"Buku yang aku pinjem dari Angga," kata Kiko.
Kiko membuka bukunya dan segera di baca dengan baik.
Isi buku yang di baca Kiko :
Di sebuah istana, seorang Pangeran hidup dengan bergelimang harta. Pakaiannya pun diuntai dengan emas dan mutiara. Dia adalah anak seorang raja yang kaya raya. Kekayaan sang Raja semakin berlipat, ketika dia membuat peraturan baru untuk menaikkan pajak dan upeti yang harus diserahkan kepada kerajaan.
“Kami tidak punya apa-apa lagi, Tuan,” kata salah seorang petani miskin yang tingal di desa.
Pagi itu, sekelompok pasukan berkuda datang ke gubuknya untuk menagih pajak yang sudah beberapa bulan belum dia bayar.
“Kami tidak peduli. Kami hanya menjalankan perintah dari Raja,” bentak prajurit itu dengan wajah memerah dan mata melotot.
Tanpa memedulikan petani miskin itu, dia masuk ke dalam rumah. Dia mencari barang-barang yang masih bisa digunakan untuk membayar pajak. Namun, dia tidak menemukan apapun di dalam rumah itu. Dia tidak menemukan perabotan, atau persediaan makanan yang tersimpan di dalam rumah. Dia hanya menemukan tiga orang anak kecil yang sedang menangis dalam pelukan ibu mereka. Dia lantas memorak-porandakan rumah itu dengan marah. Anak-anak kecil itu menangis semakin kencang. Setelah puas mengacak-acak seisi rumah, prajurit-prajurit itu meninggalkan si petani miskin yang menangis mendekap istri dan anak-anaknya.
Seekor burung terbang rendah di dekat rumah petani miskin. Dia bertengger di sebuah pohon dan sesaat kemudian kembali mengepakkan sayapnya menuju istana. Sesampai di istana, burung itu hinggap di sebuah jendela. Sang Pangeran yang sedang berdiri di sana, mengulurkan sebelah tangannya. Burung itu segera berpindah ke lengan sang Pangeran.
“Bagaimana keadaan di luar sana, Murai?” tanya sang Pangeran kepada burung Murai, sahabatnya.
“Keadaan semakin buruk, Pangeran,” Murai menjawab dengan cericitnya.
Sang Pangeran menundukkan kepala. Dia merasa sedih. Peraturan yang dibuat oleh Ayahandanya sudah sangat memberatkan rakyat. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah peraturan itu. Dia dianggap tidak mampu untuk ikut mengatur pemerintahan karena matanya tidak dapat melihat. Sang Pangeran yang kehilangan penglihatannya sejak lahir itu menitikkan air mata.
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu rakyat, Murai? Katakanlah apa yang bisa aku lakukan,” sang Pangeran meminta nasihat dari si burung Murai.
“Pangeran bisa memberikan sebutir berlian untuk mereka,” saran burung Murai kepada sang Pangeran.
“Aku tidak tahu di mana sang Raja menyimpan berlian-berlian itu, Murai.”
“Pangeran juga memilikinya,” cericit Murai.
“Oh, ya,” sang Pangeran terlihat senang karena bisa membantu rakyat tanpa sepengetahuan sang Raja.
“Ya, berlian itu ada di mahkota Pangeran, di tongkat yang Pangeran gunakan untuk berjalan, dan di pakaian kebesaran Pangeran,” si burung Murai menjelaskan.
Wajah sang Pangeran kian berseri-seri. Ia sangat senang jika bisa membantu meringankan penderitaan rakyatnya.
“Mulai sekarang kau boleh membawa satu per satu berlian ini untuk membantu mereka. Apakah ada orang di luar sana yang sangat membutuhkan bantuan kita Murai?” sang Pangeran berkata, mulai membuat rencana.
“Ada seorang petani miskin yang tidak punya apa-apa, Pangeran. Bahkan mereka tidak mempunyai makanan sedikit pun hari ini. Prajurit Raja datang dan menagih upeti kepada mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa sehingga prajurit memorak-porandakan rumah mereka. Mereka hanya bisa menangis melihat semuanya karena tidak bisa melakukan apa-apa.”
Pangeran sangat sedih mendengar semuanya. Para prajurit itu sudah bertindak semena-mena pada rakyat. Pangeran mengambil sebutir berlian dari pakaiannya dan menyerahkannya kepada Murai.
“Berikanlah ini kepada petani itu agar mereka menukarnya dengan makanan untuk menyambung hidup,” kata sang Pangeran, sambil menyerahkan sebutir mutiara kepada burung Murai.
Tanpa banyak bertanya, burung Murai mencengkeram mutiara itu dengan erat. Dia mulai terbang kembali ke rumah petani miskin tadi. Setelah sampai di sana, keluarga petani itu sedang membereskan rumah. Murai menjatuhkan mutiara yang dibawanya tepat di kaki sang Petani. Petani itu terkejut saat melihat benda berkilap di dekat kakinya. Dia mendongak ke atas. Sepintas, dia melihat seekor burung kecil yang terbang rendah. Dia kemudian berjongkok, memungut benda yang tadi dijatuhkan burung itu. Dia mengamati benda itu dengan kagum. Bentuknya sangat indah. Dia lantas berteriak, memanggil istrinya.
“Bu, Bu ... Kemarilah. Lihat apa yang kudapatkan ini.”
Petani itu masih mengamati benda di tangannya dengan takjub. Istri dan ketiga anaknya mendekat dan ikut mengamati benda itu.
“Seperti sebuah mutiara, Pak,” sang istri berseru senang, “dari mana benda itu, Pak?” tanyanya lagi.
“Seekor burung menjatuhkannya, Bu,” kata petani itu girang.
Senyumnya lebar mengembang. Kini, mereka punya sesuatu untuk dijual dan bisa membeli makanan serta kebutuhan-kebutuhan hidup mereka selama beberapa hari ke depan.
“Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan rejeki ini kepada kami,” sang istri mengucap syukur, sambil memeluk anak-anaknya.
Mereka semua menangis bahagia. Sementara itu, Murai kembali terbang ke istana dan menemui sang Pangeran untuk melaporkan kejadian yang baru saja dilihatnya. Pangeran merasa senang ketika mendengar kebahagiaan petani dan keluarganya.
“Aku akan mencoba berbicara dengan Ayahanda, agar beliau tidak memungut pajak dan upeti kepada rakyat miskin,” kata sang Pangeran kepada Murai.
Dia mulai berjalan menuju ruang utama menggunakan tongkatnya. Sesampai di sana, sang Raja sedang berbincang-bincang dengan penasihat kerajaan.
“Mohon maaf, Ayahanda. Hamba ingin membicarakan sesuatu dengan Ayahanda,” kata sang Pangeran.
“Ada apa gerangan, Anakku?” tanya sang Raja, sambil mempersilakan sang Penasihat untuk pergi dari tempat itu.
“Ananda mendengar kabar bahwa kehidupan rakyat miskin semakin menderita. Apalagi ditambah dengan pajak dan upeti yang harus mereka bayar kepada kerajaan. Itu sangat memberatkan mereka, Ayahanda.”
“Kamu tidak perlu memikirkan urusan Negara, Nak. Ayahanda masih sanggup mengurus semuanya,” sang Raja mulai mengalihkan pembicaraan.
“Ananda tidak bermaksud meragukan keahlian Ayahanda dalam memimpin kerajaan. Ananda hanya meminta Ayahanda lebih bijaksana dan memerhatikan rakyat kecil. Musim kering akan segera datang. Para petani pasti tidak bisa menggarap sawah dan ladang mereka. Dari mana mereka bisa membayar pajak yang Ayahanda tetapkan pada mereka?” sang Pangeran berkata panjang lebar.
Ia berharap Ayahandanya mau mendengar masukannya kali ini.
“Mereka pasti punya banyak simpanan untuk membayar pajak dan upeti itu, Nak. Buktinya mereka masih bisa membayar pajak dan upeti, yang ayah tetapkan pada mereka. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.”
“Sekali-kali, Ayahanda dapat turun ke desa-desa untuk melihat keadaan mereka. Bawahan Ayahanda sering kali membuat berita yang bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya terjadi.”
“Mereka tidak mungkin berbohong padaku, Nak,” kata sang Raja mantap, “dari mana kamu mendapatkan berita kalau rakyatku hidup miskin dan kekurangan? Itu hanya kabar burung yang tidak benar,” kata sang Raja lagi.
“Murai tidak mungkin berbohong padaku, Ayahanda.”
“Oh, jadi benar. Burung itu yang memberimu kabar yang belum tentu kebenarannya itu.”
“Benar, Ayahanda, dan ananda lebih percaya pada Murai daripada pengawal-pengawal Ayahanda yang hanya mencari muka,” kata sang Pangeran, kecewa.
Sang Raja tidak mau mendengar perkataan Pangeran karena menganggapnya tidak mengetahui apa-apa, apalagi dengan penglihatannya yang tidak berfungsi normal.
“Ayahanda, mata ananda memang buta. Tetapi, hati ananda tidak. Justru mata hati Ayahanda yang sudah dibutakan pujian dan sanjungan dari anak buah Ayahanda,” pungkas sang Pangeran.
Sang Pangeran beranjak, meninggalkan ayahandanya seorang diri. Sang Raja tidak mau memikirkan perkataan Pangeran. Dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pelaksanaan pemungutan pajak dan upeti. Murai masih menjalankan tugas yang diberikan sang Pangeran kepadanya. Dia terbang dari satu kampung ke kampung yang lain untuk melihat keadaan rakyat di kerajaan itu, dan melaporkannya kepada sang Pangeran. Suatu siang, Murai melihat seorang nenek yang sedang sakit. Keadaannya sangat memprihatinkan.
Tubuhnya kurus, kering karena tidak makan selama beberapa hari. Dia sudah tidak punya apa-apa untuk dimakan. Dia juga tidak sanggup bekerja karena sakit-sakitan dan tubuhnya semakin renta. Murai melaporkan keadaan itu kepada sang Pangeran. Hati sang Pangeran trenyuh mendengarnya. Dia kemudian mengambil sebuah mutiara di mahkotanya dan menyerahkannya kepada Murai.
“Berikanlah mutiara ini pada Nenek itu. Semoga penyakitnya bisa segera diobati dan dia bisa sehat kembali.”
Murai menerima mutiara itu dengan dua kakinya. Dia melesat menuju rumah sang Nenek dengan kepakan sayap mungilnya. Dia tidak ingin terlambat sampai di sana. Setiba di rumah sang Nenek, Murai melihat orang-orang berdatangan. Mereka berkumpul dan beberapa dari mereka menitikkan air mata. Murai mulai khawatir. Dia mengamati dari kejauhan, dan apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan. Murai terbang mendekat hingga dia dapat melihat dengan jelas kalau sang Nenek sudah meninggal dunia. Murai sangat sedih. Selama beberapa saat, dia hanya bertengger di jendela kamar sang Nenek.
Dia melihat orang-orang yang datang silih berganti menghaturkan bela sungkawa. Mereka juga berencana memakamkan sang Nenek sesegera mungkin. Hati Murai semakin trenyuh, dia tidak sanggup terus berada di tempat itu. Dia memutuskan kembali terbang menuju istana. Murai langsung menceritakan apa yang terjadi kepada sang Pangeran. Wajah sang Pangeran menjadi muram. Perasaan bersalah menghinggapi hatinya. Seandainya aku tidak buta, mungkin aku bisa berbuat banyak untuk menolong rakyat di kerajaan ini, pikir sang Pangeran. Namun, dia bertekad untuk tetap membantu rakyatnya dengan segala kemampuan yang dia miliki.
“Mungkin itu sudah menjadi takdir sang Nenek, Murai. Mari, kita bantu orang-orang lain agar tidak seperti nenek itu.”
“Saya bersedia berkeliling negeri untuk membantumu, Pangeran. Semoga hal ini bisa membantu meringankan rasa bersalahku karena tidak bisa menolong sang Nenek lebih cepat.”
“Kita tidak boleh terus-menerus bersedih, Murai. Sekarang, bawalah mutiara-mutiara ini untuk kau berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Murai kembali bersemangat. Ia ingin berbuat lebih baik lagi untuk menolong sang Pangeran dan rakyatnya. Dia terbang mencari orang-orang miskin yang kekurangan, dan memberikan mutiara dari sang Pangeran kepada mereka. Hatinya turut senang melihat senyum dan kebahagiaan mereka. Musim paceklik tiba. Hasil bumi semakin sulit diperoleh karena sawah dan ladang mengering. Para petani tidak bisa menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kelaparan semakin merajalela. Sementara sang Raja belum membuka mata untuk melihat keadaan rakyatnya. Suatu hari sang Pangeran mengajak Raja berjalan-jalan.
Sang Pangeran bertujuan untuk mengantar ayahnya melihat keadaan rakyatnya yang hidup menderita. Sang Pangeran sudah tidak tahan mendengar kabar memprihatinkan yang dibawa Murai setiap hari. Mutiara yang Pangeran miliki juga sudah habis dibagikan. Hal ini membuat Pangeran harus mencari cara lain untuk tetap bisa membantu rakyatnya. Kali ini, dia berdoa agar cara yang dia pergunakan dapat melunakkan hati sang Raja. Sang Raja sudah bersedia untuk menemui rakyatnya. Dia melakukan hal itu karena mendengar berita-berita tidak baik dari orang kepercayaannya. Bahwasanya perkataan sang Pangeran tentang keadaan rakyat yang semakin memprihatinkan memang benar adanya.
“Apa yang sedang dilakukan oleh prajuritku di sana?” tanya sang Raja, melihat kegaduhan yang ditimbulkan oleh para prajuritnya.
“Menurut Murai, mereka sering berlaku kasar terhadap rakyat yang tidak sanggup membayar pajak.”
“Semua ini harus segera dihentikan.”
Sang Raja mulai gusar. Sebenarnya dia tidak menyukai kekerasan, kecuali dalam situasi terancam atau keadaan perang. Sang Raja dan Pangeran mendekati kerumunan. Prajurit-prajurit itu tidak tahu kalau Raja mereka ada di sana. Sang Raja dan Pangeran sengaja melakukan penyamaran agar lebih leluasa bergerak dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Pakaian yang mereka kenakan sudah kumal dan berlubang. Selain itu, mereka mengenakan sebuah topi lebar yang bertengger di kepala, sehingga mereka semakin sulit dikenali. Kondisi sang Pangeran yang tidak dapat melihat juga membuat mereka terlihat seperti seorang gembel dan peminta-minta. Setelah mendekati kerumunan itu, sang Raja berteriak, “Hentikan!”
Seorang prajurit yang mendengar teriakan itu berjalan mendekat. Dia menghardik sang Raja dengan congkak.
“Heh, gembel jelek. Berani-beraninya kau memberi perintah kepada anak buahku.”
“Tidak sepantasnya kalian berbuat seperti itu,” sang Pangeran menimpali.
“Oh, ternyata kau buta, ya. Untuk berjalan saja kau butuh orang lain untuk menuntunmu. Lalu, kau mau melawan kami, hah!” gertak prajurit itu saat melihat Pangeran menggerak-gerakkan tongkatnya untuk mencari jalan.
Orang-orang mulai berkerumun. Mereka yang awalnya takut melawan pasukan kerajaan yang semena-mena, tergerak hatinya untuk membela si gembel dan si buta.
“Oh, jadi begini cara kalian menjalankan tugas kerajaan,” kata sang Raja, sambil mendongakkan kepalanya.
“Turun dari kuda-kuda kalian semua. Siapa yang melawan, silakan berhadapan denganku,” lanjut sang Raja, sambil membuka topi lebarnya, “ketahuilah wahai rakyatku, aku adalah Raja kalian.”
Para prajurit sontak bersimpuh dengan tubuh gemetar, sadar telah melakukan kesalahan besar. Mereka tidak menduga kalau lelaki yang mereka bentak adalah sang Raja.
“Wahai rakyatku, kejadian ini telah membuka mataku lebar-lebar. Perjalananku dengan Pangeran telah menemukan banyak kerusakan dan kekurangan pangan yang kalian rasakan. Musim paceklik yang panjang ternyata membuat hidup kalian menderita. Aku meminta maaf karena telah lalai mengurus rakyat. Oleh karena itu mulai saat ini, aku akan membuat kebijakan baru untuk menghapuskan pajak dan upeti sementara waktu. Kalian bisa datang ke istana jika kekurangan makanan. Kerajaan akan menyediakan makanan untuk semua rakyat yang membutuhkan,” sang Raja berkata lantang.
Pangeran tersenyum senang mendengar pidato singkat dari Ayahandanya. Dia bahagia karena usaha yang telah dia lakukan, untuk membuka mata sang Raja terhadap kondisi rakyat, berbuah manis. Orang-orang yang berkumpul di tempat itu menyambut keputusan sang Raja dengan gembira. Mereka senang, ternyata sang Raja masih memerhatikan nasib mereka. Mereka pun mengelu-elukan sang Raja yang baik hati. Sang Raja menatap rakyatnya dengan binar bahagia, sesaat kemudian pandangannya beralih pada para prajurit, “Dan kalian para prajurit, kalian telah melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan perintah negara. Maka, saya akan memberi hukuman kepada kalian. Kalian harus melayani rakyat, membantu menyediakan makanan untuk mereka di istana, dan memperbaiki rumah-rumah mereka yang telah kalian rusak.”
Setelah lelah berkeliling, sang Raja pulang ke istana bersama Pangeran. Sang Raja merasa bangga pada Pangeran. Dia sadar jika kekhawatirannya selama ini tidak beralasan. Kebutaan Pangeran ternyata tidak bisa membutakan mata hatinya. Semua itu Pangeran buktikan dengan perhatian yang dia berikan kepada rakyatnya. Dalam hati, sang Raja percaya jika Pangeran akan mampu untuk memimpin kerajaan, kelak.
***
Kiko menyelesaikan baca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asalnya Irlandia, ya di tulis di buku sih," kata Kiko.
Kiko menutup bukunya dengan baik dan di taruh di meja. Kiko segera main game PlayStasion dengan baik lah.
No comments:
Post a Comment