CAMPUR ADUK

Thursday, December 27, 2018

PUTRI LORO JONGGRANG DAN BANDUNG BONDOWOSO

Pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa terutama di daerah Prambanan, berdiri dua buah kerjaan yaitu Kerajaan Pengging dari Keraton Boko. Kerajaan Pengging adalah kerajaan subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo. Ia mempunyai seorang putra laki-laki yang bernama Raden Bandung Bondwowoso. Sedangkan keraton Boko berada pada wilayah kekuasaan kerajaan Pengging. Keraton Boko dipimpin oleh seorang raja yang kejam berwujud raksasa yang suka makan daging manusia. Raja itu bernama Prabu Boko. Prabu boko meskipun berwujud raksasa, ia mempunyai putri cantik yang bernama Loro Jonggrang.

Prabu boko mempunyai patih bernama Patih Gupolo, Bersama patih Gupolo dan para pemuda yang dikumpulkannya menjadi prajurit, ia ingin memberontak Kerajaan Pengging. Setelah persiapan sudah dirasa cukup Prabu Boko memberontak ke Kerajaan Pengging.

Dalam pertempuran itu banyak berjauhan  korban di kedua belah pihak. Rakyat Pengging menjadi menderita, banyak rakyat kelaparan dan miskin.

Mengetahui rakyatnya menderita dan sudah banyak korban prajurit yang meninggal. Prabu Damar Moyo Raja Pengging mengutus anaknya Raden Bandung Bondowoso yang sakiti untuk maju ke medan peperangan. Akhirnya Prabu Boko dapat dikalahkan oleh Raden Bandung Bondowoso. Melihat rajanya tewas. Patih Gupolo lari ke Keraton Boko. Namun Bandung Bondowoso tetap mengejarnya sampai ke Keraton Boko.

Setelah sampai di Keraton Boko, Raden Bandung Bondowoso melihat Putri yang sangat cantik yaitu Loro Jonggrang putri Prabu Boko yang telah tewas. Bandung Bondowoso ingin mempersunting Loro Jonggrang. "Hari Loro Jonggrang, maukah Engkau aku persunting?" Loro jonggrang diam. Loro Jonggrang tidak mau diperistri karena tahu kalau Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya. Untuk menolak pinangan Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya. Untuk menolak pinangan Bandung Bondowoso, Loro Jonggrang mempunyai siasat "Hai Raden Bandung, aku mau Kau peristri asalkan kamu memenuhi permintaan saya." "Aku sanggup, apa permintaanmu?" tegas Raden Bandung Bondowoso. "Aku minta dua permintaan, pertama buatkan sumur, dan yang kedua aku minta dibuatkan 1000 candi dalam satu malam, dan harus selesai sebelum fajar menyingsing."

Raden Bandung Bondowoso menyanggupi, dan ia mulai membuat sumur Jala Tunda. Setelah Bandung Bondowoso membuat sumur sampai ke dalam. Loro jonggrang memerintahkan Patih Gupolo untuk menimbun dari atas. Mereka menganggap Bandung Bondowoso telah meninggal, akan terapi Bandung Bondowoso masih hidup dan bertapa di dalam sumur untuk bisa keluar. Ternyata Bandung Bondowoso bisa keluar dari dalam sumur.

Ia sangat marah kepada Loro Jonggrang. Tetapi karena melihat kecantikan Loro Jonggrang, Bandung Bondowoso tidak jadi marah. Kemudian Loro Jonggrang menagih janji untuk dibuatkan 1000 candi dalam satu malam.

Pada suatu malam Bandung Bondowoso mulai membuat 1000 candi. Ia memerintahkan jin-jin untuk membuat candi dalam satu malam. Akan tetapi Loro Jonggrang mempunyai siasat buruk, yaitu memerintahkan para gadis di sekitar Prambanan untuk menumbuk padi dan membakar jerami sebelum terdiri fajar, serta membangunkan ayam supaya berkokok.

Mendengar ayam berkokok dan mendengar orang menumbuk padi,  serta melihat sekitar sudah terang, para jin berhenti membuat candi yang kurang satu karena mengira pagi sudah tiba. Menurut firasat Raden Bandung Bondowoso pagi belum tiba.

Bandung Bondowoso memanggil Loro Jonggrang untuk menghitung candi. Setelah dihitung ternyata jumlahnya 999 candi, berarti masih kurang satu. Putri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting oleh Bandung Bondowoso. Karena merasa ditipu dan dipermainkan, maka Raden Bandung Bondowoso menjadi murka dan mengutuk putri. Roro Jonggrang "Hai Loro Jonggrang, candi kurang satu dan genapnya seribu Engkaulah orangnya!" Aneh bin ajaib, Putri Roro Jonggrang berubah wujud menjadi patung/batu. Raden Bandung Bondowoso juga mengutuk para gadis di sekitar Prambanan menjadi perawan tua, karena telah membantu Loro Jonggrang.

SI PAHIT LIDAH

Dahulu kala Ada seorang anak muda yang bernama Pagar Bumi. Ia mempunyai  enam saudara yang telah mengembara jauh tak tentu rimbanya.

Pada suatu hari ahli ramal dari kerajaan bertemu dengan Pagar Bumi. Selintas pandang ia sudah dapat menerka bahwa kelak Pagar Bumi akan menjadi seorang tokoh sakti, namun kesaktiannya itu akan membahayakan kerjaan. Maka pada hari itu juga Pagar Bumi dan kedua orang tuanya diperintah untuk menghadap ke istana kerajaan. Di sana Pagar Bumi mendapat titah raja, bahwa dia harus meninggalkan wilayah kerajaan Jawa, dia harus diasingkan ke Pulau Sumatera. Ibunya menangis tersedu-sedu.

Maka hari itu juga diiringi derai air mata kedua orang tuanya, Pagar Bumi meninggalkan kampung halaman. Ia berjalan ke arah barat selama beberapa hari.

Pada suatu hari ia sampai di sebuah desa yang termasuk wilayah kerajaan yang diperintah seorang ratu wanita sakti yang mempunyai ilmu gaib.

Di desa itu ia berkenalan dengan seorang pemuda sebaya dengannya. Mereka mendengar sang ratu memberi kesempatan  kepada siapa saja untuk belajar ilmu kesaktian kepadanya. Maka kedua sahabat itu pun pergi menghadap sang ratu untuk menuntut ilmu.

Kebetulan yang mendapat giliran pertama adalah temannya. Pagar Bumi menunggu giliran di pendopo ruang tunggu. Karena menunggu terlalu lama Pagar Bumi akhirnya tertidur lelap di pendopo. Hingga temannya selesai ia masih tertidur. Padahal namanya sudah dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang ratu. Celakanya si teman ini tidak membangunkannya, ia terus saja pulang meninggalkan Pagar Bumi.

Sang Ratu pun akhirnya tak sabar, ia segera menghampiri Pagar Bumi. Ia mencoba pula membangunkan Pagar Bumi, namun tindakannya sia-sia. Lalu sang Ratu kembali ke ruang dalam. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa secangkir air putih yang telah diberi mantra dan reramuan yang menjadikan seseorang sakti. Air tersebut dituangkan sang Ratu ke dalam mulut Pagar Bumi Pemuda itu pun sadarkan diri terbangun dari tidurnya.

Ia terkejut mendapat dirinya berada di hadapan sang Ratu dan para hulu balangnya yang berwajah angker. Tetapi di mana temannya telah lama pergi ketika ia masih tertidur lelap. Menyadari hal itu Pagar Bumi merasa malu dan kemudian segera berpamit ke luar istana, ia telah lupa pada niatnya semula ia ingin berguru kepada sang Ratu. Pagar Bumi terus berjalan ke arah barat hingga di tepi pantai Ujung Kelon.

Pagar Bumi berniat menyeberangi selat Sunda. Kebetulan ada perahu dagang hendak menyeberang. Ia ikut menumpang di atas perahu Sekunar itu. Maka sampailah ia di pulau Sumatera. Ia terus berkelana ke pedalaman. Pada suatu hari ia sampai di sebuah dusun di daerah Sumatera Selatan. Karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon rindang berbantalkan tunggul kayu besar yang telah mati. Sungguh aneh, walau tempatnya beristirahat itu tidak jauh keramain, namun tidak seorang pun yang memperhatikan dirinya. Penduduk desa itu seperti tidak melihat kehadiran seorang asing di daerahnya. Berhari-hari Pagar Bumi menyaksikan kegiatan penduduk sambil bersandar di tunggul kayu besar. Selama itu pula ia tidak diperhatikan oleh para penduduk.

