Budi yang kreatif membuat boneka tangan gitu. Pekerjaan membuat boneka tangan, ya dilakukan saat istirahat di rumah, ya di kamarnya dari aktivitas Budi yang kerjaan Budi seorang buruh di sebuah perusahaan gitu. Hidup di dunia ini untuk mencapai sesuatu demi bisa hidup dengan baik, ya harus mengikuti zaman dengan cara menggunakan ilmu, ya kepintaran dan juga kerja keras. Dengan doa yang selalu di panjatkan Budi, ya setiap langkahnya dalam usaha untuk kebaikan dirinya dan keluarga gitu. Budi bekerja dengan baik, ya hasilnya uang atau gaji, ya bisa membantu orang tua Budi dengan baik, ya jadi anak yang berbakti pada orangtua. Ya samahal dengan pemuda dan pemudi yang didik dengan baik sama orangtuanya, ya memiliki akhlak yang baik berdasarkan agama yang di yakini dan di jalankan dengan baik semua aturan agama demi kebaikan diri, keluarga dan orang lain.
Beberapa minggu Budi membuat boneka tangan, ya jadi beberapa tokoh karakter boneka gitu. Budi pun mencoba memainkan boneka tangan buatannya di depan rumah. Yang menonton pertunjukkan Budi, ya Eko dan Abdul, ya teman terbaiknya Budi, ya sama-sama lulusan SMA gitu. Pertunjukkan boneka tangan sekedar hiburan saja. Berbeda dengan pertunjukkan boneka di acara Tv lah.
Isi cerita yang di ceritakan Budi :
Seorang pemuda bernama Sultan pergi dari kota kelahirannya. Pemuda gagah itu mengembara seorang diri. Sudah ratusan kilometer ia berjalan. Bukit, lembah, gurun yang tandus telah ia taklukkan. Ia juga sering menyempatkan singgah di kota-kota yang ia lewati. Suatu hari ia sampai di sebuah tempat yang terpencil. Tempat itu jauh dari kota yang terakhir ia singgahi. Di sekitarnya juga tak tampak ada aktivitas manusia. Yang ada hanyalah hamparan padang pasir yang kering. Namun sebuah bangunan besar dan megah terhampar luas di hadapannya. Sultan penasaran. Ia berjalan mendekat ke bangunan yang menyerupai istana tersebut. Separuh dindingnya terbuat dari marmer hitam yang indah. Sebagian lagi ditutupi dengan baja sehalus cermin.
Sultan takjub melihatnya. Sultan mengelilingi bangunan itu dengan waspada. Ia tak ingin terjebak pada tipu daya jin atau penyihir seperti yang sering diceritakan penduduk di kotanya. Terkadang ada jin atau penyihir yang sengaja membuat perangkap berupa bangunan yang indah. Mereka akan menangkap manusia yang terpedaya untuk tujuan jahatnya. Sultan mendapati sebuah pintu gerbang besar yang sedikit terbuka. Sultan mengetuk-ngetuk pintu gerbang berkali-kali.
“Apa ada orang di dalam?” teriaknya. Namun tak ada jawaban.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Sultan lagi.
Tak ada sahutan sama sekali. Sultan pun memutuskan untuk masuk ke dalam gerbang. Ia berteriak lagi memanggil-manggil orang yang mungkin tinggal di dalamnya. Tapi lagi-lagi tak ada yang menjawabnya. Semakin masuk ke dalam istana, Sultan semakin terpana. Ia melewati halaman yang luas. Di ujung halaman itu ada sebuah aula. Sultan tak sanggup menahan rasa ingin tahunya. Ia segera menuju aula yang terbuka itu. Lantai aula tertutup oleh karpet sutra dan permadani-permadani yang indah. Hiasan-hiasannya terbuat dari emas dan perak. Orang yang tamak pasti akan tergoda untuk mengambil dan memilikinya. Tapi Sultan tak mau melakukannya. Bahkan menyentuh pun tidak. Ia khawatir semua itu juga tipuan dari jin atau penyihir jahat.
Sultan lantas berjalan semakin dalam ke istana. Ia tertegun dengan patung singa dari emas yang mengeluarkan air mancur. Air yang tersembur dari mulut singa itu berubah menjadi berlian dan mutiara saat menyemtuh tanah. Tak lama kemudian berlian dan mutiara itu meleleh lagi menjadi air. Dari sana, Sultan dapat melihat betapa luasnya istana yang dia datangi. Di kanan dan kiri istana itu terdapat taman dengan kolam yang megah, danau, dan hutan kecil. Sultan heran bagaimana bisa ada hutan padahal istana itu dikelilingi oleh gurun yang tandus di luar. Burung-burung bercericit riuh di pepohonan. Mereka tak bisa terbang jauh karena di bagian atas taman dan hutan telah di pasang jaring halus yang hampir tak tampak. Saat mendekati kolam dan danau, Sultan melihat begitu banyak ikan berkecipak di dalamnya. Sayangnya, tak satu pun manusia yang terlihat di sana. Sultan memberanikan diri berjalan lebih jauh ke dalam istana. Sayup-sayup ia mendengar suara tangisan. Sultan mencarinya.
“Aku lebih baik mati saja. Aku sangat tersiksa. Aku tak sanggup hidup lebih lama lagi,” ratap suara itu.
Sultan menemukannya. Ia melihat seorang pria tampan dengan pakaian yang indah sedang duduk di singgasana. Wajahnya sangat sedih. Sultan mendekat dan membungkuk memberi penghormatan. Pria itu juga balas membungkuk. Tapi ia tak beranjak dari singgasananya.
“Tuan, maafkan saya membalas penghormatan Anda dari atas singgasana ini. Saya tak bisa bangkit berdiri. Kumohon Anda mengerti,” ucap pria itu kepada Sultan.
“Tak masalah, Tuan. Anda pasti mempunyai alasan sendiri mengapa melakukannya,” balas Sultan.
“Siapakah Anda? Apakah Anda raja di istana ini?” tanya Sultan.
Pria itu mengangguk sedih dan berkata, “Benar, Tuan. Saya Raja Mahmud.”
“Nama saya Sultan. Maafkan saya telah lancang masuk ke istana Anda. Tadi saya mendengar ratapan dan tangisan Anda yang menyayat hati. Saya datang untuk menawarkan bantuan.”
“Ya, memang saya yang tadi meratap. Andai saja benar Anda dapat membantu saya,” ucap Raja Mahmud.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Raja? Mengapa istana ini kosong dan sepi? Tak ada orang lain selain Anda,” tanya Sultan.
Raja Mahmud menghela napas. Ia pun menyibak jubah indahnya ke atas. Sultan terkejut melihatnya. Ternyata separuh bagian tubuh Raja Mahmud, dari ujung kaki ke pinggang, berupa marmer hitam.
“Jika Anda ingin tahu, inilah mengapa saya tak bisa beranjak dari singgasana ini,” ucap Raja Mahmud.
“Siapa yang melakukan kejahatan ini pada Anda?”
“Ceritanya panjang. Apa Anda mau bersabar mendengarnya?”
“Tentu saja, Raja,” jawab Sultan.
“Ayah saya tadinya adalah raja negara ini. Tempat ini adalah istana, pusat pemerintahan. Sedangkan danau besar yang tadi terlihat di kanan kiri istana tadinya adalah kota tempat rakyat tinggal. Saat berusia enam puluh enam tahun, ayah saya meninggal. Saya menggantikannya. Saya lalu menikah dengan sepupu saya. Saya sangat mencintainya. Saya pikir dia pun mencintai saya.”
Raja terdiam sesaat.
“Suatu siang, saya sedang beristirahat di sofa. Mata saya terpejam, tetapi saya belum tidur. Kedua pelayan yang mengipasi saya bercakap-cakap. Mereka membicarakan istri saya. Mereka bilang istri saya adalah penyihir yang ingin membunuh saya. Selama ini dia hanya berpura-pura mencintai saya. Tentu saya sangat marah mendengarnya. Tetapi saya menahan diri.”
“Lalu apakah perkataan para pelayan Anda benar?” tanya Sultan.
“Saya berusaha membuktikan perkataan mereka. Jika mereka salah dan memfitnah istri saya, mereka akan saya hukum. Saya pun menguji istri saya. Saya sengaja mengajak pelayan kesayangannya berduel pedang. Saya membuat pelayan itu terluka cukup parah. Saya berusaha memancing amarah istri saya.”
“Dia marah dan mengubah Anda menjadi seperti ini?”
“Ya. Dia minta saya membangun sebuah kastil sendiri di taman. Di kastil itu dia ingin menangis dan meratapi keadaan pelayan kesayangannya. Di kastil itu pula si pelayan dia tempatkan. Pelayan itu sudah tak bisa bicara ataupun bergerak, tapi masih bertahan hidup dengan mantra-mantra dari istri saya. Saya meminta istri saya berhenti berduka hanya untuk seorang pelayan. Istri saya sangat marah mendengarnya. Dia pun membuat saya menjadi seperti ini dengan mantranya.”
“Barangkali Anda salah telah membuatnya marah. Tetapi tindakan istri Anda terhadap Anda juga tak bisa dibenarkan,” ujar Sultan.
“Ya. Saya akui saya pun salah. Tapi mungkin cepat atau lambat ia tetap akan berbuat seperti ini kepadaku dan kepada seluruh rakyatku.”
“Apa yang ia lakukan pada rakyat Anda, Raja?” Sultan bertanya lagi.
“Ia mengubah kota menjadi danau. Rakyat diubah menjadi ikan. Ia memantrai setiap benda yang ada di istana ini agar tak seorang pun bisa selamat bila memasuki istana dan mengambil barang-barang berharga dari istana ini.”
“Oh, pantas saya melihat begitu banyak benda mahal berserakan di berbagai ruangan istana.”
“Ya. Saya yakin Anda bukan orang pertama yang masuk istana ini. Tapi mereka yang sebelumnya masuk telah tergoda untuk membawa serta barang-barang bermantra itu pulang. Mereka berubah menjadi burung-burung yang tak bisa terbang keluar dari istana ini.”
Sultan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Raja Mahmud.
“Orang-orang tua di kota saya selalu memperingatkan para pemuda yang akan mengembara untuk berhati-hati terhadap tipu daya jin dan penyihir. Karena itu, tak satu pun benda saya sentuh atau saya ambil.”
“Baguslah. Jika Anda mau, Anda bisa keluar dengan selamat sebelum istri saya datang kemari untuk menyiksa saya,” kata Raja Mahmud sedih.
“Dia masih juga menyiksa Anda?” tanya Sultan merasa geram.
“Begitulah. Setiap hari ia melampiaskan kemarahannya dengan mencambuk saya,” ratap Sang Raja.
Ia kemudian menangisi nasib buruknya.
“Apakah Anda tahu di mana istri Anda dan pelayannya sekarang tinggal?” tanya Sultan.
“Saya tidak tahu di mana istri saya tinggal sekarang. Biasanya ketika malam sudah larut, ia mendatangi saya untuk melayangkan cambuknya ke tubuh saya. Saat matahari terbit, ia pergi ke kastil untuk menengok pelayannya.”
“Raja Mahmud, jika Anda berkenan, saya bisa membantu Anda. Saya memiliki taktik untuk membuat semuanya kembali normal,” ujar Sultan menawarkan bantuan.
Pengalamannya selama mengembara telah menumbuhkan keberanian dan kecerdikan dalam dirinya.
“Sungguh? Tentu saja saya mau. Saya akan sangat berterima kasih pada Anda,” jawab Raja.
