CAMPUR ADUK

Saturday, July 24, 2021

DUA PEMBURU YANG BERUNTUNG

Nobita pulang ke rumah dalam keadaan murung karena di kerjain sama Gaint dan Soneo. Nobita tiduran di kamarnya di lantai dua.

"Doraemon," kata Nobita.

"Kenapa lagi kamu Nobita?" tanya Doraemon.

"Kenapa nasif ku sial...di kerjain sama Gaint dan Soneo?" kata Nobita.

"Nobita belajar sih. Kalau Nobita rajin belajar, ya pasti pintar. Nobita jadi pintar dan bisa menghadapi Gaint dan Soneo dengan akal yang pinter dan pada akhirnya tidak di kerjain sama Gaint dan Soneo," saran Doraemon.

"Omongan Doraemon ada benar sih. Aku ingin jadi anak pinter. Jadi aku mulai dari hoby membaca buku dulu ah!" kata Nobita.

"Saran ku di terima dengan baik sama Nobita. Berarti Nobita telah sadar," kata Doraemon.

"Emmmm," kata Nobita.

Nobita bangun dari keadaan dan mengambil buku di rak buku. Nobita duduk dan membuka bukunya dengan baik dan segera membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Nobita :

Di sebuah desa, hidup dua kakak beradik. Mereka adalah pemburu yang sering mendapat keberuntungan. Suatu hari mereka pergi ke hutan untuk berburu rusa. Di sebuah padang rumput mereka melihat beberapa ekor rusa sedang makan. Seharian mereka berusaha menangkap rusa-rusa itu, tapi tidak satu rusa pun tertangkap.

Saat malam telah tiba, mereka membuat ranjang bambu yang panjang. Mereka tidur dengan saling menempelkan kaki. Tujuannya, agar mereka bisa saling mengawasi bagian belakang mereka. Malam itu, seekor gajah mendekati dua pemburu yang sedang tidur. Gajah mengira dua pemburu itu adalah makhluk berkepala dua. Gajah terkagum-kagum dan memanggil binatang lainnya untuk melihat makhluk berkepala dua.

Berkumpullah para binatang mengelilingi dua pemburu. Seekor kura-kura tidak bisa melihat karena terhalang. la menaiki gajah agar bisa melihat. Tapi, ia terjatuh dan menimpa kaki dua pemburu. Dua pemburu kaget dan bangun dari tidurnya. Para binatang juga kaget dan mulai lari berhamburan. Saat itu, seekor rusa mati terinjak dan seekor lagi terjebak dalam semak belukar tapi masih hidup. Dua pemburu segera menangkap rusa yang masih hidup dan memasak rusa yang sudah mati. Beruntung sekali mereka.

Esoknya, dua pemburu pulang dengan membawa rusa yang masih hidup. Kepada penduduk desa mereka membagi-bagikan daging rusa dan menceritakan tentang keberuntungan mereka. Semua orang ikut senang dengan keberuntungan mereka. Begitulah, dua pemburu itu selamanya mendapatkan keberuntungan. Mereka pun selalu membagi-bagi hasil buruannya.

***

Nobita terus membaca pesan moral yang di tulis di buku "Orang yang baik dan sering berbagi akan banyak mendapatkan keberuntungan dalam hidupnya. Dalam hidup kita harus ringan tangan dalam membantu orang lain, Sebab, setiap orang membutuhkan satu dengan yang lainnya."

Nobita memahami pesan moral yang di tulis di buku.

"Cerita yang bagus asal dari Laos, ya di tulis di buku sih. Aku memang di ajarkan orang tua dengan baik untuk berbuat kebaikan dengan sesama," kata Nobita.

Nobita menutup bukunya dengan baik dan di taruh di rak buku dengan baik.

"Ulangan ku selalu mendapatkan nilai yang buruk. Aku selalu saja di marahin ibu dengan nilai ku yang buruk. Aku ingin jadi anak yang pintar. Di puji sama orang tua dan terutama di puji sama Shizuka karena aku pintar," kata Nobita.

Nobita mengambil bukunya di tasnya dan segera belajar mengulas pelajaran sekolah yang telah di berikan guru dengan baik. Nobita belajar dengan serius banget. Doraemon, ya mengawasi Nobita belajarlah dengan baik.

RAJA YANG BAIK, RATU YANG PELIT, DAN SEORANG NELAYAN

Boboho selesai berlatih bela diri kungfu sholin gitu. Karena Boboho memang murid dari perguruan sholin, ya bisa di bilang umat Budha sih karena menjalankan semua aturan dengan baik selayaknya umat Budha yang baik. Boboho masuk rumah dan duduk di ruang tamu dengan santai. Ada buku di meja, ya Boboho ambil dan segera di baca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Boboho :

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan dekat aliran Sungai Tigris di Irak. Sang raja kerajaan itu gemar sekali memakan ikan. Suatu hari, raja duduk bersama ratu di taman istana yang berhadapan langsung dengan Sungai Tigris. Setiap nelayan yang lewat di sungai, memberi hormat pada sang raja. Seorang nelayan menepikan perahunya dan memohon agar sang raja mau menerima seekor ikan besar sebagai hadiah.

Raja senang sekali. la memerintahkan pelayan memberikan uang yang banyak kepada si nelayan. Ratu tidak suka dengan hal itu. “Kau telah melakukan sesuatu yang bodoh. Tidak seharusnya kamu memberikan uang sebanyak itu,” kata ratu sambil cemberut.

“Mengapa demikian, ratuku,” tanya raja terkejut.

“Berita bahwa kamu memberikan uang yang banyak akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan. Nelayan yang lain akan datang kepadamu. Apabila mereka tidak di bayar sebesar nelayan tadi, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas. Lalu, mereka akan berbicara jelek tentang kamu,” kata ratu.

Raja diam sejenak, lalu berkata, “Kamu benar. Tetapi, aku tidak mungkin menarik kembali uang kembali. Sudahlah, lupakan saja!”

“Biar aku yang melakukannya. Kamu panggil saja nelayan itu kembali,” kata ratu.

Sebenarnya, raja tidak suka ratu terlalu mempermasalahkan uang yang ia berikan kepada nelayan. Tapi, ia membiarkan ratu memanggil nelayan yang tadi. Sementara itu, ratu sudah menyiapkan sebuah rencana. la akan bertanya kepada nelayan apa jenis kelamin ikan yang ia berikan. Jika si nelayan menjawab jantan, ratu akan mengatakan bahwa raja hanya ingin ikan betina. Sebaliknya, jika nelayan menjawab ikan itu betina, ratu akan mengatakan raja hanya ingin ikan jantan. Dengan begitu, ia akan mendapatkan kembali uang yang telah diberikan oleh raja.

Tidak lama, nelayan datang. Ratu bertanya, “Hei, Nelayan, apakah ikan ini jantan atau betina?”

Nelayan tahu bahwa ratu sedang bersiasat. la lalu menjawab, “Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina.”

Raja tersenyum mendengar jawaban nelayan yang sangat cerdik. Lalu, ia memerintahkan bendahara istana untuk menambah uang yang lebih banyak kepada si nelayan. Ratu tambah cemberut melihat raja memberikan tambahan uang kepada nelayan. Tapi, sang raja menghiburnya, “Sudahlah, Ratuku. Uang itu sudah menjadi rezekinya. Kita tidak boleh terlalu kikir pada rakyat sendiri.”

***

Boboho terus membaca pesan moral yang di tulis dengan baik "Jangan pernah memiliki sifat kikir. Apa yang kamu miliki walaupun itu sedikit, berikanlah kepada yang butuhkan. Sebab, hal itu lebih baik daripada apa yang kita miliki mubajir karena tidak digunakan. Tuhan membenci orang yang kikir."

Boboho memahami pesan moral yang di tulis di buku dengan baik.

"Cerita yang bagus, ya asalnya dari Irak. Aku yang belajar menjadi umat Budha, ya memahami benar tentang sifat kikir itu tidak baik," kata Boboho.

Boboho menutup bukunya dan buku di taruh di meja. Boboho beranjak dari duduknya, ya keluar dari rumahnya dan main dengan teman-temannya.

PANGERAN YANG BUTA

Kiko duduk ruang tengah. Kiko mengambil buku di meja.

"Buku yang aku pinjem dari Angga," kata Kiko.

Kiko membuka bukunya dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Kiko :

Di sebuah istana, seorang Pangeran hidup dengan bergelimang harta. Pakaiannya pun diuntai dengan emas dan mutiara. Dia adalah anak seorang raja yang kaya raya. Kekayaan sang Raja semakin berlipat, ketika dia membuat peraturan baru untuk menaikkan pajak dan upeti yang harus diserahkan kepada kerajaan. 

“Kami tidak punya apa-apa lagi, Tuan,” kata salah seorang petani miskin yang tingal di desa. 

Pagi itu, sekelompok pasukan berkuda datang ke gubuknya untuk menagih pajak yang sudah beberapa bulan belum dia bayar. 

“Kami tidak peduli. Kami hanya menjalankan perintah dari Raja,” bentak prajurit itu dengan wajah memerah dan mata melotot. 

Tanpa memedulikan petani miskin itu, dia masuk ke dalam rumah. Dia mencari barang-barang yang masih bisa digunakan untuk membayar pajak. Namun, dia tidak menemukan apapun di dalam rumah itu. Dia tidak menemukan perabotan, atau persediaan makanan yang tersimpan di dalam rumah. Dia hanya menemukan tiga orang anak kecil yang sedang menangis dalam pelukan ibu mereka. Dia lantas memorak-porandakan rumah itu dengan marah. Anak-anak kecil itu menangis semakin kencang. Setelah puas mengacak-acak seisi rumah, prajurit-prajurit itu meninggalkan si petani miskin yang menangis mendekap istri dan anak-anaknya. 

Seekor burung terbang rendah di dekat rumah petani miskin. Dia bertengger di sebuah pohon dan sesaat kemudian kembali mengepakkan sayapnya menuju istana. Sesampai di istana, burung itu hinggap di sebuah jendela. Sang Pangeran yang sedang berdiri di sana, mengulurkan sebelah tangannya. Burung itu segera berpindah ke lengan sang Pangeran. 

“Bagaimana keadaan di luar sana, Murai?” tanya sang Pangeran kepada burung Murai, sahabatnya.

“Keadaan semakin buruk, Pangeran,” Murai menjawab dengan cericitnya. 

Sang Pangeran menundukkan kepala. Dia merasa sedih. Peraturan yang dibuat oleh Ayahandanya sudah sangat memberatkan rakyat. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah peraturan itu. Dia dianggap tidak mampu untuk ikut mengatur pemerintahan karena matanya tidak dapat melihat. Sang Pangeran yang kehilangan penglihatannya sejak lahir itu menitikkan air mata.

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu rakyat, Murai? Katakanlah apa yang bisa aku lakukan,” sang Pangeran meminta nasihat dari si burung Murai. 

“Pangeran bisa memberikan sebutir berlian untuk mereka,” saran burung Murai kepada sang Pangeran.

“Aku tidak tahu di mana sang Raja menyimpan berlian-berlian itu, Murai.”

“Pangeran juga memilikinya,” cericit Murai. 

“Oh, ya,” sang Pangeran terlihat senang karena bisa membantu rakyat tanpa sepengetahuan sang Raja.

“Ya, berlian itu ada di mahkota Pangeran, di tongkat yang Pangeran gunakan untuk berjalan, dan di pakaian kebesaran Pangeran,” si burung Murai menjelaskan. 

Wajah sang Pangeran kian berseri-seri. Ia sangat senang jika bisa membantu meringankan penderitaan rakyatnya. 

“Mulai sekarang kau boleh membawa satu per satu berlian ini untuk membantu mereka. Apakah ada orang di luar sana yang sangat membutuhkan bantuan kita Murai?” sang Pangeran berkata, mulai membuat rencana.

“Ada seorang petani miskin yang tidak punya apa-apa, Pangeran. Bahkan mereka tidak mempunyai makanan sedikit pun hari ini. Prajurit Raja datang dan menagih upeti kepada mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa sehingga prajurit memorak-porandakan rumah mereka. Mereka hanya bisa menangis melihat semuanya karena tidak bisa melakukan apa-apa.” 

Pangeran sangat sedih mendengar semuanya. Para prajurit itu sudah bertindak semena-mena pada rakyat. Pangeran mengambil sebutir berlian dari pakaiannya dan menyerahkannya kepada Murai.

“Berikanlah ini kepada petani itu agar mereka menukarnya dengan makanan untuk menyambung hidup,” kata sang Pangeran, sambil menyerahkan sebutir mutiara kepada burung Murai. 

Tanpa banyak bertanya, burung Murai mencengkeram mutiara itu dengan erat. Dia mulai terbang kembali ke rumah petani miskin tadi. Setelah sampai di sana, keluarga petani itu sedang membereskan rumah. Murai menjatuhkan mutiara yang dibawanya tepat di kaki sang Petani. Petani itu terkejut saat melihat benda berkilap di dekat kakinya. Dia mendongak ke atas. Sepintas, dia melihat seekor burung kecil yang terbang rendah. Dia kemudian berjongkok, memungut benda yang tadi dijatuhkan burung itu. Dia mengamati benda itu dengan kagum. Bentuknya sangat indah. Dia lantas berteriak, memanggil istrinya. 

“Bu, Bu ... Kemarilah. Lihat apa yang kudapatkan ini.” 

Petani itu masih mengamati benda di tangannya dengan takjub. Istri dan ketiga anaknya mendekat dan ikut mengamati benda itu. 

“Seperti sebuah mutiara, Pak,” sang istri berseru senang, “dari mana benda itu, Pak?” tanyanya lagi.

“Seekor burung menjatuhkannya, Bu,” kata petani itu girang. 

Senyumnya lebar mengembang. Kini, mereka punya sesuatu untuk dijual dan bisa membeli makanan serta kebutuhan-kebutuhan hidup mereka selama beberapa hari ke depan. 

“Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan rejeki ini kepada kami,” sang istri mengucap syukur, sambil memeluk anak-anaknya. 

Mereka semua menangis bahagia. Sementara itu, Murai kembali terbang ke istana dan menemui sang Pangeran untuk melaporkan kejadian yang baru saja dilihatnya. Pangeran merasa senang ketika mendengar kebahagiaan petani dan keluarganya. 

“Aku akan mencoba berbicara dengan Ayahanda, agar beliau tidak memungut pajak dan upeti kepada rakyat miskin,” kata sang Pangeran kepada Murai. 

Dia mulai berjalan menuju ruang utama menggunakan tongkatnya. Sesampai di sana, sang Raja sedang berbincang-bincang dengan penasihat kerajaan. 

“Mohon maaf, Ayahanda. Hamba ingin membicarakan sesuatu dengan Ayahanda,” kata sang Pangeran.

“Ada apa gerangan, Anakku?” tanya sang Raja, sambil mempersilakan sang Penasihat untuk pergi dari tempat itu. 

“Ananda mendengar kabar bahwa kehidupan rakyat miskin semakin menderita. Apalagi ditambah dengan pajak dan upeti yang harus mereka bayar kepada kerajaan. Itu sangat memberatkan mereka, Ayahanda.”

“Kamu tidak perlu memikirkan urusan Negara, Nak. Ayahanda masih sanggup mengurus semuanya,” sang Raja mulai mengalihkan pembicaraan. 

“Ananda tidak bermaksud meragukan keahlian Ayahanda dalam memimpin kerajaan. Ananda hanya meminta Ayahanda lebih bijaksana dan memerhatikan rakyat kecil. Musim kering akan segera datang. Para petani pasti tidak bisa menggarap sawah dan ladang mereka. Dari mana mereka bisa membayar pajak yang Ayahanda tetapkan pada mereka?” sang Pangeran berkata panjang lebar. 

Ia berharap Ayahandanya mau mendengar masukannya kali ini. 

“Mereka pasti punya banyak simpanan untuk membayar pajak dan upeti itu, Nak. Buktinya mereka masih bisa membayar pajak dan upeti, yang ayah tetapkan pada mereka. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.”

“Sekali-kali, Ayahanda dapat turun ke desa-desa untuk melihat keadaan mereka. Bawahan Ayahanda sering kali membuat berita yang bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya terjadi.”

“Mereka tidak mungkin berbohong padaku, Nak,” kata sang Raja mantap, “dari mana kamu mendapatkan berita kalau rakyatku hidup miskin dan kekurangan? Itu hanya kabar burung yang tidak benar,” kata sang Raja lagi.

“Murai tidak mungkin berbohong padaku, Ayahanda.” 

“Oh, jadi benar. Burung itu yang memberimu kabar yang belum tentu kebenarannya itu.” 

“Benar, Ayahanda, dan ananda lebih percaya pada Murai daripada pengawal-pengawal Ayahanda yang hanya mencari muka,” kata sang Pangeran, kecewa. 

Sang Raja tidak mau mendengar perkataan Pangeran karena menganggapnya tidak mengetahui apa-apa, apalagi dengan penglihatannya yang tidak berfungsi normal. 

“Ayahanda, mata ananda memang buta. Tetapi, hati ananda tidak. Justru mata hati Ayahanda yang sudah dibutakan pujian dan sanjungan dari anak buah Ayahanda,” pungkas sang Pangeran. 

Sang Pangeran beranjak, meninggalkan ayahandanya seorang diri. Sang Raja tidak mau memikirkan perkataan Pangeran. Dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pelaksanaan pemungutan pajak dan upeti. Murai masih menjalankan tugas yang diberikan sang Pangeran kepadanya. Dia terbang dari satu kampung ke kampung yang lain untuk melihat keadaan rakyat di kerajaan itu, dan melaporkannya kepada sang Pangeran. Suatu siang, Murai melihat seorang nenek yang sedang sakit. Keadaannya sangat memprihatinkan. 

Tubuhnya kurus, kering karena tidak makan selama beberapa hari. Dia sudah tidak punya apa-apa untuk dimakan. Dia juga tidak sanggup bekerja karena sakit-sakitan dan tubuhnya semakin renta. Murai melaporkan keadaan itu kepada sang Pangeran. Hati sang Pangeran trenyuh mendengarnya. Dia kemudian mengambil sebuah mutiara di mahkotanya dan menyerahkannya kepada Murai. 

“Berikanlah mutiara ini pada Nenek itu. Semoga penyakitnya bisa segera diobati dan dia bisa sehat kembali.” 

Murai menerima mutiara itu dengan dua kakinya. Dia melesat menuju rumah sang Nenek dengan kepakan sayap mungilnya. Dia tidak ingin terlambat sampai di sana. Setiba di rumah sang Nenek, Murai melihat orang-orang berdatangan. Mereka berkumpul dan beberapa dari mereka menitikkan air mata. Murai mulai khawatir. Dia mengamati dari kejauhan, dan apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan. Murai terbang mendekat hingga dia dapat melihat dengan jelas kalau sang Nenek sudah meninggal dunia. Murai sangat sedih. Selama beberapa saat, dia hanya bertengger di jendela kamar sang Nenek.

Dia melihat orang-orang yang datang silih berganti menghaturkan bela sungkawa. Mereka juga berencana memakamkan sang Nenek sesegera mungkin. Hati Murai semakin trenyuh, dia tidak sanggup terus berada di tempat itu. Dia memutuskan kembali terbang menuju istana. Murai langsung menceritakan apa yang terjadi kepada sang Pangeran. Wajah sang Pangeran menjadi muram. Perasaan bersalah menghinggapi hatinya. Seandainya aku tidak buta, mungkin aku bisa berbuat banyak untuk menolong rakyat di kerajaan ini, pikir sang Pangeran. Namun, dia bertekad untuk  tetap membantu rakyatnya dengan segala kemampuan yang dia miliki. 

“Mungkin itu sudah menjadi takdir sang Nenek, Murai. Mari, kita bantu orang-orang lain agar tidak seperti nenek itu.”

“Saya bersedia berkeliling negeri untuk membantumu, Pangeran. Semoga hal ini bisa membantu meringankan rasa bersalahku karena tidak bisa menolong sang Nenek lebih cepat.” 

“Kita tidak boleh terus-menerus bersedih, Murai. Sekarang, bawalah mutiara-mutiara ini untuk kau berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.” 

Murai kembali bersemangat. Ia ingin berbuat lebih baik lagi untuk menolong sang Pangeran dan rakyatnya. Dia terbang mencari orang-orang miskin yang kekurangan, dan memberikan mutiara dari sang Pangeran kepada mereka. Hatinya turut senang melihat senyum dan kebahagiaan mereka. Musim paceklik tiba. Hasil bumi semakin sulit diperoleh karena sawah dan ladang mengering. Para petani tidak bisa menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kelaparan semakin merajalela. Sementara sang Raja belum membuka mata untuk melihat keadaan rakyatnya. Suatu hari sang Pangeran mengajak Raja berjalan-jalan. 

Sang Pangeran bertujuan untuk mengantar ayahnya melihat keadaan rakyatnya yang hidup menderita. Sang Pangeran sudah tidak tahan mendengar kabar memprihatinkan yang dibawa Murai setiap hari. Mutiara yang Pangeran miliki juga sudah habis dibagikan. Hal ini membuat Pangeran harus mencari cara lain untuk tetap bisa membantu rakyatnya. Kali ini, dia berdoa agar cara yang dia pergunakan dapat melunakkan hati sang Raja. Sang Raja sudah bersedia untuk menemui rakyatnya. Dia melakukan hal itu karena mendengar berita-berita tidak baik dari orang kepercayaannya. Bahwasanya perkataan sang Pangeran tentang keadaan rakyat yang semakin memprihatinkan memang benar adanya. 

“Apa yang sedang dilakukan oleh prajuritku di sana?” tanya sang Raja, melihat kegaduhan yang ditimbulkan oleh para prajuritnya. 

“Menurut Murai, mereka sering berlaku kasar terhadap rakyat yang tidak sanggup membayar pajak.”

“Semua ini harus segera dihentikan.” 

Sang Raja mulai gusar. Sebenarnya dia tidak menyukai kekerasan, kecuali dalam situasi terancam atau keadaan perang. Sang Raja dan Pangeran mendekati kerumunan. Prajurit-prajurit itu tidak tahu kalau Raja mereka ada di sana. Sang Raja dan Pangeran sengaja melakukan penyamaran agar lebih leluasa bergerak dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Pakaian yang mereka kenakan sudah kumal dan berlubang. Selain itu, mereka mengenakan sebuah topi lebar yang bertengger di kepala, sehingga mereka semakin sulit dikenali. Kondisi sang Pangeran yang tidak dapat melihat juga membuat mereka terlihat seperti seorang gembel dan peminta-minta. Setelah mendekati kerumunan itu, sang Raja berteriak, “Hentikan!”

Seorang prajurit yang mendengar teriakan itu berjalan mendekat. Dia menghardik sang Raja dengan congkak. 

“Heh, gembel jelek. Berani-beraninya kau memberi perintah kepada anak buahku.”

“Tidak sepantasnya kalian berbuat seperti itu,” sang Pangeran menimpali.

“Oh, ternyata kau buta, ya. Untuk berjalan saja kau butuh orang lain untuk menuntunmu. Lalu, kau mau melawan kami, hah!” gertak prajurit itu saat melihat Pangeran menggerak-gerakkan tongkatnya untuk mencari jalan. 

Orang-orang mulai berkerumun. Mereka yang awalnya takut melawan pasukan kerajaan yang semena-mena, tergerak hatinya untuk membela si gembel dan si buta. 

“Oh, jadi begini cara kalian menjalankan tugas kerajaan,” kata sang Raja, sambil mendongakkan kepalanya. 

“Turun dari kuda-kuda kalian semua. Siapa yang melawan, silakan berhadapan denganku,” lanjut sang Raja, sambil membuka topi lebarnya, “ketahuilah wahai rakyatku, aku adalah Raja kalian.” 

Para prajurit sontak bersimpuh dengan tubuh gemetar, sadar telah melakukan kesalahan besar. Mereka tidak menduga kalau lelaki yang mereka bentak adalah sang Raja. 

“Wahai rakyatku, kejadian ini telah membuka mataku lebar-lebar. Perjalananku dengan Pangeran telah menemukan banyak kerusakan dan kekurangan pangan yang kalian rasakan. Musim paceklik yang panjang ternyata membuat hidup kalian menderita. Aku meminta maaf karena telah lalai mengurus rakyat. Oleh karena itu mulai saat ini, aku akan membuat kebijakan baru untuk menghapuskan pajak dan upeti sementara waktu. Kalian bisa datang ke istana jika kekurangan makanan. Kerajaan akan menyediakan makanan untuk semua rakyat yang membutuhkan,” sang Raja berkata lantang. 

Pangeran tersenyum senang mendengar pidato singkat dari Ayahandanya. Dia bahagia karena usaha yang telah dia lakukan, untuk membuka mata sang Raja terhadap kondisi rakyat, berbuah manis. Orang-orang yang berkumpul di tempat itu menyambut keputusan sang Raja dengan gembira. Mereka senang, ternyata sang Raja masih memerhatikan nasib mereka. Mereka pun mengelu-elukan sang Raja yang baik hati. Sang Raja menatap rakyatnya dengan binar bahagia, sesaat kemudian pandangannya beralih pada para prajurit, “Dan kalian para prajurit, kalian telah melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan perintah negara. Maka, saya akan memberi hukuman kepada kalian. Kalian harus melayani rakyat, membantu menyediakan makanan untuk mereka di istana, dan memperbaiki rumah-rumah mereka yang telah kalian rusak.” 

Setelah lelah berkeliling, sang Raja pulang ke istana bersama Pangeran. Sang Raja merasa bangga pada Pangeran. Dia sadar jika kekhawatirannya selama ini tidak beralasan. Kebutaan Pangeran ternyata tidak bisa membutakan mata hatinya. Semua itu Pangeran buktikan dengan perhatian yang dia berikan kepada rakyatnya. Dalam hati, sang Raja percaya jika Pangeran akan mampu untuk memimpin kerajaan, kelak. 

***

Kiko menyelesaikan baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asalnya Irlandia, ya di tulis di buku sih," kata Kiko.

Kiko menutup bukunya dengan baik dan di taruh di meja. Kiko segera main game PlayStasion dengan baik lah.

PENONTON YANG BAIK

Dono di ruang tamu, ya sedang membaca bukunya dengan baik. Kasino dan Indro di ruang tengah sedang nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, yang beritalah.

"Kasino aku ingin pendapatmu tentang Olimpiade Tokyo 2020?!" kata Indro.

"Pendapatku tentang Olimpiade Tokyo 2020. Acaranya kan tentang olahraga, ya bisa di bilang panggungnya bintang olahraga. Sebagai penonton yang baik. Aku menilai dengan baik. Acara Olimpiade Tokyo 2020.....bagus," kata Kasino.

"Bagus toh. Aku sebagai penonton yang baik. Ya sama aja dengan pendapat Kasino. Bagus sih...Olimpiade Tokyo 2020," kata Indro.

Berita yang di tonton Kasino dan Indro, ya berlangsung dengan baik.

"Ooooo iya Kasino. Apa yang di bicarakan kita dan di tulis di Blog Dono.....bisa mengubah keadaan gitu?" tanya Indro.

"Mengubah keadaan. Mana mungkin sih. Blog Dono itu sekedar cerita saja. Beda dengan berita di Tv yang berkualitas luar biasa," kata Kasino.

"Mana mungkin ya. Perbandingannya terlalu besar. Contohnya seperti ini saja : Seperti orang miskin, ya orang kecil yang ingin mengubah dunia. Di usahakan dengan baik. Ternyata tetap tidak bisa mengubah. Sia-sia usaha orang miskin, ya orang kecil," kata Indro.

"Kenyataannya seperti itu. Contohnya di buat seperti ini : Orang kaya, pinter, sukses dalam karirnya. Ingin mengubah keadaan dan juga dunia dengan pemahamannya. Presiden gitu. Pasti bisa mengubah keadaan dan juga dunia dengan pemahamannya," kata Kasino.

"Presiden ternyata lebih sanggup mengubah keadaan dengan baik," kata Indro menegaskan omongan Kasino.

Berita yang di tonton Kasino dan Indro, ya tetap berlangsung dengan baik.

"Kasino. Jika keajaiban itu ada. Berarti.....hal sekecil apapun bisa mengubah segalanya," kata Indro.

"Keajaiban. Tergantung keberuntungan saja berpihak pada keadaan atau tidak. Kalau berpihak, ya berarti keajaiban itu ada," kata Kasino.

"Kemungkinan masih ada toh," kata Indro.

"Kata orang tua. Roda berputar pada porosnya. Kemungkinan pasti ada. Jadi deh keajaiban," kata Kasino menegaskan omongan Indro.

"Pada akhirnya tetap sekedar cerita saja. Apa yang kita tonton Tv, ya di tulis di Blog Dono. Beda dengan berita-berita di Tv yang luar biasa kualitasnya," kata Indro.

"Emmm," kata Kasino.

"Ya sudahlah tidak perlu di bahas lebih jauh. Fokus nonton Tv!" kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro, ya fokus nonton Tv dengan baik karena acara Tv bagus gitu. Dono masih asik baca bukunya.

GEMBALA SANG RAJA

Angga duduk di ruang tengah sedang membaca buku yang ia pinjam dari Aryo. Angga membaca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Angga :

Dahulu kala, ada seorang raja di Timur Tengah bernama Yosia. Raja Yosia memiliki seratus ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju. Domba-domba Raja Yosia itu digembalakan dengan sangat baik oleh seorang gembala tua bernama Kaleb. Namun, sekarang Kaleb sudah tua. la harus diganti dengan gembala muda yang tangkas dan kuat.

“Pak Kaleb, kau pilihlah tiga gembala muda calon penggantimu. Aku yang akan menguji siapa yang pantas menggantikanmu,” titah raja.

Kaleb mengeluarkan pengumuman di alun-alun kota. Ternyata, cukup banyak peminatnya. Setelah Kaleb menguji banyak calon, akhirnya didapat tiga calon, yaitu Yunus, Obasa, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat, dan gagah. Kaleb melapor kepada raja.

“Bagus, Kaleb. Sekarang kau sembunyikan seekor domba putihku dan tukar dengan kambing hitam! Aku akan menguji ketiga calon itu,” titah raja.

“Baik, Baginda. Segera hamba Iaksanakan,” kata Kaleb. Namun, dalam hatinya ia heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam?

Esok harinya, Raja Yosia menemui tiga gembala muda yang sudah menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya.

“Anak-anak muda, itulah seratus ekor domba pilihan yang akan kupercayakan pada salah seorang diantara kalian. Coba perhatikan dan beri komentar kalian.” Kata Raja.

Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba itu. Setengah jam kemudian mereka kembali menghadap sang Raja.

“Bagaimana komentar kalian?” tanya sang Raja.

“Domba-domba itu memang domba pilihan. Tidak ada cacat. Sungguh suatu kehormatan bila hamba dipercaya mengembalakan mereka.” Kata Yunus.

“Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba tuan Raja merupakan anugerah.” Kata Obasa.

“Dan apa komentarmu?” tanya Raja kepada Daud.

“Jumlah domba Baginda hanya sembilan puluh sembilan ekor. Yang seekor itu kambing hitam bukan domba.” Jawab Daud.

Raja mengangguk-angguk dan berkata ”Ya, ya. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji.”

Sesudah tiga calon gembala pergi, raja berkata pada Kaleb ” tukarlah kambing hutan itu dengan domba yang luka.”

Keesokan harinya, ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa seratus domba-domba itu dan memberikan komentarnya.

“Bagaimana sekarang? Jumlahnya seratus ekor?” tanya Raja.

“Ya tuanku. Jumlahnya seratus ekor domba pilihan.” Kata Yunus.

“Benar baginda. Hari ini, dombanya lengkap seratus ekor.” jawab Obasa.

“Maaf, Baginda. Tadi, hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang terluka. Ini perlu diobati.” Ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan seekor domba dan menunjukan bagian yang terluka.

Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk.

“Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku harus memilih satu. Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti dan mengenal domba-domba itu dengan baik.” kata Raja. Maka, Daud pun diangkat menjadi Gembala sang Raja.