"Mereka itu sombang semua atau tidak bisa melihatku?" pikir Pagar Bumi suatu ketika.

Pada suatu hari ada kegiatan yang luar biasa ramainya. Lalu lalang penduduk sangat ramai di sekitar tempat itu. Pagar Bumi penasaran, ada apa gerangan? Ia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak kaget, tunggul kayu yang dijadikan bantalnya dan sandaran telah berubah menjadi batu. Ia tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Lalu ia ikut berjalan ke mana orang-orang itu berbondong-bondong pergi. Ternyata ia pergi ke sebuah bukit yang menjulang tinggi yang disebut Bukit Persegi. Di puncak itu terdapat pohon beringin besar yang di salah satu tangkainya betengger seekor burung berbulu teramat indah.

Anehnya pohon beringin itu bisa mengeluarkan aneka suara bunyi-bunyian seperti layaknya sebuah pertunjukkan orkestra. Sementara sang burung mampu menyayi dan berbicara layaknya manusia. Jika paduan orkestra dan nyanyian berirama gembira maka semua penduduk tertawa gembira. Sebaiknya jika panduan musik itu berirama sedih maka seluruh penduduk menangis tersedu-sedu. Musik dan lagu itu kadangkala diselingi pidato dari sang burung dan didengarkan seksama oleh semua penduduk.

Di senja hari barulah penduduk beranjak meninggalkan Bukit Persegi. Pagar Bumi ikut beranjak pulang. Di tengah perjalanan, ada seekor kijang melintas di depannya. Pagar Bumi kaget dan secara sepontan tiba-tiba ia berteriak, "Batu!" sungguh ajaib, kijang tersebut tiba-tiba berubah menjadi batu.

Pagar Bumi kaget setengah mati. Kini ia sadar kesaktiannya telah masuk ke dalam tubuhnya. Lidahnya telah bertuah. Sejak itu sifatnya berubah menjadi sombong dan sok iseng. Esok harinya penduduk desa melakukan kegiatan masing-masing. Ada tiga orang berjalan beriringan melewati tempat Pagar Bumi biasa duduk. Satu persatu orang yang lewat disapa atau ditegur, takkala orang itu menoleh seketika mereka berubah menjadi batu. Gegerlah masyarakat di sekitar daerah itu. Pagar Bumi diberi julukan Si Pahit Lidah. Kabar itu merebak di segala penjuru, termasuk ke daerah yang sekarang di sebut Lampung.

Saat itu di Lampung terdapat sebuah kerajaan yang bernama Danau Maghrib. Semula kerajaan itu diperintah oleh raja yang arif dan bijaksana. Sang raja mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang putri yang bernama Dewi Santi, yang kedua seorang putra yang bernama Gunawan Bakti dan yang ketiga juga seorang putra yang bernama Gunawan Suci. Namun setelah sang raja wafat tahta kerajaan diambil alih saudara raja yang memerintah dengan Lalim.

Ketika mendengar berita yang menggemparkan itu kedua putra raja itu ingin pergi menyaksikan kebenarannya. Mula-mula paman mereka yang menjadi raja tidak mengizinkan, namun mereka memaksa dan akhirnya mereka diperbolehkan keluar istana. Mereka menunggang kuda pilihan ke Bukit Persegi namun nasib mereka seperti orang-orang lainnya yang lewat di hadapan Pagar Bumi. Begitu disapa mereka menoleh seketika tubuh mereka langsung menjadi batu termasuk kuda yang mereka tunggangi.

Kabar tentang nasib kedua putra raja itu segera tersebar ke segenap. Kakak mereka yaitu Dewi Santi menangis tersedu-sedu karena duka yang mendalam. Selama beberapa hari ia tidak makan dan tak nyenyak tidur. Pada hari kelima setelah kepergian ayah, Dwi Santi tertidur lelap, dalam tidurnya ia bermimpi didatangi kedua orang tuanya, mereka memberi petunjuk tentang tata cara menghadapi Si Pahit Lidah dan membebaskan adiknya yang terkena sihir dari Si Pahit Lidah.

Esok harinya ia menghadap pamannya yang kini menjadi raja. Ia meminta izin ke Bukit Pesegi guna membebaskan kedua adiknya. Pamannya mengizinkan, sebab raja Lalim ini tak mau ada penghalang kelangsungan tahtanya. Jadi kalau keponakannya mau pergi dipersilakan.

Demikianlah, Dewi Santi naik kuda menuju Bukit Pesegi. Ketika mendekati tempat Si Pahit Lidah ia segera menyumbat kedua telinganya dengan kapas. Si Pahit Lidah segera menyapanya dengan teriak dan siulan, namun Dewi Santi tak menghiraukannya sama sekali. Begitulah siasat yang diajarkan oleh Ayahnya dalam mimpi. Ternyata dengan cara itu ia telah terhindar dari kekuatan sihir Si Pahit Lidah.

Sampai di atas Bukit Pesegi Dewi Santi terheran-heran, ia terkesima melihat seekor burung yang pintar menyanyi dan sebuah pohon yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyian seperti musik alami. Namun ia segera sadar, bahwa kedatangannya bukan menghibur diri, melainkan membebaskan kedua adiknya yang telah menjadi batu. Sesuai amanat ayahnya ia melompat turun dari kuda lalu melangkah ke pangkal pohon beringin, di salah satu celah batang pohon ia mengambil sebuah peti kayu yang di dalamnya berisi abu. Kemudian kembali menaiki kudanya, menuruni bukit ke tempat adiknya berada. Perjalanan sang Putri kali ini ditemani seekor burung.

Sampai di tempat Si Pahit tiba-tiba si Burung ajaib menukik tajam tepat di bahu Si Pahit Lidah, seketika Si Pahit Lidah tak dapat bergerak. Sang putri segera menyumbat mulut Si Pahit Lidah dengan persediaan kapas yang dibawanya. Kemudian menaburkan abu dalam kotak ke muka orang-orang yang telah membantu. Ajaib seketika mereka yang telah menjadi patung itu berubah lagi menjadi manusia. Dewi Santi buru-buru mengajak semuanya menyingkir dari tempat itu. "Cepat waktu kita tinggal sedikit, sebentar lagi orang ini dapat bergerak lagi." kata si Burung ajaib.

Si Pahit Lidah terpukul jiwanya, ia merasa malu dikalahkan oleh seorang gadis cantik yang tampaknya lemah lembut itu. Ia kemudian meninggalkan Daerah Bukit Pesegi. Ia lalu mengembara lagi, naik gunung turun gunung, hingga sampai di daerah Ogan Komering Ulu. Ia bermaksud menyeberangi Sungai Komering, namun sungai itu tak ada yang datar karena sungai Komering itu sedang banjir. Karena ia kecewa lalu ia pergi ke sumber sungai itu, yaitu di Danau Ranua di kaki Gunung Seminung. Ia bermaksud membendung sungai itu. Di kumpulkan batu besar, sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Tidak beberapa lama kemudian jadilah dan raksasa yang membendung sungai Komering. Dan akibatnya perekonomian penduduk itu terhenti, dan supaya air itu mengalir lagi para pemuka masyarakat kemudian meminta bantuan seorang pintar yang bernama Puyung Junjungan. Puyung Junjungan menemui Si Pahit Lidah dan berkata, "Hai Pahit Lidah, bendungan telah bocor!" tanpa sadar Si Pahit Lidah mengulang ucapan Puyung Junjungan. Apa? Bangunan bendungan telah bocor?" Seketika bendungan sungai Komering runtuh bagai terkena gempa bumi. Air sungai mengalir seperti semula. Si Pahit Lidah merasa malu, lalu pergi meninggalkan daerah itu mengembara.

Si Pahit Lidah menuju Ulu menyusuri sungai Ogan. Mendekati satu tepi yang berbatu-batu yang kelihatannya ditata sebagai tempat pemandian. Ia mendengar bunyi gendang ditabuh tertalu-talu, suara sorak-sorai penuh tawa. Suara lelaki dan perempuan berbalas-balasan. Ia mendekati suara-suara itu dengan mengendap-endap. Dari jauh tampak dua sejoli sepasang suami istri sedang diarak dengan payung kebesaran. Mereka hendak melaksanakan adat pengantin turun madi penyuci diri. Si pengantin pria adalah putra raja  yang baru saja menikahi gadis cantik jelita.

Dari kejauhan Si Pahit Lidah secara iseng bertanya "Sedang berpesta apa kalian?" karena dia berada dikejahuan, lagi pula suara gendang bertalu-talu maka orang-orang itu tak mendengar pertanyaannya.

Karena pertanyaannya tidak dijawab maka Si Pahit Lidah menjadi marah dan berucap. "Barang kali mereka semua itu adalah batu!"

Seketika keramaian itu terhanti dan semua orang menjadi batu. Maka hingga kini tempat itu dinamakan Batu Raja. Demikianlah Si Pahit Lidah terus mengembara sepanjang perjalanan ia menimbulkan ketakutan penduduk setempat karena setiap ketemu orang ia menyihir menjadi batu. Sehingga lama-lama ia dijauhi manusia dan hanya hidup seorang diri. Setiap desa yang dilaluinya selalu berusaha mencari cara untuk menumpas atau mengalahkan kesaktiannya.

Pengembara Si Pahit Lidah menjadi tak tentu arah. Sampai pada suatu ketika ia sampai di sebuah kerajaan Tanjung Menang, raja negeri itu bernama Nurullah atau si Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun milik raja yang dijaga tiga puluh tentara. Karena merasa kehausan ia meminta jeruk  kepada penjaga kebun. Penjaga kebun tak berani memberikan, takut dimarah raja. Maka Si Pahit Lidah berucap, "Ah, jeruk pahit begitu tak boleh diminta, kikir amat sih!" Lalu Si Pahit Lidah berlalu dari tempat itu. Penjaga itu mengira kejadian itu di anggap hal biasa. Tapi ketika esok harinya raja marah-marah karena jeruk yang biasanya manis dan segar sekarang menjadi pahit dan tidak enak. Penjaga kebun menceritakan kejadian kemarin siang. Raja kemudian memerintahkan kepada bala tentara untuk mencari Si Pahit Lidah yang telah menyihir kebun jeruknya.

Dengan berbagai cara akhirnya Si Pahit Lidah dapat ditangkap dan di bawa ke hadapan raja si Empat Mata. Sedianya ia hendak dihukum namun apa yang terjadi. Sang raja justru merangkul Si Pahit Lidah. Sebab sang raja adalah kakak Si Pahit Lidah sendiri. Maka berangkullah kakak beradik yang telah bertahun-tahun tak bertemu itu. Si Pahit Lidah yang biasanya muram, keruh dan penuh dendam, kini berubah menjadi cerah dan ceria. Sejak saat itu ia diterima sebagai anggota keluarga istana dan hidup baik-baik sebagai pembantu raja. Ia diberi jabatan sebagai salah seorang panglima kerajaan.

Si Pahit Lidah atau Pagar Bumi akhirnya menikah dengan seorang gadis cantik di kerajaan itu namanya Dayang Merindu. Dari perkawinannya ini ia dikaruniai seorang putra laki-laki yang montok. Maka lengkaplah kini kebahagiaan Si Pahit Lidah. Ia telah punya kedudukan tinggi, punya  istri dan anak belahan jiwa.

Kemakmuran negeri Tanjung Menang mengundang kecemburuan negeri-negeri lainnya, terutama kerajaan tetangga di sebelah Ulu. Mereka selalu melakukan  gangguan keamanan. Atas usul Si Pahit Lidah musyawarah kerajaan memutuskan untuk membendung alur sungai Sugian. Demikian, pekerjaan raksasa membendung sungai besar itu di percayakan kepada Si Pahit Lidah. Segala dana dan tenaga di kerahkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama bendungan hampir saja selesai. Air sungai terhenti mengalir, padahal air sungai adalah sarana lalu lintas paling penting untuk perhubungan dagang dengan negeri-negeri lain. Akibatnya ekonomi tersendat bahkan hampir tak ada kegiatan perdagangan  lagi, kerajaan Tanjung Menang tertutup dari dunia luar.

Suatu hari raja mengutus Si Pahit Lidah untuk menaklukkan negeri-negeri tetangga karena negeri tersebut sering membuat keonaran. Si Pahit Lidah berhasil menaklukkan. Karena keberhasilannya itulah ia menjadi sombong dan ingin menguasai Negeri Tanjung Menang dan mengincar kedudukan raja yang dijabat kakaknya yaitu si Empat Mata.

Dengan kesaktiannya dan pengalamannya itu ia memperkirakan dirinya lebih tepat menjadi raja ketimbang saudara-saudaranya yang lain. Keinginan itu disampaikan secara terus terang kepada saudara- saudaranya. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah. Terjadilah perdebatan seru. Karena tidak ada yang mengalah diputuskan adu kesakitan ajaran Si Pahit Lidah dengan si Empat Mata.

Keesokan harinya berkumpullah ketujuh saudara  kandung itu bawah pohon yaitu pohon enau yang tinggi dan benar. Dalam pertandingan itu siapa yang menang akan berhak menjadi raja. Sesuai kesepakatan maka si Mata Empat diuji lebih dahulu. Si Pahit Lidah lalu memanjat pohon enau yang penuh dengan buah. Sementara si Empat Mata berbaring telungkup di bawah pohon, siap memerima jatuhnya tandan-tandan enau ke punggungnya.

Suasana jadi tegang. Kelima saudaranya berharap agar si Empat Mata selamat. Tandan enau yang benar-benar itu berjatuhan dan tidak mengenai si empat mata karena si Empat Mata dapat melihat tandan-tandan yang jatuh. Mata si Empat mata yang dua di depan dan yang dua lagi di kepala bagian belakang. Jadi meskipun telungkup dia tetap melihat ke atas. 

Kini giliran Si Pahit Lidah telungkup di bawah pohon enau. Si Empat Mata naik ke pohon enau dan menjatuhkan tandan-tandan enau. Satu demi satu tandan enau itu berjatuhan dan mengenai Si Pahit Lidah. Akhirnya Si Pahit Lidah menghembuskan nyawa.

Si Empat Mata segera turun dari pohon enau dengan saudara-saudaranya mereka menghampiri jasad Si Pahit Lidah. Bagaimanapun mereka tetap menyayangi karena Si Pahit Lidah adalah adik bungsunya. Si Empat Mata mencoba membalikkan tubuh Si Pahit Lidah dan berkata "Dia dijuluki Si Pahit Lidah, akan kucoba apakah benar lidahnya pahit?"

Si Empat Mata mengangkat tubuh Si Pahit Lidah dan menjulurkan lidahnya untuk mencicipi lidah adiknya yang telah mati. Namun inilah kesalahan fatal si Empat Mata sebab lidah adiknya mengandung racun dan kesakitan yang luar biasa. Si Empat Mata jatuh pingsan dan tak lama kemudian menghembuskan nafas menyusul adiknya ke alam baka.

Tamat.

HATI IBU

Aku melangkah tergesa.Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.

"Aku menang lomba menulis cerpen, Yah," ucapku begitu menginjak keras sambil memamerkan piala di tanganku. Ayah menurunkan korban yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi. Melihat wajah datar ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.

"Ibu," panggilku.

Tidak ada jawaban.

"Ibu," ulangku.

Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada,  di dapur aku juga tak menemukan ibu.

Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.

"Dira mau hadiah apa?"

"Dira minta dibelikan sepeda motor," suara Dira, kakakku.

"Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah," sahut ibu.

"Dengan atau tanpa persetujuan ayah Dira harus punya motor," Dira ngotot. 

Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar. "Ibu, dari mana?" tanyaku.

"Dari MP. Dira juara satu lomba fashion di Mall Pekanbaru," kata ibu dengan mata bersinar.

Aku tersenyum sambil menyalami Dira.

"Itu apa?" tanya ibu melihat piala di tanganku.

"Farah juara dua lomba menulis cerpen antarfakultas," kataku.

Ibu diam.

"Boleh di pajang di lemari depan, Bu?"

Ibu menggeleng, "Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Dira," tegas ibu. Ada perih di ujung hatiku.

Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost Ummu, teman serujusanku. Jarak kost Ummu hanya beberapa meter dari kampus.

"Sudah bilang sama ibu mau nginap di sini?" tanya Ummu. Aku menggeleng, 

"Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati."

"Jangan bicara seperti itu."

"Ibu baru ribut kalau Dira yang hilang."

"Jangan terus Kau pupuk cemburumu."

"Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih."

"Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian."

"Entah," kataku malas.

Aku membalikkan tubuh memunggungi Ummu. Diam-diam kuseka mataku yang basah.

Seperti dugaanku, ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.

"Ummu, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi," kataku setelah beberapa hari berselang.

"Aku boleh saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke ortu," sahut Ummu.

"Tak perlu, Mu."

Melihat kerasku Ummu tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan.

Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Dira, saat gadis itu ikut  kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Dira tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Dira. Ketika tiba di rumah, Dira disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu. Saat ingatanku menerobos ke masa lalu, tiba-tiba handphone ku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.

"Ibu masuk rumah sakit, Non," terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumah kami.

"Kapan? Kenapa?" tanyaku bertubi-tubi.

"Sejak dua hari yang lalu..."

"Kenapa saya baru dihubungi sekarang?" Potongku.

"Nomor non Farah tidak bisa dihubungi dari kemarin."

Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.

Saat tiba di ruangan icu kulihat tubuh ibu dibalut selang infus. Aku menangis melihat kondisi ibu.

"Ibu sakit apa?" Tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.

"Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi."

"Lalu..." Kejarku tak sabar.

Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.

"Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang."

Aku merinding mendengarnya.

Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti. Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara  meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.

"Farah," ucap ibu.

Aku tak yakin pada pendengaranku. Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menungu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.

"Dimana Dira dan ayahmu?" Ibu bertanya tiba-tiba.

"Mereka di luar, biar..." Gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.

"Jangan!" Cegah ibu. Aku berbalik.

"Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu."

Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.

"Ibu tahu Kau cemburu pada Dira. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu." Sunyi sesaat.

"Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya Ibu hanya membuatnya untuk Dira," kata ibu dengan mata bertelaga.

Aku diam saja.

"Jika perhatian ibu lebih besar pada Dira karena menurut ibu Dira tak sekuat Kau."

"Ibu menyayangiku?" Tanyaku dengan suara bergetar. Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku.

"Tak ada orang tua yang  tak sayang anaknya," ucap ibu diantara isaknya.

Meski semula enggan, pelan-pelan aku membahas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kerasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.

Hari ini 28 Desember. Hari jadi ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Dira lenyap.

...

Karya: Desi Sommalia Gustina

CINTA BEDA DUNIA

"Rese banget sih jalangkung...gile bener gue ditinggal. Malah gue lupa bawa dompet lagi...argh...sial!" gondok Bayu sembari menendang kaleng yang ada didepannya.

 "Adohhh!" itu suara seorang gadis misterius. "Waduhh kena orang tu....." desis Bayu sambil berjalan cepat pulang ke rumahnya.

Hari ini nasib Bayu terbilang buruk. Belakang ini dia selalu diganggu makluk lain. Tepatnya saat kepergian Mila, pacarnya dulu. Dana sekarang, Bayu harus berjalan sendirian malam-malam karena ditinggal sahabatnya yang bernama Gerald. Katanya mereka habis makan di cafe. Tak tahu kenapa sahabatnya yang bertubuh cungkring itu meninggalkan Bayu. Mungkin sudah takdir kali!

Tak disangka mobil dengan kecepatan tinggi oleh mengarah pada Bayu. Sontak Bayu diam terkujur kaku, bukannya menghindar justru malah diam di tempat. Kaya di sinetron aja deh!. Tapi untunglah takdir baiknya ada, entah angin dari mana bisa-bisa mobil itu berhenti tepat beberapa mili meter di depan Bayu.

"Elo??...." ucap Bayu ketika sosok perempuan yang pernah ia kenal berusaha menghentikan mobilnya.

"Lari lo! Cepet! gue uda nggak kuat nii" ucap gadis itu yang bernama Silvi.

Bayu mengangguk-angguk dan menghindari dari mobil itu. Setelah semuanya baik, barulah Silvi menghentikan mobil gila itu di depan pohon besar.

"Pengemudi edan!" desis Bayu.

Silvi mulai kewalahan kehabisan tenaga. Gadis itu harus kembali ke rumahnya. Saat hendak mau terbang, tenaganya sudah tidak kuat menanggung badannya.

"Gubraakkk!" Silvi jatuh seketika.

Bayu yang melihat hal itu langsung berlari menghampiri Silvi.

"Heiii.....heiii...," ucap Bayu memanggil gadis itu.

Tak ada jawaban dari Silvi. Kali ini Bayu menyentuh wajahnya. Tidak bisa! Hanya bayangan!

"Oh iya, dia kan hantu," desisnya dalam hati.

"Aduhh...," kata Silvi meratapi kepalanya ia setelah sadar.

Silvi dan bayu saling menatap. Sama-sama diam tanpa kata.

"Kok gue deg-degan lagi sih?!" ucap mereka dalam hati.

"Gue mau pulang!" ketus Silvi bangkit dan berjalan meninggalkan Bayu.

"Aneh....dia hantu kan? Tapi kok nggak kelihatan seremnya....ya. Cantik kok dia," desis Bayu dalam hati.

"Woii hantu.....ehh maksudnya wooii manusia....hah dia kan bukan manusia....ehh alien.... astaga jelek banget....ehhh ala keburuu pergi dah dia."

Bayu dan Silvi berpisah di tempat ini. Nasib si pengemudi? Dia selamat kok. Tapi entah kenapa pengemudi itu nggak keluar-keluar. Mabuk kali dia!.

"Silviiii...kenapa muka lo keringetan? habis ngangkat barbel ya?" ucap sepupunya, Mila.

"Tau...ah!" jawab Silvi singkat.

Silvi duduk di atas genteng rumahnya.

"Belagu banget sih tu orang.

Gue pikir gue mau ditolongi siap itu, ehh malah diam kayak patung!" gondok Silvi.

"Lo nolongi siapa, sil?" ternyata Mila membututinya sampai ke genteng rumah.

"Tu la....gue habis nolongin laki-laki itu. Ehh dia malah diem aja nggak bantuin gue balik."

"Cowok itu bisa ngelihat elo, Sil?"

"Hah?! Um....nggak....nggak....ngakkk kok, mil. Gue kan Cuma gadis pemimpi. Haha mana mungkin!" Silvi menunduk memandangi kalung gitarnya.

Sudah lama ia tidak mendengarkan alat musik itu. Pikiran untuk menemui Bayu masih terbesit dalam pikirannya.

"Gue mau cari udara segar! Byee mil.....," ucap Silvi langsung terbang ke arah barat dari rumahnya.

Mila memutuskan untuk diam di rumah.

Setelah sampai di kamar Bayu, Silvi mendapati pemuda itu sudah tidur nyenyak.

"Woi gue pinjem gitar lo ya!" bisik Silvi.

Dengan lihai, Silvi mulai memainkan gitar milik Bayu. Mendengar suara gadis bernyanyi dan alunan musik gitar membuat Bayu terbangun dari tidurnya. Silvi tidak tahu Bayu terbangun, asyik saja ia bernyanyi dengan suaranya.

"Gue mimpi kan?" ucap Bayu sembari menampar-tampar wajahnya.

"Nggak.....gue nggak mimpi. Ini cewek beneran bisa main gitar. Hantu luar biasa dah!" desisnya dalam hati, "Ye...just for you I give you all my heart," Bayu ikutan bernyanyi.

Silvi terdiam.

"Kok berhenti sih.....sini biar gue aja yang maini. Lo yang nyanyi," Bayu duduk di depan kamarnya.

Tepatnya di luar kamar. Bayu mulai memetik gitar itu. Deg...deg itu suara jantung keduanya. Silvi mulai bernyanyi kembali.

"Ehh bukan! salah tuuu..."

"Biarin, ini versi gue kok," Silvi tak mau mengalah.

"Eh nengel, salah itu!"

"Nggak!"

"Salah!"

Silvi diam.

"Ya...ya suka hati lo la," Bayu yanga mengalah.

Akhirnya keduanya tetap melanjutkan permainan musik mereka walaupun terdengar agak ngawur. Biarin yang penting happy! Begitu moto mereka.

"Um...lo uda nggak takut lagi sama gue?" itu pertanyaan yang ditujukan untuk Bayu.

Bayu kewalahan dan kebingungan menjawab pertanyaan Silvi.

"Gue bukan penakut kali," lagak Bayu pura-pura orang paling berani, padahal aslinya....hmm mengharukan!.

"Soryy ya kalau selama ini saudara-saudara gue nakuti elo."

"Ahh gue nggak takut kok."

Cliiiiingggg! Silvi menghilang begitu saja.

"Iyaa.....Iyaaa...gue nyerah...gue penakut....please jangan ilang mendadak gini dong," teriak Bayu ketakutan.

"Tu...kan! Jangan belagu lo!" cengir Silvi.

Bayu dan Silvi sama-sama diam.

"Lo kok nggak mau nakuti manusia?" kali ini Bayu yang bertanya.

"Karena gue....gue.....gue kepingin bisa bersahabat dengan manusia. Segala upaya uda gue lakui, nyatanya manusia masih takut sama gue....."

"Gue mau kok jadi sahabat lo."

"Hah?!"

Bayu mengangguk. Astaga..mimpi apa gadis ini tadi siang. Sampai-sampai pemuda ini dengan mantapnya menyetjuai permohonan Silvi. Silvi menangis terharu.

"Bener lo mau jadi sahabat gue?" ucap Silvi meyakinkan.

Bayu mengangguk. Spontan gadis itu teriak-teriak dan tanpa sengaja ia memeluk Bayu. Tapi tidak bisa! Sebab dia manusia bukan termasuk golongannya.

"Um....maaf..." Silvi menunduk malu.

Ada rasa deg-degan di jantung Bayu saat Silvi tidak sengaja memeluknya. Bukan karena ia takut, tapi entah kenapa Bayu merasa ada kenyamanan bila dekat dengan gadis ini.

Semua kembali hening. Mereka menatapi pohon dan rembulan disana. Sampai akhirnya Bayu memberanikan diri untuk mengenalkan dirinya.

"Gue Bayu. Disini rumah gue."

Silvi tersenyum.

"Gue Silvi. Rumah gue di saaka indah."

"Hantu punya rumah?"

"Lo ngeledek gue?" Bayu tercengir-cengir. "Um.....lo kenapa bisa jadi hantu?"

"Gue ditabrak bay."

Bayu mengeritkan keningnya.

"Lah kok bisa?"

"Ya bisa la!" Silvi menarik nafas panjang.

"Gue kecelakaan, nggak tahu deh siapa yang nabrak.....emh....bay kamu....," belum lagi Silvi selesai bicara, dimas tiba-tiba ke luar dari rumah.

"Bayu? lo ngomong sama siapa tadi?"

Bayu kebingungan. Kalau dia berkata jujur, ya ada sahabatnya ia akan menduga dia yang nggak-nggak. Terpaksa bohong dikit deh.

"Gue habis buat drama, dim. Lo tahu sendiri kan gue orangnya dramatis!" Dimas terpelongo bengong.

"Kenapa sih kawan gue yang satu ini," Dimas menggeleng-gelelengkan kepalanya kepalanya dan pergi mauk rumah.

"Udah...udah...gih sana lo pulang, sil. Entar dicariiin lagi!"

Silvi mengangguk dan tersenyum. Duh melihat senyuman itu Bayu jadi salah tingkah deh.

"Daaa.." ucap Silvi sembari terbang dan meninggalkan Bayu.

"Huh....coba aja satu dunia. Uda gue nikahi tu cewek!" gumamnya.

Bayu kembali masuk dan melanjuti tidurnya.

Keesokan harinya. Di taman sekolah, Bayu melihat sosok gadis yang mirip dengan Silvi. Untuk meyakinkan penglihatannya itu benar atau tidak, Bayu mengucek-kucek matanya.

"Woooiiii...." panggil Bayu.

"Kamu manggil aku?" ucap gadis berambut panjang dan berponi.

"Ehhh bukan, gue manggil cewek yang ada di belakang lo!" tunjuk Bayu.

Tidak ada siapa-siapa disana! Gadis itu menoleh ke belakang.

"Cowok aneh!" ucap gadis itu sembari pergi meninggalkan Bayu.

"Elo tu yang aneh! Uda jelas-jelas ada orang disini!"

"Haaha...haha....haha...rasain lo kan dibilangin cowok aneh!" ledek Silvi.

"Gara-gara elo juga sih! oh ya, lo ngapain di sini. Mau belajar juga? belajar apaan? Ilmu ngilang?"

"Gue minta tolong sama lo, Bay," Silvi mulai bicara serius.

Wajah Bayu yang tadinya adem jadi kelihatan serius kaya nonton film action! "Gue nggak bisa terus gentayangan gini. Gue minta tolong sama lo. Carikan jasad gue.....Please...."

"Hah?!" Bayu terkejut bukan kepalang. Ada rasa takut juga harus melakukan hal konyol itu.

Tapi mau bagaimana lagi, jika Bayu tidak membantu Silvi. Pasti gadis itu tidak akan bahagia di alamnya. Lama Bayu termenung untuk memberikan jawaban sampai akhirnya Silvi menangis di depannya. Tangisannya itu begitu memilukan. Bayu menarik napas panjang.

"Iya.....dimana lo ditabrak?"

"Jalan patuan nagari, jembatan indah."

"Gilaa itu serem banget, sil,"

"Gue temenin, Bay. Please.....," tiba-tiba Silvi bia memegang tangan Bayu.

"Lo....lo...ada apa ini. Kok ...kok....lo bisa nyentuh gue?"

"Gue  juga nggak tahu. Itu nggak penting, lo mau kan nolongin gue? Gue janji kalau lo bisa nemui jasad gue. Gue bahkalan nggak pernah lagi muncul di depan lo."

Bayu diam. Sebenarnya dengan tidak mencari jasad Silvi pun Bayu bahagia bersamanya. Setiap hari bisa melihatnya. Dia sudah terlanjur jatun cinta dengan gadis itu. Walaupun kenyaannya perasaan itu jatuh pada orang yang sudah mati.

"Bay..please...," ucap Silvi terus menangis.

Bayu mengangguk mau.

"Oke entar malam gue bahkalan nyari jasad lo," Silvi tersenyum.

"Kayaknya kawan kita memang sakit deh, Dim," ucap Gerald yang dari memperhatikan Bayu dari kejauhan.

Dimas menggelengkan kepalanya.

Malam hari......"Lo mau kemana Bay?" ucap Dimas.

"Beli nasi goreng!" singkat Bayu langsung pergi dengan motornya. Sesampainya di tempat yang mereka cari.Mata Bayu terus mengamati persimpangan jalan dekat pepohonan hijau.

"Itu jasad lo ya?" tanya Bayu.

Silvi mengangguk dan tersenyum.

"Kuburkan ya, Bay," ujar Silvi.

Negeri juga sih melihat jasadnya Silvi. Tercium bau mayat yang sudah lama, apalagi ditambah luka darah di sekujur tubuhnya. Mau nggak mau Bayu harus menolong gadis itu. Dengan mengendap-endap Bayu membawa jasad Silvi ke pedalaman jembatan indah. Ia gali tanah di sekitar itu. Dan masukkan jasad Silvi. Bayu menaburi bunga 15 bunga mawar putih tanda terimakasih karena sudah mengisi hari kesepiannya. Bayu bernapas lega.....Silvi sudah tenang di alamnya. entah sampai kapan dia tidak bisa bertemu lagi dengan gadis itu.

"Gue jatuh cinta sama lo, Sil," desisnya.

"Apa Bay? Lo suka sama gue?!"

"Allahuakbar..." Bayu terlepas seketika.

"Lo kok bisa muncul, Sil."

"Gue kan mau nganterin lo pulang. Katanya lo takut."

Bayu tercengir. Jantungnya deg-degan saat itu. Silvi maju menghampiri Bayu. Gadis itu kemabali menangis, hari ini hari terakhirnya dia akan melihat laki-laki yang berhasil memikat hatinya.

"Terimakasih lo uda mau nolongi gue Bay."

Astaga, disinilah....disinilah pemuda maco itu ikut menangis masuk dalam kesedihan Silvi. Bayu langsung memeluk Silvi.

"Suatu hari nanti, gue bahkalan hidup dengan dunia yang sama, Sil. Gue sayang sama lo," ucapnya.

"Gue juga sayang sama lo, Bay!" Silvi melepaskan pelukan Bayu. Dengan perasaan sedih, takut, galau, gelisah campur aduk jadi urapan, akhirnya pemuda berwajah polos itu pergi meninggalkan jembatan itu. Disana tempatnya sangat rawan kecelakaan. Banyak pengemudi tewas di tempat karena kecepatan di jalan ini cukup cepat. Alhasil dari arah belakang, mobil sedan menghantam sepeda motor Bayu.

Bayu sempat dilarikan ke rumah sakit. Dimas dan Gerald juga ada disana. Segala upaya untuk menyelamatkan nyawa bayu sia-sia. Jantungnya tidak merespon untuk berdetak. Sampai beberapa jam kemudian, Bayu meninggal dunia.

Di suatu tempat, Bayu bertemu kembali dengan Silvi.

"Kan gue udah bilang, kita bahkan hidup di satu dunia," ucap Bayu.

"Untung aja lo nggak bunuh diri gara-gara kepingin ngejer cinta gue. Ye....kan?"

"Dasar! Kepedean!" Bayu tertawa lepas sedangka Silvi tercengir-cengir kaya kuda habis kejepit. Hiiiikkkkk...mereka hidup hidup bersama satu kelurahan. Bayu juga bertemu dengan mantan pacarnya, Mila. Sekarang Mila justru menjalin asmara dengan laki-laki lain. Ahh bagi Bayu itu tidak masalah! Tahu juga Mila bahagia dengan pasangannya. Begitupun dengannya, dia bahagia dengan Silvi.

Tamat.


Karya: Sanniu Cha Putri.

SI PAHIT LIDAH (RAWA BATU MENANGIS)

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang Raja dengan Permaisuri-nya yang dikaruniai seorang putri yang sangat cantik nan anggun, rambutnya selalu terurai hitam panjang, sang Putri sangat suka mengenakan bando dari rangkain bunga. Setiap hari ia selalu membuatnya sendiri terkadang pula ketika sang Putri sedang sibuk, dayang-dayangnya yang merangkaikan bunga-bunga itu menjadi bando.

Pada suatu hari sang Putri mendengar kabar tentang seorang Ratu di negeri seberang yang melangsungkan acara pernikahannya dengan mengenakan rangkaian bunga teratai ungu yang dipadukan dengan bunga anggrek ungu yang dikenakan di kepalanya. Sang putri pun tertarik dengan rangkaian bunga Ratu di negeri seberang itu. Raja yang selalu memanjakan putrinya itu pun tak kuasa menolak permintaan putri tunggalnya itu. Raja pun dengan sendirinya datang ke negeri seberang menemui sang Ratu yang baru kemarin melangsungkan pernikahan itu. Sayangnya sang Ratu menolak memberikan rangkaian bunga itu meskipun Raja bersedia membayar berapa pun yang Ratu minta.

“Maafkan saya Raja, saya tahu putrimu sangat suka dengan rangkain bunga, seperti apa pun rangkain bunga yang putrimu minta akan ku berikan khusus padanya. Tapi tidak untuk yang satu ini,” ujar Ratu. “Saya bisa mengerti, lagi pula rangkaian bunga itu yang engkau kenakan di pernikahanmu tentunya sangat berharga bagimu,” jawab Raja.

“Selain karena itu, engkau tentu tahu bunga-bunga ini sangat sulit didapat. Aku pun mendapatkan dari seorang pengembara, ia datang kemari 3 hari sebelum pernikahanku. Dia kelaparan, aku memberinya sedikit makanan dan bekal untuknya kembali mengembara, namun ia kembali datang ke istana pada dini hari di hari pernikahanku, ia memberiku rangkaian bunga ini dan berpesan ini khusus untukku.” ucap Ratu.

“Siapa pengembara itu?” tanya Raja.

“Dia tidak menyebutkan namanya, tapi yang ku tahu ia punya sembrani, tentu raja tahu bukan, tidak sembarang orang bisa mengendalikan sembrani,” ujar Ratu.

“Baiklah Ratu terima kasih, maaf telah mengganggu,” ucap Raja.

Raja pun kembali ke istananya dan menyampaikan kepada sang Putri apa yang Ratu katakan, namun sang putri tetap tidak mau tahu ia hanya mau rangkaian bunga itu. Permaisuri pun mengusulkan agar mengadakan sayembara dengan imbalan akan dikabulkan satu permintaan sang pemenang sayembara. Raja pun menyetujuinya dan yang akan menilai rangkaian bunga itu adalah sang Putri sendiri. Hingga 3 bulan, belum ada seorang pun yang memenangkan sayembara itu. Sang Putri pun murung dan tak mau makan. Hingga suatu hari datang seorang pengembara dengan menuntun kuda sembraninya ke istana. Ia seorang pemuda tampan dengan pedang di punggungnya, ia menjadi pusat perhatian. Sang Raja pun mempersilahkan si pengembara itu memasuki istananya, Raja menjamunya dengan baik.

Sang Pengembara pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk mengikuti sayembara. Raja pun memanggil sang Putri yang mengurung diri di kamar. Sang Pengembara pun tercengang melihat sang Putri yang sedang melangkah menghampirinya di salembo. Sejenak sang Putri melirik ke arah sang Pengembara yang sedari tadi duduk menatapnya. Raja pun menyampaikan pada sang Putri maksud ia memanggilnya.

“Benarkah Ayah, mana bunga itu?” tanya Putri.

“Kau tanyakanlah sendiri pada pemuda yang ada di hadapanmu sekarang putriku,” ujar Raja.

“Tuan, mana bungamu?” tanya Putri.

“Sesuai janjimu kan putri, kau akan mengabulkan satu permintaan bagi pemenang sayembara,” ucap Pengembara.

“Tentu saja tuan pengembara.” jawab Putri. Sang Pengembara pun memberikan rangkaian bunga yang bahkan lebih indah dari bunga milik sang Ratu di negeri seberang itu. Sang Putri pun langsung menerima bunga itu. Wajahnya nampak semakin cantik dengan rangkaian bunga itu yang langsung ia kenakan di kepalanya.

“Ini indah sekali, bahkan lebih indah dari milik sang Ratu,” ujar Putri.

“Ini lebih dari istimewa untukmu tuan Putri,” jawab Pengembara.

“Apa permintaanmu tuan?” tanya Putri.

“Aku ingin meminangmu tuan Putri,” jawab Pengembara.

“Apa?! lancang sekali kau, kau pikir kau siapa beraninya meminangku?” ucap Putri.

Mendengar kalimat sang Putri, si pengembara pun mulai agak marah, sang penasihat yang melihat raut wajah sang pengembara dari sebwrang salembo pun segera menghampiri Raja dan Permaisuri dan membisikkan sesuatu tentang si pengembara itu.

“Putriku, kau tidak boleh seperti itu,” ucap Permaisuri.

“Kau harus menepati janjimu, itu permintaannya, ayolah putriku,” bujuk Raja.

“Tidak Ayahanda, Ibunda, aku tidak mau menikah dengan kaum seperti dia, menjijikkan!” ucap Putri.

“Tajam sekali ucapanmu Putri, sombong!” ucap pengembara.

“Putriku, jangan buat dia marah!” ucap Permaisuri. “Harusnya kau sadar diri, kau bukan pangeran ataupun keluarga dari bangsawan sedangkan aku? aku adalah sang putri!” ujar Putri.

“Wajahmu cantik putri, tapi sayang ucapanmu tajam seperti duri, hatimu pun sekeras batu, kau tak mau peduli dengan kaum sepertiku. Kau tak pantas menjadi pemimpin negeri ini.” ucap Pengembara. Sang Putri pun hanya memalingkan wajah. “Dasar batu!” ucap Pengembara. Sang Pengembara pun berlalu pergi, tiba-tiba cuaca menjadi sangat mendung, petir pun menggelegar habat dan sang Putri perlahan tubuhnya mulai tidak bisa digerakan dan membatu.

“Ayahanda, ibunda… apa yang terjadi padaku?” ucap Putri.

“Putriku..” ucap Raja dan Permaisuri.

Sang putri akhirnya berubah menjadi patung batu akibat kutukan si pengembara itu. Patung tuan Putri itu selalu mengeluarkan air dari matanya seperti seseorang yang menangis. Halaman di sekitar salembo pun menjadi banjir dan rangkaian bunga yang dikenakan sang Putri tumbuh subur semakin banyak. Karena volume air semakin banyak akhirnya menjelma menjadi rawa dan dijuluki, “Rawa Batu Menangis”

SELESAI


Cerpen Karangan: Nabilah

PESAN TERAKHIR

Mentari mau kemana? Tolongin Bunda ya, antarin kue ke rumah bu Fahimah. Tau kan sayang?”

“Aduh, suruh Tito aja ya Bun. Tari buru-buru ada les privat di kafe. Minta uangnya Bun, Rp 100.000,00.”

“Ya udah sayang. Bunda suruh Tito aja. Buat apa uang sebanyak itu Nak?”

“Yah, untuk bayar less Bun.”

“Ya sudah, ini. Belajar yang giat ya sayang.”

Mentari segera menyalami sang Bunda untuk kemudian berlalu menuju kafe. Teman-temannya sudah menunggu sejak tadi.

Di rumah, Tito disuruh sang Bunda untuk mengantarkan kue pesanan bu Fahimah. Tito pun dengan senang hati melakukannya.

Saat dalam perjalanan pulang ke rumah, tanpa sengaja Tito lewat di kafe tempat Mentari belajar. Alangkah terkejutnya ia saat melihat kakaknya tak sedang belajar, melainkan tertawa tak jelas entah apa gerangan. Tito benar-benar marah. Terlebih lagi saat tahu bahwa kakaknya yang mentraktir teman-temannya itu. Dengan geram, Tito mendekati Mentari.

“Kakak bohong ya sama Bunda?”

Sontak, Mentari kaget bukan kepalang. Ia pun menarik Tito jauh dari keramaian.

“Apa sih kamu To? Ganggu aja.”

“Kenapa kakak bohong sama Bunda? Kakak bilang mau belajar, tapi malah hura-hura gak jelas. Ingat kak, Bunda banting tulang kerja buat biayain sekolah kita, bukan untuk senang-senang kak.”

“Sekali sekali gak apa-apalah To.”

“Istighfar kak. Kakak bisa dicap durhaka loh.”

“Udah ah, kamu pulang sana.”

Tak berhenti sampai disitu. Mentari mulai sering berbohong pada Bundanya. Dia lebih sering keluyuran daripada membantu sang Bunda di rumah. Hingga, tibalah saat itu. Saat dimana Tito kembali memergoki kakaknya di kafe. Tapi kali ini, bersama seorang pria. Mentari menyandarkan kepalanya dengan mesra tanpa malu di bahu pria itu. Pria yang jelas saja bukan mahromnya. Tito naik pitam. Tanpa pikir panjang, segera ia dekati mereka dengan membawa air mineral yang ia beli di warung dekat rumah. Tito lalu menyiramkan air itu ke kepala kakaknya. Bukan main kagetnya Mentari.

“Kamu kenapa sih To? Gak bisa liat kakak senang apa? Kamu selalu saja merusak kebahagiaan kakak, Mau kamu apa sih?”

“Astaghfirullah kak, sadar kak. Bagaimana jika Bunda tau kelakuan kakak seperti ini? Kakak, Bunda pasti akan sedih kak.”

“Bunda gak akan tau kalau kamu gak laporin.”

“Masya Allah, kakak. Sadar kak, kakak gak kasian sama Bunda?”

“Udah, kamu jangan banyak ngomong To. Kamu pulang sekarang.” Sambil mendorong Tito ke jalan. Hal yang tak diduga, sebuah mobil pick up melaju ke arah Tito hingga terjadilah kecelakaan itu. Tito jatuh bersimbah darah di jalanan. Mentari lemas seketika melihat adiknya terkapar seperti itu.

“Ya Allah Titooo. Bangun dek, bangun. Maafin kakak dek.” Tangis Mentari semakin menjadi-jadi.

Mobil pick up itu ingin membawa Tito ke rumah sakit. Namun sayang, Tito sudah dijemput Malaikat Izrail sebelum sampai rumah sakit.

Pesan terakhir Tito untuk Mentari “kak, jaga Bunda…yaa. jangan bohongin… Bunda lagi. Kakak janji yaa… jangan lupa… berjilbab kak…”

Setelah itu, Tito menghembuskan nafas terakhirnya. Kini, yang tersisa dalam diri Mentari tinggallah penyesalan. Tapi ia sadar, larut dalam kesedihan takkan membuat orang mati hidup lagi. Yang harus ia lakukan saat ini adalah merubah diri menjadi lebih baik lagi..


Cerpen Karangan: Dian Antuala

PERJALANAN HIDUPKU

Namaku Syakila, aku lahir dan dibesarkan di kota yang tak pernah sepi Jakarta namanya. Hari-hariku selalu indah, ditambah orangtuaku yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hatinya dan mereka tak pernah meninggalkanku. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. Tak terasa kini usiaku sudah 12 tahun.

Semua hal indah itu kini menghilang begitupun dengan mimpi indahku, aku yang tak pernah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku kini mereka pergi jauh dariku. Bukan pergi untuk selamanya, tempat yang memisahkan.

Siang itu aku dan kedua orangtuaku, pergi ke rumah kakek. Letaknya lumayan jauh, Sukabumi tepatnya. Saat itu, sedang hari raya dimana semua orang sibuk untuk mudik sama denganku. Aku terus merengek ingin mudik ke rumah kakek. Tapi, entah kenapa ayah dan ibuku memintaku untuk tidak mudik dahulu. Namu, karena mereka sangat sayang kepadaku ditambah aku yang terus merengek, akhirnya kami mudik bersama. Ayah dan ibuku merasa berat meningglkan rumah. Akhirnya kita pun pergi bersama dengan menggunakan mobil yang kami miliki. Aku heran dengan sikap mereka, tiba-tiba mereka membawa semua berkas penting dan perhiasan serta uang yang mereka biasa simpan di lemari. Aku tak memperlihatkan keherananku, kami pergi dengan segudang harta yang kami miliki dengan mobil kami. Setibanya di rumah kakek, aku langsung memeluknya. Aku adalah cucu kesayangan kakek, karna kakek hanya memiliki satu anak yaitu ibuku dan juga satu cucu yaitu aku.

Hari itu hari Kamis, setiap hari Kamis kakekku selalu pergi ke dokter untuk chek up. Aku, ayah dan ibuku mengentarnya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kakek diperikasa oleh dokter, aku dan ibu menemani kakek masuk ke ruang periksa. Sedangkan ayahku menunggu di luar, ketika kami sedang di dalam, ayahku mendapatkan telepon, bahwa rumah kami kebakaran dan semuanya habis tidak ada yang tersisa. Ayahku yang gelisah tidak langsung memberitahu kami, karena ayah tahu kalau kakek memiliki penyakit jantung.

Setelah selesai chek up, kami pulang ke rumah. Selama di jalan ayahku gelisah dan ayahku merasa sangat sedih. Selama di mobil ibuku bertanya kepada ayahku “ayah, kenapa? Kok kelihatannya gelisah. Apa yang ayah gelisahkan?” tanya ibuku sambil membelai bahu ayahku sedangkan aku duduk dengan kakek di belakang. “tidak, ayah tidak kenapa kenapa.” Jawab ayah yang terus fokus melihat jalan.

Sesampainya di rumah, ibuku mengantar kakek ke kamar dan meninggalkan kakek denganku berdua. Karena aku selalu ingin tidur bersama kakek. Disamping itu, ibuku menghampiri ayah di kamar yang sedari tadi gelisah. “ayah, ayah kenapa. Ada yang ayah sembunyikan dari ibu. Ayah jujur sama ibu.” Tanya ibu sembari duduk di samping ayah. “ibu… bu” ucap ayahku tersendat-sendat. “kenapa ayah? Kenapa?” Tanya ibu. “rumah kita bu, rumah kita.” Jawab ayah. “Kenapa dengan rumah kita ayah, kenapa.” Tanya ibu, yang sudah memiliki firasat tidak baik. “rumah kita… kebakaran.” jawab ayah sambil memeluk ibu. Ayah dan ibuku menangis, sedangkan kakek yang mendengarkan di balik pintu langsung menggendongku pergi ke kamar. Bukannya kakekku gak peduli, bahkan dia sangat peduli namun kakek punya cara sendiri.

Ayah dan ibuku yang terus menangis mereka tak menyangk bagaikan disambar petir. “pantas saja aku rasanya ingin membawa semua barang berharga yang kita miliki ternyata ini jawabannya.” Kata ibuku sambil melepaskan pelukan dari ayahku. “ibu yang sabar yah, ayah tahu bukan hanya ibu yang merasa terpukul tapi ayah juga.” kata ayahku sambil menenangkan ibu.

Sudah 3 jam ayah dan ibuku menangis, mata yang sembab itu tidak membuat mereka mengantuk. Mereka hanya melamun, malam itu, tepatnya pukul 01.00, Ayah dan ibuku menghampiriku yang sedang tertidur pulas, padahal aku tahu mereka menghampiriku dan mengkecup keningku. Mereka langsung memeluk kakek, aku pun terbangun. “Ayah, ibu kenapa kok kalian ada disini. Ayah dan ibu gak tidur.” Tanyaku yang pura-pura tidak tahu apa-apa.

Mereka kembali meneteskan air mata dari mata mereka yang sembab. “Kok ayah sama ibu nangis” aku langsung memeluk kakek.

“kalian yang sabar, mungkin ini semua cobaan untuk kalian dari Allah. Jangan menangis, biarkan semuanya berjalan, mengalir seperti air. Semua yang kita miliki di dunia ini hanya sebatas titipan.” Ucap kakek sambil beranjak dari tidurnya dan mengusap tangan ayah dan ibuku. “rumahmu, anakmu, suamimu itu samua hanya sebatas titipan.” Lanjut kakek dengan mengankat dagu ibuku yang tertunduk.

Aku yang saat itu sedang memeluk kakek, langsung terbangun dan memeluk ayah dan ibu. “ayah, ibu memangnya ada apa?” Tanyaku. “nak, kita sekarang pulang dulu yah, kita lihat dulu rumah kita.” Ucap ayahku. Mereka tidak memberitahuku bahwa rumah kami kebakaran. Mungkin karena mereka tidak ingin membuat aku menangis. “kalian lihat dulu saja rumah kalian, setelah itu kalian pulang lagi ke kisini.” ucap kakekku. “iya yah, kami pamit dulu. Kami pasti langsung pulang lagi ke rumah ayah. Ayah hati-hati yah disini. Kami pamit ya yah.” Ucap ibuku sembari pamitan sama kakek dan aku digendong ayah untuk masuk ke mobil.

Sesampainya di rumah kami, aku, ayah dan ibu benar-benar sedih dan terpukul melihat rumah yang sedari dulu kami tempati kini habis terbakar oleh api. Kami pun memeriksa puing-puing rumah barang kali ada yang tersisa. Ternyata benar ada satu benda yang tidak habis terbakar, yaitu Al-Quran. Kami langsung mengambil Al-Quran itu. Tidak ada lagi yang tersisa selain Al-Quran itu. Rencana selanjutnya kami akan mebersihkannya dan lahannya akan kami jual. Kami akan tinggal sementara di rumah kakek.

Paginya kami pulang ke rumah kakek, dan memberikan Al-Quran yang tidak terbakar itu kepada kakek. Detik berganti menit, menit berganti jam, tam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. 3 tahun lamanya kami menumpang di rumah kakek, ayahku yang merasa bahwa kita tidak bisa selamanya tinggal di rumah kakek berencana pindah ke luar pulau karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah. Ibuku yang sangat patuh dan menyayangi ayah ikut pindah bukan berarti ibuku tidak sayang kepadaku tapi, ini juga untuk kebaikannku. Aku yang tidak bisa meninggalkan sekolahku karena sebentar lagi ujian tidak memungkinkanku untuk ikut bersama ayah dan ibuku. Akhirnya ayah dan ibuku pindah ke Kalimantan dan aku tetap tinggal bersama kakekku di Sukabumi.

Waktu terus berlalu, aku yang tetap berama kakek hingga aku lulus SMA. Kakekku yang sangat menyayangiku, terus menemaniku 4 tahun lamanya.

Aku sangat rindu kepada ayah dan ibuku, selama 4 tahun itu ayah dan ibu belum pulang juga untuk menemuiku. Mereka hanya mengirim aku uang saku hanya lewat ATM. Selama aku jauh dari ayah dan ibuku tiada hari tanpaku teteskan air mata. Aku sangat sedih, aku tak pernah menyangka perjalanan hidupku akan seperti ini. Kakekku yang selalu menguatkannku, kakekku yang tak pernah jenuh melihatku menangis.

Seusai SMA, aku dan kakek berencana untuk pergi menemui ayah dan ibu di Kalimantan. Hari itu hari Minggu, aku dan kakek sudah memesan tiket pesawat. Aku mengabari ibuku bahwa aku akan pergi ke sana. Dan ibuku akan menjemput aku dan kakekku di Bandara. Sedangkan ayahku yang sedang bekerja tidak bisa menemani ibu untuk menjemputku.

Entah kenapa, kakiku serasa terpaku di bumi ini dan berat rasanya untukku melangkahkan kaki. Berbeda dengan kakek yang sangat bahagia karena akan bertemu dengan ibu dan ayahku. “kek, sudah siap.” Tanyaku ketika hendak masuk ke taksi. “sudah, kalau kamu.” Tanya kakek kepadaku. “sudah kek, ayo kek masuk taksinya sudah menunggu.” Lanjutku. Kakek pun naik ke mobil, saat aku naik bajuku tiba tiba robek tersangkut di pintu taksi. “kakek, bajuku robek.” “tidak apa apa nak, sedikit ini kan.” Ucap kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah. Hatiku terus gelisah, aku terus berdzikir mengingat Allah. Tak berapa lama aku menengok ke jendela sampingku dan AaaaAAAaAaa aku tak sadarkan diri dan aku tak bisa melihat apa-lagi semuanya terasa gelap…

Mobil taksi yang ditumpangiku tertabrak truck.

Di rumah sakit….

Ketika aku tersadar, ternyata aku ada di rumah sakit. Aku melihat ayah, ibu dan kakek sedang menangisi aku. Sedikit demi sedikit aku gerakkan jemari tanganku dan menandakan aku siuman dari koma. Ayahku langsung memanggil dokter. Mereka hanya bisa menangis dan dokter memeriksaku. Setelah selesai dokter memeriksa, ayahku di suruh dokter untuk ke ruangannya, sedangkan kakek dan ibuku menemaniku.

“aku ada dimana? Kenapa aku ada di sini?” Tanyaku dangan terbata-bata. Ibu yang tak bisa berkata hingga akhirnya kakek menjelaskan semuanya kepadaku. Ternyata aku koma selama 1 minggu. Melihat kakek dan ibuku menangis aku pun ikut menangis.

Setelah beberapa hari siuman, aku ingin mencoba beranjak dari tempat tidur. Tapi, kakiku sangat berat sekali. Aku memanggil semuanya dan aku menjerit. Mereka semua langsung menghampiriku

“Kenapa nak kenapa?” Tanya ibuku.

“kakiku bu kakiku.”

“Kenapa dengan kakimu nak?”

“Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu kenapa dengan kakiku?”

Ayah hanya bisa menangis melihatku, dan kakekku pun sama.

“Nak, yang sabar yah. Ini semua ujian dari Allah, kamu yang sabar yah.” Ucap ibuku menenangkanku sabil memeluk dan mengis.

“ayah, kakek aku gak mau, aku gak mau… tolong aku yah, kek tolong aku.”

“kamu pasti bisa sembuh, yakin dan berdo’a” Ucap kakekku.

Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai menerima takdirku. Berbagai macam pengobatan sudah aku lakukan, namun belum ada yang aku rasakan.

Setelah kecelakaan itu, ayah dan ibuku pindah kembali ke rumah kakek. Ayaha meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Kami pun hidup bahagia, meskipun di usiaku yang ke-19 ini aku memiliki kaki yang tidak sempurna.

Selesai


Cerpen Karangan: Siti Nurfauzi

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK