Ajis pulang dari bermain dengan teman-teman. Ajis duduk di ruang tengah dan segera mengambil buku di meja, ya di baca dengan baik buku.
Isi buku yang di baca Ajis :
Jamal, Abdul, dan Karim adalah tiga pemuda bersaudara. Belum lama ini, ayah mereka meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan uang sebanyak tiga ribu dinar untuk mereka. Agar adil, si sulung Jamal membaginya menjadi tiga. Masing-masing mendapatkan seribu dinar. Kini mereka tak bisa lagi menggantungkan hidupnya pada orang lain. Selama ini, mereka hanya membantu-bantu ayahnya menjalankan usaha. Semua kebutuhan mereka, ayahnyalah yang mencukupi. Sekarang, mau tak mau mereka harus berupaya sendiri. Jamal, Abdul, dan Karim masing-masing memutuskan membuka toko dan menjadi pedagang seperti ayahnya dulu.
Pengalaman bekerja bersama sang ayah membuat mereka mudah menjalankan usahanya. Toko mereka ramai. Untung yang mereka dapat pun besar. Sayangnya, ketiga bersaudara ini mempunyai sifat dan perangai yang berbeda. Jamal orang yang boros. Mudah sekali menghambur-hamburkan uang. Keuntungan yang ia dapat dari kerja kerasnya lebih banyak ia belanjakan untuk membeli barang yang kurang bermanfaat. Ia juga suka berpesta dan berfoya-foya. Ketika menyadari uang simpanannya tinggal sedikit, Jamal memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Ia akan berdagang di sana agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Ia jual semua harta bendanya. Uang yang ia dapatkan digunakan untuk membeli barang yang akan ia bawa berdagang ke luar negeri.
“Apa Kakak sudah menimbang masak-masak? Tak sedikit yang mencoba peruntungan berdagang di luar negeri, pulang dengan tangan hampa,” ujar si bungsu Karim berusaha mencegah kakaknya pergi.
“Kau meragukan kemampuan berdagangku? Darah Ayah kental mengalir di tubuhku. Juga bakat berdagang Ayah yang diturunkan padaku. Aku pasti akan pulang membawa keuntungan yang jauh lebih besar,” balas Jamal penuh keangkuhan.
Sementara Abdul si anak tengah tampak tak peduli dengan pilihan kakaknya. Baginya yang penting usahanya sendiri sudah berjalan lancar. Keuntungannya pun sudah membuatnya hidup berkecukupan.
“Aku pergi. Jaga diri kalian baik-baik,” pesan Jamal pada kedua adiknya.
Jamal pergi menumpang kapal kafilah yang akan berangkat ke luar negeri. Sudah beberapa bulan tak ada kabar dari Jamal. Namun kemudian, seseorang datang dari pelabuhan menemui Karim. Ia memberikan titipan surat dari Jamal. Dalam suratnya, Jamal mengabarkan bahwa usahanya berhasil. Barang dagangan yang dibawanya laku dan memberi untung besar padanya. Tetapi ia tidak akan pulang dalam waktu dekat. Ia akan mencoba peruntungan di negeri yang lain.
“Wah, hebat juga Kakak. Kalau dia pulang nanti, pasti sudah menjadi saudagar yang kaya raya,” ucap Karim senang.
Ia bersyukur usaha kakaknya berhasil.
“Ah, kalau cuma begitu aku juga bisa!” seloroh Abdul.
Abdul merasa iri dengan keberhasilan kakaknya. Diam-diam rupanya ia menyusun rencana menyusul kakaknya ke luar negeri. Satu per satu hartanya ia jual. Tak ada yang tersisa. Semua uang lalu ia belanjakan untuk membeli barang-barang yang akan dijual kembali di luar negeri. Abdul tak mau menumpang kapal kafilah seperti kakaknya dulu. Ia menyewa kapal sendiri agar bebas berlayar ke mana pun ia mau.
“Apa? Kakak akan pergi juga?” tanya Karim terkejut saat kakaknya berpamitan.
“Ya. Kapalku sudah menunggu di pelabuhan,” jawab Abdul mantap.
Karim merasa sedih karena ditinggalkan sendiri. Tetapi ia juga tak mungkin menghalangi kakaknya yang ingin mendapatkan kesuksesan lebih besar lagi. Karim pun merelakan kakaknya pergi.
“Hati-hati! Jangan lupa mengirim kabar!” pesan Karim.
Abdul melambaikan tangannya dari atas kapal dengan penuh percaya diri. Setahun kemudian, tak ada kabar dari Jamal maupun Abdul. Karim mengira mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ia ingin tahu kabar kedua kakaknya, namun tak tahu bagaimana cara menghubungi mereka. Setiap ada orang yang datang dari pelabuhan selalu ia tanyai. Barangkali mereka tahu kabar Jamal dan Abdul. Sementara itu, usaha Karim semakin berkembang. Keuntungan yang ia dapat sudah berlipat. Karim berusaha berhemat seperti yang diajarkan ayahnya dulu. Ia simpan hasil berdagangnya baik-baik dan menggunakan seperlunya saja. Namun, Karim bukan orang yang kikir. Karim rajin bersedekah. Bahkan orang-orang mengenalnya sebagai pedagang yang dermawan. Suatu hari, seseorang datang ke toko Karim. Badannya kurus dan pakaiannya lusuh. Karim mengira ia pengemis. Ia lalu memberikan makanan dan beberapa keping uang.
“Apakah Anda tak mengenali saya?” tanya pengemis itu kepada Karim.
Karim tertegun. Ia memang baru kali ini melihat pengemis itu. Ia perhatikan lagi baik-baik. Karim pun terkejut.
“Kakak!” seru Karim.
Karim langsung membawa pengemis itu masuk ke dalam rumahnya. Rupanya pengemis itu adalah Jamal. Entah bagaimana ceritanya sampai ia datang mengemis di rumah adiknya sendiri.
“Bagaimana Kakak bisa seperti ini? Apa yang terjadi?” tanya Karim prihatin.
“Ah, sudahlah. Jangan lagi bertanya soal itu. Kesialan menimpaku dan membuatku menjadi seperti yang kau lihat sekarang,” jawab Jamal.
Karim tak banyak bicara lagi. Ia lantas mengambil pakaiannya yang masih baik dan memberikan pada Jamal.
“Bersihkan badan Kakak. Pakailah ini. Kakak tinggal saja di sini bersamaku,” ujar Karim.
Jamal pun menerimanya. Ia tak punya pilihan lain. Sebenarnya, Jamal bukan ditimpa kesialan. Ia kehabisan seluruh hartanya karena tergoda ikut dalam perjudian saat berdagang di luar negeri. Keuntungannya habis. Modal yang ia bawa pun akhirnya ikut menjadi barang taruhan. Kekalahan menimpanya. Ia tak punya apa-apa. Bahkan untuk pulang pun, ia terpaksa menumpang kapal seorang kafilah. Ia membayar tumpangan itu dengan tenaganya. Ia harus membantu awak kapal setiap hari selama mereka berlayar. Karim merasa kasihan pada kakaknya. Ia menghitung tabungannya. Ada dua ribu dinar yang ia miliki sekarang. Ia lalu mengambil separuhnya.
“Kakak, terimalah. Lupakan kesialan yang menimpamu. Gunakan uang ini untuk membangun kembali usahamu. Kita bisa hidup bersama lagi seperti dulu.”
Karim mengangsurkan kantung uang berisi seribu dinar kepada kakaknya. Jamal menerimanya dengan sukacita.
“Terima kasih, Karim.”
Dengan uang pemberian Karim, Jamal mulai berdagang lagi. Ia membuka toko di dekat pelabuhan. Ia tak mau tinggal di rumah Karim. Jamal memilih tinggal di toko sampai bisa membangun rumah sendiri. Ia merasa malu pada Karim.
“Apa? Abdul menyusulku?” tanya Jamal tak percaya saat Karim menceritakan tentang Abdul.
“Aku tak sekali pun bertemu dengannya. Ia tak mengirim kabar?” tanya Jamal lagi.
“Sudah satu setengah tahun sejak ia berangkat, tak pernah ada kabar darinya. Orang-orang di pelabuhan yang datang juga tak ada yang tahu saat kutanya,” jawab Karim khawatir.
“Ya sudahlah. Tak perlu cemaskan dia. Dia sudah dewasa. Pasti bisa menjaga dirinya.”
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Jamal dan Karim. Mereka sangat terkejut melihat siapa yang datang menghampirinya. Pria itu adalah Abdul. Namun keadaan Abdul sangat berbeda dari saat ia berangkat berlayar. Tubuhnya kurus. Pakaiannya compang-camping. Ia pun berjalan pincang dibantu dengan tongkat kayu. Penampilannya tak jauh berbeda dengan Jamal saat pulang dari luar negeri dahulu.
“Abdul, apa yang terjadi padamu?” tanya Jamal.
Karim menuntun Abdul dan menyuruhkan masuk ke dalam rumahnya.
“Sebaiknya kita bicara di dalam saja,” ucap Karim.
Di dalam rumah Karim, Abdul menangis sesenggukan. Karim dan Jamal membiarkannya hingga bisa menenangkan diri.
“Sungguh malang nasibku,” ratap Abdul.
“Saat berlayar pulang ke sini enam bulan yang lalu, kapalku diserang perompak. Mereka menjarah semua barang-barangku. Mereka juga menghancurkan kapalku sampai tenggelam,” ceritanya sambil terisak.
Karim dan Jamal memandang saudaranya dengan prihatin.
“Lalu bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dan kembali ke sini?” tanya Jamal.
“Hampir seminggu aku terombang-ambing di laut. Tadinya aku mengira hidupku sudah tamat. Tapi perahu kecil nelayan menyelamatkanku. Nelayan itu membawaku pulang ke rumahnya. Dia tinggal di pulau yang sangat terpencil. Aku berada di sana sampai sembuh.”
“Lalu kenapa kakimu menjadi pincang?”
“Kakiku patah. Tak ada tabib di sana. Aku hanya dirawat seadanya,” jawab Abdul.
“Tak ada satu pun kapal besar yang singgah di pulau itu. Mau tak mau aku bekerja pada nelayan itu selama beberapa bulan agar bisa membeli perahu.”
“Jadi kau ke sini dengan perahu? Berapa lama?” sela Jamal. Abdul mengangguk.
“Satu bulan,” katanya.
“Untung kau selamat,” ucap Jamal lagi.
“Tadinya aku sempat tersesat. Ini hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi.”
Karim hanya terdiam. Ia sedih melihat keadaan kakaknya. Tapi ia bersyukur kakaknya selamat dan kini mereka bisa berkumpul lagi seperti dulu. Karim pun masuk ke dalam rumah dan mengambilkan pakaian untuk Abdul.
“Kakak, tinggallah di sini bersamaku. Rawat lukamu sampai sembuh dulu,” ucap Karim.
“Ya, betul itu apa kata Karim. Kau rawat dia baik-baik, ya, Karim. Aku pergi dulu.”
Jamal pun meninggalkan rumah Karim. Ia tak mau ikut direpotkan merawat Abdul apalagi bila harus menyokong hidup Abdul. Usahanya sendiri baru mulai berjalan lagi. Untuk sementara, Abdul tinggal bersama Karim. Ia membantu Karim berdagang. Usaha Karim kini memang sudah mapan.
“Jika aku sudah punya modal, aku ingin memulai usahaku sendiri seperti dulu,” kata Abdul suatu hari.
“Ya, Kak. Aku yakin kau akan kembali menjadi saudagar yang sukses seperti dulu,” balas Karim.
Karim ingin mewujudkan keinginan kakaknya. Ia hitung lagi tabungan dari hasil berdagangnya. Ada dua ribu dinar. Ia ambil sebagian untuk diberikan pada Abdul.
“Gunakan ini untuk membangun usahamu lagi, Kak.”
“Kau menghutangkannya padaku?” tanya Abdul.
Matanya berbinar menerima uang seribu dinar dari Karim. Karim menggeleng.
“Aku memberikannya untuk Kakak. Aku senang bila melihat Kakak bisa berhasil,” ucapnya tulus.
Abdul pun segera membelanjakan uangnya untuk membeli barang yang akan ia perdagangkan. Ia menyewa toko dan tak mau lagi tinggal bersama Karim. Ia ingin membuktikan kalau dirinya masih sehebat dulu dalam berdagang. Karim senang melihat kedua kakaknya bisa menjalankan usahanya sendiri seperti dulu. Selama beberapa tahun mereka hidup tenang. Usaha Jamal dan Abdul pun mulai mapan, sementara usaha Karim semakin besar. Suatu hari, datang seorang saudagar kaya dari negeri seberang. Ia menggelar dagangan di dekat pelabuhan. Karena penasaran, Jamal pun mendekatinya. Saudagar itu bercerita kepada Jamal tentang pengalaman berdagangnya. Ia dan rombongan datang ke negeri-negeri yang jauh. Mereka mendapatkan untung besar dari usahanya itu. Jamal teringat lagi pada mimpinya. Ia ingin menjadi seperti saudagar kaya itu. Bisa mempunyai kapal sendiri lalu mengadakan perjalanan dagang.
Jamal sadar seharusnya ia dulu tidak ikut bertaruh dalam perjudian. Andai saja ia tidak tergoda ikut berjudi, pastilah nasibnya tak jauh berbeda dengan saudagar kaya dari negeri seberang itu. Ternyata Abdul pun memerhatikan tingkah polah saudagar kaya itu. Ia pun menghampiri kakaknya dan berbincang tentang berdagang ke luar negeri. Mereka sepakat ingin mencoba lagi. Namun kali ini, mereka punya rencana berbeda. Mereka tidak ingin pergi sendiri-sendiri dan bernasib sama seperti dulu. Kali ini mereka harus pergi bersama. Dengan begitu, akan ada yang mengingatkan bila salah seorang berbuat kesalahan. Mereka juga bisa saling menolong bila mendapat kesulitan di perjalanan. Mereka pun ingin mengajak Karim turut serta.
“Tidak, Kak. Aku merasa sudah cukup dengan apa yang kumiliki dan kulakukan sekarang.”
“Ayolah, Karim! Kalau kita berhasil dalam perdagangan ini, kita akan menjadi saudagar kaya. Kita bertiga bisa membuat Ayah bangga. Apa kau tak ingin Ayah bahagia melihat kehidupan kita lebih baik darinya?” bujuk Jamal.
“Ya, betul. Pikirkanlah baik-baik. Ini kesempatan kita. Mumpung kita masih muda dan badan kita masih kuat,” tambah Abdul.
Karim masih terus menolak. Bagaimanapun caranya, Jamal dan Abdul terus berusaha membujuk adiknya itu untuk ikut serta. Harta Karim lebih banyak dari mereka. Bila Karim ikut, mereka bisa memanfaatkan harta Karim untuk menambah modal mereka. Setelah sekian lama, akhirnya Karim menyetujui usulan kedua kakaknya. Dalam hatinya, ia hanya ingin membantu kedua kakaknya agar berhasil. Setelah itu, ia ingin kembali lagi ke kotanya dan hidup dengan tenang. Ketiga saudara itu sepakat menjual seluruh harta mereka agar bisa membeli kapal sendiri. Setelah kapal terbeli, mereka berencana membeli barang-barang yang akan dijual kembali.
“Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Semua sudah kuberikan untuk membeli kapal,” ucap Jamal.
“Aku juga. Lalu bagaimana dengan barang-barang yang akan kita jual? Juga perbekalan kita?” tanya Abdul.
Karim masih memiliki enam ribu dinar. Dia pun bermurah hati kepada kedua kakaknya.
“Aku masih ada simpanan, Kak. Ambillah ini,” ujar Karim.
Karim memberikan masing-masing seribu dinar pada kakaknya. Ia sendiri mengambil seribu dinar. Sisanya ia masukkan dalam peti lalu ia kubur di dalam rumahnya. Jamal dan Abdul sangat senang. Semua berjalan sesuai rencana mereka. Akhirnya mereka pun pergi berlayar. Mereka datang ke negeri-negeri yang belum pernah mereka kunjungi. Barang dagangan mereka selalu laris. Mereka mendapatkan untung yang besar. Mereka pun membagi rata keuntungan yang didapat. Saat tiba di sebuah negeri, mereka singgah di pelabuhan dan melakukan jual beli. Tiba-tiba ada seorang perempuan cantik bernama Salma yang datang menghampiri Karim. Salma tertarik pada Karim. Ia terus mendekati Karim dan meminta dinikahi. Ia bersedia ikut serta dalam perjalanan dagang Karim. Awalnya Karim menolak. Namun Salma terus datang dan berjanji menjadi istri yang baik untuk Karim. Karim pun menikahinya. Ia memberikan hadiah perhiasan dan gaun dan indah. Ketika saatnya berlayar kembali, Salma ikut serta bersama Karim. Rupanya kedua kakaknya merasa tidak senang pada Karim. Mereka iri karena Karim mendapatkan istri yang cantik dan baik. Timbullah niat jahat mereka terhadap Karim. Malam itu, mereka sedang berlayar di atas lautan. Karim dan Salma sedang tidur. Jamal dan Abdul mengendap-endap mendekati keduanya. Dibantu oleh dua awak kapal, mereka mengangkat Karim dan Salma lalu melemparkannya ke laut. Jamal dan Abdul mengusai sendiri kapal mereka. Mereka juga mengambil harta bagian Karim yang ada di kapal. Ketika Karim sadar, ia terkejut. Ia tergeletak di pinggir pantai di sebuah pulau kecil. Namun saat melihat istrinya, ia menjadi tenang.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana kita? Apa kapal kita terdampar?” tanya Karim pada istrinya.
“Tidak. Semalam kedua saudaramu melemparkan kita ke laut. Sebelumnya, aku ingin minta maaf padamu. Sebenarnya aku adalah jin,” ucap Salma.
Karim terbelalak tak percaya.
“Saat di pelabuhan, aku mengamatimu. Kau tampak begitu baik ketimbang dua saudaramu lainnya. Aku ingin menguji kebaikanmu. Karena itu, aku menyamar menjadi gadis yang meminta kau nikahi,” lanjut Salma.
Karim masih terdiam.
“Karena itulah aku bisa menyelamatkanmu agar tidak tenggelam di lautan. Aku sangat marah pada kedua saudaramu yang tamak. Aku akan membalaskan kejahatan yang telah mereka lakukan padamu. Mereka begitu tega memperlakukan saudaranya sendiri seperti ini. Aku akan menghabisi mereka!” ujar Salma geram.
“Jangan!” teriak Karim.
“Jangan lakukan itu, Salma! Aku berterima kasih kau telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih kau ingin membalaskan perbuatan mereka. Tapi kumohon, biarkan mereka tetap hidup. Bagaimanapun mereka berdua adalah kakakku.”
“Baiklah jika itu maumu. Sekarang, pejamkan matamu. Aku akan membawamu kembali ke rumahmu.”
Karim pun memejamkan matanya. Dalam sekejap, ia sudah berada di tempat lain. Saat matanya terbuka, ia sudah berada di atas atap rumahnya. Sedangkan Salma sudah tak tampak lagi. Ia menghilang entah ke mana. Karim turun dari atap rumahnya. Ia masuk ke dalam rumah dan menggali peti uangnya. Uangnya masih utuh. Dengan uang itu ia memulai lagi usahanya. Ia tak tahu keadaan kedua kakaknya. Ia hanya berharap mereka baik-baik saja dan kembali ke kota mereka sebagai saudagar kaya sesuai keinginannya. Suatu hari, Karim pulang dari pasar.
Tiba-tiba ada dua anjing hitam mengikutinya hingga ke rumah. Kedua anjing itu bertubuh kurus dan wajahnya terlihat sedih. Karena tak tega melihatnya, Karim pun memberi kedua anjing itu makanan. Setiap hari, anjing itu selalu mengikuti ke mana Karim pergi. Mereka pun tak mau beranjak dari depan rumah Karim. Karim sendiri tak tahu dari mana kedua anjing itu berasal. Di luar, hujan turun sangat lebat. Karim mengintip dari dalam rumahnya. Dua anjing hitam yang biasa mengikutinya basah kuyup karena kehujanan. Karim ingin membawa masuk kedua anjing itu ke dalam rumahnya. Namun, ia takut anjing-anjing itu tiba-tiba menyerangnya karena keduanya tampak selalu kelaparan. Tiba-tiba, Salma muncul di dalam rumah Karim. Karim terkejut melihatnya, tapi ia tidak takut.
“Ada apa, Salma? Kau mengejutkanku.”
“Barangkali kau penasaran karena beberapa hari ini selalu diikuti oleh dua anjing hitam.”
“Ya, apa kau tahu sesuatu?” tanya Karim.
“Mereka adalah kedua saudaramu. Aku mengutuk mereka menjadi anjing sebagai balasan atas kejahatan mereka kepadamu. Mereka akan menjadi anjing selama tiga tahun. Setelah itu baru kembali ke bentuknya semula.”
Setelah berkata demikian, Salma pun menghilang. Karim langsung berlari ke pintu dan membukanya. Ia memanggil kedua anjing untuk masuk ke dalam rumah. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan kedua kakaknya menjadi manusia. Selama tiga tahun Jamal dan Abdul menjadi anjing hitam. Karena merasa kasihan, Karim mengurusnya dan memberinya makan setiap hari. Setelah tiga tahun berlalu, mereka kembali ke wujudnya semula. Jamal dan Abdul meminta maaf kepada Karim. Mereka mengakui kesalahan mereka. Kedua kakaknya telah merasakan penderitaan saat menjadi anjing. Kadang mereka dihina dan dilecehkan orang lain. Tak jarang mereka pun mendapat perlakuan kasar. Mereka terpaksa hidup di jalanan sebelum bisa kembali ke rumah Karim. Namun, Karim sudah memaafkan kedua kakaknya. Karim senang kakaknya telah kembali menjadi manusia. Ia juga senang kakaknya sudah menyadari kesalahannya. Mereka hidup dengan baik dan rukun. Kedua kakaknya juga tak pernah berbuat jahat lagi.
***
Ajis selesai baca bukunya dan berkata "Cerita bagus. Berdasarkan asal cerita di tulis di buku berasal dari Arab."
Ajis menutup buku dengan baik dan buku di taruh di meja. Ajis pun bergerak ke ruang makan untuk makanlah karena Ajis laper.