Dahulu kala Ada seorang anak muda yang bernama Pagar Bumi. Ia mempunyai enam saudara yang telah mengembara jauh tak tentu rimbanya.
Pada suatu hari ahli ramal dari kerajaan bertemu dengan Pagar Bumi. Selintas pandang ia sudah dapat menerka bahwa kelak Pagar Bumi akan menjadi seorang tokoh sakti, namun kesaktiannya itu akan membahayakan kerjaan. Maka pada hari itu juga Pagar Bumi dan kedua orang tuanya diperintah untuk menghadap ke istana kerajaan. Di sana Pagar Bumi mendapat titah raja, bahwa dia harus meninggalkan wilayah kerajaan Jawa, dia harus diasingkan ke Pulau Sumatera. Ibunya menangis tersedu-sedu.
Maka hari itu juga diiringi derai air mata kedua orang tuanya, Pagar Bumi meninggalkan kampung halaman. Ia berjalan ke arah barat selama beberapa hari.
Pada suatu hari ia sampai di sebuah desa yang termasuk wilayah kerajaan yang diperintah seorang ratu wanita sakti yang mempunyai ilmu gaib.
Di desa itu ia berkenalan dengan seorang pemuda sebaya dengannya. Mereka mendengar sang ratu memberi kesempatan kepada siapa saja untuk belajar ilmu kesaktian kepadanya. Maka kedua sahabat itu pun pergi menghadap sang ratu untuk menuntut ilmu.
Kebetulan yang mendapat giliran pertama adalah temannya. Pagar Bumi menunggu giliran di pendopo ruang tunggu. Karena menunggu terlalu lama Pagar Bumi akhirnya tertidur lelap di pendopo. Hingga temannya selesai ia masih tertidur. Padahal namanya sudah dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang ratu. Celakanya si teman ini tidak membangunkannya, ia terus saja pulang meninggalkan Pagar Bumi.
Sang Ratu pun akhirnya tak sabar, ia segera menghampiri Pagar Bumi. Ia mencoba pula membangunkan Pagar Bumi, namun tindakannya sia-sia. Lalu sang Ratu kembali ke ruang dalam. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa secangkir air putih yang telah diberi mantra dan reramuan yang menjadikan seseorang sakti. Air tersebut dituangkan sang Ratu ke dalam mulut Pagar Bumi Pemuda itu pun sadarkan diri terbangun dari tidurnya.
Ia terkejut mendapat dirinya berada di hadapan sang Ratu dan para hulu balangnya yang berwajah angker. Tetapi di mana temannya telah lama pergi ketika ia masih tertidur lelap. Menyadari hal itu Pagar Bumi merasa malu dan kemudian segera berpamit ke luar istana, ia telah lupa pada niatnya semula ia ingin berguru kepada sang Ratu. Pagar Bumi terus berjalan ke arah barat hingga di tepi pantai Ujung Kelon.
Pagar Bumi berniat menyeberangi selat Sunda. Kebetulan ada perahu dagang hendak menyeberang. Ia ikut menumpang di atas perahu Sekunar itu. Maka sampailah ia di pulau Sumatera. Ia terus berkelana ke pedalaman. Pada suatu hari ia sampai di sebuah dusun di daerah Sumatera Selatan. Karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon rindang berbantalkan tunggul kayu besar yang telah mati. Sungguh aneh, walau tempatnya beristirahat itu tidak jauh keramain, namun tidak seorang pun yang memperhatikan dirinya. Penduduk desa itu seperti tidak melihat kehadiran seorang asing di daerahnya. Berhari-hari Pagar Bumi menyaksikan kegiatan penduduk sambil bersandar di tunggul kayu besar. Selama itu pula ia tidak diperhatikan oleh para penduduk.
"Mereka itu sombang semua atau tidak bisa melihatku?" pikir Pagar Bumi suatu ketika.
Pada suatu hari ada kegiatan yang luar biasa ramainya. Lalu lalang penduduk sangat ramai di sekitar tempat itu. Pagar Bumi penasaran, ada apa gerangan? Ia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak kaget, tunggul kayu yang dijadikan bantalnya dan sandaran telah berubah menjadi batu. Ia tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Lalu ia ikut berjalan ke mana orang-orang itu berbondong-bondong pergi. Ternyata ia pergi ke sebuah bukit yang menjulang tinggi yang disebut Bukit Persegi. Di puncak itu terdapat pohon beringin besar yang di salah satu tangkainya betengger seekor burung berbulu teramat indah.
Anehnya pohon beringin itu bisa mengeluarkan aneka suara bunyi-bunyian seperti layaknya sebuah pertunjukkan orkestra. Sementara sang burung mampu menyayi dan berbicara layaknya manusia. Jika paduan orkestra dan nyanyian berirama gembira maka semua penduduk tertawa gembira. Sebaiknya jika panduan musik itu berirama sedih maka seluruh penduduk menangis tersedu-sedu. Musik dan lagu itu kadangkala diselingi pidato dari sang burung dan didengarkan seksama oleh semua penduduk.
Di senja hari barulah penduduk beranjak meninggalkan Bukit Persegi. Pagar Bumi ikut beranjak pulang. Di tengah perjalanan, ada seekor kijang melintas di depannya. Pagar Bumi kaget dan secara sepontan tiba-tiba ia berteriak, "Batu!" sungguh ajaib, kijang tersebut tiba-tiba berubah menjadi batu.
Pagar Bumi kaget setengah mati. Kini ia sadar kesaktiannya telah masuk ke dalam tubuhnya. Lidahnya telah bertuah. Sejak itu sifatnya berubah menjadi sombong dan sok iseng. Esok harinya penduduk desa melakukan kegiatan masing-masing. Ada tiga orang berjalan beriringan melewati tempat Pagar Bumi biasa duduk. Satu persatu orang yang lewat disapa atau ditegur, takkala orang itu menoleh seketika mereka berubah menjadi batu. Gegerlah masyarakat di sekitar daerah itu. Pagar Bumi diberi julukan Si Pahit Lidah. Kabar itu merebak di segala penjuru, termasuk ke daerah yang sekarang di sebut Lampung.
Saat itu di Lampung terdapat sebuah kerajaan yang bernama Danau Maghrib. Semula kerajaan itu diperintah oleh raja yang arif dan bijaksana. Sang raja mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang putri yang bernama Dewi Santi, yang kedua seorang putra yang bernama Gunawan Bakti dan yang ketiga juga seorang putra yang bernama Gunawan Suci. Namun setelah sang raja wafat tahta kerajaan diambil alih saudara raja yang memerintah dengan Lalim.
Ketika mendengar berita yang menggemparkan itu kedua putra raja itu ingin pergi menyaksikan kebenarannya. Mula-mula paman mereka yang menjadi raja tidak mengizinkan, namun mereka memaksa dan akhirnya mereka diperbolehkan keluar istana. Mereka menunggang kuda pilihan ke Bukit Persegi namun nasib mereka seperti orang-orang lainnya yang lewat di hadapan Pagar Bumi. Begitu disapa mereka menoleh seketika tubuh mereka langsung menjadi batu termasuk kuda yang mereka tunggangi.
Kabar tentang nasib kedua putra raja itu segera tersebar ke segenap. Kakak mereka yaitu Dewi Santi menangis tersedu-sedu karena duka yang mendalam. Selama beberapa hari ia tidak makan dan tak nyenyak tidur. Pada hari kelima setelah kepergian ayah, Dwi Santi tertidur lelap, dalam tidurnya ia bermimpi didatangi kedua orang tuanya, mereka memberi petunjuk tentang tata cara menghadapi Si Pahit Lidah dan membebaskan adiknya yang terkena sihir dari Si Pahit Lidah.
Esok harinya ia menghadap pamannya yang kini menjadi raja. Ia meminta izin ke Bukit Pesegi guna membebaskan kedua adiknya. Pamannya mengizinkan, sebab raja Lalim ini tak mau ada penghalang kelangsungan tahtanya. Jadi kalau keponakannya mau pergi dipersilakan.
Demikianlah, Dewi Santi naik kuda menuju Bukit Pesegi. Ketika mendekati tempat Si Pahit Lidah ia segera menyumbat kedua telinganya dengan kapas. Si Pahit Lidah segera menyapanya dengan teriak dan siulan, namun Dewi Santi tak menghiraukannya sama sekali. Begitulah siasat yang diajarkan oleh Ayahnya dalam mimpi. Ternyata dengan cara itu ia telah terhindar dari kekuatan sihir Si Pahit Lidah.
Sampai di atas Bukit Pesegi Dewi Santi terheran-heran, ia terkesima melihat seekor burung yang pintar menyanyi dan sebuah pohon yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyian seperti musik alami. Namun ia segera sadar, bahwa kedatangannya bukan menghibur diri, melainkan membebaskan kedua adiknya yang telah menjadi batu. Sesuai amanat ayahnya ia melompat turun dari kuda lalu melangkah ke pangkal pohon beringin, di salah satu celah batang pohon ia mengambil sebuah peti kayu yang di dalamnya berisi abu. Kemudian kembali menaiki kudanya, menuruni bukit ke tempat adiknya berada. Perjalanan sang Putri kali ini ditemani seekor burung.
Sampai di tempat Si Pahit tiba-tiba si Burung ajaib menukik tajam tepat di bahu Si Pahit Lidah, seketika Si Pahit Lidah tak dapat bergerak. Sang putri segera menyumbat mulut Si Pahit Lidah dengan persediaan kapas yang dibawanya. Kemudian menaburkan abu dalam kotak ke muka orang-orang yang telah membantu. Ajaib seketika mereka yang telah menjadi patung itu berubah lagi menjadi manusia. Dewi Santi buru-buru mengajak semuanya menyingkir dari tempat itu. "Cepat waktu kita tinggal sedikit, sebentar lagi orang ini dapat bergerak lagi." kata si Burung ajaib.
Si Pahit Lidah terpukul jiwanya, ia merasa malu dikalahkan oleh seorang gadis cantik yang tampaknya lemah lembut itu. Ia kemudian meninggalkan Daerah Bukit Pesegi. Ia lalu mengembara lagi, naik gunung turun gunung, hingga sampai di daerah Ogan Komering Ulu. Ia bermaksud menyeberangi Sungai Komering, namun sungai itu tak ada yang datar karena sungai Komering itu sedang banjir. Karena ia kecewa lalu ia pergi ke sumber sungai itu, yaitu di Danau Ranua di kaki Gunung Seminung. Ia bermaksud membendung sungai itu. Di kumpulkan batu besar, sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Tidak beberapa lama kemudian jadilah dan raksasa yang membendung sungai Komering. Dan akibatnya perekonomian penduduk itu terhenti, dan supaya air itu mengalir lagi para pemuka masyarakat kemudian meminta bantuan seorang pintar yang bernama Puyung Junjungan. Puyung Junjungan menemui Si Pahit Lidah dan berkata, "Hai Pahit Lidah, bendungan telah bocor!" tanpa sadar Si Pahit Lidah mengulang ucapan Puyung Junjungan. Apa? Bangunan bendungan telah bocor?" Seketika bendungan sungai Komering runtuh bagai terkena gempa bumi. Air sungai mengalir seperti semula. Si Pahit Lidah merasa malu, lalu pergi meninggalkan daerah itu mengembara.
Si Pahit Lidah menuju Ulu menyusuri sungai Ogan. Mendekati satu tepi yang berbatu-batu yang kelihatannya ditata sebagai tempat pemandian. Ia mendengar bunyi gendang ditabuh tertalu-talu, suara sorak-sorai penuh tawa. Suara lelaki dan perempuan berbalas-balasan. Ia mendekati suara-suara itu dengan mengendap-endap. Dari jauh tampak dua sejoli sepasang suami istri sedang diarak dengan payung kebesaran. Mereka hendak melaksanakan adat pengantin turun madi penyuci diri. Si pengantin pria adalah putra raja yang baru saja menikahi gadis cantik jelita.
Dari kejauhan Si Pahit Lidah secara iseng bertanya "Sedang berpesta apa kalian?" karena dia berada dikejahuan, lagi pula suara gendang bertalu-talu maka orang-orang itu tak mendengar pertanyaannya.
Karena pertanyaannya tidak dijawab maka Si Pahit Lidah menjadi marah dan berucap. "Barang kali mereka semua itu adalah batu!"
Seketika keramaian itu terhanti dan semua orang menjadi batu. Maka hingga kini tempat itu dinamakan Batu Raja. Demikianlah Si Pahit Lidah terus mengembara sepanjang perjalanan ia menimbulkan ketakutan penduduk setempat karena setiap ketemu orang ia menyihir menjadi batu. Sehingga lama-lama ia dijauhi manusia dan hanya hidup seorang diri. Setiap desa yang dilaluinya selalu berusaha mencari cara untuk menumpas atau mengalahkan kesaktiannya.
Pengembara Si Pahit Lidah menjadi tak tentu arah. Sampai pada suatu ketika ia sampai di sebuah kerajaan Tanjung Menang, raja negeri itu bernama Nurullah atau si Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun milik raja yang dijaga tiga puluh tentara. Karena merasa kehausan ia meminta jeruk kepada penjaga kebun. Penjaga kebun tak berani memberikan, takut dimarah raja. Maka Si Pahit Lidah berucap, "Ah, jeruk pahit begitu tak boleh diminta, kikir amat sih!" Lalu Si Pahit Lidah berlalu dari tempat itu. Penjaga itu mengira kejadian itu di anggap hal biasa. Tapi ketika esok harinya raja marah-marah karena jeruk yang biasanya manis dan segar sekarang menjadi pahit dan tidak enak. Penjaga kebun menceritakan kejadian kemarin siang. Raja kemudian memerintahkan kepada bala tentara untuk mencari Si Pahit Lidah yang telah menyihir kebun jeruknya.
Dengan berbagai cara akhirnya Si Pahit Lidah dapat ditangkap dan di bawa ke hadapan raja si Empat Mata. Sedianya ia hendak dihukum namun apa yang terjadi. Sang raja justru merangkul Si Pahit Lidah. Sebab sang raja adalah kakak Si Pahit Lidah sendiri. Maka berangkullah kakak beradik yang telah bertahun-tahun tak bertemu itu. Si Pahit Lidah yang biasanya muram, keruh dan penuh dendam, kini berubah menjadi cerah dan ceria. Sejak saat itu ia diterima sebagai anggota keluarga istana dan hidup baik-baik sebagai pembantu raja. Ia diberi jabatan sebagai salah seorang panglima kerajaan.
Si Pahit Lidah atau Pagar Bumi akhirnya menikah dengan seorang gadis cantik di kerajaan itu namanya Dayang Merindu. Dari perkawinannya ini ia dikaruniai seorang putra laki-laki yang montok. Maka lengkaplah kini kebahagiaan Si Pahit Lidah. Ia telah punya kedudukan tinggi, punya istri dan anak belahan jiwa.
Kemakmuran negeri Tanjung Menang mengundang kecemburuan negeri-negeri lainnya, terutama kerajaan tetangga di sebelah Ulu. Mereka selalu melakukan gangguan keamanan. Atas usul Si Pahit Lidah musyawarah kerajaan memutuskan untuk membendung alur sungai Sugian. Demikian, pekerjaan raksasa membendung sungai besar itu di percayakan kepada Si Pahit Lidah. Segala dana dan tenaga di kerahkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama bendungan hampir saja selesai. Air sungai terhenti mengalir, padahal air sungai adalah sarana lalu lintas paling penting untuk perhubungan dagang dengan negeri-negeri lain. Akibatnya ekonomi tersendat bahkan hampir tak ada kegiatan perdagangan lagi, kerajaan Tanjung Menang tertutup dari dunia luar.
Suatu hari raja mengutus Si Pahit Lidah untuk menaklukkan negeri-negeri tetangga karena negeri tersebut sering membuat keonaran. Si Pahit Lidah berhasil menaklukkan. Karena keberhasilannya itulah ia menjadi sombong dan ingin menguasai Negeri Tanjung Menang dan mengincar kedudukan raja yang dijabat kakaknya yaitu si Empat Mata.
Dengan kesaktiannya dan pengalamannya itu ia memperkirakan dirinya lebih tepat menjadi raja ketimbang saudara-saudaranya yang lain. Keinginan itu disampaikan secara terus terang kepada saudara- saudaranya. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah. Terjadilah perdebatan seru. Karena tidak ada yang mengalah diputuskan adu kesakitan ajaran Si Pahit Lidah dengan si Empat Mata.
Keesokan harinya berkumpullah ketujuh saudara kandung itu bawah pohon yaitu pohon enau yang tinggi dan benar. Dalam pertandingan itu siapa yang menang akan berhak menjadi raja. Sesuai kesepakatan maka si Mata Empat diuji lebih dahulu. Si Pahit Lidah lalu memanjat pohon enau yang penuh dengan buah. Sementara si Empat Mata berbaring telungkup di bawah pohon, siap memerima jatuhnya tandan-tandan enau ke punggungnya.
Suasana jadi tegang. Kelima saudaranya berharap agar si Empat Mata selamat. Tandan enau yang benar-benar itu berjatuhan dan tidak mengenai si empat mata karena si Empat Mata dapat melihat tandan-tandan yang jatuh. Mata si Empat mata yang dua di depan dan yang dua lagi di kepala bagian belakang. Jadi meskipun telungkup dia tetap melihat ke atas.
Kini giliran Si Pahit Lidah telungkup di bawah pohon enau. Si Empat Mata naik ke pohon enau dan menjatuhkan tandan-tandan enau. Satu demi satu tandan enau itu berjatuhan dan mengenai Si Pahit Lidah. Akhirnya Si Pahit Lidah menghembuskan nyawa.
Si Empat Mata segera turun dari pohon enau dengan saudara-saudaranya mereka menghampiri jasad Si Pahit Lidah. Bagaimanapun mereka tetap menyayangi karena Si Pahit Lidah adalah adik bungsunya. Si Empat Mata mencoba membalikkan tubuh Si Pahit Lidah dan berkata "Dia dijuluki Si Pahit Lidah, akan kucoba apakah benar lidahnya pahit?"
Si Empat Mata mengangkat tubuh Si Pahit Lidah dan menjulurkan lidahnya untuk mencicipi lidah adiknya yang telah mati. Namun inilah kesalahan fatal si Empat Mata sebab lidah adiknya mengandung racun dan kesakitan yang luar biasa. Si Empat Mata jatuh pingsan dan tak lama kemudian menghembuskan nafas menyusul adiknya ke alam baka.
Tamat.
Pada suatu hari ahli ramal dari kerajaan bertemu dengan Pagar Bumi. Selintas pandang ia sudah dapat menerka bahwa kelak Pagar Bumi akan menjadi seorang tokoh sakti, namun kesaktiannya itu akan membahayakan kerjaan. Maka pada hari itu juga Pagar Bumi dan kedua orang tuanya diperintah untuk menghadap ke istana kerajaan. Di sana Pagar Bumi mendapat titah raja, bahwa dia harus meninggalkan wilayah kerajaan Jawa, dia harus diasingkan ke Pulau Sumatera. Ibunya menangis tersedu-sedu.
Maka hari itu juga diiringi derai air mata kedua orang tuanya, Pagar Bumi meninggalkan kampung halaman. Ia berjalan ke arah barat selama beberapa hari.
Pada suatu hari ia sampai di sebuah desa yang termasuk wilayah kerajaan yang diperintah seorang ratu wanita sakti yang mempunyai ilmu gaib.
Di desa itu ia berkenalan dengan seorang pemuda sebaya dengannya. Mereka mendengar sang ratu memberi kesempatan kepada siapa saja untuk belajar ilmu kesaktian kepadanya. Maka kedua sahabat itu pun pergi menghadap sang ratu untuk menuntut ilmu.
Kebetulan yang mendapat giliran pertama adalah temannya. Pagar Bumi menunggu giliran di pendopo ruang tunggu. Karena menunggu terlalu lama Pagar Bumi akhirnya tertidur lelap di pendopo. Hingga temannya selesai ia masih tertidur. Padahal namanya sudah dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang ratu. Celakanya si teman ini tidak membangunkannya, ia terus saja pulang meninggalkan Pagar Bumi.
Sang Ratu pun akhirnya tak sabar, ia segera menghampiri Pagar Bumi. Ia mencoba pula membangunkan Pagar Bumi, namun tindakannya sia-sia. Lalu sang Ratu kembali ke ruang dalam. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa secangkir air putih yang telah diberi mantra dan reramuan yang menjadikan seseorang sakti. Air tersebut dituangkan sang Ratu ke dalam mulut Pagar Bumi Pemuda itu pun sadarkan diri terbangun dari tidurnya.
Ia terkejut mendapat dirinya berada di hadapan sang Ratu dan para hulu balangnya yang berwajah angker. Tetapi di mana temannya telah lama pergi ketika ia masih tertidur lelap. Menyadari hal itu Pagar Bumi merasa malu dan kemudian segera berpamit ke luar istana, ia telah lupa pada niatnya semula ia ingin berguru kepada sang Ratu. Pagar Bumi terus berjalan ke arah barat hingga di tepi pantai Ujung Kelon.
Pagar Bumi berniat menyeberangi selat Sunda. Kebetulan ada perahu dagang hendak menyeberang. Ia ikut menumpang di atas perahu Sekunar itu. Maka sampailah ia di pulau Sumatera. Ia terus berkelana ke pedalaman. Pada suatu hari ia sampai di sebuah dusun di daerah Sumatera Selatan. Karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon rindang berbantalkan tunggul kayu besar yang telah mati. Sungguh aneh, walau tempatnya beristirahat itu tidak jauh keramain, namun tidak seorang pun yang memperhatikan dirinya. Penduduk desa itu seperti tidak melihat kehadiran seorang asing di daerahnya. Berhari-hari Pagar Bumi menyaksikan kegiatan penduduk sambil bersandar di tunggul kayu besar. Selama itu pula ia tidak diperhatikan oleh para penduduk.
"Mereka itu sombang semua atau tidak bisa melihatku?" pikir Pagar Bumi suatu ketika.
Pada suatu hari ada kegiatan yang luar biasa ramainya. Lalu lalang penduduk sangat ramai di sekitar tempat itu. Pagar Bumi penasaran, ada apa gerangan? Ia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak kaget, tunggul kayu yang dijadikan bantalnya dan sandaran telah berubah menjadi batu. Ia tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Lalu ia ikut berjalan ke mana orang-orang itu berbondong-bondong pergi. Ternyata ia pergi ke sebuah bukit yang menjulang tinggi yang disebut Bukit Persegi. Di puncak itu terdapat pohon beringin besar yang di salah satu tangkainya betengger seekor burung berbulu teramat indah.
Anehnya pohon beringin itu bisa mengeluarkan aneka suara bunyi-bunyian seperti layaknya sebuah pertunjukkan orkestra. Sementara sang burung mampu menyayi dan berbicara layaknya manusia. Jika paduan orkestra dan nyanyian berirama gembira maka semua penduduk tertawa gembira. Sebaiknya jika panduan musik itu berirama sedih maka seluruh penduduk menangis tersedu-sedu. Musik dan lagu itu kadangkala diselingi pidato dari sang burung dan didengarkan seksama oleh semua penduduk.
Di senja hari barulah penduduk beranjak meninggalkan Bukit Persegi. Pagar Bumi ikut beranjak pulang. Di tengah perjalanan, ada seekor kijang melintas di depannya. Pagar Bumi kaget dan secara sepontan tiba-tiba ia berteriak, "Batu!" sungguh ajaib, kijang tersebut tiba-tiba berubah menjadi batu.
Pagar Bumi kaget setengah mati. Kini ia sadar kesaktiannya telah masuk ke dalam tubuhnya. Lidahnya telah bertuah. Sejak itu sifatnya berubah menjadi sombong dan sok iseng. Esok harinya penduduk desa melakukan kegiatan masing-masing. Ada tiga orang berjalan beriringan melewati tempat Pagar Bumi biasa duduk. Satu persatu orang yang lewat disapa atau ditegur, takkala orang itu menoleh seketika mereka berubah menjadi batu. Gegerlah masyarakat di sekitar daerah itu. Pagar Bumi diberi julukan Si Pahit Lidah. Kabar itu merebak di segala penjuru, termasuk ke daerah yang sekarang di sebut Lampung.
Saat itu di Lampung terdapat sebuah kerajaan yang bernama Danau Maghrib. Semula kerajaan itu diperintah oleh raja yang arif dan bijaksana. Sang raja mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang putri yang bernama Dewi Santi, yang kedua seorang putra yang bernama Gunawan Bakti dan yang ketiga juga seorang putra yang bernama Gunawan Suci. Namun setelah sang raja wafat tahta kerajaan diambil alih saudara raja yang memerintah dengan Lalim.
Ketika mendengar berita yang menggemparkan itu kedua putra raja itu ingin pergi menyaksikan kebenarannya. Mula-mula paman mereka yang menjadi raja tidak mengizinkan, namun mereka memaksa dan akhirnya mereka diperbolehkan keluar istana. Mereka menunggang kuda pilihan ke Bukit Persegi namun nasib mereka seperti orang-orang lainnya yang lewat di hadapan Pagar Bumi. Begitu disapa mereka menoleh seketika tubuh mereka langsung menjadi batu termasuk kuda yang mereka tunggangi.
Kabar tentang nasib kedua putra raja itu segera tersebar ke segenap. Kakak mereka yaitu Dewi Santi menangis tersedu-sedu karena duka yang mendalam. Selama beberapa hari ia tidak makan dan tak nyenyak tidur. Pada hari kelima setelah kepergian ayah, Dwi Santi tertidur lelap, dalam tidurnya ia bermimpi didatangi kedua orang tuanya, mereka memberi petunjuk tentang tata cara menghadapi Si Pahit Lidah dan membebaskan adiknya yang terkena sihir dari Si Pahit Lidah.
Esok harinya ia menghadap pamannya yang kini menjadi raja. Ia meminta izin ke Bukit Pesegi guna membebaskan kedua adiknya. Pamannya mengizinkan, sebab raja Lalim ini tak mau ada penghalang kelangsungan tahtanya. Jadi kalau keponakannya mau pergi dipersilakan.
Demikianlah, Dewi Santi naik kuda menuju Bukit Pesegi. Ketika mendekati tempat Si Pahit Lidah ia segera menyumbat kedua telinganya dengan kapas. Si Pahit Lidah segera menyapanya dengan teriak dan siulan, namun Dewi Santi tak menghiraukannya sama sekali. Begitulah siasat yang diajarkan oleh Ayahnya dalam mimpi. Ternyata dengan cara itu ia telah terhindar dari kekuatan sihir Si Pahit Lidah.
Sampai di atas Bukit Pesegi Dewi Santi terheran-heran, ia terkesima melihat seekor burung yang pintar menyanyi dan sebuah pohon yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyian seperti musik alami. Namun ia segera sadar, bahwa kedatangannya bukan menghibur diri, melainkan membebaskan kedua adiknya yang telah menjadi batu. Sesuai amanat ayahnya ia melompat turun dari kuda lalu melangkah ke pangkal pohon beringin, di salah satu celah batang pohon ia mengambil sebuah peti kayu yang di dalamnya berisi abu. Kemudian kembali menaiki kudanya, menuruni bukit ke tempat adiknya berada. Perjalanan sang Putri kali ini ditemani seekor burung.
Sampai di tempat Si Pahit tiba-tiba si Burung ajaib menukik tajam tepat di bahu Si Pahit Lidah, seketika Si Pahit Lidah tak dapat bergerak. Sang putri segera menyumbat mulut Si Pahit Lidah dengan persediaan kapas yang dibawanya. Kemudian menaburkan abu dalam kotak ke muka orang-orang yang telah membantu. Ajaib seketika mereka yang telah menjadi patung itu berubah lagi menjadi manusia. Dewi Santi buru-buru mengajak semuanya menyingkir dari tempat itu. "Cepat waktu kita tinggal sedikit, sebentar lagi orang ini dapat bergerak lagi." kata si Burung ajaib.
Si Pahit Lidah terpukul jiwanya, ia merasa malu dikalahkan oleh seorang gadis cantik yang tampaknya lemah lembut itu. Ia kemudian meninggalkan Daerah Bukit Pesegi. Ia lalu mengembara lagi, naik gunung turun gunung, hingga sampai di daerah Ogan Komering Ulu. Ia bermaksud menyeberangi Sungai Komering, namun sungai itu tak ada yang datar karena sungai Komering itu sedang banjir. Karena ia kecewa lalu ia pergi ke sumber sungai itu, yaitu di Danau Ranua di kaki Gunung Seminung. Ia bermaksud membendung sungai itu. Di kumpulkan batu besar, sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Tidak beberapa lama kemudian jadilah dan raksasa yang membendung sungai Komering. Dan akibatnya perekonomian penduduk itu terhenti, dan supaya air itu mengalir lagi para pemuka masyarakat kemudian meminta bantuan seorang pintar yang bernama Puyung Junjungan. Puyung Junjungan menemui Si Pahit Lidah dan berkata, "Hai Pahit Lidah, bendungan telah bocor!" tanpa sadar Si Pahit Lidah mengulang ucapan Puyung Junjungan. Apa? Bangunan bendungan telah bocor?" Seketika bendungan sungai Komering runtuh bagai terkena gempa bumi. Air sungai mengalir seperti semula. Si Pahit Lidah merasa malu, lalu pergi meninggalkan daerah itu mengembara.
Si Pahit Lidah menuju Ulu menyusuri sungai Ogan. Mendekati satu tepi yang berbatu-batu yang kelihatannya ditata sebagai tempat pemandian. Ia mendengar bunyi gendang ditabuh tertalu-talu, suara sorak-sorai penuh tawa. Suara lelaki dan perempuan berbalas-balasan. Ia mendekati suara-suara itu dengan mengendap-endap. Dari jauh tampak dua sejoli sepasang suami istri sedang diarak dengan payung kebesaran. Mereka hendak melaksanakan adat pengantin turun madi penyuci diri. Si pengantin pria adalah putra raja yang baru saja menikahi gadis cantik jelita.
Dari kejauhan Si Pahit Lidah secara iseng bertanya "Sedang berpesta apa kalian?" karena dia berada dikejahuan, lagi pula suara gendang bertalu-talu maka orang-orang itu tak mendengar pertanyaannya.
Karena pertanyaannya tidak dijawab maka Si Pahit Lidah menjadi marah dan berucap. "Barang kali mereka semua itu adalah batu!"
Seketika keramaian itu terhanti dan semua orang menjadi batu. Maka hingga kini tempat itu dinamakan Batu Raja. Demikianlah Si Pahit Lidah terus mengembara sepanjang perjalanan ia menimbulkan ketakutan penduduk setempat karena setiap ketemu orang ia menyihir menjadi batu. Sehingga lama-lama ia dijauhi manusia dan hanya hidup seorang diri. Setiap desa yang dilaluinya selalu berusaha mencari cara untuk menumpas atau mengalahkan kesaktiannya.
Pengembara Si Pahit Lidah menjadi tak tentu arah. Sampai pada suatu ketika ia sampai di sebuah kerajaan Tanjung Menang, raja negeri itu bernama Nurullah atau si Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun milik raja yang dijaga tiga puluh tentara. Karena merasa kehausan ia meminta jeruk kepada penjaga kebun. Penjaga kebun tak berani memberikan, takut dimarah raja. Maka Si Pahit Lidah berucap, "Ah, jeruk pahit begitu tak boleh diminta, kikir amat sih!" Lalu Si Pahit Lidah berlalu dari tempat itu. Penjaga itu mengira kejadian itu di anggap hal biasa. Tapi ketika esok harinya raja marah-marah karena jeruk yang biasanya manis dan segar sekarang menjadi pahit dan tidak enak. Penjaga kebun menceritakan kejadian kemarin siang. Raja kemudian memerintahkan kepada bala tentara untuk mencari Si Pahit Lidah yang telah menyihir kebun jeruknya.
Dengan berbagai cara akhirnya Si Pahit Lidah dapat ditangkap dan di bawa ke hadapan raja si Empat Mata. Sedianya ia hendak dihukum namun apa yang terjadi. Sang raja justru merangkul Si Pahit Lidah. Sebab sang raja adalah kakak Si Pahit Lidah sendiri. Maka berangkullah kakak beradik yang telah bertahun-tahun tak bertemu itu. Si Pahit Lidah yang biasanya muram, keruh dan penuh dendam, kini berubah menjadi cerah dan ceria. Sejak saat itu ia diterima sebagai anggota keluarga istana dan hidup baik-baik sebagai pembantu raja. Ia diberi jabatan sebagai salah seorang panglima kerajaan.
Si Pahit Lidah atau Pagar Bumi akhirnya menikah dengan seorang gadis cantik di kerajaan itu namanya Dayang Merindu. Dari perkawinannya ini ia dikaruniai seorang putra laki-laki yang montok. Maka lengkaplah kini kebahagiaan Si Pahit Lidah. Ia telah punya kedudukan tinggi, punya istri dan anak belahan jiwa.
Kemakmuran negeri Tanjung Menang mengundang kecemburuan negeri-negeri lainnya, terutama kerajaan tetangga di sebelah Ulu. Mereka selalu melakukan gangguan keamanan. Atas usul Si Pahit Lidah musyawarah kerajaan memutuskan untuk membendung alur sungai Sugian. Demikian, pekerjaan raksasa membendung sungai besar itu di percayakan kepada Si Pahit Lidah. Segala dana dan tenaga di kerahkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama bendungan hampir saja selesai. Air sungai terhenti mengalir, padahal air sungai adalah sarana lalu lintas paling penting untuk perhubungan dagang dengan negeri-negeri lain. Akibatnya ekonomi tersendat bahkan hampir tak ada kegiatan perdagangan lagi, kerajaan Tanjung Menang tertutup dari dunia luar.
Suatu hari raja mengutus Si Pahit Lidah untuk menaklukkan negeri-negeri tetangga karena negeri tersebut sering membuat keonaran. Si Pahit Lidah berhasil menaklukkan. Karena keberhasilannya itulah ia menjadi sombong dan ingin menguasai Negeri Tanjung Menang dan mengincar kedudukan raja yang dijabat kakaknya yaitu si Empat Mata.
Dengan kesaktiannya dan pengalamannya itu ia memperkirakan dirinya lebih tepat menjadi raja ketimbang saudara-saudaranya yang lain. Keinginan itu disampaikan secara terus terang kepada saudara- saudaranya. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah. Terjadilah perdebatan seru. Karena tidak ada yang mengalah diputuskan adu kesakitan ajaran Si Pahit Lidah dengan si Empat Mata.
Keesokan harinya berkumpullah ketujuh saudara kandung itu bawah pohon yaitu pohon enau yang tinggi dan benar. Dalam pertandingan itu siapa yang menang akan berhak menjadi raja. Sesuai kesepakatan maka si Mata Empat diuji lebih dahulu. Si Pahit Lidah lalu memanjat pohon enau yang penuh dengan buah. Sementara si Empat Mata berbaring telungkup di bawah pohon, siap memerima jatuhnya tandan-tandan enau ke punggungnya.
Suasana jadi tegang. Kelima saudaranya berharap agar si Empat Mata selamat. Tandan enau yang benar-benar itu berjatuhan dan tidak mengenai si empat mata karena si Empat Mata dapat melihat tandan-tandan yang jatuh. Mata si Empat mata yang dua di depan dan yang dua lagi di kepala bagian belakang. Jadi meskipun telungkup dia tetap melihat ke atas.
Kini giliran Si Pahit Lidah telungkup di bawah pohon enau. Si Empat Mata naik ke pohon enau dan menjatuhkan tandan-tandan enau. Satu demi satu tandan enau itu berjatuhan dan mengenai Si Pahit Lidah. Akhirnya Si Pahit Lidah menghembuskan nyawa.
Si Empat Mata segera turun dari pohon enau dengan saudara-saudaranya mereka menghampiri jasad Si Pahit Lidah. Bagaimanapun mereka tetap menyayangi karena Si Pahit Lidah adalah adik bungsunya. Si Empat Mata mencoba membalikkan tubuh Si Pahit Lidah dan berkata "Dia dijuluki Si Pahit Lidah, akan kucoba apakah benar lidahnya pahit?"
Si Empat Mata mengangkat tubuh Si Pahit Lidah dan menjulurkan lidahnya untuk mencicipi lidah adiknya yang telah mati. Namun inilah kesalahan fatal si Empat Mata sebab lidah adiknya mengandung racun dan kesakitan yang luar biasa. Si Empat Mata jatuh pingsan dan tak lama kemudian menghembuskan nafas menyusul adiknya ke alam baka.
Tamat.
No comments:
Post a Comment