. Tapi saudaranya selalu mengusirnya.
"Pergilah kamu ke bawah pintu, Bungsu!"
Kata yang nomor dua. Lalu diusir lagi oleh yang nomor empat, "Pergilah ke Kakus!" Sesampainya di kakus Ia diusir lagi, "Jangan melahirkan di sini, pergilah ke dapur!"
Begitu sampai di dapur belum sempat ia bernapas lega diusir lagi oleh yang nomor enam, "Bungsu, pergi kau ke bawah kembang!"
Akhirnya, si Bungsu melahirkan di bawah kembang. Sayangnya suaminya belun juga kembali. Beberapa saat kemudian ada seekor elang datang hendak bertelur. Elang itu meminta ijin kepada puteri Sulung, "Kelik-kelik puteri Sulung, saya permisi mau bertelur dikembangmu itu. Telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, talit saya kelereng" Putri nomor dua menjawab. "Pergi ke tempat puteri yang nomor tiga". Maka pergilah elang itu ke nomor tiga, hingga demikian seterusnya ia terus diusir. Sampailah ia ke puteri bungsu "Kelik-kelik putri bungsu, saya permisi mau bertelur di kembangmu itu." telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, tahi saya kelereng." semua boleh kau ambil "Tentu," jawab si Bungsu, "Saya senang kalau kamu kencing dan berak di sana. Nanti saya periksa" Setelah bertelur, elang itu permisi lagi, "Kelik-kelik puteri Bungsu, saya akan pergi dari kembangmu. "Telur saya sebesar gantang, kencing saya jarum, tahi saya kelereng. Semuanya boleh kau ambil." Setelah elang itu terbang, si Bungsu memeriksa kembangnya. Ternyata benar telur elang itu sebesar gantang, kencingnya jarum dan tahinya kelereng emas.
Keenam saudaranya sangat iri dengan keberuntungan putri Bungsu. Lalu mereka memaksa membuka gantang itu, satu persatu. Dengan pisau, golok dan parang. Tapi gantang itu tak juga terbuka. Mereka mencobanya bersama-sama. Tak juga terbuka. Lalu oleh si Bungsu diambilkannya, sembilu bambab burung untuk menyayat telur elang tadi. Terbelahlah telur itu menjadi dua. Di dalam telur itu ada intan berharga yang membuat mereka menjadi kaya raya.
Begitulah hingga anaknya bertambah besar, suami puteri Bungsu belum juga kunjung pulang. Maka pada suatu masa, ketika anaknya sudah tumbuh menjadi bujang, ia meminta Ijin kepada ibunya untuk mencari Bapaknya. Sementara di kampung yang akan di tuju si bujang tengah berlangsung perlombaan untuk memperebutkan puteri raja yang elok parasnya untuk dipersunting. Karena di dorong oleh rasa penasaran yang kuat anak puteri Bungsu ikut dalam perbandingan itu. Taruhannya nyawa sebab ia tak memiliki apa-apa yang, bisa dijadikannya nyaw sebab ia tak memiliki apa-apa yang, bisa dijadikannya taruhan. Maka, satu per satu peserta yang adalah pangeran dan keturunan bangsawan kalah, hingga tiba giliran anak puteri Bungsu. Anak puteri Bungsu yang berasal dari hutan itu akhirnya bisa mengalahkan musuhnya. Tak ada yang bisa mengalahkannya dia. Sesuai dengan ketentuan ia dinikahkan dengan puteri raja dan menggantikan raja berkuasa.
Pada saat pesta pernikahan dan penobatan kedua mempelai itu diundanglah seluruh raja dan permaisuri dari pelosok negeri. Datang juga di situ ke tujuh putri. Dan saat kebetulan juga menghampiri acara besar itu. Lalu mereka saling berpekukan dengan penuh haru. Tangis mereka mengucur dengan deras. Sementara anak puteri Bungsu menjadi raja, sampai saat ini juga belum pernah bertemu dengan Bapaknya. Sampai ia wafat.
Karya : Isbedy Stiawan ZS
No comments:
Post a Comment