***

Angga terus membaca bukunya, ya pesan moral yang di tulis di buku "Jadilah anak yang teliti dan cermat. Sebab, ketika kamu mengerjakan suatu pekerjaan, ketelitiaan dan kecermatan sangat dibutuhkan."

Angga memahami buku yang ia baca beserta pesan moralnya.

"Bagus juga ceritanya. Ceritanya asalnya dari Yerusalem di tulis di buku sih. Benar apa tidak asalnya cerita dari Yerusalem, ya aku tidak tahulah. Aku hanya anak yang suka membaca saja!" kata Angga.

Angga teringat dengan berita di Tv.

"Berita tentang Yerusalem, ya urusan orang tualah. Aku masih anak-anak mana mengerti permasalahan yang di beritakan di Tv. Yang aku tahu, ya belajar dan bermain lah," kata Angga.

Angga menutup bukunya.

"Belajar ah!" kata Angga.

Angga beranjak dari duduknya dan membawa bukunya, ya ke kamarnya. Di kamar, ya Angga belajarlah mengerjakan PRnya dengan baik, ya Fisika.

KEADILAN UNTUK PENGEMIS TUA

Aryo di ruang tengah, ya selesai main game PlayStation. Aryo masuk ke dalam kamarnya. Buku yang ingin di baca Aryo di cari rak buku dengan baik dan akhirnya di dapatkan dengan baik. Aryo duduk dengan baik dan membukunya.

"Ceritanya asal dari Israel. Berita tentang Israel yang ini dan itu, ya urusan orang tualah yang lebih memahami. Anak-anak mana tahu. Anak-anak hanya di perintahkan orang tua.....belajar dan belajar dengan baik agar masa depan di raih dengan hasil yang baik," kata Aryo.

Aryo segera membaca buku itu dengan baik.

Isi buku yang di baca Aryo :

Jalanan tampak sepi. Hanya ada seorang pengemis tua yang sedang berjalan sendiri. Karena sudah tua, pengemis itu terus melihat jalanan agar tidak tersasar. Setibanya di pertigaan jalan, pandangan pengemis tua tertuju pada suatu benda. Benda itu adalah tas kulit berwarna cokelat. Tas itu tergeletak begitu saja. Sepertinya tas itu terjatuh.

Tanpa pikir panjang, pengemis tua mengambil tas tersebut dan melihat isinya. Ternyata di dalam tas itu ada sebuah dompet. Ia pun mengambil dompet tersebut, lalu dibukanya. Rupanya, ada uang seratus dinar. Pengemis tua mencari identitas pemilik tas itu, tapi tak ada.

“Kasihan sekali pemilik tas ini. Pasti sekarang ia sedang kebingungan mencarinya. Aku harus mengembalikannya. Tapi, bagaimana caranya?” gumam pengemis tua.

Pengemis tua pun melanjutkan perjalanan, berharap ada seseorang yang mencari sebuah tas. Ia lalu melewati pasar. Olala, di pasar itu tampak ada kerumunan. Ternyata ada saudagar kaya yang sedang memberi pengumuman.

“Tas saya hilang! Barang siapa menemukannya, saya akan memberikan hadiah,” begitu pengumuman saudagar kaya.

Mendengar itu, pengemis tua menjadi senang."Mungkin tas ini yang dimaksud.”

Pengemis tua pun mendekat ke saudagar kaya.

“Apakah tas ini milik Tuan? Aku menemukannya di pertigaan jalan sana,” tanya pengemis tua.

“Benar sekali, ini tasku!” seru saudagar kaya, merasa senang.

Ia lalu memeriksa isi tasnya. Tak ada satu pun barang yang hilang. Semua barangnya masih lengkap. Namun, saudagar kaya itu tak mau menepati janjinya. Ia malah berpura-pura marah.

“Ini memang benar tasku. Tapi, mengapa uangku tinggal seratus dinar? Padahal aku memiliki uang dua ratus dinar. Apa kamu mengambilnya?” tanya saudagar itu dengan marah.

“Saya memang pengemis, Tuan. Tapi, saya tidak pernah mengambil yang bukan hak saya. Itu dosa,” kata pengemis tua, tak kalah marah.

Saudagar kaya pun membawa pengemis tua ke hakim, agar pengemis tua bisa di adili. Sesampainya di rumah hakim, pengemis tua menceritakan semuanya.

“Baiklah. Benar uangmu dua ratus dinar?” tanya hakim kepada saudagar kaya.

“Benar, hakim,” jawab saudagar kaya dengan tegas.

“Berarti ini bukan tasmu, karena di dalam tas ini hanya ada seratus dinar,” ucap hakim.

Mendengar keputusan hakim, saudagar kaya menjadi malu. Ia pun mengakui kesalahannya. Saudagar kaya meminta maaf kepada hakim dan pengemis tua. Mau tak mau, ia harus memberi hadiah kepada pengemis tua seperti yang sudah dijanjikannya.

***

Aryo berhenti baca bukunya.

"Cerita di buku ini bagus. Ya cerita asalnya dari Israel di tulis di buku sih," kata Aryo.

Aryo membaca pesan moral yang di tulis dengan baik di buku "Keadilan Untuk Pengemis Tua adalah jangan berbuat curang, ya! Sepandai-pandainya menyimpan kecurangan, pada akhirnya pasti ketahuan juga."

Aryo memahami pesan moral yang di tulis di buku, ya buku di taruh di rak buku dengan baik. Aryo mengeluarkan buku dari dalam tasnya untuk mengerjakan PR Matematika yang di berikan guru. 

CAWAN EMAS

Vania duduk di ruang tengah setelah membantu ibu masak di dapur. Vania mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Vania :

Maria adalah seorang anak tunggal. Ia lahir di Spanyol tetapi besar di Argentina. Ayahnya seorang pedagang dan ibunya telah lama meninggal. Maria memiliki binatang peliharaan, seekor domba pemberian almarhum ibunya. Ia sering mengajak dombanya berjalan-jalan, bermain-main, bahkan mengobrol. Baginya, domba itu adalah sahabat terbaiknya, selalu ada menemaninya karena ayahnya jarang berada di rumah. Suatu hari, Maria dipanggil oleh ayahnya. 

“Ada apa, Ayah?” tanya Maria. 

“Maria, Ayah merasa bersalah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk menemanimu. Kamu pasti sering merasa kesepian,” kata ayah Maria. 

“Tidak apa-apa, Ayah! Maria bisa mengerti pekerjaan Ayah. Lagi pula, ada Juan yang menemaniku,” balas Maria. 

“Siapa Juan itu? Temanmu sekolah?” tanya ayah Maria sambil mengernyitkan alisnya. 

“Bukan, Ayah! Juan itu nama domba hadiah dari almarhum Ibu,” jawab Maria sambil tersenyum.

Ayah Maria ikut tersenyum dan berkata, “Ya, Ayah ingat dengan domba itu tetapi tidak ingat kalau ia bernama Juan. Ayah kira ia bernama Pedro.”

“Pedro de Urdemalas?" 

Mereka berdua kemudian tertawa bersama. 

“Maria, bagaimana jika Ayah hendak menikah lagi?” tanya ayah Maria setelah mereka berhenti tertawa.

“Oh, tidak apa-apa, Ayah! Aku tidak keberatan,” jawab Maria dengan wajah berbinar. 

“Ayah berniat untuk menikah dengan seorang janda yang memiliki dua orang anak perempuan. Umur mereka tidak beda jauh denganmu, Maria. Jadi engkau bisa mempunyai teman bermain.”

“Jadi aku bakal mempunyai dua orang saudara? Asyik! Aku punya teman bermain baru!” kata Maria setengah berteriak sambil memeluk ayahnya. 

Singkat cerita, ayah Maria melangsungkan pernikahan dengan Anna, janda dengan dua orang anak, Marry dan Martha. Awalnya semua berjalan menyenangkan bagi Maria. Ibu dan saudara-saudara tirinya memperlakukan Maria sangat baik. Semua berubah ketika ayah Maria harus meninggalkan Maria selama berbulan-bulan untuk berdagang. Perlakuan ibu dan saudara-saudara tiri Maria berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka membenci dan mempelakukan Maria layaknya budak mereka. Anna mengharuskan Maria membersihkan rumah, memasak, mencuci, menyetrika baju, serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia bahkan tidak segan-segan memarahi dan membentak Maria jika pekerjaannya tidak memuaskan. Anna bahkan tega mengurung Maria di lumbung dan tidak memberinya makan berhari-hari hingga rasa kesalnya hilang. Maria sempat terguncang hatinya saat menerima perlakuan seperti itu, tetapi ia berusaha untuk bertahan. Ia curahkan semua perasaannya kepada Juan, domba kecil hadiah dari ibunya. 

“Juan, kenapa Ibu Anna membenciku? Apa salahku kepadanya?” kata Maria sambil terisak.

“Embeeek....,” jawab Juan. 

“Aku sudah berusaha mengerjakan semua yang diperintahkan Ibu Anna tetapi tetap saja ia membenciku.”

“Embeeek....”

“Minggat? Pergi dari rumah? Tidak, Juan, tidak! Aku tidak ingin membuat khawatir ayahku dan banyak orang karena kepergianku dari rumah.” 

“Embeeek....” 

“Iya, aku coba untuk menerima keadaan ini, Juan. Mungkin Ibu Anna tidak terbiasa ditinggal Ayah berbulan-bulan sehingga sikapnya berubah kepadaku.” 

“Embeeek....”

“Main petak umpet? Ini sudah malam, Juan! Ayo pergi tidur!”

Suatu hari Ibu Anna mendatangi Maria yang sedang berada di dapur. 

“Maria, aku bosan dengan makanan yang itu-itu saja! Aku ingin makan daging!” kata Ibu Anna dengan ketus. 

“Maaf, Bu! Persediaan daging di lumbung sudah habis. Apakah saya harus membelinya di pasar?” jawab Maria dengan sopan. 

“Tidak perlu, buang-buang uang saja! Lebih baik kamu sembelih domba peliharaanmu itu dan kita makan dagingnya,” jawab Ibu Anna.

“Apa? Tidak, Bu! Jangan Juan, Bu! Jangan Juan!” kata Maria sambil menangis. 

Ibu Anna kemudian mengambil sepiring beras yang terletak di meja dapur. Ia kemudian berjalan ke perapian dan menaburkan beras itu di sana. 

“Maria, jika kau tidak ingin menyembelih dombamu maka kau harus memisahkan beras-beras itu dari abu perapian. Waktumu tidak banyak! Jika kau belum selesai ketika aku bangun tidur siang maka dombamu harus kau sembelih,” ancam Ibu Anna. 

Maria menangis sekeras-kerasnya. 

“Bagaimana ini? Tidak mungkin memisahkan beras-beras itu dari abu perapian! Apalagi dalam waktu yang singkat,” kata Maria sambil sesenggukan. 

Tiba-tiba saja terdengar ketukan halus di jendela dapur. Maria membuka jendela dan ditemuinya seekor burung merpati. 

“Gadis kecil, apa yang membuatmu menangis begitu keras?” tanya burung merpati itu. 

Maria kemudian menceritakan permasalahannya. 

“Gadis Kecil, serahkan permasalahan ini kepada kami, bangsa burung! Kau bisa beristirahat dan biarkan kami yang bekerja,” kata burung merpati itu. 

Tampak keraguan di wajah Maria. 

“Percayalah kepada kami, gadis kecil! Ini pekerjaan yang mudah bagi bangsa burung.” 

Maria menuruti perkataan burung merpati itu. Ia pergi ke kamarnya dan beristirahat. Sementara itu, burung merpati memanggil teman-temannya sesama burung. Mereka kemudian mematuki beras-beras yang ada dalam abu perapian dan meletakkannya ke dalam piring. Ibu Anna bergegas ke dapur setelah bangun dari tidur siangnya. Ia membayangkan mendapati Maria masih memilah beras-beras itu sambil menangis. 

“Tidak lama lagi aku akan makan sup daging domba, tapi domba panggang nampaknya lezat juga. Atau dua-duanya?” katanya dalam hati dengan girang. 

Lamunann Ibu Anna buyar ketika mendapati beras-beras itu telah berada di piring dan dapurnya tetap bersih. Maria telah melakukan tugasnya dengan baik dan Juan tidak jadi disembelih. Keesokan harinya, Ibu Anna kembali lagi ke dapur. Ia masih menginginkan daging Juan. 

“Maria!” bentak Ibu Anna.

“Ada apa, Bu?” jawab Maria dengan sopan. 

“Aku masih penasaran dengan rasa daging domba kecilmu itu.” 

“Maaf, Bu! Bukankah saya telah mengerjakan apa yang Ibu perintahkan kemarin? Itu berarti Juan tidak harus...”

“Domba kecilmu itu tetap harus disembelih, Maria!” kata Ibu Anna sambil menggebrak meja denga keras. 

Ia kemudian berjalan ke arah lemari dapur dan mengambil toples gula. Ibu Anna lalu menumpahkan semua isi toples itu ke tumpukan sekam yang berada di pojok dapur. 

“Maria, kamu bisa memilih memasukkan semua gula ini kembali ke dalam toples atau menyembelih domba kecilmu itu!” kata Ibu Anna sambil tertawa licik.

“Jika kamu memilih memasukkan semua gula ini kembali ke dalam toples, maka waktu yang kamu punya untuk menyelesaikannya hanya sampai aku bangun dari tidur siangku! Ingat Maria, waktumu hanya sampai aku bangun dari tidur siangku,” lanjut Ibu Anna sambil berjalan keluar. 

“Semua terserah padamu, Maria! Ha... ha... ha...,” teriak Ibu Anna dari balik dapur.

Tangis Maria mulai pecah. Ia merasa tidak mampu melakukan tugas Ibu Anna tersebut. 

“Kenapa Ibu Anna ingin sekali memakan Juan? Kenapa Ibu Anna menyiksaku dengan memberikan pilihan seperti ini? Apa Ibu Anna tidak cukup menyiksaku dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga? Kenapa? Kenapa? Kenapa?” keluh Maria sambil menangis. 

Tangisannya makin lama semakin keras. Tiba-tiba Maria merasa sesuatu sedang menggelitik pundaknya. Ia menoleh dan melihat seekor semut besar. 

“Gadis kecil, apa yang membuat menangis tersedu-sedu seperti itu?” tanya semut besar itu. 

“Maaf, siapakah kamu?” tanya Maria keheranan.

“Aku ratu semut.” 

Maria kemudian menceritakan tentang keinginan Ibu Anna dan pilihan-pilihannya. Ratu semut itu menghela napas panjang dan berkata, “Gadis kecil, hapuslah air matamu, pergilah ke kamarmu, dan beristirahat! Serahkan masalah ini kepada bangsa semut.” 

“Tapi, Ratu...”

“Beristirahatlah atau jika kau mau, kau bisa duduk di sini dan memerhatikan bagaimana kami bekerja.”

Ratu semut kemudian memanggil rakyatnya. Semut-semut mulai berdatangan dalam barisan-barisan. Ratu semut memerintahkan semut-semut itu untuk membuang sekam dan membawa butiran gula ke dalam toples. Semut-semut itu mulai berbaris dan berjalan dengan rapi ke arah tumpukan sekam. Sebagian dari mereka mengambil dan membawa sekam-sekam itu keluar dari dapur dan sebagian lagi membawa butiran gula ke dalam toples. Maria memandang kejadian itu dengan takjub. Hanya dalam hitungan menit, tumpukan sekam tidak tampak lagi dan toples telah penuh berisi gula. Maria merasa senang sekali. 

Berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada ratu semut dan rakyatnya. Ibu Anna terkejut saat mendapati toplesnya telah penuh kembali dengan gula. Ia berulang kali memerhatikan toples gula miliknya dan pojokan dapur, mencari-cari apakah ada butiran gula yang tercecer. Tetapi ia tidak menemukan sebutir gula pun. Ibu Anna menjadi geram. Maria berhasil menyelamatkan hidup Juan sekali lagi. Keesokan harinya, Ibu Anna menemui Maria di dapur dengan membawa dua karung wol.

“Maria, aku masih menginginkan daging domba muda itu!” kata Ibu Anna. 

“Maaf, Bu! Saya tidak akan membunuh Juan!” jawab Maria.

“Cepat atau lambat, domba itu akan menjadi santapanku, Maria!” kata Ibu Anna dengan ketus. 

Ia kemudian menyodorkan dua karung bulu wol di hadapan Maria. 

“Kau bisa memilih, menyembelih dombamu untuk makan malam kami atau pintal dan rajut bulu-bulu wol ini menjadi sebuah kain,” lanjutnya. 

“Jika kau memilih pilihan yang terakhir, waktumu hanya hingga aku bangun tidur siang! Jika kamu belum selesai saat itu atau ada sisa dari bulu-bulu wol ini, kau harus menyembelih dombamu itu!” tambah Ibu Anna. 

Maria terkejut dan mulai menangis. Ia merasa tidak mungkin memintal dan merajut wol-wol itu menjadi sebuah kain dalam waktu yang singkat. Juan tidak mungkin berumur panjang. 

“Maria, Maria, berhentilah menangis, sahabatku!” terdengar suara lembut menenangkan. 

Maria menoleh tetapi ia tidak melihat seorang pun di dapur. Maria hanya melihat Juan yang sudah berdiri di atas meja. 

“Iya, ini aku yang bicara, Juan, sahabatmu,” kata Juan sambil tersenyum lebar. 

“Janganlah bersedih, sahabatku! Aku akan memintal wol-wol ini menjadi benang dan memintalnya menjadi kain,” lanjut Juan. 

Maria terdiam dan mulai merasa takjub saat Juan memakan semua wol-wol itu dalam sekejap. Tidak lama kemudian dari pantat Juan keluarlah benang. Juan memintal benang-benang itu menjadi sebuah kain yang sangat indah. Ibu Anna terkejut saat mendapati selembar kain yang bagus terhampar di meja dapurnya. Ia mengalihkan pandangannya kepada Maria dan Juan. 

“Tidak mungkin! Tidak mungkin Maria bisa melakukan ini semua dalam sekejap,” kata Ibu Anna dalam hati. 

Ia lalu memeriksa karung-karung yang tadinya berisi bulu-bulu wol. Semua bersih tanpa sisa! Ibu Anna berjalan ke arah Maria dan menyambar Juan. Maria yang berusaha menghalangi ditepisnya. Ibu Anna memeriksa Juan dengan teliti sampai ia menemukan sisa-sisa bulu wol di pantat Juan. 

“Aha, apa ini Maria? Apa ini? Ha... ha... ha...,” kata Ibu Anna sambil mengangkat telunjuknya, memamerkan sisa-sisa wol yang belum diolah. Maria terkejut melihatnya.

“Kau harus menyembelih dombamu sekarang! Sekarang, Maria!” bentak Ibu Anna. 

Maria menangis sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia mendengar Juan berbisik, “Janganlah bersedih, Maria! Berhentilah menangis! Bawalah aku ke sungai dan potonglah aku di sana.” 

Maria pelan-pelan berhenti menangis, hanya sesekali ia terisak. Maria menuruti perkataan Juan. Ia menuntun Juan ke arah sungai. Namun, keraguan masih menyelimuti dirinya. Perlukah ia memotong Juan atau membiarkannya pergi dan membeli daging domba di pasar sebagai gantinya? “Maria, waktu kita bersama-sama di dunia ini memang harus berakhir. Meski aku telah tiada, kau bisa selalu mengenangku dari cawan emas yang akan kau temukan di dalam perutku. Jadilah anak yang baik, Maria,” kata Juan. 

“Sekarang, jangan ada lagi keraguan untuk memotongku,” lanjut Juan. 

Maria dengan berat hati memotong Juan. Ia memotong daging Juan menjadi bagian-bagian kecil sambil terisak. Maria juga menemukan cawan logam di bagian perut persis cerita Juan. Ketika Maria hendak pulang, seorang kakek muncul di hadapannya. 

“Bisakah kau memberiku minum? Aku sangat haus sekali,” pinta kakek itu. 

Maria mengeluarkan cawannya, mengambil air dari sungai dan memberikannya kepada kakek itu.

“Terima kasih, anakku,” kata kakek itu setelah minum air pemberian Maria. 

Kehilangan Juan membuat Maria semakin rajin mengunjungi makam ibunya. Ia sering menangis dan menceritakan penderitaan-penderitaan yang dialaminya selama ini. Maria tahu bahwa berbicara dengan orang mati adalah pekerjaan yang sia-sia, tetapi hal itu membuat dirinya merasa lega. Ia juga merasa tenang saat mendengar nyanyian burung-burung yang hinggap di pohon dekat makam ibunya. Ibu Anna nampaknya belum puas menyiksa Maria. Ia tidak hanya menyiksa Maria secara fisik tetapi juga secara mental. Ibu Anna membelikan kedua anaknya, Marry dan Martha masing-masing seekor anak domba. Maria pedih melihatnya. Hanya saja ia berusaha untuk tegar. Anak-anak domba milik saudara tiri Maria makan dengan lahap. 

Mereka memakan rumput dan berbagai tumbuh-tumbuhan. Dalam hitungan bulan, semua tumbuhan yang berada di sekitar rumah Maria tidak ada yang tersisa. Hal ini membuat Ibu Anna merasa jengkel. Ia kemudian menyuruh anak-anaknya untuk menyembelih domba-domba mereka. Merry mendapat giliran pertama. Ia menangis tersedu-sedu saat membawa dombanya ke sungai untuk disembelih. Tiba-tiba anak domba itu berkata, “Jangan bersedih, Merry. Meski aku telah tiada, kau bisa selalu mengenangku dari cawan emas yang akan kau temukan di dalam perutku. Jadilah anak yang baik, Merry.” 

Merry menyembelih anak dombanya. Ia memotongnya kecil-kecil dan menemukan cawan logam di dalam perut dombanya, sesuai yang didengarnya. Tiba-tiba muncul seorang kakek hadapan Merry.

 “Bisakah kau memberiku minum? Aku sangat haus sekali,” pinta kakek itu. 

“Apa? Aku tidak akan memberi minum kepada orang tua yang jelek dan kotor sepertimu,” jawab Merry dengan ketus. 

Merry meninggalkan kakek itu dan berjalan pulang sambil membawa daging dombanya. Hari berikutnya adalah giliran Martha untuk memotong anak dombanya. Ia juga merasa sangat sedih ketika harus melakukannya. Martha membawa dombanya ke sungai dan mengalami kejadian yang sama seperti yang dialami oleh Maria dan Merry. Anak domba Martha mendadak bisa berbicara dan menyakinkan Martha untuk segera menyembelihnya. Ia juga bercerita tentang cawan emas yang akan Martha temukan di dalam perutnya dan meminta Martha agar menjadi anak yang baik. Martha hendak beranjak pulang ketika seorang kakek tiba-tiba muncul di hadapannya. 

“Bisakah kau memberiku minum? Aku haus sekali,” pinta kakek itu. 

“Dasar pemalas! Ada sungai di depanmu. Kau bisa minum sepuasmu di situ! Pakailah kedua tanganmu untuk mengambil air!” jawab Martha dengan sinis. 

Martha berlalu meninggalkan kakek itu di tepi sungai. Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang sehingga tidak mengetahui bahwa kakek itu berubah menjadi seorang peri yang rupawan. 

“Cawan emas itu akan memilih sendiri penjaganya, orang yang berhati baik,” kata peri tersebut.

Ia kemudian menghilang seiring dengan datangnya malam. Beberapa waktu berselang, raja Spanyol meninggal dunia. Pewaris tahtanya adalah Pangeran Carlos. Hanya saja keluarga kerajaan menunda pengangkatan Pangeran Carlos sebagai raja karena ia belum mempunyai istri. Akhirnya Pangeran Carlos berkelana mencari calon istri ke seluruh wilayah kerajaan Spanyol. Pangeran Carlos adalah orang yang sederhana. 

Ia tidak memiliki persyaratan khusus tentang calon istrinya. Seperti pemuda lain pada umumnya, Pangeran Carlos hanya menginginkan perempuan cantik, cerdas, dan baik budinya sebagai istrinya. Hanya saja, syarat dari almarhum ibunya yang membuat dirinya susah menemukan perempuan yang tepat. Saat Pangeran Carlos masih di dalam kandungan, ibundanya menerima ramalan dari beberapa orang suci. Ramalan tersebut mengatakan bahwa kerajaan Spanyol akan selalu damai dan sejahtera jika Pangeran Carlos menikah dengan gadis yang memiliki cawan emas. Akhirnya Pangeran Carlos sampai di kota tempat Maria tinggal. Berita ini terdengar oleh Ibu Anna. Ia bergegas pergi ke benteng, tempat Pangeran Carlos menginap. Ibu Anna ingin bertemu Pangeran Carlos dan menceritakan tentang kedua putrinya. 

“Pangeran Carlos, sudikah Pangeran berkunjung ke rumah saya? Saya akan mengenalkan Pangeran dengan kedua orang putri yang cantik-cantik dan baik hatinya. Siapa tahu pangeran berkenan memperistri salah seorang dari mereka,” pinta Ibu Anna. 

“Maafkan saya, Bu! Saya tidak bisa berkunjung ke rumah Ibu karena kapal saya akan berangkat nanti malam. Ada banyak hal yang mesti saya selesaikan,” tolak Pangeran Carlos secara sopan. 

“Pangeran, selain kelebihan-kelebihan yang saya sebutkan tadi, salah satu putri saya memiliki sebuah cawan emas. Ia memang tidak menceritakan kepada saya, tetapi saya ibunya dan tahu semua tentang anak saya,” balas Ibu Anna. 

Pangeran Carlos tertarik mendengar cerita Ibu Anna. 

“Baiklah, Bu! Pertemukan saya dengan anak gadismu untuk membuktikan ceritamu,” perintah Pangeran Carlos. 

Ibu Anna lalu mengantar pangeran Carlos ke rumahnya. Ia mempertemukan Pangeran Carlos dengan putri pertamanya, Martha. 

“Aku dengar kau memiliki sebuah cawan emas? Benarkah?” tanya Pangeran Carlos.

“Benar, Pangeran!” jawab Martha sambil menunjukkan cawan emas miliknya. 

Pangeran Carlos terkejut melihatnya. 

“Jadi, kau benar-benar memilikinya! Kau mungkin adalah jodohku!” jawab Pangeran Carlos. 

Ia kemudian meminta izin kepada Ibu Anna untuk membawa Martha ke benteng untuk diperkenalkan kepada keluarga kerajaan yang lain. Ibu Anna dengan suka hati mengizinkan. Pangeran Carlos, dengan Martha duduk di belakangnya, memacu kudanya menuju benteng. Tetapi ketika melewati sebuah pohon di dekat pemakaman, Pangeran Carlos mendengar sebuah nyanyian burung.

"Kembalilah Tuan Muda, kembalilah ke tempatmu bermula" "Pasangan hidupmu masih menunggumu di sana" Pangeran Carlos terkejut. 

Ia meminta Martha untuk menunjukkan kembali cawan miliknya. Rupanya cawan itu telah berubah menjadi cawan besi. Pangeran Carlos kemudian mengantarkan Martha kembali pulang. 

“Maaf, Ibu Anna! Martha ternyata bukan jodoh saya. Ia hanya mempunyai cawan besi, bukan cawan emas,” kata pangeran Carlos sesampainya di rumah Maria. 

“Benarkah? Anak kurang ajar!” gerutu Ibu Anna. 

“Tapi saya masih memiliki seorang puteri lagi, Pangeran! Ia juga memiliki cawan emas! Cawan emas yang asli” lanjut Ibu Anna sambil menyeret tangan Merry. 

Merry menunjukkan cawan miliknya. Pangeran Carlos memerhatikan dengan seksama. 

“Ini benar-benar cawan emas! Mungkin Merry ini adalah jodohku,” kata Pangeran Carlos dengan gembira. 

“Lalu apa yang engkau tunggu, Pangeran? Saya mengizinkanmu membawanya ke benteng!” kata Ibu Anna dengan senang.  

Pangeran Carlos menaikkan Merry ke atas kudanya dan bergegas menuju benteng. Tetapi kejadian yang sama terulang kembali. Burung-burung yang bertengger di sebuah pohon dekat pemakaman menyanyikan sebuah lagu. 

"Kembalilah Tuan Muda, kembalilah ke tempatmu bermula" "Pasangan hidupmu masih menunggumu di sana" Pangeran Carlos terkejut. 

Ia memandang burung-burung itu lalu menoleh kepada Merry. 

“Merry, bolehkah aku melihat cawanmu sekali lagi?” pinta pangeran Carlos. 

Merry kemudian memperlihatkan cawan miliknya. Ia dan Pangeran Carlos terkejut saat melihatnya. Cawan itu telah berubah menjadi besi. Pangeran Carlos memutar kembali kudanya ke arah rumah Maria. Setelah menurunkan Merry, Pangeran Carlos bertanya kepada Ibu Anna, “Merry ternyata bukan jodohku! Apakah kau masih punya anak gadis yang lain?”

“Maaf, Pangeran! Saya hanya memiliki dua orang puteri,” jawab Ibu Anna sambil bersungut-sungut.

“Jodohku sudah dekat! Aku bisa merasakannya! Ia pasti berada di sekitar sini,” kata Pangeran Carlos.

Ia kemudian memeriksa ruangan di rumah Maria satu demi satu. Maria terkejut ketika seorang pemuda tampan masuk ke dapurnya. 

“Si-siapa kamu? Apa maumu?” tanya Maria. 

“Aku Pangeran Carlos. Kau siapa?” tanya balik Pangeran Carlos. 

“Aku Maria. Aku...” “Pembantu di rumah ini!” potong Ibu Anna dengan ketus. 

Pangeran Carlos menatap tajam ke arah Ibu Anna seakan memintanya agar jangan menyela pembicaraan. 

“Maria, apakah engkau juga memiliki cawan emas?” tanya Pangeran Carlos dengan sopan. 

“Iya, saya punya cawan emas, Pangeran,” kata Maria sambil menunjukkan cawan emas miliknya.

 “Maukah kau ikut denganku ke benteng? Aku ingin memastikan apakah cawan emas milikmu sesuai dengan permintaan almarhum ibuku. Aku janji akan mengantarmu pulang jika hal itu telah selesai.”

 “Saya mengikuti perintah Pangeran. Tapi, apakah Ibu Anna mengizinkan?” 

“Jangan khawatir tentang itu. Ibu Anna pasti mengizinkan karena jika tidak...,” jawab pangeran Carlos sambil menatap tajam ke arah Ibu Anna. 

Ibu Anna mengangguk dengan lesu. Pangeran Carlos membawa Maria dengan kudanya ke benteng. Saat melewati pohon di dekat pemakaman, burung-burung bernyanyi. 

“Tuan Muda telah bertemu pasangannya” 

“Mereka akan bahagia selamanya” 

“Bahagia selama-lamanya” 

Pangeran Carlos menoleh ke belakang. Ia melihat Maria masih mendekap erat cawan emasnya.

“Akhirnya, aku tidak salah pilih lagi,” kata Pangeran Carlos dalam hati. 

Ia memacu kudanya lebih cepat untuk sampai ke benteng. Keluarga kerajaan terkejut saat Pangeran Carlos datang dengan seorang gadis dengan pakaian yang kumal dan penuh debu serta bertelanjang kaki. Mereka kemudian mafhum saat melihat Maria memeluk erat cawan emasnya. Inilah gadis yang akan mendampingi Pangeran Carlos. Ialah gadis yang akan menjadi ratu Spanyol. Tidak lama kemudian, kerajaan Spanyol mengadakan pesta pernikahan bagi Pangeran Carlos dan Maria. Pasangan ini dengan cepat mengambil hati rakyat Spanyol. Meskipun hidup dalam lingkungan penuh kekuasaan dan kekayaan, Maria tetap menjadi perempuan yang baik hatinya. Ia terkenal sering membantu orang-orang miskin, terutama para janda dan anak-anak yatim piatu. 

***

Vania selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal Argentina," kata Vania.

Vania menutup bukunya dan di taruh di meja. 

"Nonton Tv!" kata Vania.

Vania mengambil remot di meja dan segera di hidupkan Tv dengan baik. Vania memilih chenel Tv yang menarik dan di pilih tentang masakan gitu. Vania menaruh remot di meja dan menonton Tv dengan asik banget karena acara Tv memang bagus gitu.

KACANG CHANGELINGS

Teguh mengambil buku di rak buku dan segera duduk dengan baik. Teguh membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Teguh :

“Tolong, tolooong!” Sebuah teriakan terdengar tidak jauh dari tempat Chalmer mencari kayu bakar. Chalmer mengedarkan pandangannya di sekitar hutan. Namun, dia tidak melihat seorang pun di sana.

“Tolong…!” Teriakan itu terdengar lagi. Chalmer pun segera bergerak mencari sumber suara. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Chalmer melihat seorang perempuan setengah baya sedang berpegang erat pada akar pohon. Separuh tubuhnya menggelantung di pinggir jurang. Chalmer segera berlari dan menarik tubuh perempuan itu ke atas. Perempuan itu terengah. Wajahnya pucat. Keringat mengucur di dahinya.

“Terima kasih, Tuan. Anda sudah menolong saya,” ucap perempuan itu, setelah mengatur napasnya.

“Sama-sama, Bibi. Saya Chalmers. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” kata Chalmer, sambil tersenyum.

Wanita itu tersenyum, lalu menyebutkan namanya. “Namaku Rona.”

“Bibi Rona sedang apa di hutan ini?” tanya Chalmer, ingin tahu. Dia sudah sering pergi ke hutan ini untuk mencari kayu bakar. Bahkan, sekali waktu dia bisa berada di hutan seharian, untuk membelah kayu-kayu besar. Tapi, dia tidak pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya.

“Saya sedang mencari daun-daunan untuk obat. Biasanya saya tidak sampai sejauh ini. Tapi, saya keasyikan sehingga sampai di tempat ini. Saya tidak tahu kalau tanah di sini licin, jadi tadi terpeleset,” wanita itu menjelaskan, sambil menunjukkan lembaran daun yang dipetiknya.

“Obat untuk apa, Bibi?” Chalmer penasaran. Barangkali, wanita ini bisa memberikan ramuan agar dia dan Apirka, istrinya, bisa mempunyai anak.

“Obat untuk menyembuhkan luka, mengurangi rasa sakit, menyembuhkan penyakit kulit, dan lain-lain. Apakah kau membutuhkan obat untuk mengobati penyakitmu?” tanya wanita setengah baya itu.

“Ya, sebenarnya saya butuh obat. Tapi, bukan obat yang Bibi sebutkan tadi.”

“Oh, obat apakah itu?”

“Saya dan istriku sudah menikah cukup lama. Namun, kami belum diberi keturunan,” kata Chalmer dengan nada sedih.

Bibi Rona merasa iba. Chalmer sudah menyelamatkan nyawanya. Dia ingin membalas jasa Chalmer, tapi dia ragu-ragu.

“Nak, saya hanya bisa membuat ramuan untuk mengobati orang sakit, kalau untuk punya anak, saya tidak tahu ramuan obatnya. Tapi, saya punya sesuatu.” Bibi Rona mengeluarkan kantong kecil dari balik bajunya. Perlahan, dia melonggarkan serut di kantong itu. Lalu, dia mengambil sebuah benda berwarna hijau dan meletakannya di telapak tangan.

“Saya ingin sekali menolongmu, agar kalian mempunyai anak. Benda ini bisa saja membantumu mempunyai anak. Tetapi saya takut, jika anak yang kamu lahirkan bukanlah anak yang baik.” Bibi Rona menatap Chalmer lekat. Dia tampak ragu untuk memberikan benda hijau itu kepada Chalmer.

“Tidak apa-apa, Bibi, yang terpenting saya bisa punya anak.”

“Nanti kau akan menyesal, Nak.”

“Kalau benar benda itu bisa membuatku memiliki keturunan, berikanlah padaku, Bibi.” Chalmer memohon agar Bibi Rona mau memberikan benda itu padanya.

“Baiklah. Ini, terimalah!” Bibi Rona menyerahkan benda di tangannya kepada Chalmer. Chalmer menerimanya dengan hati-hati.

“Benda apakah ini, Bibi?” tanya Chalmer sambil memerhatikan benda yang berada di tangannya dengan teliti. Bentuknya bulat, sedikit lonjong, warnanya hijau, seperti kacang hijau, hanya saja lebih besar. Benda itu seperti mengeluarkan sinar kehijauan.

“Itu adalah pónairí glasa. Saya mendapatkannya dari salah satu Peri Changelings. Mintalah istrimu memakannya. Satu pesanku, berdoalah selalu agar anak yang lahir, kelak tidak memiliki sifat-sifat jahat.”

“Baiklah, terima kasih banyak, Bibi.” Chalmer tersenyum senang. Dia langsung pulang, menemui istrinya, Apirka, dengan hati berbunga-bunga.

“Apirka, lihatlah apa yang kubawa,” teriak Chalmer pada istrinya yang sedang duduk, menyulam.

Aprika terkejut melihat Chalmer menerjang pintu. “Ada apa, Chalmer? Kau membuatku terkejut.”

“Aku membawa ini untukmu.” Chalmer menunjukkan benda yang dibawanya dengan hati-hati.

“Makanlah!” perintah Chalmer pada Apirka. Dia berdiri di depan Apirka, menyerahkan pónairí glasa yang diberikan oleh Bibi Rona.

“Apa ini? Seperti kacang hijau?” tanya Apirka, sembari mengamati benda yang diberikan Chalmer.

“Itu pónairí glasa. Aku mendapatkannya dari seorang wanita yang kuselamatkan karena hampir jatuh ke jurang.”

Apirka masih mengamati benda hijau itu. Dia merasa kagum dengan warnanya yang bercahaya. “Kenapa aku yang harus memakannya? Kenapa bukan kau?” Apirka menyodorkan benda itu kembali kepada Chalmer.

“Ini semacam obat agar kita bisa punya anak, Apirka,” kata Chalmer penuh semangat. Matanya bersinar penuh harap.

“Benarkah?” Apirka terlihat senang. Dia sudah banyak minum obat maupun ramuan dari para tabib. Mereka juga sudah berdoa siang dan malam agar diberi keturunan, sebagai pelengkap hidup mereka. Namun, sampai hari ini, keinginan itu belum juga terkabul. Mereka belum menyerah sampai saat ini, terlebih ketika tahu jika benda di hadapan mereka bisa membuat mereka memiliki keturunan, Apirka benar-benar tak sabar untuk memakannya.

 “Jangan lupa berdoa dulu, Apirka, agar anak yang lahir nantinya menjadi anak yang baik, sehat, cantik dan gagah seperti kita,” kata Chalmer, sambil tersenyum. Apirka tersenyum, lalu mulai berdoa dalam hati. Perlahan, Apirka memakan kacang itu sedikit demi sedikit.

“Bagaimana rasanya?” Chalmer bertanya, penasaran.

“Kau mau mencobanya?”  Apirka menyodorkan sisa kacang itu kepada Chalmer.

Chalmer mengeleng, “Tidak, kamu harus menghabiskannya.”

“Emmm … Rasanya segar seperti buah anggur masak yang baru dipetik,” kata Apirka, setelah menghabiskan seluruh pónairí glasanya.

“Semoga apa yang kita inginkan akan terkabul, kali ini,” Chalmer terus berdoa. Apirka turut mengaminkan.

Keesokan harinya, Apirka terbangun dalam keadaan deman. Badannya panas dan kepalanya terasa sangat berat. Chalmer yang sedang bersiap pergi ke hutan untuk membelah kayu, mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk menemani Apirka di rumah. Dia juga memasak makanan untuk sarapan pagi mereka. Apirka hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kepalanya terus berputar dan perutnya selalu mual dan ingin muntah.

Selama beberapa hari, Apirka belum juga sembuh. Chalmer mulai bingung. Dia segera mendatangi seorang tabib, perempuan tua bernama Vanora, yang tinggal di desa sebelah. Vanora, perempuan berwajah lancip itu menyambut dan mempersilakan mereka masuk. Dia segera memeriksa keadaan Apirka.

“Oh, rupanya kau sedang hamil, Anakku,” kata Vanora dengan wajah cerah. Chalmer terlihat senang bukan kepalang. Dia langsung berdoa agar anaknya lahir selamat dan menjadi anak yang baik.

“Tapi, aku melihat ada sesuatu yang tidak biasa dalam kehamilanmu, Nak,” kata Vanora, gelisah.

“Apakah itu, Nek?” Apirka bertanya, ingin tahu.

“Apakah sebelum ini kau makan sesuatu?” Nenek Vanora balik bertanya.

“Ya, Chalmer memberiku pónairí glasa untuk kumakan.”

“Pónairí glasa? Bukankah itu buah milik Peri Changeling?” tanya Nenek Vanora kepada Chalmer.

“Benar, Nek. Seseorang memberikan buah itu kepadaku karena aku telah menyelamatkan nyawanya.”

Nenek Vanora tampak kebingungan. Dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi dia tidak ingin melihat kedua orang di hadapannya kecewa. Dia tahu jika Apirka dan Chalmer ingin mempunyai anak sejak lama.

“Apakah Changeling itu peri yang baik hati, sehingga dia mau memberikan buah itu kepada Bibi Rona, Nek?” tanya Chalmer,hati-hati.

“Justru sebaliknya, Anakku. Setau nenek, Changeling adalah peri yang jahat. Anak-anak yang dilahirkannya banyak yang cacat,” Nenek Vanora menjelaskan, pelan.

Chalmer terenyak. Chalmer merasa sedih jika sifat anaknya akan menjadi jahat karena makan buah milik Peri Changeling.

“Apa yang harus kami lakukan, Nek?”

“Teruslah berdoa agar anak itu menjadi anak yang baik. Selain itu, carilah kacang putih untuk dimakan oleh anakmu, kelak. Hanya itu yang bisa mematahkan takdir changeling pada anak manusia.”

Chalmer dan Apirka pun menuruti perkataan Nenek Vanora. Chalmer dan Apirka semakin rajin berdoa. Sembilan bulan kemudian, Apirka melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Wajahnya merah merona dan dia sangat lucu. Bayi itu bernama Roarke. Chalmer dan Apirka merawat bayi mungil itu dengan penuh cinta. Mereka juga tidak pernah lupa berdoa kepada Tuhan, agar bayi mereka tumbuh menjadi anak yang baik. Akan tetapi, sampai saat ini, Chalmer belum menemukan kacang putih yang dimaksud oleh Nenek Vanora.

Hari demi hari berganti, Roarke tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan gesit. Suatu siang, Roarke melihat sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain bersama. Mereka tertawa riang, sambil membuat mainan dari ranting kayu yang dibentuk rumah-rumahan. Roarke datang mendekat dan menghancurkan mainan tersebut satu per satu. Anak-anak perempuan itu menjerit dan menangis kesal karena mainan yang mereka buat dengan susah payah, hancur oleh ulah Roarke. Setelah merusak mainan mereka, Roarke berlari pulang sambil tertawa senang.

Malam harinya, seorang ibu datang ke rumah Chalmer. Ibu itu memberitahukan tindakan Roarke yang tidak terpuji kepada kedua orang tuanya.

“Maafkan anak kami, Bu. Kami sudah berusaha menasihati Roarke untuk tidak mengganggu teman-temannya.” Apirka, ibu Roarke merasa sedih mendengar kelakuan anaknya.

“Maaf, Bu Apirka, tapi ini sudah berkali-kali terjadi. Roarke sudah sering sekali menggangu anak-anak kami,” lanjut ibu itu lagi.

“Ya, baiklah Bu. Saya akan menjaganya baik-baik. Kami mohon maaf, Bu,” Apirka memohon maaf untuk kesekian kalinya, atas kelakukan anaknya yang tidak terpuji.

Apirka duduk termangu, setelah ibu itu pergi. Chalmer kemudian datang menghampirinya. “Siapa yang datang, Bu?”

“Ibu Tristan. Dia baru saja memberitahu kalau Roarke mengganggu anak-anak perempuan yang sedang bermain rumah-rumahan,” Apirka menarik napas dalam, “setiap hari, selalu ada orang tua yang datang ke rumah kita, memberitahukan kenakalan anak kita, Pak?”

Chalmer termenung, dia teringat perkataan Bibi Rona. Chalmer nyaris putus asa. Dia sudah berusaha mendidik Roarke dengan baik, tapi itu belum cukup. Apa karena kacang putih itu belum bisa kudapatkan? pikir Chalmer, sedih.

“Tolong panggil Roarke kemari, Bu.” Chalmer meminta Apirka memanggil Roarke. Apirka segera pergi ke kamar Roarke, namun dia tidak menemukan Roarke di sana.

“Roarke, di mana kamu, Nak?” Apirka memanggil Roarke.

Tiba-tiba, Apirka mendengar suara riuh di belakang rumahnya. Suara itu datang dari kandang sapi mereka.

“Chalmer, sepertinya Roarke ada di kandang sapi,” Apirka berseru lantang.

“Ayo kita lihat, Bu!”

Chalmer dan Apirka bergegas pergi ke belakang rumah. Sesampai di sana, mereka terperanjat mendapati sapi mereka tergeletak tak berdaya, sementara Roarke tertawa riang.

“Roarke!” panggil Chalmer, tegas. Roarke menghentikan tawanya. Dia memandang ayahnya dengan tatapan takut.

“Apa yang kau lakukan di sana, Nak?” tanya Chalmer.

“Tidak apa-apa, Ayah.”

“Apa yang kau lakukan pada sapi kita?” Chalmer berusaha mengendalikan diri. Dia mendekati sapinya dan semakin terkejut mendapati sapi mereka satu-satunya telah mati.

“Apa yang kau lakukan pada sapi ini, Nak?” Chalmer bertanya lagi.

“Aku tidak melakukan apa-apa, Ayah,” kata Roarke, sambil tertunduk, “aku hanya bermain-main dengan sapi kita.”

“Tapi, kenapa dia bisa sampai mati, Nak?” Apirka memutuskan untuk bersuara.

“Aku tidak tahu, Bu. Bukankah dia sedang tidur?” tanya Roarke polos.

Aprika menatap Roarke, menggelengkan kepala, “Roarke, dia tidak hanya tidur, tapi dia sudah mati. Dia tidak akan bangun lagi.”

“Hahahaha.” Roarke tiba-tiba tertawa keras. Chalmer dan Apirka terkejut. Mereka tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Roarke.

“Kenapa kamu tertawa, Roarke?” tanya Apirka, sambil mengerutkan kening.

“Aku senang, Bu. Sapi kita sudah mati.”

“Tidak seharusnya kamu merasa senang, Nak. Seharusnya kamu merasa sedih karena kita tidak punya sapi lagi. Hanya ini sapi yang kita miliki. Kalau dia mati berarti kita tidak punya sapi lagi,” Apirka berkata panjang lebar, namun Roarke tetap saja tertawa.

Apirka segera membawa Roarke masuk ke dalam rumah. Sementara Chalmer mengurus sapi mereka yang telah mati.

“Roarke, Ibu ingin bertanya kepadamu. Mengapa kamu mengganggu teman-temanmu?” tanya Apirka setelah mereka duduk di kursi depan.

Roarke menatap Apirka, lekat. “Karena mereka tidak mau bermain denganku, Bu.”

“Lalu mengapa mereka tidak mau bermain denganmu?” Apirka berusaha mendesak dengan halus. Roarke mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu.

“Kalau kamu ingin punya teman, kamu harus bisa berbagi dengan mereka. Kalau kamu punya makanan, kamu harus membaginya dengan temanmu, walaupun itu cuma sedikit. Kalau kamu punya mainan, kamu juga harus meminjamkannya pada temanmu. Mereka pasti akan senang bermain denganmu,” Apirka menjelaskan pelan-pelan.

“Kenapa aku harus berbagi? Aku tidak akan kenyang jika makananku yang sedikit harus dibagikan kepada teman-temanku,” kata Roarke, sambil mendongakkan kepalanya.

“Karena kelak, Tuhan akan mengganti makananmu dengan yang lebih banyak lagi.”

“Benarkah?”

“Iya, tentu saja,” Apirka mengakhiri nasihatnya dengan senyum.

Setelah kejadian itu, Apirka berharap Roarke bisa berubah. Namun, ternyata para tetangga tetap datang silih berganti, mengadukan kenakalan Roarke kepada anak-anak mereka. Kali ini, Apirka hanya bisa menangis. Dia sangat sedih. Dia kehabisan akal untuk menghadapi kenakalan Roarke. Apirka akhirnya jatuh sakit. Tapi, Roarke justru merasa senang ketika ibunya sakit.

“Roarke, diamlah sejenak, Nak. Ibumu sedang tidak enak badan.” Chalmer mencoba menenangkan Roarke. Namun, Roarke terus tertawa seakan tidak mendengar perkataan Chalmer. Chalmer memerhatikan Roarke, lama. Roarke tumbuh seperti anak-anak lain, hanya saja sifatnya jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Roarke tidak bisa dinasehati.

Keesokan harinya, Chalmer mengajak Roarke pergi ke hutan. Dia ingin Apirka dapat beristirahat dengan tenang. Selain itu, Roarke juga bisa membantunya mencari dahan-dahan kecil yang sudah kering. Mereka pun sibuk bekerja. Chalmer tidak ingin luput mengawasi Roarke karena dia bisa saja terperosok ke jurang.

Roarke tampak asyik mencari dahan-dahan kering. Dia berjalan semakin jauh dari pengawasan ayahnya. Tanpa Roarke sadari, dia sudah terperosok ke sebuah lubang besar. Roarke menjerit. Dia berteriak minta tolong. Tiba-tiba, ada sebuah tangan  keriput, terulur ke arahnya. Roarke berusaha menggapainya. Namun, tangan itu tiba-tiba ditarik kembali.

“Tolonglah aku, Nek,” pinta Roarke kepada seorang nenek berbadan gemuk, yang tadi mengulurkan tangannya.

“Emmm, aku tahu kalau kau adalah anak yang bandel dan suka mengganggu teman-temanmu. Maaf, aku tidak bisa menolongmu,” sang Nenek berkata, sambil berkacak pinggang.

“Tapi, kenapa tadi Nenek mengulurkan tangan untuk menolongku?”

“Emmm, tadi aku tidak tahu kalau kau anak yang bandel,” kata Nenek itu sambil terkekeh.

“Nek, tolonglah aku. Di sini banyak binatang menjijikkan. Aku takut,” Roarke mulai merengek.

“Maaf, Nak. Aku tidak dapat menolong anak-anak yang nakal seperti dirimu. Aku harus pergi sekarang.” Sang Nenek mulai beranjak dari tempat itu.

“Tolong, Nek. Jangan pergi. Tolong aku, Nek. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik.” Roarke mulai menangis.

“Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan, Nak. Aku sudah tua sehingga telingaku agak tuli,” kata Nenek itu. Sebenarnya, dia mendengar permintaan Roarke. Namun, dia ingin mendengar kesungguhan Roarke.

“Aku berjanji menjadi anak yang baik dan taat pada orang tua. Tolong aku, Nek,” Roarke berkata lebih keras. Isak tangisnya pun terdengar lebih keras. Ada sebuah benda dingin yang menjalar di kakinya, tapi dia tidak berani melihatnya. Dia paling takut dengan binatang sejenis cacing dan ular.

Kesungguhan Roarke membuat sang Nenek mengulurkan tangannya kembali. Roarke dapat keluar dari lubang itu dengan sekali sentakan. Binatang yang tadi menjalar di kakinya pun sudah lari.

“Kau harus ingat apa yang sudah kau katakan padaku, Nak,” kata sang Nenek, sambil membantu Roarke membersihkan pakaiannya. Nenek itu memandangi Roarke sambil tersenyum. Chalmer dan istrinya sudah mendidik anak ini dengan baik. Hanya ini yang bisa membuatnya menjadi anak yang baik, kata Nenek Rona sambil menimang sebungkus benda di tangannya.

“Sebagai hadiah, Nenek memberikan ini padamu, makanlah!” kata sang Nenek sambil memberikan sebungkus kacang berwarna putih. Kacang putih itu yang akan membuat Roarke menjadi anak baik. Tanpa berpikir panjang, Roarke memakan buah kacang itu.

“Emmm, enak, Nek. Terima kasih Nenek...?” Roarke menatap Nenek itu, bertanya.

“Nenek Rona,” kata sang Nenek, sambil mengelus rambut Roarke lembut. Roarke ikut tersenyum.  Dia mulai menghabiskan kacang-kacang di tangannya.

Chalmer tampak berlari kecil ke arah Roarke, “Oh, kamu di sini, Roarke. Ayah sudah mencarimu ke mana-mana,” kata Chalmer, sambil memandangi kacang di tangan Roarke. Kacang putih! Kacang yang dicarinya selama ini. “Dari mana kamu mendapatkan kacang itu, Nak?” tanya Chalmer.

“Dari Nenek Rona, Ayah.”

“Nenek Rona? Di mana dia sekarang?” tanya Chalmer lagi.

Roarke terkejut mendengar nama itu. Dia segera mencari-cari sosok Nenek Rona di sekitar situ, tapi mereka tidak menemukannya lagi. Roarke kemudian menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, termasuk tentang janjinya untuk menjadi anak yang baik, dan hadiah kacang yang sudah dimakannya. Semenjak kejadian itu, keluarga Chalmer menjalani hari-hari dengan rasa bahagia. Berkat doa orang tuanya, Roarke tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua. 

***

Teguh selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus asal Irlandia. Pinter yang membuat ceritanya," kata Teguh.

Teguh menutup bukunya dan di taruh di rak buku. Teguh mengambil buku pelajarannya di tas dan segera di kerjakan PR dengan baik.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK