Di sebuah desa di Arab hiduplah seorang pemuda penggembala domba. Pemuda itu bernama Fatih. Ia tinggal berdua bersama dengan ayahnya yang sudah tua. Setiap hari mereka pergi menggembala domba. Namun, domba-domba yang mereka gembalakan bukanlah milik mereka sendiri. Domba-domba itu titipan dari orang lain. Mereka mendapatkan upah dari memelihara domba. Suatu hari, ayah Fatih jatuh sakit. Ia tak mampu lagi bekerja seperti biasanya. Akhirnya, Fatih harus pergi menggembala domba seorang diri. Fatih juga merawat sang ayah sebagai wujud kasih sayangnya. Fatih sendiri yang menyuapi, memandikan, dan terus berdoa untuk kesembuhan ayahnya. Fatih memang anak yang berbakti.
Namun, takdir usia ayah Fatih telah sampai. Ayahnya meninggal dunia. Ayah Fatih tak banyak meninggalkan harta untuk Fatih. Hanya rumah sederhana dan dua ratus keping uang perak. Ayahnya juga mewasiatkan agar Fatih selalu berlaku baik, jujur, dan jangan menyepelekan nasihat baik. Karena ayah Fatih sudah meninggal, orang-orang yang menitipkan domba meminta domba-domba mereka kembali. Fatih kehilangan pekerjaan. Ia lalu pergi ke pasar. Siapa tahu ada yang membutuhkan tenaganya. Dengan begitu dia bisa mendapatkan pekerjaan lagi. Fatih berkeliling pasar menawarkan tenaganya. Sayang belum ada yang menerimanya. Karena lelah, Fatih beristirahat sejenak. Ia mengamati orang-orang yang lalu lalang di pasar.
“Nasihat berharga! Seratus keping perak saja!”
Seorang pria tua berteriak di tengah pasar. Tak ada yang menghiraukannya. Namun ia tak berhenti mengulang-ulang penawarannya. Fatih heran melihat orang tersebut. Ternyata di pasar ada juga yang menjual nasihat. Ia tak menyangka nasihat juga bisa dijual. Fatih merasa tertarik. Ia mendekati pria tua itu.
“Nasihat seperti apa yang kau jual, Pak Tua?” tanya Fatih.
“Tentu saja nasihat baik yang akan mengantarmu pada keberuntungan, anak muda,” jawab pria itu.
“Apa kau mau mencobanya?” lanjutnya.
Fatih berpikir-pikir. Saat ini ia memang sedang kebingungan. Ia baru saja kehilangan ayah dan tidak kunjung mendapat pekerjaan. Barangkali dia bisa mendapat nasihat yang bermanfaat dari pria tua itu.
“Baiklah, Pak Tua, apa nasihatmu?”
Fatih menyerahkan seluruh uangnya pada pria tua itu. Pria tua itu menerimanya dengan senang.
“Dengar baik-baik. Nasihat yang pertama, ingatlah bahwa setiap orang mempunyai pilihannya masing-masing,” ucap pria tua itu bijaksana.
“Yang kedua, bila kau mendapat tawaran dan kesempatan baik, jangan menolaknya. Sudah. Uangmu hanya cukup untuk dua nasihat ini. Semoga bisa bermanfaat dalam hidupmu. Lain kali, datanglah lagi.”
Pria tua itu lantas berlalu. Fatih telah mendapatkan dua nasihat yang harus ia bayar mahal. Ia telah kehabisan uang sekarang. Fatih tercenung memikirkan nasihat dari pria tua tadi. Ia belum tahu apa maksud dari masing-masing nasihat yang didapatnya. Tiba-tiba pasar gaduh. Seorang pria berlari mengejar dombanya yang terlepas. Domba itu baru saja ia beli di pasar. Fatih yang terbiasa menggembala domba, membantu pria itu menangkap dombanya.
“Terima kasih, anak muda. Kalau tak ada kau, dombaku ini pasti sudah membuat pasar porak-poranda.”
“Sama-sama, Tuan. Saya dulu penggembala domba. Jadi saya sudah terbiasa dengan hal seperti ini.”
Fatih berbincang akrab dengan pria yang dibantunya. Namanya Usman. Dia kepala pelayan saudagar Rasyid. Saat mendengar kisah Fatih, ia menjadi iba. Usman pun menawarkan pada Fatih untuk bekerja di rumah saudagar Rasyid. Fatih sangat senang. Ini kesempatan yang baik. Ia teringat nasihat yang dibelinya dari pria tua tadi. Fatih pun menerima tawaran Usman. Akhirnya ia bisa mendapat pekerjaan lagi.
Di rumah saudagar Rasyid, Fatih bekerja memelihara ternak. Ada domba dan unta. Karena sudah memiliki pengalaman sebelumnya, ia melakukan pekerjaannya dengan mudah. Fatih pun menjadi kesayangan kepala pelayan. Usman menganggap Fatih seperti anaknya sendiri. Setiap hari Fatih bekerja keras. Sebagaimana pesan ayahnya, ia pun selalu jujur dan santun. Usman sering menyebut-nyebut nama Fatih di hadapan saudagar Rasyid. Saudagar Rasyid senang memiliki pelayan yang rajin seperti Fatih.
Suatu hari, pelayan perempuan saudagar Rasyid akan pergi keluar kota untuk membeli beberapa perlengkapan dan barang-barang. Biasanya Salima, putri saudagar Rasyid, tak pernah ikut serta. Namun, kali ini ia meminta untuk ikut pergi. Ia ingin melihat-lihat keadaan kota lain. Selama ini ia hanya mendapat cerita dari ayahnya atau pelayan-pelayan yang baru pulang dari perjalanan dagang. Salima tak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Tadinya saudagar Rasyid tak mengizinkannya. Ia mengkhawatirkan keadaan putrinya yang cantik itu bila ikut pergi. Perjalanan yang harus ditempuh tak cukup sehari semalam. Tapi Salima terus merengek pada ayahnya.
“Kira-kira siapa yang bisa kupercaya untuk mengawal anak kesayanganku, Usman? Aku bisa memercayaimu. Tapi aku membutuhkan bantuanmu di sini,” ujar saudagar Rasyid.
“Bagaimana kalau Fatih? Tuan sudah tahu betul bagaimana perangainya. Ia pemuda yang baik dan santun. Ia juga bisa dipercaya,” usul Usman. Saudagar Rasyid mengangguk-angguk.
“Ya, aku juga berpikiran sama. Sertakan juga beberapa pelayan pria untuk membantu Fatih mengawal putriku.”
“Baik, Tuan.”
Usman pun mengatur perjalanan rombongan putri saudagar Rasyid. Mereka naik beberapa ekor unta. Perjalanan yang harus mereka tempuh cukup jauh. Paling tidak perlu dua hari untuk sampai di kota yang dituju. Selama perjalanan, Fatih menjalankan tugasnya dengan baik. Ia mengawal dan menjaga rombongan, khususnya Salima. Salima yang selama ini jarang melihat Fatih menjadi kagum padanya. Salima pun jatuh hati pada pemuda yang tampan dan baik budi itu.
Saat hari mulai petang, rombongan itu mendirikan tenda untuk beristirahat. Mereka akan bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Ketika semua orang sedang terlelap, Salima mengendap-endap keluar dari tendanya. Ia ingin menemui Fatih.
“Ada apa, Nona? Anda perlu bantuan?” tanya Fatih.
“Tidak,” jawab Salima.
“Lalu mengapa keluar tenda? Sebaiknya Anda masuk dan beristirahat. Perjalanan yang harus kita tempuh masih panjang,” ujar Fatih sopan.
“Aku hanya ada sedikit perlu denganmu,” kata Salima.
Ia pun memberanikan diri mengutarakan perasaannya pada Fatih. Ia ingin Fatih datang pada ayahnya untuk melamarnya. Fatih terkejut mendengarnya. Fatih merasa bingung apakah ini kesempatan baik atau bukan. Keadaan ini bagai buah simalakama baginya. Bila ia menyanggupi, kemarahan saudagar tentu akan diterimanya. Bila ia menolak, Salima yang akan memusuhinya. Namun, Fatih teringat pada tugasnya. Ia sedang diberi kepercayaan untuk mengawal Salima. Ia tak mungkin melanggarnya. Maka ia harus berani menerima setiap risiko yang akan terjadi.
“Maafkan saya, Nona. Saat ini saya sedang mendapat amanah dari ayah Anda. Saya harus menjaga Anda. Lagi pula saya hanyalah seorang pelayan. Manalah pantas mengajukan lamaran untuk putri seorang saudagar?”
Fatih menolak dengan halus. Padahal dalam hati, ia pun jatuh cinta pada Salima yang cantik jelita. Tapi Fatih tahu diri. Salima kecewa mendengar penolakan Fatih. Hatinya marah dan terluka. Ia berlari ke tendanya.
Keesokan harinya, rombongan itu meneruskan perjalanannya. Salima tampak masih menyimpan kemarahan pada Fatih. Setiap kali diajak bicara, jawabannya ketus. Fatih memilih diam dan mengalah. Saat mereka melewati sumur tua, Salima meminta mereka berhenti. Salima ingat cerita dari para pelayan tentang sumur itu. Mereka bilang sumur tua itu adalah sumur keramat. Tak ada seorang pun yang bisa keluar saat masuk ke dalamnya untuk mengambil air.
“Di sini panas sekali. Aku ingin membasuh wajahku dengan air sumur itu. Pasti dingin dan menyegarkan,” pinta Salima.
Para pelayan menolak keinginan Salima. Tak satu pun dari mereka berani turun ke dalam sumur untuk mengambil air. Mereka membujuk Salima menggunakan air perbekalan mereka, tapi Salima tak mau.
“Fatih, cepat turun ke sumur dan ambilkan air untukku!” perintah Salima.
Sebenarnya Salima sengaja. Ia ingin membalas sakit hatinya pada Fatih. Ia yakin Fatih tak akan berani turun. Dengan begitu ia bisa mengolok-oloknya sepanjang perjalanan nanti.
Ternyata dugaan Salima salah. Fatih mengambil seutas tambang panjang dan menurunkannya ke dalam sumur. Ia lantas masuk untuk mengambil air. Keberanian Fatih justru membuat Salima menjadi khawatir. Bagaimana kalau yang diceritakan orang-orang benar? Bagaimana bila Fatih tak kunjung keluar dari sumur? Salima cemas.
Sumur itu sangat gelap karena begitu dalamnya. Fatih terkejut saat mencapai permukaan air sumur. Ia melihat seorang pria besar dan dua orang wanita. Wanita yang satu berkulit putih dan yang satu berkulit hitam.
“Maaf, Tuan. Izinkan saya mengambil sedikit air dari sumur ini untuk tuan saya,” pinta Fatih.
“Siapa kau, Anak Muda? Jarang sekali orang yang masuk dalam sumur ini meminta izinku. Kebanyakan mereka langsung mengambil dan mencuri air sumurku ini!” tanya pria itu garang.
“Saya Fatih, pelayan seorang saudagar yang kaya namun dermawan.”
“Baiklah. Aku izinkan jika kau bisa menjawab pertanyaanku!” gertak pria itu sambil mengulurkan pedangnya yang tajam ke arah Fatih.
“Pria muda, di antara dua wanita ini, siapa yang lebih layak untuk kupilih? Jawab dengan benar atau kau tak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup!” ujar sang pria mengajukan pertanyaannya.
Fatih berpikir. Pertanyaan ini pastilah pertanyaan yang menjebak. Nyawanya menjadi taruhan. Fatih lalu teringat pada nasihat yang dulu dibelinya dari pria tua di pasar.
“Tuan, setiap orang memiliki pilihannya sendiri. Maka sesungguhnya, Andalah yang paling pantas untuk menentukan pilihan Anda sendiri,” jawab Fatih.
Pria itu sesaat terdiam. Ia lalu mengulurkan secawan penuh air sumur. Ia merasa mendapatkan jawaban yang bijak dari Fatih.
“Dengar, aku adalah jin penunggu sumur ini. Jangan pernah beri tahukan jawabanmu pada siapa pun. Sekarang pergilah sebelum aku berubah pikiran!” ucap pria itu sebelum Fatih naik untuk keluar dari sumur.
Fatih sudah mengiranya. Mana ada manusia yang mau dan sanggup tinggal sekian lama di dalam sumur yang gelap dan dalam. Salima terkejut saat melihat Fatih keluar dari sumur dan membawakan air yang dimintanya. Padahal kata orang, tak satu pun yang bisa lolos keluar dari sumur tua itu. Rencana Salima membalas sakit hati malah membuatnya semakin kesal. Rombongan putri saudagar Rasyid melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di kota yang dituju dengan selamat. Salima dan pelayan perempuan membeli barang-barang yang mereka cari. Setelah semua mereka dapatkan, rombongan pun bergegas pulang. Saat perjalanan pulang, Salima mempunyai rencana lain untuk membalas sakit hatinya pada Fatih. Ia menemui Fatih saat mereka beristirahat karena hari menjelang petang.
“Fatih, aku minta kau pulang duluan dan menyerahkan surat penting ini pada ayahku. Aku minta kau sesegera mungkin tiba di rumah,” pinta Salima.
“Tapi saya harus mengawal Anda, Nona.”
“Masih ada pelayan lain yang bisa mengawalku. Lagi pula perjalanan pulang tak seberapa jauh lagi. Berangkatlah sekarang!”
“Baik, Nona.
Fatih pun melanjutkan perjalanan meskipun hari sudah gelap. Ia berusaha secepat mungkin tiba di kota. Fatih bahkan tak beristirahat meski mengantuk dan badannya merasa lelah. Hari sudah beranjak siang saat Fatih tiba di kota. Ia melewati pasar sebelum sampai ke rumah saudagar Rasyid.
“Fatih!” panggil seseorang dari kedai kopi.
“Paman Said? Anda berjualan kopi di sini sekarang?”
Fatih bertemu dengan kawan ayahnya.
“Dari mana dan mau ke mana kau? Ayo, duduk! Kutraktir kau minum kopi gratis!”
Fatih menimbang-nimbang. Ini tawaran baik. Tapi ia harus segera mengantar surat dari Salima untuk saudagar Rasyid. Fatih memutuskan untuk duduk sejenak dan menikmati kopi dari Paman Said. Beberapa teguk kopi membuat badannya segar. Ia pun berpamitan karena terburu-buru mengantar surat.
“Tunggu dulu. Aku masih ingin berbincang-bincang denganmu. Begini saja. Biar pelayanku yang mengantarkan surat itu.”
Fatih pun tak kuasa menolak tawaran baik Paman Said. Akhirnya pelayan Paman Said yang mengantar surat kepada saudagar Rasyid. Ternyata, dalam surat itu Salima menulis bahwa orang yang mengantar surat ini telah mencoba mengganggunya saat di perjalanan. Ia meminta sang ayah memberi hukuman padanya. Saudagar Rasyid sangat marah. Ia pun menyuruh pelayan Paman Said diikat dan dihukum cambuk. Pelayan itu merasa kebingungan dengan apa yang dialaminya.
“Tuan, saya hanya mengantarkan surat. Mengapa saya diperlakukan seperti ini? Tolong, lepaskan saya,” pintanya. Namun tak ada yang peduli.
Menjelang petang, Salima dan rombongan tiba di rumah. Ia terkejut saat menemukan pria yang sedang dicambuk bukan Fatih. Tak lama kemudian Fatih datang. Fatih pun sama terkejutnya saat melihat pelayan Paman Said dicambuk sedemikian rupa.
“Maaf, Tuan. Apa salah pelayan ini sehingga dicambuk sampai terluka?” tanya Fatih.
Saudagar Rasyid menceritakan tentang surat Salima. Fatih kaget mendengarnya. Ia pun meluruskan apa yang terjadi. Pelayan itu segera dilepaskan dan diobati. Saudagar Rasyid merasa ada yang tak beres dengan semua ini.
“Salima, cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi? Apa maksud dari suratmu? Kau ingin ayah berbuat zalim pada orang yang tidak bersalah?”
Salima akhirnya jujur dan menceritakan semuanya. Ia ingin membalas penolakan Fatih yang membuatnya sakit hati. Namun sang ayah yang bijak berpendapat lain. Ia menganggap tindakan Fatih benar. Justru yang dilakukan Fatih adalah menjaga harga dirinya dan juga kehormatan Salima. Saudagar Rasyid menyuruh Salima meminta maaf pada Fatih. Juga kepada pelayan Paman Said yang menjadi korban kebohongannya. Saudagar Rasyid memberi hukuman pada putrinya. Ia tak boleh keluar kamar selama satu minggu. Ia ingin agar putrinya jera dan menyadari kesalahannya.
Sementara itu, Saudagar Rasyid semakin sayang pada Fatih yang amanah. Ia memberikan hadiah yang cukup banyak untuk Fatih. Fatih bersyukur ia menjalankan nasihat baik yang diberikan padanya sehingga ia bisa lolos dari niat buruk orang lain. Memang nasihat sama berharganya dengan kehidupan. Jadi jangan pernah abaikan nasihat baik yang datang padamu.
***
Deny menyelesaikan buku yang ia baca.
"Cerita asal dari Arab yang aku baca bagus," kata Deny.
Deny menutup buku dan menaruhnya di meja. Deny pun mengambil layangan dan benang gelasan di kamar. Setelah layangan dan benang gelasan di pegang Deny, ya segera di bawa keluar dari rumah. Deny berjalan ke lapangan. Sampai di lapangan. Deny segera menerbangkan layangan dengan baik, ya bermain dengan teman-teman seumuran Deny.
No comments:
Post a Comment