CAMPUR ADUK

Monday, July 5, 2021

SEORANG ANAK YANG BERHASIL MEMPERDAYAI SETAN

Wendy ke halaman belakang dengan membawa buku. Wendy duduk dengan baik dan segera membaca buku. .

Isi buku yang di baca Wendy :

Suatu ketika, petani memeriksa tanaman singkong di ladangnya.Tapi, tanaman singkongnya telah di rusak binatang hutan. Petani pun membuat lubang perangkap untuk menangkap binatang yang merusak tanaman singkongnya. Tiba-tiba, setan yang berwajah seram datang. 

“Aku akan membantumu menggali perangkap dan kita berbagi binatang yang terjebak,” kata setan.

 Lalu, petani yang ketakutan tidak bisa menoIaknya.

“Semua binatang jantan yang masuk perangkap, jadi milikmu. Lalu, binatang betina yang masuk perangkap, jadi milikku,” kata setan mengatur.

Ternyata, setiap hari hanya binatang jantan yang masuk perangkap. Semuanya jadi milik petani.

“Tentu saja selalu binatang jantan yang masuk perangkap karena binatang jantanlah yang mencari makanan,” pikir petani sambil tertawa puas.

Kini, petani punya banyak persediaan daging. Tapi, ia dan keluarganya tetap butuh singkong sebagai makanan pokok. 

“Aku akan ke ladang. Barangkali masih ada singkong tersisa. Kau jagalah anak kita,” kata istri petani.

Lama menunggu, petani pun menyusul ke ladang bersama anaknya. Mereka melihat setan di ladang.

“Akhirnya ada binatang betina yang masuk perangkap,” kata setan sambil tertawa.

Petani kaget melihat istrinya berada dalam lubang perangkap. 

“Dia manusia, bukan binatang,” katanya.

Tapi, setan tidak mau peduli. 

“Dia binatang betina. Dia milikku,” kata setan.

Petani mulai takut kehilangan istrinya. Tiba-tiba, anak petani berkata, “Biarkanlah setan mengambil haknya, Ayah!”

“Ah, kau anak yang bijaksana,” kata setan sambil masuk ke dalam lubang perangkap hendak mengambil istri petani.

Saat setan masuk lubang perangkap, si anak kembali berkata. “Lihat, Ayah! Ada binatang jantan di dalam perangkap,” kata anak petani sambil menunjuk setan.

Setan kebingungan. Menurut perjanjian yang la buat, semua binatang jantan jadi milik petani. la tidak mau jadi budak petani. Akhirnya, ia setuju untuk melepaskan istri petani asal petani juga membebaskannya.

***

Wendy selesai baca bukunya.

"Bagus ceritanya," kata Wendy.

Wendy membaca pesan moral yang di tulis di buku "Jadilah anak pemberani dan cerdik. Jangan takut hantu yang menyeramkan. Hadapilah dengan tenang dan berdoalah kepada Tuhan agar kamu mendapatkan perlindungan darinya."

Wendy memahami pesan moral yang di tulis buku. Wendy menutup bukunya.

"Belajarlah!" kata Wendy.

Wendy beranjak dari duduknya di halaman belakang, ya masuk ke dalam rumah. Wendy ke kamarnya. Buku di taruh di meja. Wendy mengeluarkan buku di tasnya dan segera belajar dengan baik.

GADIS KECIL YANG MENJADI KEPALA KELUARGA

Amanda duduk di ruang tengah dan mengambil buku di meja, ya segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Amanda :

Dahulu kala, ada sebuah keluarga yang terdiri atas seorang bapak, tiga orang putra, dan tiga orang menantu perempuan. Ketiga menantu itu sering meminta pulang ke rumah orangtua mereka. Sang bapak lama-lama kesal oleh sikap menantu-menantunya itu. Akhirnya, ia memberikan syarat yang sulit kepada ketiga menantunya.

“Kalian boleh pulang, tapi harus menjalankan syarat ini. Menantu pertama harus membawa api yang dibungkus kertas. Menantu kedua harus membawa angin di dalam kertas. Menantu ketiga harus membawa musik di dalam angin,” kata sang bapak.

“Jika tidak bisa membawa hadiah-hadiah itu, kalian tidak boleh kembali lagi,” katanya lagi.

Ketiga menantu itu pun pergi ke rumah orangtuanya masing-masing. Setelah seminggu berada di rumah masing-masing, mereka kemudian mengadakan pertemuan di suatu tempat untuk pulang bersama-sama. Tidak satu pun di antara mereka bertiga yang bisa mendapatkan hadiah yang diminta mertua mereka. Tapi, mereka tetap memberanikan diri pulang.

Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang gadis kecil yang menunggang kerbau. la bertanya kepada tiga menantu itu apa yang mengganggu pikiran mereka. Ketiga menantu menceritakan keinginan mertua mereka.

Gadis itu tertawa, “Aku tahu hadiah apa saja yang kalian harus bawa?”

“Hah, bagaimana bisa? Kau hanya anak kecil,” kata salah seorang menantu.

Gadis itu memberitahu bahwa hadiah yang harus dibawa menantu pertama, api dibungkus kertas adalah lentera kertas. Hadiah yang harus dibawa menantu kedua, angin dalam kertas adalah kipas kertas. “Saat kipas digoyangkan akan muncul angin,” kata gadis itu.

Hadiah ketiga, musik di dalam angin adalah sepasang Ionceng. “Jika lonceng digoyang, akan muncul musik yang indah,” kata si gadis.

Ketiga menantu kembali ke rumah mertuanya dan memberikan hadiah mereka. Sang mertua heran bagaimana ketiga menantunya bisa begitu cerdas. Ketiga menantu itu menceritakan tentang gadis kecil yang menunggang kerbau. Sang mertua segera mencari anak gadis itu dan mengangkatnya jadi anak. la juga mengangkat gadis kecil yang cerdas itu menjadi kepala keluarga di rumahnya.

***

Amanda berhenti baca buku.

"Cerita yang bagus," kata Amanda.

Amanda membaca pesan moral yang di tulis di buku "Jadilah anak yang cerdik dan banyak-banyaklah belajar serta membaca. Kemudian, jangan remehkan orang lain. Mungkin saja ia lebih pintar dari kamu."

Amanda memahami pesan moral yang di tulis di buku.

"Belajar untuk membuat diri ku pintar," kata Amanda.

Amanda membawa bukunya ke kamarnya. Amanda menaruh buku di meja dengan baik. Buku pelajaran di keluarkan dari tas. Amanda pun belajar dengan baik dengan tujuan membuat dirinya pintar.

CARA MENIMBANG GAJAH

Anneth duduk di ruang tamu. Anneth mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Anneth :

Dahulu kala, seorang kaisar di negeri Cina mendapatkan hadiah yang sangat besar dari negeri India. Bagaimana tidak besar, hadiah itu berupa seekor gajah. Kala itu, tidak ada seorang pun di Cina yang pernah melihat binatang sebesar itu.

“Hmmm, aku penasaran berapa berat binatang ini?” kata kaisar sambil mengelus-ngelus janggut dan memerhatikan gajah.

“Yang Mulia, mohon maaf. Aku tidak tahu bagaimana cara menimbang binatang besar itu?” kata pembantu kaisar.

“Kita tidak punya timbangan yang cukup besar untuk menimbang gajah,” katanya kembali.

Kaisar lalu memerintahkannya untuk mencari orang yang mampu menimbang berat gajah. Tapi, tidak ada satu orang pun yang tahu cara menimbang gajah. Tiba-tiba, putra kaisar yang baru berumur delapan tahun berkata, “Ayah, aku tahu bagaimana cara menimbang gajah.”

Kaisar dan semua orang di istana tersenyum mendengar keberanian putra mahkota mengungkapkan pendapatnya.

“Oh ya? Bagaimana kau bisa? Kau masih kecil, anakku. Tapi, baiklah. Apa pendapatmu? Bagaimana cara menimbang gajah itu?” kata kaisar.

Putra mahkota meminta agar gajah dinaikkan ke atas sebuah perahu. Lalu, ia menyuruh pelaut untuk menandai batas air di badan perahu saat dinaiki gajah. Setelah itu, gajah diturunkan lagi dari perahu. Kemudian, putra mahkota meminta agar perahu diisi batu bata sampai batas air di badan perahu sama dengan batas air saat gajah dinaikkan perahu. Setelah itu, batu bata dibawa ke pinggir danau dan ditimbang sedikit demi sedikit. Maka, berat gajah pun bisa diketahui. Kaisar dan semua orang kagum oleh kecerdasan putra mahkota.

***

Anneth berhenti baca buku.

"Cerita yang bagus berdasar di tulis di buku cerita berasal dari Cina," kata Anneth.

Anneth membaca pesan moral yang di tulis buku "Jadilah anak yang cerdas dan pakailah akalmu menyelesaikan persoalan. Lalu, bagimana caramu agar menjadi anak yang cerdas? Ya, tentu saja dengan banyak belajar dan membaca."

Anneth memahami pesan moral yang ia baca. Anneth menutup buku dan menaruh di meja. 

"Belajar ah!" kata Anneth.

Anneth mengambil tas di kamarnya dan segera di bawa ke ruang tamu. Anneth mengeluarkan buku pelajaran di dalam tasnya dan segera di pelajari dengan baik banget, ya mengulas pelajaran yang telah di berikan guru gitu.

NASEHAT YANG BERHARGA

Deny keluar dari kamar, ya sambil membawa buku. Deny ke teras depan rumah. Deny duduk dengan baik dan segera membaca buku dengan baik banget.

Isi buku yang di baca Deny :

Di sebuah desa di Arab hiduplah seorang pemuda penggembala domba. Pemuda itu bernama Fatih. Ia tinggal berdua bersama dengan ayahnya yang sudah tua. Setiap hari mereka pergi menggembala domba. Namun, domba-domba yang mereka gembalakan bukanlah milik mereka sendiri. Domba-domba itu titipan dari orang lain. Mereka mendapatkan upah dari memelihara domba. Suatu hari, ayah Fatih jatuh sakit. Ia tak mampu lagi bekerja seperti biasanya. Akhirnya, Fatih harus pergi menggembala domba seorang diri. Fatih juga merawat sang ayah sebagai wujud kasih sayangnya. Fatih sendiri yang menyuapi, memandikan, dan terus berdoa untuk kesembuhan ayahnya. Fatih memang anak yang berbakti.

Namun, takdir usia ayah Fatih telah sampai. Ayahnya meninggal dunia. Ayah Fatih tak banyak meninggalkan harta untuk Fatih. Hanya rumah sederhana dan dua ratus keping uang perak. Ayahnya juga mewasiatkan agar Fatih selalu berlaku baik, jujur, dan jangan menyepelekan nasihat baik. Karena ayah Fatih sudah meninggal, orang-orang yang menitipkan domba meminta domba-domba mereka kembali. Fatih kehilangan pekerjaan. Ia lalu pergi ke pasar. Siapa tahu ada yang membutuhkan tenaganya. Dengan begitu dia bisa mendapatkan pekerjaan lagi. Fatih berkeliling pasar menawarkan tenaganya. Sayang belum ada yang menerimanya. Karena lelah, Fatih beristirahat sejenak. Ia mengamati orang-orang yang lalu lalang di pasar.

“Nasihat berharga! Seratus keping perak saja!”

Seorang pria tua berteriak di tengah pasar. Tak ada yang menghiraukannya. Namun ia tak berhenti mengulang-ulang penawarannya. Fatih heran melihat orang tersebut. Ternyata di pasar ada juga yang menjual nasihat. Ia tak menyangka nasihat juga bisa dijual. Fatih merasa tertarik. Ia mendekati pria tua itu.

“Nasihat seperti apa yang kau jual, Pak Tua?” tanya Fatih.

“Tentu saja nasihat baik yang akan mengantarmu pada keberuntungan, anak muda,” jawab pria itu.

“Apa kau mau mencobanya?” lanjutnya.

Fatih berpikir-pikir. Saat ini ia memang sedang kebingungan. Ia baru saja kehilangan ayah dan tidak kunjung mendapat pekerjaan. Barangkali dia bisa mendapat nasihat yang bermanfaat dari pria tua itu.

“Baiklah, Pak Tua, apa nasihatmu?”

Fatih menyerahkan seluruh uangnya pada pria tua itu. Pria tua itu menerimanya dengan senang.

“Dengar baik-baik. Nasihat yang pertama, ingatlah bahwa setiap orang mempunyai pilihannya masing-masing,” ucap pria tua itu bijaksana.

“Yang kedua, bila kau mendapat tawaran dan kesempatan baik, jangan menolaknya. Sudah. Uangmu hanya cukup untuk dua nasihat ini. Semoga bisa bermanfaat dalam hidupmu. Lain kali, datanglah lagi.”

Pria tua itu lantas berlalu. Fatih telah mendapatkan dua nasihat yang harus ia bayar mahal. Ia telah kehabisan uang sekarang. Fatih tercenung memikirkan nasihat dari pria tua tadi. Ia belum tahu apa maksud dari masing-masing nasihat yang didapatnya. Tiba-tiba pasar gaduh. Seorang pria berlari mengejar dombanya yang terlepas. Domba itu baru saja ia beli di pasar. Fatih yang terbiasa menggembala domba, membantu pria itu menangkap dombanya.

“Terima kasih, anak muda. Kalau tak ada kau, dombaku ini pasti sudah membuat pasar porak-poranda.”

“Sama-sama, Tuan. Saya dulu penggembala domba. Jadi saya sudah terbiasa dengan hal seperti ini.”

