“Tolong, tolooong!” Sebuah teriakan terdengar tidak jauh dari tempat Chalmer mencari kayu bakar. Chalmer mengedarkan pandangannya di sekitar hutan. Namun, dia tidak melihat seorang pun di sana.
“Tolong…!” Teriakan itu terdengar lagi. Chalmer pun segera bergerak mencari sumber suara. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Chalmer melihat seorang perempuan setengah baya sedang berpegang erat pada akar pohon. Separuh tubuhnya menggelantung di pinggir jurang. Chalmer segera berlari dan menarik tubuh perempuan itu ke atas. Perempuan itu terengah. Wajahnya pucat. Keringat mengucur di dahinya.
“Terima kasih, Tuan. Anda sudah menolong saya,” ucap perempuan itu, setelah mengatur napasnya.
“Sama-sama, Bibi. Saya Chalmers. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” kata Chalmer, sambil tersenyum.
Wanita itu tersenyum, lalu menyebutkan namanya. “Namaku Rona.”
“Bibi Rona sedang apa di hutan ini?” tanya Chalmer, ingin tahu. Dia sudah sering pergi ke hutan ini untuk mencari kayu bakar. Bahkan, sekali waktu dia bisa berada di hutan seharian, untuk membelah kayu-kayu besar. Tapi, dia tidak pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya.
“Saya sedang mencari daun-daunan untuk obat. Biasanya saya tidak sampai sejauh ini. Tapi, saya keasyikan sehingga sampai di tempat ini. Saya tidak tahu kalau tanah di sini licin, jadi tadi terpeleset,” wanita itu menjelaskan, sambil menunjukkan lembaran daun yang dipetiknya.
“Obat untuk apa, Bibi?” Chalmer penasaran. Barangkali, wanita ini bisa memberikan ramuan agar dia dan Apirka, istrinya, bisa mempunyai anak.
“Obat untuk menyembuhkan luka, mengurangi rasa sakit, menyembuhkan penyakit kulit, dan lain-lain. Apakah kau membutuhkan obat untuk mengobati penyakitmu?” tanya wanita setengah baya itu.
“Ya, sebenarnya saya butuh obat. Tapi, bukan obat yang Bibi sebutkan tadi.”
“Oh, obat apakah itu?”
“Saya dan istriku sudah menikah cukup lama. Namun, kami belum diberi keturunan,” kata Chalmer dengan nada sedih.
Bibi Rona merasa iba. Chalmer sudah menyelamatkan nyawanya. Dia ingin membalas jasa Chalmer, tapi dia ragu-ragu.
“Nak, saya hanya bisa membuat ramuan untuk mengobati orang sakit, kalau untuk punya anak, saya tidak tahu ramuan obatnya. Tapi, saya punya sesuatu.” Bibi Rona mengeluarkan kantong kecil dari balik bajunya. Perlahan, dia melonggarkan serut di kantong itu. Lalu, dia mengambil sebuah benda berwarna hijau dan meletakannya di telapak tangan.
“Saya ingin sekali menolongmu, agar kalian mempunyai anak. Benda ini bisa saja membantumu mempunyai anak. Tetapi saya takut, jika anak yang kamu lahirkan bukanlah anak yang baik.” Bibi Rona menatap Chalmer lekat. Dia tampak ragu untuk memberikan benda hijau itu kepada Chalmer.
“Tidak apa-apa, Bibi, yang terpenting saya bisa punya anak.”
“Nanti kau akan menyesal, Nak.”
“Kalau benar benda itu bisa membuatku memiliki keturunan, berikanlah padaku, Bibi.” Chalmer memohon agar Bibi Rona mau memberikan benda itu padanya.
“Baiklah. Ini, terimalah!” Bibi Rona menyerahkan benda di tangannya kepada Chalmer. Chalmer menerimanya dengan hati-hati.
“Benda apakah ini, Bibi?” tanya Chalmer sambil memerhatikan benda yang berada di tangannya dengan teliti. Bentuknya bulat, sedikit lonjong, warnanya hijau, seperti kacang hijau, hanya saja lebih besar. Benda itu seperti mengeluarkan sinar kehijauan.
“Itu adalah pónairí glasa. Saya mendapatkannya dari salah satu Peri Changelings. Mintalah istrimu memakannya. Satu pesanku, berdoalah selalu agar anak yang lahir, kelak tidak memiliki sifat-sifat jahat.”
“Baiklah, terima kasih banyak, Bibi.” Chalmer tersenyum senang. Dia langsung pulang, menemui istrinya, Apirka, dengan hati berbunga-bunga.
“Apirka, lihatlah apa yang kubawa,” teriak Chalmer pada istrinya yang sedang duduk, menyulam.
Aprika terkejut melihat Chalmer menerjang pintu. “Ada apa, Chalmer? Kau membuatku terkejut.”
“Aku membawa ini untukmu.” Chalmer menunjukkan benda yang dibawanya dengan hati-hati.
“Makanlah!” perintah Chalmer pada Apirka. Dia berdiri di depan Apirka, menyerahkan pónairí glasa yang diberikan oleh Bibi Rona.
“Apa ini? Seperti kacang hijau?” tanya Apirka, sembari mengamati benda yang diberikan Chalmer.
“Itu pónairí glasa. Aku mendapatkannya dari seorang wanita yang kuselamatkan karena hampir jatuh ke jurang.”
Apirka masih mengamati benda hijau itu. Dia merasa kagum dengan warnanya yang bercahaya. “Kenapa aku yang harus memakannya? Kenapa bukan kau?” Apirka menyodorkan benda itu kembali kepada Chalmer.
“Ini semacam obat agar kita bisa punya anak, Apirka,” kata Chalmer penuh semangat. Matanya bersinar penuh harap.
“Benarkah?” Apirka terlihat senang. Dia sudah banyak minum obat maupun ramuan dari para tabib. Mereka juga sudah berdoa siang dan malam agar diberi keturunan, sebagai pelengkap hidup mereka. Namun, sampai hari ini, keinginan itu belum juga terkabul. Mereka belum menyerah sampai saat ini, terlebih ketika tahu jika benda di hadapan mereka bisa membuat mereka memiliki keturunan, Apirka benar-benar tak sabar untuk memakannya.
“Jangan lupa berdoa dulu, Apirka, agar anak yang lahir nantinya menjadi anak yang baik, sehat, cantik dan gagah seperti kita,” kata Chalmer, sambil tersenyum. Apirka tersenyum, lalu mulai berdoa dalam hati. Perlahan, Apirka memakan kacang itu sedikit demi sedikit.
“Bagaimana rasanya?” Chalmer bertanya, penasaran.
“Kau mau mencobanya?” Apirka menyodorkan sisa kacang itu kepada Chalmer.
Chalmer mengeleng, “Tidak, kamu harus menghabiskannya.”
“Emmm … Rasanya segar seperti buah anggur masak yang baru dipetik,” kata Apirka, setelah menghabiskan seluruh pónairí glasanya.
“Semoga apa yang kita inginkan akan terkabul, kali ini,” Chalmer terus berdoa. Apirka turut mengaminkan.
Keesokan harinya, Apirka terbangun dalam keadaan deman. Badannya panas dan kepalanya terasa sangat berat. Chalmer yang sedang bersiap pergi ke hutan untuk membelah kayu, mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk menemani Apirka di rumah. Dia juga memasak makanan untuk sarapan pagi mereka. Apirka hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kepalanya terus berputar dan perutnya selalu mual dan ingin muntah.
Selama beberapa hari, Apirka belum juga sembuh. Chalmer mulai bingung. Dia segera mendatangi seorang tabib, perempuan tua bernama Vanora, yang tinggal di desa sebelah. Vanora, perempuan berwajah lancip itu menyambut dan mempersilakan mereka masuk. Dia segera memeriksa keadaan Apirka.
“Oh, rupanya kau sedang hamil, Anakku,” kata Vanora dengan wajah cerah. Chalmer terlihat senang bukan kepalang. Dia langsung berdoa agar anaknya lahir selamat dan menjadi anak yang baik.
“Tapi, aku melihat ada sesuatu yang tidak biasa dalam kehamilanmu, Nak,” kata Vanora, gelisah.
“Apakah itu, Nek?” Apirka bertanya, ingin tahu.
“Apakah sebelum ini kau makan sesuatu?” Nenek Vanora balik bertanya.
“Ya, Chalmer memberiku pónairí glasa untuk kumakan.”
“Pónairí glasa? Bukankah itu buah milik Peri Changeling?” tanya Nenek Vanora kepada Chalmer.
“Benar, Nek. Seseorang memberikan buah itu kepadaku karena aku telah menyelamatkan nyawanya.”
Nenek Vanora tampak kebingungan. Dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi dia tidak ingin melihat kedua orang di hadapannya kecewa. Dia tahu jika Apirka dan Chalmer ingin mempunyai anak sejak lama.
“Apakah Changeling itu peri yang baik hati, sehingga dia mau memberikan buah itu kepada Bibi Rona, Nek?” tanya Chalmer,hati-hati.
“Justru sebaliknya, Anakku. Setau nenek, Changeling adalah peri yang jahat. Anak-anak yang dilahirkannya banyak yang cacat,” Nenek Vanora menjelaskan, pelan.
Chalmer terenyak. Chalmer merasa sedih jika sifat anaknya akan menjadi jahat karena makan buah milik Peri Changeling.
“Apa yang harus kami lakukan, Nek?”
“Teruslah berdoa agar anak itu menjadi anak yang baik. Selain itu, carilah kacang putih untuk dimakan oleh anakmu, kelak. Hanya itu yang bisa mematahkan takdir changeling pada anak manusia.”
Chalmer dan Apirka pun menuruti perkataan Nenek Vanora. Chalmer dan Apirka semakin rajin berdoa. Sembilan bulan kemudian, Apirka melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Wajahnya merah merona dan dia sangat lucu. Bayi itu bernama Roarke. Chalmer dan Apirka merawat bayi mungil itu dengan penuh cinta. Mereka juga tidak pernah lupa berdoa kepada Tuhan, agar bayi mereka tumbuh menjadi anak yang baik. Akan tetapi, sampai saat ini, Chalmer belum menemukan kacang putih yang dimaksud oleh Nenek Vanora.
Hari demi hari berganti, Roarke tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan gesit. Suatu siang, Roarke melihat sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain bersama. Mereka tertawa riang, sambil membuat mainan dari ranting kayu yang dibentuk rumah-rumahan. Roarke datang mendekat dan menghancurkan mainan tersebut satu per satu. Anak-anak perempuan itu menjerit dan menangis kesal karena mainan yang mereka buat dengan susah payah, hancur oleh ulah Roarke. Setelah merusak mainan mereka, Roarke berlari pulang sambil tertawa senang.
Malam harinya, seorang ibu datang ke rumah Chalmer. Ibu itu memberitahukan tindakan Roarke yang tidak terpuji kepada kedua orang tuanya.
“Maafkan anak kami, Bu. Kami sudah berusaha menasihati Roarke untuk tidak mengganggu teman-temannya.” Apirka, ibu Roarke merasa sedih mendengar kelakuan anaknya.
“Maaf, Bu Apirka, tapi ini sudah berkali-kali terjadi. Roarke sudah sering sekali menggangu anak-anak kami,” lanjut ibu itu lagi.
“Ya, baiklah Bu. Saya akan menjaganya baik-baik. Kami mohon maaf, Bu,” Apirka memohon maaf untuk kesekian kalinya, atas kelakukan anaknya yang tidak terpuji.
Apirka duduk termangu, setelah ibu itu pergi. Chalmer kemudian datang menghampirinya. “Siapa yang datang, Bu?”
“Ibu Tristan. Dia baru saja memberitahu kalau Roarke mengganggu anak-anak perempuan yang sedang bermain rumah-rumahan,” Apirka menarik napas dalam, “setiap hari, selalu ada orang tua yang datang ke rumah kita, memberitahukan kenakalan anak kita, Pak?”
Chalmer termenung, dia teringat perkataan Bibi Rona. Chalmer nyaris putus asa. Dia sudah berusaha mendidik Roarke dengan baik, tapi itu belum cukup. Apa karena kacang putih itu belum bisa kudapatkan? pikir Chalmer, sedih.
“Tolong panggil Roarke kemari, Bu.” Chalmer meminta Apirka memanggil Roarke. Apirka segera pergi ke kamar Roarke, namun dia tidak menemukan Roarke di sana.
“Roarke, di mana kamu, Nak?” Apirka memanggil Roarke.
Tiba-tiba, Apirka mendengar suara riuh di belakang rumahnya. Suara itu datang dari kandang sapi mereka.
“Chalmer, sepertinya Roarke ada di kandang sapi,” Apirka berseru lantang.
“Ayo kita lihat, Bu!”
Chalmer dan Apirka bergegas pergi ke belakang rumah. Sesampai di sana, mereka terperanjat mendapati sapi mereka tergeletak tak berdaya, sementara Roarke tertawa riang.
“Roarke!” panggil Chalmer, tegas. Roarke menghentikan tawanya. Dia memandang ayahnya dengan tatapan takut.
“Apa yang kau lakukan di sana, Nak?” tanya Chalmer.
“Tidak apa-apa, Ayah.”
“Apa yang kau lakukan pada sapi kita?” Chalmer berusaha mengendalikan diri. Dia mendekati sapinya dan semakin terkejut mendapati sapi mereka satu-satunya telah mati.
“Apa yang kau lakukan pada sapi ini, Nak?” Chalmer bertanya lagi.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Ayah,” kata Roarke, sambil tertunduk, “aku hanya bermain-main dengan sapi kita.”
“Tapi, kenapa dia bisa sampai mati, Nak?” Apirka memutuskan untuk bersuara.
“Aku tidak tahu, Bu. Bukankah dia sedang tidur?” tanya Roarke polos.
Aprika menatap Roarke, menggelengkan kepala, “Roarke, dia tidak hanya tidur, tapi dia sudah mati. Dia tidak akan bangun lagi.”
“Hahahaha.” Roarke tiba-tiba tertawa keras. Chalmer dan Apirka terkejut. Mereka tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Roarke.
“Kenapa kamu tertawa, Roarke?” tanya Apirka, sambil mengerutkan kening.
“Aku senang, Bu. Sapi kita sudah mati.”
“Tidak seharusnya kamu merasa senang, Nak. Seharusnya kamu merasa sedih karena kita tidak punya sapi lagi. Hanya ini sapi yang kita miliki. Kalau dia mati berarti kita tidak punya sapi lagi,” Apirka berkata panjang lebar, namun Roarke tetap saja tertawa.
Apirka segera membawa Roarke masuk ke dalam rumah. Sementara Chalmer mengurus sapi mereka yang telah mati.
“Roarke, Ibu ingin bertanya kepadamu. Mengapa kamu mengganggu teman-temanmu?” tanya Apirka setelah mereka duduk di kursi depan.
Roarke menatap Apirka, lekat. “Karena mereka tidak mau bermain denganku, Bu.”
“Lalu mengapa mereka tidak mau bermain denganmu?” Apirka berusaha mendesak dengan halus. Roarke mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu.
“Kalau kamu ingin punya teman, kamu harus bisa berbagi dengan mereka. Kalau kamu punya makanan, kamu harus membaginya dengan temanmu, walaupun itu cuma sedikit. Kalau kamu punya mainan, kamu juga harus meminjamkannya pada temanmu. Mereka pasti akan senang bermain denganmu,” Apirka menjelaskan pelan-pelan.
“Kenapa aku harus berbagi? Aku tidak akan kenyang jika makananku yang sedikit harus dibagikan kepada teman-temanku,” kata Roarke, sambil mendongakkan kepalanya.
“Karena kelak, Tuhan akan mengganti makananmu dengan yang lebih banyak lagi.”
“Benarkah?”
“Iya, tentu saja,” Apirka mengakhiri nasihatnya dengan senyum.
Setelah kejadian itu, Apirka berharap Roarke bisa berubah. Namun, ternyata para tetangga tetap datang silih berganti, mengadukan kenakalan Roarke kepada anak-anak mereka. Kali ini, Apirka hanya bisa menangis. Dia sangat sedih. Dia kehabisan akal untuk menghadapi kenakalan Roarke. Apirka akhirnya jatuh sakit. Tapi, Roarke justru merasa senang ketika ibunya sakit.
“Roarke, diamlah sejenak, Nak. Ibumu sedang tidak enak badan.” Chalmer mencoba menenangkan Roarke. Namun, Roarke terus tertawa seakan tidak mendengar perkataan Chalmer. Chalmer memerhatikan Roarke, lama. Roarke tumbuh seperti anak-anak lain, hanya saja sifatnya jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Roarke tidak bisa dinasehati.
Keesokan harinya, Chalmer mengajak Roarke pergi ke hutan. Dia ingin Apirka dapat beristirahat dengan tenang. Selain itu, Roarke juga bisa membantunya mencari dahan-dahan kecil yang sudah kering. Mereka pun sibuk bekerja. Chalmer tidak ingin luput mengawasi Roarke karena dia bisa saja terperosok ke jurang.
Roarke tampak asyik mencari dahan-dahan kering. Dia berjalan semakin jauh dari pengawasan ayahnya. Tanpa Roarke sadari, dia sudah terperosok ke sebuah lubang besar. Roarke menjerit. Dia berteriak minta tolong. Tiba-tiba, ada sebuah tangan keriput, terulur ke arahnya. Roarke berusaha menggapainya. Namun, tangan itu tiba-tiba ditarik kembali.
“Tolonglah aku, Nek,” pinta Roarke kepada seorang nenek berbadan gemuk, yang tadi mengulurkan tangannya.
“Emmm, aku tahu kalau kau adalah anak yang bandel dan suka mengganggu teman-temanmu. Maaf, aku tidak bisa menolongmu,” sang Nenek berkata, sambil berkacak pinggang.
“Tapi, kenapa tadi Nenek mengulurkan tangan untuk menolongku?”
“Emmm, tadi aku tidak tahu kalau kau anak yang bandel,” kata Nenek itu sambil terkekeh.
“Nek, tolonglah aku. Di sini banyak binatang menjijikkan. Aku takut,” Roarke mulai merengek.
“Maaf, Nak. Aku tidak dapat menolong anak-anak yang nakal seperti dirimu. Aku harus pergi sekarang.” Sang Nenek mulai beranjak dari tempat itu.
“Tolong, Nek. Jangan pergi. Tolong aku, Nek. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik.” Roarke mulai menangis.
“Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan, Nak. Aku sudah tua sehingga telingaku agak tuli,” kata Nenek itu. Sebenarnya, dia mendengar permintaan Roarke. Namun, dia ingin mendengar kesungguhan Roarke.
“Aku berjanji menjadi anak yang baik dan taat pada orang tua. Tolong aku, Nek,” Roarke berkata lebih keras. Isak tangisnya pun terdengar lebih keras. Ada sebuah benda dingin yang menjalar di kakinya, tapi dia tidak berani melihatnya. Dia paling takut dengan binatang sejenis cacing dan ular.
Kesungguhan Roarke membuat sang Nenek mengulurkan tangannya kembali. Roarke dapat keluar dari lubang itu dengan sekali sentakan. Binatang yang tadi menjalar di kakinya pun sudah lari.
“Kau harus ingat apa yang sudah kau katakan padaku, Nak,” kata sang Nenek, sambil membantu Roarke membersihkan pakaiannya. Nenek itu memandangi Roarke sambil tersenyum. Chalmer dan istrinya sudah mendidik anak ini dengan baik. Hanya ini yang bisa membuatnya menjadi anak yang baik, kata Nenek Rona sambil menimang sebungkus benda di tangannya.
“Sebagai hadiah, Nenek memberikan ini padamu, makanlah!” kata sang Nenek sambil memberikan sebungkus kacang berwarna putih. Kacang putih itu yang akan membuat Roarke menjadi anak baik. Tanpa berpikir panjang, Roarke memakan buah kacang itu.
“Emmm, enak, Nek. Terima kasih Nenek...?” Roarke menatap Nenek itu, bertanya.
“Nenek Rona,” kata sang Nenek, sambil mengelus rambut Roarke lembut. Roarke ikut tersenyum. Dia mulai menghabiskan kacang-kacang di tangannya.
Chalmer tampak berlari kecil ke arah Roarke, “Oh, kamu di sini, Roarke. Ayah sudah mencarimu ke mana-mana,” kata Chalmer, sambil memandangi kacang di tangan Roarke. Kacang putih! Kacang yang dicarinya selama ini. “Dari mana kamu mendapatkan kacang itu, Nak?” tanya Chalmer.
“Dari Nenek Rona, Ayah.”
“Nenek Rona? Di mana dia sekarang?” tanya Chalmer lagi.
Roarke terkejut mendengar nama itu. Dia segera mencari-cari sosok Nenek Rona di sekitar situ, tapi mereka tidak menemukannya lagi. Roarke kemudian menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, termasuk tentang janjinya untuk menjadi anak yang baik, dan hadiah kacang yang sudah dimakannya. Semenjak kejadian itu, keluarga Chalmer menjalani hari-hari dengan rasa bahagia. Berkat doa orang tuanya, Roarke tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua.
***
Teguh selesai baca bukunya.
"Cerita yang bagus asal Irlandia. Pinter yang membuat ceritanya," kata Teguh.
Teguh menutup bukunya dan di taruh di rak buku. Teguh mengambil buku pelajarannya di tas dan segera di kerjakan PR dengan baik.
No comments:
Post a Comment