“Kalau begitu, Anda harus mengikuti rencana saya.”
“Ya, Saya mau. Kalau boleh tahu, apa yang Anda rencanakan?” tanya Raja Mahmud.
Sultan pun menceritakan rencananya. Setelah itu, Sultan bersembunyi di dekat singgasana. Ia menunggu istri Raja Mahmud datang. Sultan ingin tahu yang mana orangnya dan sebesar apa kemampuan sihirnya. Dengan begitu ia bisa mencari cara terbaik untuk mengalahkannya. Sultan melihat wanita itu datang saat malam telah larut. Seperti kata Raja Mahmud, ia pun marah sambil mengayun-ayunkan tangannya. Setiap tangannya berayun, Raja Mahmud berteriak kesakitan. Rupanya wanita itu menggunakan cambuk yang tak terlihat untuk menyiksa Raja Mahmud. Ketika fajar mulai datang dan matahari kembali bersinar, wanita penyihir itu pergi ke kastil. Sultan mengendap-endap mengikutinya. Ia pun masuk ke dalam kastil.
Sultan mengamati dari kejauhan. Ia ingin memastikan yang mana pelayan kesayangan istri Raja Mahmud. Sultan melihat si pelayan berbaring lemah di ranjang. Kulitnya pucat. Matanya menatap kosong seolah tak ada lagi kehidupan di sana. Istri Raja Mahmud mengajak pelayan itu bercakap-cakap, tetapi tak ada balasan sama sekali. Sebelum ia pergi, ia membacakan mantra untuk pelayan itu. Si pelayan tampak lebih segar setelah dibacakan mantra. Wanita itu kemudian pergi entah ke mana. Sultan terus mengamati. Ia tak mau gegabah. Sudah seharian tak ada yang dilakukan pelayan itu selain berbaring saja.
Saat malam datang, matanya terpejam. Mungkin ia tidur. Begitu fajar tiba, istri Raja Mahmud datang lagi dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Kini Sultan mulai memberanikan diri menjalankan rencananya. Saat istri Raja Mahmud meninggalkan kastil, Sultan mendekati pelayan itu. Si pelayan hanya menatap tajam ke arah Sultan. Ia tak bicara, juga tak bergerak. Sultan pun mengikat dan menyembunyikannya di ruangan lain. Sultan menukar pakaiannya dengan pakaian si pelayan. Ia lantas berbaring di ranjang yang biasa di pakai pelayan. Ia berpura-pura menjadi pelayan istri Raja Mahmud. Sultan menanti fajar dengan cemas. Ia berusaha terjaga semalaman karena khawatir istri Raja Mahmud tiba-tiba datang.
Kemudian ia mendengar langkah kaki. Sultan yakin wanita penyihir itu telah datang ke kastil. Istri Raja Mahmud seperti biasa duduk di sebelah ranjang. Ia tak menyadari kalau yang tidur di ranjang bukanlah pelayannya. Ia bicara lagi seperti biasanya. Ia meminta sang pelayan segera pulih. Ratusan mantra telah dicoba untuk mengembalikan pelayan ke keadaan semula, tapi belum ada yang berhasil. Kali ini ia membacakan mantra lagi.
“Arghh...” erang Sultan yang berpura-pura menjadi pelayan.
“Apakah itu suaramu pelayanku?” tanya istri Raja Mahmud terkejut.
“Ucapkanlah sesuatu. Apakah keadaanmu sudah membaik?” tanyanya lagi.
“Mungkin mantraku kali ini berhasil,” gumamnya.
“Bagaimana saya bisa merasa baik, Yang Mulia?” ucap Sultan lirih.
“Setiap hari saya tak bisa tidur karena terganggu erangan dan ratapan suami Anda.”
Sultan berusaha bicara sepelan mungkin seolah menahan sakit.
“Kau sungguh bisa bicara kembali? Aku senang sekali. Apa yang bisa kulakukan untukmu? Apa kau ingin aku membunuhnya sekarang?”
“Tidak. Anda telah menyiksanya selama ini. Ia telah merasakan penderitaan yang sama dengan yang saya rasakan. Itu sudah cukup. Saya rasa lebih baik Anda mengembalikannya ke bentuk semula. Dengan begitu tak ada suara tangisan yang mengganggu tidur saya lagi,” jawab Sultan bersiasat.
Ia tahu istri Raja Mahmud akan menuruti apa pun permintaannya.
“Baiklah, akan kulakukan untukmu. Sekarang istirahatlah.”
Istri Raja Mahmud tampak senang dengan kepulihan orang yang dia kira pelayannya. Ia lalu mendatangi Raja Mahmud dengan membawa secangkir air. Dia membacakan mantra di atasnya lalu melemparkan cangkir itu ke arah Raja Mahmud. Dalam sekejap tubuh Raja Mahmud yang membatu kembali ke bentuk semula. Raja Mahmud senang. Siasat Sultan berhasil.
“Pergi jauh-jauh dari tempat ini. Jangan pernah kembali atau kau akan berakhir di tanganku!” ancam istri Raja Mahmud.
Ia mengusir suaminya sendiri. Raja Mahmud segera pergi dari tempat itu. Namun ia bersembunyi. Ia tak keluar dari istana. Ia menanti rencana Sultan berikutnya. Ia ingin memastikan apakah rencana Sultan menyelamatkan kerajaannya berhasil atau tidak. Istri Raja Mahmud kembali ke kastil dan menemui pelayannya. Sultan masih berbaring di ranjang dan berpura-pura kesakitan.
“Aku telah mengembalikan Raja Mahmud ke bentuk aslinya. Aku telah mengusirnya keluar dari istana. Apa kau merasa senang?”
“Ya. Tapi aku masih merasa kesakitan.”
“Apa yang membuatmu kesakitan? Katakan.”
“Telingaku sakit sekali. Setiap hari di tengah malam semua orang yang Anda ubah menjadi ikan mengangkat kepalanya keluar dari danau. Mereka terus menangis, melolong, dan menjerit-jerit minta dikembalikan lagi menjadi manusia. Suara mereka memekakkan telinga saya. Sebaiknya penuhi saja permintaan mereka. Dengan begitu telinga saya tak merasakan sakit lagi.”
Sultan kembali bersiasat. Istri Raja Mahmud tersenyum.
“Demi kesembuhanmu, aku akan melakukannya sekarang juga.”
Ia kemudian datang ke danau. Ia ucapkan beberapa mantra di atas danau. Dalam sekejap ikan-ikan berubah menjadi lelaki, perempuan, dan anak-anak. Mereka adalah rakyat kerajaan Raja Mahmud. Rumah-rumah, kedai, dan toko-toko juga kembali seperti semula. Danau yang suram itu kembali menjadi kota yang besar, indah, dan ramai.
“Aku sudah melakukan apa yang kau minta. Apa sekarang keadaanmu sudah semakin baik?” tanya istri Raja Mahmud.
“Saya tak cukup mendengar suara Anda. Telinga saya masih sedikit sakit. Apakah Anda bisa berbicara lebih dekat lagi?” pinta Sultan.
Saat wanita itu mendekat untuk membisikkan ucapannya di telinga Sultan, Sultan langsung bangkit. Secepat mengkin ia meringkus wanita penyihir itu. Sultan menyumpal mulutnya agar tak bisa mengucapkan mantra. Ia mengikat dan membawanya keluar kastil. Sultan berteriak-teriak memanggil Raja Mahmud. Rupanya saat Raja Mahmud sudah terbebas, ia pergi menemui penyihir tua yang tinggal tak jauh dari istananya. Ia ingin meminta bantuan penyihir tua yang bijak itu. Ia membawanya ke istana.
“Ada apa, Sultan? Aku di sini,” jawab Raja Mahmud.
Ia muncul bersama penyihir tua. Kegaduhan itu mengundang perhatian rakyat Raja Mahmud. Mereka berbondong-bondong mendatangi Raja Mahmud.
“Saya telah meringkus istri Anda, Raja. Sekarang saya serahkan kepada Anda. Pelayan istri Anda masih ada di dalam kastil.”
“Terima kasih, Sultan. Anda sangat berjasa bagi saya dan kerajaan ini,” ucap Raja Mahmud.
“Penyihir tua, kumohon hilangkanlah kemampuan sihir istri saya. Tadinya dia memang mempunyai niat jahat pada saya. Tapi perbuatan kejamnya pada saya juga dikarenakan kesalahan saya telah melukai pelayan kesayangannya,” lanjut Raja Mahmud.
Penyihir tua lalu membaca mantra untuk menghilangkan kemampuan sihir istri Raja Mahmud. Wanita itu lantas terkulai lemas.
“Sultan, tolong bawa pelayan istriku kemari. Aku akan meminta penyihir tua ini untuk menyembuhkannya.”
Sultan pun bergegas membopong pelayan istri Raja Mahmud ke hadapan penyihir tua.
“Maafkan saya, Raja. Pelayan ini sesungguhnya sudah tidak hidup lagi. Selama ini ia bertahan seolah-olah hidup karena mantra istri Anda. Ia sudah meninggal. Sebaiknya kita menguburkannya,” ucap penyihir tua.
Mendengar hal itu, istri Raja Mahmud menangis tersedu-sedu karena sedih. Ia sungguh kehilangan orang yang telah melayaninya sejak ia kecil. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Istriku, aku minta maaf atas kesalahanku. Aku telah melukai pelayanmu dan sekarang ia telah meninggal. Tapi bertahun-tahun kau juga telah menyiksaku. Aku telah memaafkanmu atas semua itu. Aku berharap kau menyesali perbuatanmu. Jika kau ingin kembali kepadaku, aku bersedia menerimamu,” ucap Raja Mahmud sambil berlutut mendekati istrinya.
“Ya. Aku minta maaf, Raja. Aku sangat marah kau telah melukai pelayan kesayanganku, tapi aku juga menyesali perbuatanku. Jika kau masih bersedia menerimaku kembali, aku akan memperbaiki diri.”
Raja Mahmud tersenyum. Ia senang istrinya mau bertobat dan kembali lagi padanya. Rakyat bersorak senang atas semua keajaiban yang telah terjadi.
“Saya telah menghilangkan kekuatan sihir Anda. Mungkin Anda bisa belajar lagi. Tapi janganlah Anda gunakan untuk tujuan yang jahat. Menjadi jahat tak akan membuat hati Anda tenang,” pesan penyihir tua. Istri Raja Mahmud mengangguk.
“Dan yang paling berjasa atas semua ini adalah Anda, Sultan. Saya akan memberikan apa pun yang Anda inginkan sebagai balas budi saya.”
“Tak perlu, Raja. Saya sangat senang telah membantu Anda keluar dari situasi sulit yang Anda hadapi. Lagi pula saya harus melanjutkan perjalanan saya,” jawab Sultan.
Sultan memilih pergi dari istana indah yang terbuat dari marmer dan batu mulia itu. Ia tak mengharapkan balasan apa pun. Tetapi saat ia berangkat meneruskan pengembaraannya, Raja memberikan aneka macam batu mulia sebagai kenangan. Seandainya Sultan kehabisan perbekalan, ia bisa menjual batu mulia itu. Dengan begitu dia bisa mendapatkan uang untuk membeli makan dan minuman saat di perjalanan.
***
Budi bercerita dengan boneka tangannya, ya cukup lama dan akhirnya selesai juga gitu. Eko dan Abdul memuji pertunjukkkan boneka tangan Budi dan juga ceritanya. Budi menaruh semua boneka di kotak kardus. Acara selanjutnya, ya ketiganya main kartu remi lah.