Fatih berbincang akrab dengan pria yang dibantunya. Namanya Usman. Dia kepala pelayan saudagar Rasyid. Saat mendengar kisah Fatih, ia menjadi iba. Usman pun menawarkan pada Fatih untuk bekerja di rumah saudagar Rasyid. Fatih sangat senang. Ini kesempatan yang baik. Ia teringat nasihat yang dibelinya dari pria tua tadi. Fatih pun menerima tawaran Usman. Akhirnya ia bisa mendapat pekerjaan lagi.

Di rumah saudagar Rasyid, Fatih bekerja memelihara ternak. Ada domba dan unta. Karena sudah memiliki pengalaman sebelumnya, ia melakukan pekerjaannya dengan mudah. Fatih pun menjadi kesayangan kepala pelayan. Usman menganggap Fatih seperti anaknya sendiri. Setiap hari Fatih bekerja keras. Sebagaimana pesan ayahnya, ia pun selalu jujur dan santun. Usman sering menyebut-nyebut nama Fatih di hadapan saudagar Rasyid. Saudagar Rasyid senang memiliki pelayan yang rajin seperti Fatih.

Suatu hari, pelayan perempuan saudagar Rasyid akan pergi keluar kota untuk membeli beberapa perlengkapan dan barang-barang. Biasanya Salima, putri saudagar Rasyid, tak pernah ikut serta. Namun, kali ini ia meminta untuk ikut pergi. Ia ingin melihat-lihat keadaan kota lain. Selama ini ia hanya mendapat cerita dari ayahnya atau pelayan-pelayan yang baru pulang dari perjalanan dagang. Salima tak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Tadinya saudagar Rasyid tak mengizinkannya. Ia mengkhawatirkan keadaan putrinya yang cantik itu bila ikut pergi. Perjalanan yang harus ditempuh tak cukup sehari semalam. Tapi Salima terus merengek pada ayahnya.

“Kira-kira siapa yang bisa kupercaya untuk mengawal anak kesayanganku, Usman? Aku bisa memercayaimu. Tapi aku membutuhkan bantuanmu di sini,” ujar saudagar Rasyid.

“Bagaimana kalau Fatih? Tuan sudah tahu betul bagaimana perangainya. Ia pemuda yang baik dan santun. Ia juga bisa dipercaya,” usul Usman. Saudagar Rasyid mengangguk-angguk.

“Ya, aku juga berpikiran sama. Sertakan juga beberapa pelayan pria untuk membantu Fatih mengawal putriku.”

“Baik, Tuan.”

Usman pun mengatur perjalanan rombongan putri saudagar Rasyid. Mereka naik beberapa ekor unta. Perjalanan yang harus mereka tempuh cukup jauh. Paling tidak perlu dua hari untuk sampai di kota yang dituju. Selama perjalanan, Fatih menjalankan tugasnya dengan baik. Ia mengawal dan menjaga rombongan, khususnya Salima. Salima yang selama ini jarang melihat Fatih menjadi kagum padanya. Salima pun jatuh hati pada pemuda yang tampan dan baik budi itu.

Saat hari mulai petang, rombongan itu mendirikan tenda untuk beristirahat. Mereka akan bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Ketika semua orang sedang terlelap, Salima mengendap-endap keluar dari tendanya. Ia ingin menemui Fatih.

“Ada apa, Nona? Anda perlu bantuan?” tanya Fatih.

“Tidak,” jawab Salima.

“Lalu mengapa keluar tenda? Sebaiknya Anda masuk dan beristirahat. Perjalanan yang harus kita tempuh masih panjang,” ujar Fatih sopan.

“Aku hanya ada sedikit perlu denganmu,” kata Salima.

Ia pun memberanikan diri mengutarakan perasaannya pada Fatih. Ia ingin Fatih datang pada ayahnya untuk melamarnya. Fatih terkejut mendengarnya. Fatih merasa bingung apakah ini kesempatan baik atau bukan. Keadaan ini bagai buah simalakama baginya. Bila ia menyanggupi, kemarahan saudagar tentu akan diterimanya. Bila ia menolak, Salima yang akan memusuhinya. Namun, Fatih teringat pada tugasnya. Ia sedang diberi kepercayaan untuk mengawal Salima. Ia tak mungkin melanggarnya. Maka ia harus berani menerima setiap risiko yang akan terjadi.

“Maafkan saya, Nona. Saat ini saya sedang mendapat amanah dari ayah Anda. Saya harus menjaga Anda. Lagi pula saya hanyalah seorang pelayan. Manalah pantas mengajukan lamaran untuk putri seorang saudagar?”

Fatih menolak dengan halus. Padahal dalam hati, ia pun jatuh cinta pada Salima yang cantik jelita. Tapi Fatih tahu diri. Salima kecewa mendengar penolakan Fatih. Hatinya marah dan terluka. Ia berlari ke tendanya.

Keesokan harinya, rombongan itu meneruskan perjalanannya. Salima tampak masih menyimpan kemarahan pada Fatih. Setiap kali diajak bicara, jawabannya ketus. Fatih memilih diam dan mengalah. Saat mereka melewati sumur tua, Salima meminta mereka berhenti. Salima ingat cerita dari para pelayan tentang sumur itu. Mereka bilang sumur tua itu adalah sumur keramat. Tak ada seorang pun yang bisa keluar saat masuk ke dalamnya untuk mengambil air.

“Di sini panas sekali. Aku ingin membasuh wajahku dengan air sumur itu. Pasti dingin dan menyegarkan,” pinta Salima.

Para pelayan menolak keinginan Salima. Tak satu pun dari mereka berani turun ke dalam sumur untuk mengambil air. Mereka membujuk Salima menggunakan air perbekalan mereka, tapi Salima tak mau.

“Fatih, cepat turun ke sumur dan ambilkan air untukku!” perintah Salima.

Sebenarnya Salima sengaja. Ia ingin membalas sakit hatinya pada Fatih. Ia yakin Fatih tak akan berani turun. Dengan begitu ia bisa mengolok-oloknya sepanjang perjalanan nanti.

Ternyata dugaan Salima salah. Fatih mengambil seutas tambang panjang dan menurunkannya ke dalam sumur. Ia lantas masuk untuk mengambil air. Keberanian Fatih justru membuat Salima menjadi khawatir. Bagaimana kalau yang diceritakan orang-orang benar? Bagaimana bila Fatih tak kunjung keluar dari sumur? Salima cemas.

Sumur itu sangat gelap karena begitu dalamnya. Fatih terkejut saat mencapai permukaan air sumur. Ia melihat seorang pria besar dan dua orang wanita. Wanita yang satu berkulit putih dan yang satu berkulit hitam.

“Maaf, Tuan. Izinkan saya mengambil sedikit air dari sumur ini untuk tuan saya,” pinta Fatih.

“Siapa kau, Anak Muda? Jarang sekali orang yang masuk dalam sumur ini meminta izinku. Kebanyakan mereka langsung mengambil dan mencuri air sumurku ini!” tanya pria itu garang.

“Saya Fatih, pelayan seorang saudagar yang kaya namun dermawan.”

“Baiklah. Aku izinkan jika kau bisa menjawab pertanyaanku!” gertak pria itu sambil mengulurkan pedangnya yang tajam ke arah Fatih.

“Pria muda, di antara dua wanita ini, siapa yang lebih layak untuk kupilih? Jawab dengan benar atau kau tak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup!” ujar sang pria mengajukan pertanyaannya.

Fatih berpikir. Pertanyaan ini pastilah pertanyaan yang menjebak. Nyawanya menjadi taruhan. Fatih lalu teringat pada nasihat yang dulu dibelinya dari pria tua di pasar.

“Tuan, setiap orang memiliki pilihannya sendiri. Maka sesungguhnya, Andalah yang paling pantas untuk menentukan pilihan Anda sendiri,” jawab Fatih.

Pria itu sesaat terdiam. Ia lalu mengulurkan secawan penuh air sumur. Ia merasa mendapatkan jawaban yang bijak dari Fatih.

“Dengar, aku adalah jin penunggu sumur ini. Jangan pernah beri tahukan jawabanmu pada siapa pun. Sekarang pergilah sebelum aku berubah pikiran!” ucap pria itu sebelum Fatih naik untuk keluar dari sumur.

Fatih sudah mengiranya. Mana ada manusia yang mau dan sanggup tinggal sekian lama di dalam sumur yang gelap dan dalam. Salima terkejut saat melihat Fatih keluar dari sumur dan membawakan air yang dimintanya. Padahal kata orang, tak satu pun yang bisa lolos keluar dari sumur tua itu. Rencana Salima membalas sakit hati malah membuatnya semakin kesal. Rombongan putri saudagar Rasyid melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di kota yang dituju dengan selamat. Salima dan pelayan perempuan membeli barang-barang yang mereka cari. Setelah semua mereka dapatkan, rombongan pun bergegas pulang. Saat perjalanan pulang, Salima mempunyai rencana lain untuk membalas sakit hatinya pada Fatih. Ia menemui Fatih saat mereka beristirahat karena hari menjelang petang.

“Fatih, aku minta kau pulang duluan dan menyerahkan surat penting ini pada ayahku. Aku minta kau sesegera mungkin tiba di rumah,” pinta Salima.

“Tapi saya harus mengawal Anda, Nona.”

“Masih ada pelayan lain yang bisa mengawalku. Lagi pula perjalanan pulang tak seberapa jauh lagi. Berangkatlah sekarang!”

“Baik, Nona.

Fatih pun melanjutkan perjalanan meskipun hari sudah gelap. Ia berusaha secepat mungkin tiba di kota. Fatih bahkan tak beristirahat meski mengantuk dan badannya merasa lelah. Hari sudah beranjak siang saat Fatih tiba di kota. Ia melewati pasar sebelum sampai ke rumah saudagar Rasyid.

“Fatih!” panggil seseorang dari kedai kopi.

“Paman Said? Anda berjualan kopi di sini sekarang?”

Fatih bertemu dengan kawan ayahnya.

“Dari mana dan mau ke mana kau? Ayo, duduk! Kutraktir kau minum kopi gratis!”

Fatih menimbang-nimbang. Ini tawaran baik. Tapi ia harus segera mengantar surat dari Salima untuk saudagar Rasyid. Fatih memutuskan untuk duduk sejenak dan menikmati kopi dari Paman Said. Beberapa teguk kopi membuat badannya segar. Ia pun berpamitan karena terburu-buru mengantar surat.

“Tunggu dulu. Aku  masih ingin berbincang-bincang denganmu. Begini saja. Biar pelayanku yang mengantarkan surat itu.”

Fatih pun tak kuasa menolak tawaran baik Paman Said. Akhirnya pelayan Paman Said yang mengantar surat kepada saudagar Rasyid. Ternyata, dalam surat itu Salima menulis bahwa orang yang mengantar surat ini telah mencoba mengganggunya saat di perjalanan. Ia meminta sang ayah memberi hukuman padanya. Saudagar Rasyid sangat marah. Ia pun menyuruh pelayan Paman Said diikat dan dihukum cambuk. Pelayan itu merasa kebingungan dengan apa yang dialaminya.

“Tuan, saya hanya mengantarkan surat. Mengapa saya diperlakukan seperti ini? Tolong, lepaskan saya,” pintanya. Namun tak ada yang peduli.

Menjelang petang, Salima dan rombongan tiba di rumah. Ia terkejut saat menemukan pria yang sedang dicambuk bukan Fatih. Tak lama kemudian Fatih datang. Fatih pun sama terkejutnya saat melihat pelayan Paman Said dicambuk sedemikian rupa.

“Maaf, Tuan. Apa salah pelayan ini sehingga dicambuk sampai terluka?” tanya Fatih.

Saudagar Rasyid menceritakan tentang surat Salima. Fatih kaget mendengarnya. Ia pun meluruskan apa yang terjadi. Pelayan itu segera dilepaskan dan diobati. Saudagar Rasyid merasa ada yang tak beres dengan semua ini.

“Salima, cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi? Apa maksud dari suratmu? Kau ingin ayah berbuat zalim pada orang yang tidak bersalah?”

Salima akhirnya jujur dan menceritakan semuanya. Ia ingin membalas penolakan Fatih yang membuatnya sakit hati. Namun sang ayah yang bijak berpendapat lain. Ia menganggap tindakan Fatih benar. Justru yang dilakukan Fatih adalah menjaga harga dirinya dan juga kehormatan Salima. Saudagar Rasyid menyuruh Salima meminta maaf pada Fatih. Juga kepada pelayan Paman Said yang menjadi korban kebohongannya. Saudagar Rasyid memberi hukuman pada putrinya. Ia tak boleh keluar kamar selama satu minggu. Ia ingin agar putrinya jera dan menyadari kesalahannya.

Sementara itu, Saudagar Rasyid semakin sayang pada Fatih yang amanah. Ia memberikan hadiah yang cukup banyak untuk Fatih. Fatih bersyukur ia menjalankan nasihat baik yang diberikan padanya sehingga ia bisa lolos dari niat buruk orang lain. Memang nasihat sama berharganya dengan kehidupan. Jadi jangan pernah abaikan nasihat baik yang datang padamu. 

***

Deny menyelesaikan buku yang ia baca.

"Cerita asal dari Arab yang aku baca bagus," kata Deny.

Deny menutup buku dan menaruhnya di meja. Deny pun mengambil layangan dan benang gelasan di kamar. Setelah layangan dan benang gelasan di pegang Deny, ya segera di bawa keluar dari rumah. Deny berjalan ke lapangan. Sampai di lapangan. Deny segera menerbangkan layangan dengan baik, ya bermain dengan teman-teman seumuran Deny. 

KARIM DAN DUA ANJING HITAM

Ajis pulang dari bermain dengan teman-teman. Ajis duduk di ruang tengah dan segera mengambil buku di meja, ya di baca dengan baik buku.

Isi buku yang di baca Ajis :

Jamal, Abdul, dan Karim adalah tiga pemuda bersaudara. Belum lama ini, ayah mereka meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan uang sebanyak tiga ribu dinar untuk mereka. Agar adil, si sulung Jamal membaginya menjadi tiga. Masing-masing mendapatkan seribu dinar. Kini mereka tak bisa lagi menggantungkan hidupnya pada orang lain. Selama ini, mereka hanya membantu-bantu ayahnya menjalankan usaha. Semua kebutuhan mereka, ayahnyalah yang mencukupi. Sekarang, mau tak mau mereka harus berupaya sendiri. Jamal, Abdul, dan Karim masing-masing memutuskan membuka toko dan menjadi pedagang seperti ayahnya dulu. 

Pengalaman bekerja bersama sang ayah membuat mereka mudah menjalankan usahanya. Toko mereka ramai. Untung yang mereka dapat pun besar. Sayangnya, ketiga bersaudara ini mempunyai sifat dan perangai yang berbeda. Jamal orang yang boros. Mudah sekali menghambur-hamburkan uang. Keuntungan yang ia dapat dari kerja kerasnya lebih banyak ia belanjakan untuk membeli barang yang kurang bermanfaat. Ia juga suka berpesta dan berfoya-foya. Ketika menyadari uang simpanannya tinggal sedikit, Jamal memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Ia akan berdagang di sana agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Ia jual semua harta bendanya. Uang yang ia dapatkan digunakan untuk membeli barang yang akan ia bawa berdagang ke luar negeri. 

“Apa Kakak sudah menimbang masak-masak? Tak sedikit yang mencoba peruntungan berdagang di luar negeri, pulang dengan tangan hampa,” ujar si bungsu Karim berusaha mencegah kakaknya pergi.

“Kau meragukan kemampuan berdagangku? Darah Ayah kental mengalir di tubuhku. Juga bakat berdagang Ayah yang diturunkan padaku. Aku pasti akan pulang membawa keuntungan yang jauh lebih besar,” balas Jamal penuh keangkuhan. 

Sementara Abdul si anak tengah tampak tak peduli dengan pilihan kakaknya. Baginya yang penting usahanya sendiri sudah berjalan lancar. Keuntungannya pun sudah membuatnya hidup berkecukupan.

 “Aku pergi. Jaga diri kalian baik-baik,” pesan Jamal pada kedua adiknya.    

Jamal pergi menumpang kapal kafilah yang akan berangkat ke luar negeri. Sudah beberapa bulan tak ada kabar dari Jamal. Namun kemudian, seseorang datang dari pelabuhan menemui Karim. Ia memberikan titipan surat dari Jamal. Dalam suratnya, Jamal mengabarkan bahwa usahanya berhasil. Barang dagangan yang dibawanya laku dan memberi untung besar padanya. Tetapi ia tidak akan pulang dalam waktu dekat. Ia akan mencoba peruntungan di negeri yang lain. 

“Wah, hebat juga Kakak. Kalau dia pulang nanti, pasti sudah menjadi saudagar yang kaya raya,” ucap Karim senang.

Ia bersyukur usaha kakaknya berhasil. 

“Ah, kalau cuma begitu aku juga bisa!” seloroh Abdul.

Abdul merasa iri dengan keberhasilan kakaknya. Diam-diam rupanya ia menyusun rencana menyusul kakaknya ke luar negeri. Satu per satu hartanya ia jual. Tak ada yang tersisa. Semua uang lalu ia belanjakan untuk membeli barang-barang yang akan dijual kembali di luar negeri. Abdul tak mau menumpang kapal kafilah seperti kakaknya dulu. Ia menyewa kapal sendiri agar bebas berlayar ke mana pun ia mau. 

“Apa? Kakak akan pergi juga?” tanya Karim terkejut saat kakaknya berpamitan. 

“Ya. Kapalku sudah menunggu di pelabuhan,” jawab Abdul mantap. 

Karim merasa sedih karena ditinggalkan sendiri. Tetapi ia juga tak mungkin menghalangi kakaknya yang ingin mendapatkan kesuksesan lebih besar lagi. Karim pun merelakan kakaknya pergi. 

“Hati-hati! Jangan lupa mengirim kabar!” pesan Karim. 

Abdul melambaikan tangannya dari atas kapal dengan penuh percaya diri. Setahun kemudian, tak ada kabar dari Jamal maupun Abdul. Karim mengira mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ia ingin tahu kabar kedua kakaknya, namun tak tahu bagaimana cara menghubungi mereka. Setiap ada orang yang datang dari pelabuhan selalu ia tanyai. Barangkali mereka tahu kabar Jamal dan Abdul. Sementara itu, usaha Karim semakin berkembang. Keuntungan yang ia dapat sudah berlipat. Karim berusaha berhemat seperti yang diajarkan ayahnya dulu. Ia simpan hasil berdagangnya baik-baik dan menggunakan seperlunya saja. Namun, Karim bukan orang yang kikir. Karim rajin bersedekah. Bahkan orang-orang mengenalnya sebagai pedagang yang dermawan. Suatu hari, seseorang datang ke toko Karim. Badannya kurus dan pakaiannya lusuh. Karim mengira ia pengemis. Ia lalu memberikan makanan dan beberapa keping uang.

“Apakah Anda tak mengenali saya?” tanya pengemis itu kepada Karim. 

Karim tertegun. Ia memang baru kali ini melihat pengemis itu. Ia perhatikan lagi baik-baik. Karim pun terkejut. 

“Kakak!” seru Karim. 

Karim langsung membawa pengemis itu masuk ke dalam rumahnya. Rupanya pengemis itu adalah Jamal. Entah bagaimana ceritanya sampai ia datang mengemis di rumah adiknya sendiri. 

“Bagaimana Kakak bisa seperti ini? Apa yang terjadi?” tanya Karim prihatin.

“Ah, sudahlah. Jangan lagi bertanya soal itu. Kesialan menimpaku dan membuatku menjadi seperti yang kau lihat sekarang,” jawab Jamal. 

Karim tak banyak bicara lagi. Ia lantas mengambil pakaiannya yang masih baik dan memberikan pada Jamal. 

“Bersihkan badan Kakak. Pakailah ini. Kakak tinggal saja di sini bersamaku,” ujar Karim. 

Jamal pun menerimanya. Ia tak punya pilihan lain. Sebenarnya, Jamal bukan ditimpa kesialan. Ia kehabisan seluruh hartanya karena tergoda ikut dalam perjudian saat berdagang di luar negeri. Keuntungannya habis. Modal yang ia bawa pun akhirnya ikut menjadi barang taruhan. Kekalahan menimpanya. Ia tak punya apa-apa. Bahkan untuk pulang pun, ia terpaksa menumpang kapal seorang kafilah. Ia membayar tumpangan itu dengan tenaganya. Ia harus membantu awak kapal setiap hari selama mereka berlayar. Karim merasa kasihan pada kakaknya. Ia menghitung tabungannya. Ada dua ribu dinar yang ia miliki sekarang. Ia lalu mengambil separuhnya. 

“Kakak, terimalah. Lupakan kesialan yang menimpamu. Gunakan uang ini untuk membangun kembali usahamu. Kita bisa hidup bersama lagi seperti dulu.” 

Karim mengangsurkan kantung uang berisi seribu dinar kepada kakaknya. Jamal menerimanya dengan sukacita. 

“Terima kasih, Karim.” 

Dengan uang pemberian Karim, Jamal mulai berdagang lagi. Ia membuka toko di dekat pelabuhan. Ia tak mau tinggal di rumah Karim. Jamal memilih tinggal di toko sampai bisa membangun rumah sendiri. Ia merasa malu pada Karim. 

“Apa? Abdul menyusulku?” tanya Jamal tak percaya saat Karim menceritakan tentang Abdul. 

“Aku tak sekali pun bertemu dengannya. Ia tak mengirim kabar?” tanya Jamal lagi. 

“Sudah satu setengah tahun sejak ia berangkat, tak pernah ada kabar darinya. Orang-orang di pelabuhan yang datang juga tak ada yang tahu saat kutanya,” jawab Karim khawatir. 

“Ya sudahlah. Tak perlu cemaskan dia. Dia sudah dewasa. Pasti bisa menjaga dirinya.” 

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Jamal dan Karim. Mereka sangat terkejut melihat siapa yang datang menghampirinya. Pria itu adalah Abdul. Namun keadaan Abdul sangat berbeda dari saat ia berangkat berlayar. Tubuhnya kurus. Pakaiannya compang-camping. Ia pun berjalan pincang dibantu dengan tongkat kayu. Penampilannya tak jauh berbeda dengan Jamal saat pulang dari luar negeri dahulu. 

“Abdul, apa yang terjadi padamu?” tanya Jamal. 

Karim menuntun Abdul dan menyuruhkan masuk ke dalam rumahnya. 

“Sebaiknya kita bicara di dalam saja,” ucap Karim. 

Di dalam rumah Karim, Abdul menangis sesenggukan. Karim dan Jamal membiarkannya hingga bisa menenangkan diri.

“Sungguh malang nasibku,” ratap Abdul. 

“Saat berlayar pulang ke sini enam bulan yang lalu, kapalku diserang perompak. Mereka menjarah semua barang-barangku. Mereka juga menghancurkan kapalku sampai tenggelam,” ceritanya sambil terisak. 

Karim dan Jamal memandang saudaranya dengan prihatin. 

“Lalu bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dan kembali ke sini?” tanya Jamal.

“Hampir seminggu aku terombang-ambing di laut. Tadinya aku mengira hidupku sudah tamat. Tapi perahu kecil nelayan menyelamatkanku. Nelayan itu membawaku pulang ke rumahnya. Dia tinggal di pulau yang sangat terpencil. Aku berada di sana sampai sembuh.”

“Lalu kenapa kakimu menjadi pincang?”

“Kakiku patah. Tak ada tabib di sana. Aku hanya dirawat seadanya,” jawab Abdul.

“Tak ada satu pun kapal besar yang singgah di pulau itu. Mau tak mau aku bekerja pada nelayan itu selama beberapa bulan agar bisa membeli perahu.”

“Jadi kau ke sini dengan perahu? Berapa lama?” sela Jamal. Abdul mengangguk.

“Satu bulan,” katanya. 

“Untung kau selamat,” ucap Jamal lagi.

“Tadinya aku sempat tersesat. Ini hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi.” 

Karim hanya terdiam. Ia sedih melihat keadaan kakaknya. Tapi ia bersyukur kakaknya selamat dan kini mereka bisa berkumpul lagi seperti dulu. Karim pun masuk ke dalam rumah dan mengambilkan pakaian untuk Abdul.

“Kakak, tinggallah di sini bersamaku. Rawat lukamu sampai sembuh dulu,” ucap Karim. 

“Ya, betul itu apa kata Karim. Kau rawat dia baik-baik, ya, Karim. Aku pergi dulu.” 

Jamal pun meninggalkan rumah Karim. Ia tak mau ikut direpotkan merawat Abdul apalagi bila harus menyokong hidup Abdul. Usahanya sendiri baru mulai berjalan lagi. Untuk sementara, Abdul tinggal bersama Karim. Ia membantu Karim berdagang. Usaha Karim kini memang sudah mapan.

“Jika aku sudah punya modal, aku ingin memulai usahaku sendiri seperti dulu,” kata Abdul suatu hari.

“Ya, Kak. Aku yakin kau akan kembali menjadi saudagar yang sukses seperti dulu,” balas Karim.

Karim ingin mewujudkan keinginan kakaknya. Ia hitung lagi tabungan dari hasil berdagangnya. Ada dua ribu dinar. Ia ambil sebagian untuk diberikan pada Abdul. 

“Gunakan ini untuk membangun usahamu lagi, Kak.” 

“Kau menghutangkannya padaku?” tanya Abdul. 

Matanya berbinar menerima uang seribu dinar dari Karim. Karim menggeleng.

“Aku memberikannya untuk Kakak. Aku senang bila melihat Kakak bisa berhasil,” ucapnya tulus.

Abdul pun segera membelanjakan uangnya untuk membeli barang yang akan ia perdagangkan. Ia menyewa toko dan tak mau lagi tinggal bersama Karim. Ia ingin membuktikan kalau dirinya masih sehebat dulu dalam berdagang. Karim senang melihat kedua kakaknya bisa menjalankan usahanya sendiri seperti dulu. Selama beberapa tahun mereka hidup tenang. Usaha Jamal dan Abdul pun mulai mapan, sementara usaha Karim semakin besar. Suatu hari, datang seorang saudagar kaya dari negeri seberang. Ia menggelar dagangan di dekat pelabuhan. Karena penasaran, Jamal pun mendekatinya. Saudagar itu bercerita kepada Jamal tentang pengalaman berdagangnya. Ia dan rombongan datang ke negeri-negeri yang jauh. Mereka mendapatkan untung besar dari usahanya itu. Jamal teringat lagi pada mimpinya. Ia ingin menjadi seperti saudagar kaya itu. Bisa mempunyai kapal sendiri lalu mengadakan perjalanan dagang. 

Jamal sadar seharusnya ia dulu tidak ikut bertaruh dalam perjudian. Andai saja ia tidak tergoda ikut berjudi, pastilah nasibnya tak jauh berbeda dengan saudagar kaya dari negeri seberang itu. Ternyata Abdul pun memerhatikan tingkah polah saudagar kaya itu. Ia pun menghampiri kakaknya dan berbincang tentang berdagang ke luar negeri. Mereka sepakat ingin mencoba lagi. Namun kali ini, mereka punya rencana berbeda. Mereka tidak ingin pergi sendiri-sendiri dan bernasib sama seperti dulu. Kali ini mereka harus pergi bersama. Dengan begitu, akan ada yang mengingatkan bila salah seorang berbuat kesalahan. Mereka juga bisa saling menolong bila mendapat kesulitan di perjalanan. Mereka pun ingin mengajak Karim turut serta. 

“Tidak, Kak. Aku merasa sudah cukup dengan apa yang kumiliki dan kulakukan sekarang.” 

“Ayolah, Karim! Kalau kita berhasil dalam perdagangan ini, kita akan menjadi saudagar kaya. Kita bertiga bisa membuat Ayah bangga. Apa kau tak ingin Ayah bahagia melihat kehidupan kita lebih baik darinya?” bujuk Jamal. 

“Ya, betul. Pikirkanlah baik-baik. Ini kesempatan kita. Mumpung kita masih muda dan badan kita masih kuat,” tambah Abdul.

Karim masih terus menolak. Bagaimanapun caranya, Jamal dan Abdul terus berusaha membujuk adiknya itu untuk ikut serta. Harta Karim lebih banyak dari mereka. Bila Karim ikut, mereka bisa memanfaatkan harta Karim untuk menambah modal mereka. Setelah sekian lama, akhirnya Karim menyetujui usulan kedua kakaknya. Dalam hatinya, ia hanya ingin membantu kedua kakaknya agar berhasil. Setelah itu, ia ingin kembali lagi ke kotanya dan hidup dengan tenang. Ketiga saudara itu sepakat menjual seluruh harta mereka agar bisa membeli kapal sendiri. Setelah kapal terbeli, mereka berencana membeli barang-barang yang akan dijual kembali.

“Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Semua sudah kuberikan untuk membeli kapal,” ucap Jamal. 

“Aku juga. Lalu bagaimana dengan barang-barang yang akan kita jual? Juga perbekalan kita?” tanya Abdul. 

Karim masih memiliki enam ribu dinar. Dia pun bermurah hati kepada kedua kakaknya.

“Aku masih ada simpanan, Kak. Ambillah ini,” ujar Karim. 

Karim memberikan masing-masing seribu dinar pada kakaknya. Ia sendiri mengambil seribu dinar. Sisanya ia masukkan dalam peti lalu ia kubur di dalam rumahnya. Jamal dan Abdul sangat senang. Semua berjalan sesuai rencana mereka. Akhirnya mereka pun pergi berlayar. Mereka datang ke negeri-negeri yang belum pernah mereka kunjungi. Barang dagangan mereka selalu laris. Mereka mendapatkan untung yang besar. Mereka pun membagi rata keuntungan yang didapat. Saat tiba di sebuah negeri, mereka singgah di pelabuhan dan melakukan jual beli. Tiba-tiba ada seorang perempuan cantik bernama Salma yang datang menghampiri Karim. Salma tertarik pada Karim. Ia terus mendekati Karim dan meminta dinikahi. Ia bersedia ikut serta dalam perjalanan dagang Karim. Awalnya Karim menolak. Namun Salma terus datang dan berjanji menjadi istri yang baik untuk Karim. Karim pun menikahinya. Ia memberikan hadiah perhiasan dan gaun dan indah. Ketika saatnya berlayar kembali, Salma ikut serta bersama Karim. Rupanya kedua kakaknya merasa tidak senang pada Karim. Mereka iri karena Karim mendapatkan istri yang cantik dan baik. Timbullah niat jahat mereka terhadap Karim. Malam itu, mereka sedang berlayar di atas lautan. Karim dan Salma sedang tidur. Jamal dan Abdul mengendap-endap mendekati keduanya. Dibantu oleh dua awak kapal, mereka mengangkat Karim dan Salma lalu melemparkannya ke laut. Jamal dan Abdul mengusai sendiri kapal mereka. Mereka juga mengambil harta bagian Karim yang ada di kapal. Ketika Karim sadar, ia terkejut. Ia tergeletak di pinggir pantai di sebuah pulau kecil. Namun saat melihat istrinya, ia menjadi tenang. 

“Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana kita? Apa kapal kita terdampar?” tanya Karim pada istrinya.

“Tidak. Semalam kedua saudaramu melemparkan kita ke laut. Sebelumnya, aku ingin minta maaf padamu. Sebenarnya aku adalah jin,” ucap Salma. 

Karim terbelalak tak percaya. 

“Saat di pelabuhan, aku mengamatimu. Kau tampak begitu baik ketimbang dua saudaramu lainnya. Aku ingin menguji kebaikanmu. Karena itu, aku menyamar menjadi gadis yang meminta kau nikahi,” lanjut Salma. 

Karim masih terdiam. 

“Karena itulah aku bisa menyelamatkanmu agar tidak tenggelam di lautan. Aku sangat marah pada kedua saudaramu yang tamak. Aku akan membalaskan kejahatan yang telah mereka lakukan padamu. Mereka begitu tega memperlakukan saudaranya sendiri seperti ini. Aku akan menghabisi mereka!” ujar Salma geram. 

“Jangan!” teriak Karim. 

“Jangan lakukan itu, Salma! Aku berterima kasih kau telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih kau ingin membalaskan perbuatan mereka. Tapi kumohon, biarkan mereka tetap hidup. Bagaimanapun mereka berdua adalah kakakku.”

“Baiklah jika itu maumu. Sekarang, pejamkan matamu. Aku akan membawamu kembali ke rumahmu.”

Karim pun memejamkan matanya. Dalam sekejap, ia sudah berada di tempat lain. Saat matanya terbuka, ia sudah berada di atas atap rumahnya. Sedangkan Salma sudah tak tampak lagi. Ia menghilang entah ke mana. Karim turun dari atap rumahnya. Ia masuk ke dalam rumah dan menggali peti uangnya. Uangnya masih utuh. Dengan uang itu ia memulai lagi usahanya. Ia tak tahu keadaan kedua kakaknya. Ia hanya berharap mereka baik-baik saja dan kembali ke kota mereka sebagai saudagar kaya sesuai keinginannya. Suatu hari, Karim pulang dari pasar. 

Tiba-tiba ada dua anjing hitam mengikutinya hingga ke rumah. Kedua anjing itu bertubuh kurus dan wajahnya terlihat sedih. Karena tak tega melihatnya, Karim pun memberi kedua anjing itu makanan. Setiap hari, anjing itu selalu mengikuti ke mana Karim pergi. Mereka pun tak mau beranjak dari depan rumah Karim. Karim sendiri tak tahu dari mana kedua anjing itu berasal. Di luar, hujan turun sangat lebat. Karim mengintip dari dalam rumahnya. Dua anjing hitam yang biasa mengikutinya basah kuyup karena kehujanan. Karim ingin membawa masuk kedua anjing itu ke dalam rumahnya. Namun, ia takut anjing-anjing itu tiba-tiba menyerangnya karena keduanya tampak selalu kelaparan. Tiba-tiba, Salma muncul di dalam rumah Karim. Karim terkejut melihatnya, tapi ia tidak takut. 

“Ada apa, Salma? Kau mengejutkanku.”

“Barangkali kau penasaran karena beberapa hari ini selalu diikuti oleh dua anjing hitam.” 

“Ya, apa kau tahu sesuatu?” tanya Karim. 

“Mereka adalah kedua saudaramu. Aku mengutuk mereka menjadi anjing sebagai balasan atas kejahatan mereka kepadamu. Mereka akan menjadi anjing selama tiga tahun. Setelah itu baru kembali ke bentuknya semula.” 

Setelah berkata demikian, Salma pun menghilang. Karim langsung berlari ke pintu dan membukanya. Ia memanggil kedua anjing untuk masuk ke dalam rumah. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan kedua kakaknya menjadi manusia. Selama tiga tahun Jamal dan Abdul menjadi anjing hitam. Karena merasa kasihan, Karim mengurusnya dan memberinya makan setiap hari. Setelah tiga tahun berlalu, mereka kembali ke wujudnya semula. Jamal dan Abdul meminta maaf kepada Karim. Mereka mengakui kesalahan mereka. Kedua kakaknya telah merasakan penderitaan saat menjadi anjing. Kadang mereka dihina dan dilecehkan orang lain. Tak jarang mereka pun mendapat perlakuan kasar. Mereka terpaksa hidup di jalanan sebelum bisa kembali ke rumah Karim. Namun, Karim sudah memaafkan kedua kakaknya. Karim senang kakaknya telah kembali menjadi manusia. Ia juga senang kakaknya sudah menyadari kesalahannya. Mereka hidup dengan baik dan rukun. Kedua kakaknya juga tak pernah berbuat jahat lagi. 

***

Ajis selesai baca bukunya dan berkata "Cerita bagus. Berdasarkan asal cerita di tulis di buku berasal dari Arab."

Ajis menutup buku dengan baik dan buku di taruh di meja. Ajis pun bergerak ke ruang makan untuk makanlah karena Ajis laper.

PENCURIAN TIARA PUTRI KAJAL

Sinta membaca buku dengan baik.

Isi buku yang di baca Sinta :

Putri Kajal terkejut ketika membuka peti kayu tempat ia menyimpan tiara emasnya. Benda berharga itu sudah tidak ada di tempatnya. Padahal, ia harus mengenakan tiara emas itu untuk mengunjungi kerajaan tetangga. Putri Kajal sangat sedih dan bingung. Putri Kajal langsung melaporkan kejadian itu pada Raja Salman. Raja terkejut, padahal ia telah menugaskan dua pengawal istana berjaga di pintu kamar Putri Kajal. Jadi, bagaimana mungkin seorang pencuri bisa masuk ke dalam kamar putri kesayangannya?

Raja Salman segera menitahkan Patih Rangga menyelesaikan masalah ini. Patih Rangga menyatakan kesanggupannya. la segera memanggil tiga pengasuh Putri Kajal yang semalam memasuki kamar Putri Kajal. Pengasuh pertama seorang wanita yang rambutnya sudah memutih. 

“Apa kau tidak melihat kotak kayu tempat menyimpan tiara emas itu semalam?” selidik Patih Rangga.

“Hamba melihatnya. Peti itu seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi, hamba tidak berani menyentuhnya tanpa seizin Tuan Putri Kajal,” jawab pengasuh pertama.

Patih Rangga menyuruh pengasuh pertama keluar dan menitahkan pengasuh kedua yang lebih muda dari pengasuh pertama menghadapnya. 

“Apa kau melihat peti kayu tempat Tuan Putri Kajal menyimpan tiara emas itu?” tanya Patih.

“Ya, tentu saja. Tapi, hamba tidak berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri Kajal,” jawab pengasuh kedua.

Patih Rangga mengangguk. la menyuruh pengasuh kedua keluar dan pengasuh ketiga yang paling muda dimintanya masuk. Lalu, ia menanyakan hal yang sama.

“Tugas hamba adalah mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Kajal hari ini. Tapi, hamba sama sekali tidak tahu tentang hilangnya tiara emas itu. Hamba tidak berani menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri Kajal,” tutur pengasuh ketiga.

Patih Rangga mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menyuruh dua pengasuh lainnya masuk kembali. Bahkan Putri Kajal dimintanya ikut bergabung.

“Ketiga pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari tuduhan pencurian. Untuk itu, aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Kajal yang telah lalai. Tuan Putri harus menerima hukuman. Selama sebulan, Putri Kajal tidak boleh keluar dari kamar, kecuali tiara emas itu dapat ditemukan,” Patih Rangga mengeluarkan keputusan.

Putri Kajal terkejut, ia menitikkan air mata. Tiba- tiba, pengasuh pertama bersujud di depan Patih Rangga. “Ampuni Putri Kajal, Patih Rangga. Hamba yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Kajal,” tutur pengasuh pertama.

“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Patih Rangga.

“Hamba mempunyai seorang anak di perbatasan kerajaan. Kemarin, ia datang menemui hamba dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang akan merampok Tuan Putri Kajal saat melintas perbatasan. Mereka mengincar tiara emas milik Putri Kajal. Hamba tidak ingin terjadi hal merugikan pada Tuan Putri Kajal. Makanya, hamba sengaja menyembunyikan tiara itu agar Tuan Putri Kajal tidak jadi pergi hari ini,” kata pengasuh pertama.

“Seharusnya kau memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu. Sekarang, ambil tiara emas itu. Tuan Putri tetap akansi berangkat hari ini,” titah Patih Rangga.

Patih Rangga segera menyusun rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan merampok Putri Kajal. Berkat kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat yang akan merampok Putri Kajal berhasil diringkus.

***

Sinta berhenti baca buku dan berkata "Cerita yang aku baca ini bagus ceritanya, ya di buku ini di tulis asal cerita dari India."

Sinta membaca pesan moral yang di tulis buku "Jika kamu rnempunyai masalah, ceritakanlah kepada orangtua atau sahabat terdekatmu. Dengan begitu kamu bisa menerima saran dari mereka agar bisa keluar dari permasalahan yang dihadapi."

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK