Namaku Syakila, aku lahir dan dibesarkan di kota yang tak pernah sepi Jakarta namanya. Hari-hariku selalu indah, ditambah orangtuaku yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hatinya dan mereka tak pernah meninggalkanku. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. Tak terasa kini usiaku sudah 12 tahun.
Semua hal indah itu kini menghilang begitupun dengan mimpi indahku, aku yang tak pernah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku kini mereka pergi jauh dariku. Bukan pergi untuk selamanya, tempat yang memisahkan.
Siang itu aku dan kedua orangtuaku, pergi ke rumah kakek. Letaknya lumayan jauh, Sukabumi tepatnya. Saat itu, sedang hari raya dimana semua orang sibuk untuk mudik sama denganku. Aku terus merengek ingin mudik ke rumah kakek. Tapi, entah kenapa ayah dan ibuku memintaku untuk tidak mudik dahulu. Namu, karena mereka sangat sayang kepadaku ditambah aku yang terus merengek, akhirnya kami mudik bersama. Ayah dan ibuku merasa berat meningglkan rumah. Akhirnya kita pun pergi bersama dengan menggunakan mobil yang kami miliki. Aku heran dengan sikap mereka, tiba-tiba mereka membawa semua berkas penting dan perhiasan serta uang yang mereka biasa simpan di lemari. Aku tak memperlihatkan keherananku, kami pergi dengan segudang harta yang kami miliki dengan mobil kami. Setibanya di rumah kakek, aku langsung memeluknya. Aku adalah cucu kesayangan kakek, karna kakek hanya memiliki satu anak yaitu ibuku dan juga satu cucu yaitu aku.
Hari itu hari Kamis, setiap hari Kamis kakekku selalu pergi ke dokter untuk chek up. Aku, ayah dan ibuku mengentarnya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kakek diperikasa oleh dokter, aku dan ibu menemani kakek masuk ke ruang periksa. Sedangkan ayahku menunggu di luar, ketika kami sedang di dalam, ayahku mendapatkan telepon, bahwa rumah kami kebakaran dan semuanya habis tidak ada yang tersisa. Ayahku yang gelisah tidak langsung memberitahu kami, karena ayah tahu kalau kakek memiliki penyakit jantung.
Setelah selesai chek up, kami pulang ke rumah. Selama di jalan ayahku gelisah dan ayahku merasa sangat sedih. Selama di mobil ibuku bertanya kepada ayahku “ayah, kenapa? Kok kelihatannya gelisah. Apa yang ayah gelisahkan?” tanya ibuku sambil membelai bahu ayahku sedangkan aku duduk dengan kakek di belakang. “tidak, ayah tidak kenapa kenapa.” Jawab ayah yang terus fokus melihat jalan.
Sesampainya di rumah, ibuku mengantar kakek ke kamar dan meninggalkan kakek denganku berdua. Karena aku selalu ingin tidur bersama kakek. Disamping itu, ibuku menghampiri ayah di kamar yang sedari tadi gelisah. “ayah, ayah kenapa. Ada yang ayah sembunyikan dari ibu. Ayah jujur sama ibu.” Tanya ibu sembari duduk di samping ayah. “ibu… bu” ucap ayahku tersendat-sendat. “kenapa ayah? Kenapa?” Tanya ibu. “rumah kita bu, rumah kita.” Jawab ayah. “Kenapa dengan rumah kita ayah, kenapa.” Tanya ibu, yang sudah memiliki firasat tidak baik. “rumah kita… kebakaran.” jawab ayah sambil memeluk ibu. Ayah dan ibuku menangis, sedangkan kakek yang mendengarkan di balik pintu langsung menggendongku pergi ke kamar. Bukannya kakekku gak peduli, bahkan dia sangat peduli namun kakek punya cara sendiri.
Ayah dan ibuku yang terus menangis mereka tak menyangk bagaikan disambar petir. “pantas saja aku rasanya ingin membawa semua barang berharga yang kita miliki ternyata ini jawabannya.” Kata ibuku sambil melepaskan pelukan dari ayahku. “ibu yang sabar yah, ayah tahu bukan hanya ibu yang merasa terpukul tapi ayah juga.” kata ayahku sambil menenangkan ibu.
Sudah 3 jam ayah dan ibuku menangis, mata yang sembab itu tidak membuat mereka mengantuk. Mereka hanya melamun, malam itu, tepatnya pukul 01.00, Ayah dan ibuku menghampiriku yang sedang tertidur pulas, padahal aku tahu mereka menghampiriku dan mengkecup keningku. Mereka langsung memeluk kakek, aku pun terbangun. “Ayah, ibu kenapa kok kalian ada disini. Ayah dan ibu gak tidur.” Tanyaku yang pura-pura tidak tahu apa-apa.
Mereka kembali meneteskan air mata dari mata mereka yang sembab. “Kok ayah sama ibu nangis” aku langsung memeluk kakek.
“kalian yang sabar, mungkin ini semua cobaan untuk kalian dari Allah. Jangan menangis, biarkan semuanya berjalan, mengalir seperti air. Semua yang kita miliki di dunia ini hanya sebatas titipan.” Ucap kakek sambil beranjak dari tidurnya dan mengusap tangan ayah dan ibuku. “rumahmu, anakmu, suamimu itu samua hanya sebatas titipan.” Lanjut kakek dengan mengankat dagu ibuku yang tertunduk.
Aku yang saat itu sedang memeluk kakek, langsung terbangun dan memeluk ayah dan ibu. “ayah, ibu memangnya ada apa?” Tanyaku. “nak, kita sekarang pulang dulu yah, kita lihat dulu rumah kita.” Ucap ayahku. Mereka tidak memberitahuku bahwa rumah kami kebakaran. Mungkin karena mereka tidak ingin membuat aku menangis. “kalian lihat dulu saja rumah kalian, setelah itu kalian pulang lagi ke kisini.” ucap kakekku. “iya yah, kami pamit dulu. Kami pasti langsung pulang lagi ke rumah ayah. Ayah hati-hati yah disini. Kami pamit ya yah.” Ucap ibuku sembari pamitan sama kakek dan aku digendong ayah untuk masuk ke mobil.
Sesampainya di rumah kami, aku, ayah dan ibu benar-benar sedih dan terpukul melihat rumah yang sedari dulu kami tempati kini habis terbakar oleh api. Kami pun memeriksa puing-puing rumah barang kali ada yang tersisa. Ternyata benar ada satu benda yang tidak habis terbakar, yaitu Al-Quran. Kami langsung mengambil Al-Quran itu. Tidak ada lagi yang tersisa selain Al-Quran itu. Rencana selanjutnya kami akan mebersihkannya dan lahannya akan kami jual. Kami akan tinggal sementara di rumah kakek.
Paginya kami pulang ke rumah kakek, dan memberikan Al-Quran yang tidak terbakar itu kepada kakek. Detik berganti menit, menit berganti jam, tam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. 3 tahun lamanya kami menumpang di rumah kakek, ayahku yang merasa bahwa kita tidak bisa selamanya tinggal di rumah kakek berencana pindah ke luar pulau karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah. Ibuku yang sangat patuh dan menyayangi ayah ikut pindah bukan berarti ibuku tidak sayang kepadaku tapi, ini juga untuk kebaikannku. Aku yang tidak bisa meninggalkan sekolahku karena sebentar lagi ujian tidak memungkinkanku untuk ikut bersama ayah dan ibuku. Akhirnya ayah dan ibuku pindah ke Kalimantan dan aku tetap tinggal bersama kakekku di Sukabumi.
Waktu terus berlalu, aku yang tetap berama kakek hingga aku lulus SMA. Kakekku yang sangat menyayangiku, terus menemaniku 4 tahun lamanya.
Aku sangat rindu kepada ayah dan ibuku, selama 4 tahun itu ayah dan ibu belum pulang juga untuk menemuiku. Mereka hanya mengirim aku uang saku hanya lewat ATM. Selama aku jauh dari ayah dan ibuku tiada hari tanpaku teteskan air mata. Aku sangat sedih, aku tak pernah menyangka perjalanan hidupku akan seperti ini. Kakekku yang selalu menguatkannku, kakekku yang tak pernah jenuh melihatku menangis.
Seusai SMA, aku dan kakek berencana untuk pergi menemui ayah dan ibu di Kalimantan. Hari itu hari Minggu, aku dan kakek sudah memesan tiket pesawat. Aku mengabari ibuku bahwa aku akan pergi ke sana. Dan ibuku akan menjemput aku dan kakekku di Bandara. Sedangkan ayahku yang sedang bekerja tidak bisa menemani ibu untuk menjemputku.
Entah kenapa, kakiku serasa terpaku di bumi ini dan berat rasanya untukku melangkahkan kaki. Berbeda dengan kakek yang sangat bahagia karena akan bertemu dengan ibu dan ayahku. “kek, sudah siap.” Tanyaku ketika hendak masuk ke taksi. “sudah, kalau kamu.” Tanya kakek kepadaku. “sudah kek, ayo kek masuk taksinya sudah menunggu.” Lanjutku. Kakek pun naik ke mobil, saat aku naik bajuku tiba tiba robek tersangkut di pintu taksi. “kakek, bajuku robek.” “tidak apa apa nak, sedikit ini kan.” Ucap kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah. Hatiku terus gelisah, aku terus berdzikir mengingat Allah. Tak berapa lama aku menengok ke jendela sampingku dan AaaaAAAaAaa aku tak sadarkan diri dan aku tak bisa melihat apa-lagi semuanya terasa gelap…
Mobil taksi yang ditumpangiku tertabrak truck.
Di rumah sakit….
Ketika aku tersadar, ternyata aku ada di rumah sakit. Aku melihat ayah, ibu dan kakek sedang menangisi aku. Sedikit demi sedikit aku gerakkan jemari tanganku dan menandakan aku siuman dari koma. Ayahku langsung memanggil dokter. Mereka hanya bisa menangis dan dokter memeriksaku. Setelah selesai dokter memeriksa, ayahku di suruh dokter untuk ke ruangannya, sedangkan kakek dan ibuku menemaniku.
“aku ada dimana? Kenapa aku ada di sini?” Tanyaku dangan terbata-bata. Ibu yang tak bisa berkata hingga akhirnya kakek menjelaskan semuanya kepadaku. Ternyata aku koma selama 1 minggu. Melihat kakek dan ibuku menangis aku pun ikut menangis.
Setelah beberapa hari siuman, aku ingin mencoba beranjak dari tempat tidur. Tapi, kakiku sangat berat sekali. Aku memanggil semuanya dan aku menjerit. Mereka semua langsung menghampiriku
“Kenapa nak kenapa?” Tanya ibuku.
“kakiku bu kakiku.”
“Kenapa dengan kakimu nak?”
“Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu kenapa dengan kakiku?”
Ayah hanya bisa menangis melihatku, dan kakekku pun sama.
“Nak, yang sabar yah. Ini semua ujian dari Allah, kamu yang sabar yah.” Ucap ibuku menenangkanku sabil memeluk dan mengis.
“ayah, kakek aku gak mau, aku gak mau… tolong aku yah, kek tolong aku.”
“kamu pasti bisa sembuh, yakin dan berdo’a” Ucap kakekku.
Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai menerima takdirku. Berbagai macam pengobatan sudah aku lakukan, namun belum ada yang aku rasakan.
Setelah kecelakaan itu, ayah dan ibuku pindah kembali ke rumah kakek. Ayaha meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Kami pun hidup bahagia, meskipun di usiaku yang ke-19 ini aku memiliki kaki yang tidak sempurna.
Selesai
Cerpen Karangan: Siti Nurfauzi
Semua hal indah itu kini menghilang begitupun dengan mimpi indahku, aku yang tak pernah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku kini mereka pergi jauh dariku. Bukan pergi untuk selamanya, tempat yang memisahkan.
Siang itu aku dan kedua orangtuaku, pergi ke rumah kakek. Letaknya lumayan jauh, Sukabumi tepatnya. Saat itu, sedang hari raya dimana semua orang sibuk untuk mudik sama denganku. Aku terus merengek ingin mudik ke rumah kakek. Tapi, entah kenapa ayah dan ibuku memintaku untuk tidak mudik dahulu. Namu, karena mereka sangat sayang kepadaku ditambah aku yang terus merengek, akhirnya kami mudik bersama. Ayah dan ibuku merasa berat meningglkan rumah. Akhirnya kita pun pergi bersama dengan menggunakan mobil yang kami miliki. Aku heran dengan sikap mereka, tiba-tiba mereka membawa semua berkas penting dan perhiasan serta uang yang mereka biasa simpan di lemari. Aku tak memperlihatkan keherananku, kami pergi dengan segudang harta yang kami miliki dengan mobil kami. Setibanya di rumah kakek, aku langsung memeluknya. Aku adalah cucu kesayangan kakek, karna kakek hanya memiliki satu anak yaitu ibuku dan juga satu cucu yaitu aku.
Hari itu hari Kamis, setiap hari Kamis kakekku selalu pergi ke dokter untuk chek up. Aku, ayah dan ibuku mengentarnya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kakek diperikasa oleh dokter, aku dan ibu menemani kakek masuk ke ruang periksa. Sedangkan ayahku menunggu di luar, ketika kami sedang di dalam, ayahku mendapatkan telepon, bahwa rumah kami kebakaran dan semuanya habis tidak ada yang tersisa. Ayahku yang gelisah tidak langsung memberitahu kami, karena ayah tahu kalau kakek memiliki penyakit jantung.
Setelah selesai chek up, kami pulang ke rumah. Selama di jalan ayahku gelisah dan ayahku merasa sangat sedih. Selama di mobil ibuku bertanya kepada ayahku “ayah, kenapa? Kok kelihatannya gelisah. Apa yang ayah gelisahkan?” tanya ibuku sambil membelai bahu ayahku sedangkan aku duduk dengan kakek di belakang. “tidak, ayah tidak kenapa kenapa.” Jawab ayah yang terus fokus melihat jalan.
Sesampainya di rumah, ibuku mengantar kakek ke kamar dan meninggalkan kakek denganku berdua. Karena aku selalu ingin tidur bersama kakek. Disamping itu, ibuku menghampiri ayah di kamar yang sedari tadi gelisah. “ayah, ayah kenapa. Ada yang ayah sembunyikan dari ibu. Ayah jujur sama ibu.” Tanya ibu sembari duduk di samping ayah. “ibu… bu” ucap ayahku tersendat-sendat. “kenapa ayah? Kenapa?” Tanya ibu. “rumah kita bu, rumah kita.” Jawab ayah. “Kenapa dengan rumah kita ayah, kenapa.” Tanya ibu, yang sudah memiliki firasat tidak baik. “rumah kita… kebakaran.” jawab ayah sambil memeluk ibu. Ayah dan ibuku menangis, sedangkan kakek yang mendengarkan di balik pintu langsung menggendongku pergi ke kamar. Bukannya kakekku gak peduli, bahkan dia sangat peduli namun kakek punya cara sendiri.
Ayah dan ibuku yang terus menangis mereka tak menyangk bagaikan disambar petir. “pantas saja aku rasanya ingin membawa semua barang berharga yang kita miliki ternyata ini jawabannya.” Kata ibuku sambil melepaskan pelukan dari ayahku. “ibu yang sabar yah, ayah tahu bukan hanya ibu yang merasa terpukul tapi ayah juga.” kata ayahku sambil menenangkan ibu.
Sudah 3 jam ayah dan ibuku menangis, mata yang sembab itu tidak membuat mereka mengantuk. Mereka hanya melamun, malam itu, tepatnya pukul 01.00, Ayah dan ibuku menghampiriku yang sedang tertidur pulas, padahal aku tahu mereka menghampiriku dan mengkecup keningku. Mereka langsung memeluk kakek, aku pun terbangun. “Ayah, ibu kenapa kok kalian ada disini. Ayah dan ibu gak tidur.” Tanyaku yang pura-pura tidak tahu apa-apa.
Mereka kembali meneteskan air mata dari mata mereka yang sembab. “Kok ayah sama ibu nangis” aku langsung memeluk kakek.
“kalian yang sabar, mungkin ini semua cobaan untuk kalian dari Allah. Jangan menangis, biarkan semuanya berjalan, mengalir seperti air. Semua yang kita miliki di dunia ini hanya sebatas titipan.” Ucap kakek sambil beranjak dari tidurnya dan mengusap tangan ayah dan ibuku. “rumahmu, anakmu, suamimu itu samua hanya sebatas titipan.” Lanjut kakek dengan mengankat dagu ibuku yang tertunduk.
Aku yang saat itu sedang memeluk kakek, langsung terbangun dan memeluk ayah dan ibu. “ayah, ibu memangnya ada apa?” Tanyaku. “nak, kita sekarang pulang dulu yah, kita lihat dulu rumah kita.” Ucap ayahku. Mereka tidak memberitahuku bahwa rumah kami kebakaran. Mungkin karena mereka tidak ingin membuat aku menangis. “kalian lihat dulu saja rumah kalian, setelah itu kalian pulang lagi ke kisini.” ucap kakekku. “iya yah, kami pamit dulu. Kami pasti langsung pulang lagi ke rumah ayah. Ayah hati-hati yah disini. Kami pamit ya yah.” Ucap ibuku sembari pamitan sama kakek dan aku digendong ayah untuk masuk ke mobil.
Sesampainya di rumah kami, aku, ayah dan ibu benar-benar sedih dan terpukul melihat rumah yang sedari dulu kami tempati kini habis terbakar oleh api. Kami pun memeriksa puing-puing rumah barang kali ada yang tersisa. Ternyata benar ada satu benda yang tidak habis terbakar, yaitu Al-Quran. Kami langsung mengambil Al-Quran itu. Tidak ada lagi yang tersisa selain Al-Quran itu. Rencana selanjutnya kami akan mebersihkannya dan lahannya akan kami jual. Kami akan tinggal sementara di rumah kakek.
Paginya kami pulang ke rumah kakek, dan memberikan Al-Quran yang tidak terbakar itu kepada kakek. Detik berganti menit, menit berganti jam, tam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. 3 tahun lamanya kami menumpang di rumah kakek, ayahku yang merasa bahwa kita tidak bisa selamanya tinggal di rumah kakek berencana pindah ke luar pulau karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah. Ibuku yang sangat patuh dan menyayangi ayah ikut pindah bukan berarti ibuku tidak sayang kepadaku tapi, ini juga untuk kebaikannku. Aku yang tidak bisa meninggalkan sekolahku karena sebentar lagi ujian tidak memungkinkanku untuk ikut bersama ayah dan ibuku. Akhirnya ayah dan ibuku pindah ke Kalimantan dan aku tetap tinggal bersama kakekku di Sukabumi.
Waktu terus berlalu, aku yang tetap berama kakek hingga aku lulus SMA. Kakekku yang sangat menyayangiku, terus menemaniku 4 tahun lamanya.
Aku sangat rindu kepada ayah dan ibuku, selama 4 tahun itu ayah dan ibu belum pulang juga untuk menemuiku. Mereka hanya mengirim aku uang saku hanya lewat ATM. Selama aku jauh dari ayah dan ibuku tiada hari tanpaku teteskan air mata. Aku sangat sedih, aku tak pernah menyangka perjalanan hidupku akan seperti ini. Kakekku yang selalu menguatkannku, kakekku yang tak pernah jenuh melihatku menangis.
Seusai SMA, aku dan kakek berencana untuk pergi menemui ayah dan ibu di Kalimantan. Hari itu hari Minggu, aku dan kakek sudah memesan tiket pesawat. Aku mengabari ibuku bahwa aku akan pergi ke sana. Dan ibuku akan menjemput aku dan kakekku di Bandara. Sedangkan ayahku yang sedang bekerja tidak bisa menemani ibu untuk menjemputku.
Entah kenapa, kakiku serasa terpaku di bumi ini dan berat rasanya untukku melangkahkan kaki. Berbeda dengan kakek yang sangat bahagia karena akan bertemu dengan ibu dan ayahku. “kek, sudah siap.” Tanyaku ketika hendak masuk ke taksi. “sudah, kalau kamu.” Tanya kakek kepadaku. “sudah kek, ayo kek masuk taksinya sudah menunggu.” Lanjutku. Kakek pun naik ke mobil, saat aku naik bajuku tiba tiba robek tersangkut di pintu taksi. “kakek, bajuku robek.” “tidak apa apa nak, sedikit ini kan.” Ucap kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah. Hatiku terus gelisah, aku terus berdzikir mengingat Allah. Tak berapa lama aku menengok ke jendela sampingku dan AaaaAAAaAaa aku tak sadarkan diri dan aku tak bisa melihat apa-lagi semuanya terasa gelap…
Mobil taksi yang ditumpangiku tertabrak truck.
Di rumah sakit….
Ketika aku tersadar, ternyata aku ada di rumah sakit. Aku melihat ayah, ibu dan kakek sedang menangisi aku. Sedikit demi sedikit aku gerakkan jemari tanganku dan menandakan aku siuman dari koma. Ayahku langsung memanggil dokter. Mereka hanya bisa menangis dan dokter memeriksaku. Setelah selesai dokter memeriksa, ayahku di suruh dokter untuk ke ruangannya, sedangkan kakek dan ibuku menemaniku.
“aku ada dimana? Kenapa aku ada di sini?” Tanyaku dangan terbata-bata. Ibu yang tak bisa berkata hingga akhirnya kakek menjelaskan semuanya kepadaku. Ternyata aku koma selama 1 minggu. Melihat kakek dan ibuku menangis aku pun ikut menangis.
Setelah beberapa hari siuman, aku ingin mencoba beranjak dari tempat tidur. Tapi, kakiku sangat berat sekali. Aku memanggil semuanya dan aku menjerit. Mereka semua langsung menghampiriku
“Kenapa nak kenapa?” Tanya ibuku.
“kakiku bu kakiku.”
“Kenapa dengan kakimu nak?”
“Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu kenapa dengan kakiku?”
Ayah hanya bisa menangis melihatku, dan kakekku pun sama.
“Nak, yang sabar yah. Ini semua ujian dari Allah, kamu yang sabar yah.” Ucap ibuku menenangkanku sabil memeluk dan mengis.
“ayah, kakek aku gak mau, aku gak mau… tolong aku yah, kek tolong aku.”
“kamu pasti bisa sembuh, yakin dan berdo’a” Ucap kakekku.
Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai menerima takdirku. Berbagai macam pengobatan sudah aku lakukan, namun belum ada yang aku rasakan.
Setelah kecelakaan itu, ayah dan ibuku pindah kembali ke rumah kakek. Ayaha meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Kami pun hidup bahagia, meskipun di usiaku yang ke-19 ini aku memiliki kaki yang tidak sempurna.
Selesai
Cerpen Karangan: Siti Nurfauzi
No comments:
Post a Comment