Mentari mau kemana? Tolongin Bunda ya, antarin kue ke rumah bu Fahimah. Tau kan sayang?”
“Aduh, suruh Tito aja ya Bun. Tari buru-buru ada les privat di kafe. Minta uangnya Bun, Rp 100.000,00.”
“Ya udah sayang. Bunda suruh Tito aja. Buat apa uang sebanyak itu Nak?”
“Yah, untuk bayar less Bun.”
“Ya sudah, ini. Belajar yang giat ya sayang.”
Mentari segera menyalami sang Bunda untuk kemudian berlalu menuju kafe. Teman-temannya sudah menunggu sejak tadi.
Di rumah, Tito disuruh sang Bunda untuk mengantarkan kue pesanan bu Fahimah. Tito pun dengan senang hati melakukannya.
Saat dalam perjalanan pulang ke rumah, tanpa sengaja Tito lewat di kafe tempat Mentari belajar. Alangkah terkejutnya ia saat melihat kakaknya tak sedang belajar, melainkan tertawa tak jelas entah apa gerangan. Tito benar-benar marah. Terlebih lagi saat tahu bahwa kakaknya yang mentraktir teman-temannya itu. Dengan geram, Tito mendekati Mentari.
“Kakak bohong ya sama Bunda?”
Sontak, Mentari kaget bukan kepalang. Ia pun menarik Tito jauh dari keramaian.
“Apa sih kamu To? Ganggu aja.”
“Kenapa kakak bohong sama Bunda? Kakak bilang mau belajar, tapi malah hura-hura gak jelas. Ingat kak, Bunda banting tulang kerja buat biayain sekolah kita, bukan untuk senang-senang kak.”
“Sekali sekali gak apa-apalah To.”
“Istighfar kak. Kakak bisa dicap durhaka loh.”
“Udah ah, kamu pulang sana.”
Tak berhenti sampai disitu. Mentari mulai sering berbohong pada Bundanya. Dia lebih sering keluyuran daripada membantu sang Bunda di rumah. Hingga, tibalah saat itu. Saat dimana Tito kembali memergoki kakaknya di kafe. Tapi kali ini, bersama seorang pria. Mentari menyandarkan kepalanya dengan mesra tanpa malu di bahu pria itu. Pria yang jelas saja bukan mahromnya. Tito naik pitam. Tanpa pikir panjang, segera ia dekati mereka dengan membawa air mineral yang ia beli di warung dekat rumah. Tito lalu menyiramkan air itu ke kepala kakaknya. Bukan main kagetnya Mentari.
“Kamu kenapa sih To? Gak bisa liat kakak senang apa? Kamu selalu saja merusak kebahagiaan kakak, Mau kamu apa sih?”
“Astaghfirullah kak, sadar kak. Bagaimana jika Bunda tau kelakuan kakak seperti ini? Kakak, Bunda pasti akan sedih kak.”
“Bunda gak akan tau kalau kamu gak laporin.”
“Masya Allah, kakak. Sadar kak, kakak gak kasian sama Bunda?”
“Udah, kamu jangan banyak ngomong To. Kamu pulang sekarang.” Sambil mendorong Tito ke jalan. Hal yang tak diduga, sebuah mobil pick up melaju ke arah Tito hingga terjadilah kecelakaan itu. Tito jatuh bersimbah darah di jalanan. Mentari lemas seketika melihat adiknya terkapar seperti itu.
“Ya Allah Titooo. Bangun dek, bangun. Maafin kakak dek.” Tangis Mentari semakin menjadi-jadi.
Mobil pick up itu ingin membawa Tito ke rumah sakit. Namun sayang, Tito sudah dijemput Malaikat Izrail sebelum sampai rumah sakit.
Pesan terakhir Tito untuk Mentari “kak, jaga Bunda…yaa. jangan bohongin… Bunda lagi. Kakak janji yaa… jangan lupa… berjilbab kak…”
Setelah itu, Tito menghembuskan nafas terakhirnya. Kini, yang tersisa dalam diri Mentari tinggallah penyesalan. Tapi ia sadar, larut dalam kesedihan takkan membuat orang mati hidup lagi. Yang harus ia lakukan saat ini adalah merubah diri menjadi lebih baik lagi..
Cerpen Karangan: Dian Antuala
“Aduh, suruh Tito aja ya Bun. Tari buru-buru ada les privat di kafe. Minta uangnya Bun, Rp 100.000,00.”
“Ya udah sayang. Bunda suruh Tito aja. Buat apa uang sebanyak itu Nak?”
“Yah, untuk bayar less Bun.”
“Ya sudah, ini. Belajar yang giat ya sayang.”
Mentari segera menyalami sang Bunda untuk kemudian berlalu menuju kafe. Teman-temannya sudah menunggu sejak tadi.
Di rumah, Tito disuruh sang Bunda untuk mengantarkan kue pesanan bu Fahimah. Tito pun dengan senang hati melakukannya.
Saat dalam perjalanan pulang ke rumah, tanpa sengaja Tito lewat di kafe tempat Mentari belajar. Alangkah terkejutnya ia saat melihat kakaknya tak sedang belajar, melainkan tertawa tak jelas entah apa gerangan. Tito benar-benar marah. Terlebih lagi saat tahu bahwa kakaknya yang mentraktir teman-temannya itu. Dengan geram, Tito mendekati Mentari.
“Kakak bohong ya sama Bunda?”
Sontak, Mentari kaget bukan kepalang. Ia pun menarik Tito jauh dari keramaian.
“Apa sih kamu To? Ganggu aja.”
“Kenapa kakak bohong sama Bunda? Kakak bilang mau belajar, tapi malah hura-hura gak jelas. Ingat kak, Bunda banting tulang kerja buat biayain sekolah kita, bukan untuk senang-senang kak.”
“Sekali sekali gak apa-apalah To.”
“Istighfar kak. Kakak bisa dicap durhaka loh.”
“Udah ah, kamu pulang sana.”
Tak berhenti sampai disitu. Mentari mulai sering berbohong pada Bundanya. Dia lebih sering keluyuran daripada membantu sang Bunda di rumah. Hingga, tibalah saat itu. Saat dimana Tito kembali memergoki kakaknya di kafe. Tapi kali ini, bersama seorang pria. Mentari menyandarkan kepalanya dengan mesra tanpa malu di bahu pria itu. Pria yang jelas saja bukan mahromnya. Tito naik pitam. Tanpa pikir panjang, segera ia dekati mereka dengan membawa air mineral yang ia beli di warung dekat rumah. Tito lalu menyiramkan air itu ke kepala kakaknya. Bukan main kagetnya Mentari.
“Kamu kenapa sih To? Gak bisa liat kakak senang apa? Kamu selalu saja merusak kebahagiaan kakak, Mau kamu apa sih?”
“Astaghfirullah kak, sadar kak. Bagaimana jika Bunda tau kelakuan kakak seperti ini? Kakak, Bunda pasti akan sedih kak.”
“Bunda gak akan tau kalau kamu gak laporin.”
“Masya Allah, kakak. Sadar kak, kakak gak kasian sama Bunda?”
“Udah, kamu jangan banyak ngomong To. Kamu pulang sekarang.” Sambil mendorong Tito ke jalan. Hal yang tak diduga, sebuah mobil pick up melaju ke arah Tito hingga terjadilah kecelakaan itu. Tito jatuh bersimbah darah di jalanan. Mentari lemas seketika melihat adiknya terkapar seperti itu.
“Ya Allah Titooo. Bangun dek, bangun. Maafin kakak dek.” Tangis Mentari semakin menjadi-jadi.
Mobil pick up itu ingin membawa Tito ke rumah sakit. Namun sayang, Tito sudah dijemput Malaikat Izrail sebelum sampai rumah sakit.
Pesan terakhir Tito untuk Mentari “kak, jaga Bunda…yaa. jangan bohongin… Bunda lagi. Kakak janji yaa… jangan lupa… berjilbab kak…”
Setelah itu, Tito menghembuskan nafas terakhirnya. Kini, yang tersisa dalam diri Mentari tinggallah penyesalan. Tapi ia sadar, larut dalam kesedihan takkan membuat orang mati hidup lagi. Yang harus ia lakukan saat ini adalah merubah diri menjadi lebih baik lagi..
Cerpen Karangan: Dian Antuala
No comments:
Post a Comment