CAMPUR ADUK

Tuesday, December 25, 2018

SOLUSI

Kasino lagi sibuk di kantornya mengumpulkan dokumen-dokumen penting untuk mengecek data keuangan perusahaan. Dengan susah payah akhirnya Kasino berhasil menyusun dokumen keuangan dengan baik dan menemukan masalahnya.

"Ternyata uang ini di gunakan untuk liburan saya dan teman-teman. Make uang kantor. Pantes ada kekeliruan dalam hitungan. Untung saja saya tidak menyudutkan anak buah saya untuk di jadikan  tersangka korupsi uang kantor. Kalau gak di kerjakan sendiri mana tahu kalau kesalahannya ada pada saya," celoteh Kasino di kantor sambil duduk minum air teh anget.

Kasino langsung menaruh dokumen ke dalam lemari penyimpan berkas dan di atur waktu pengecekannya agar tidak salah dalam memeriksa dokumen keuangan. 

Dono baru pulang dari main ke rumah Wulan langsung mendatangi kantor Kasino. Kebiasaan Dono ngelonong dan langsung duduk di sofa. Kasino terkejut dengan ulah Dono yang sedikit ngaur.

"Dono.....kalau masuk ruangan saya ketuk pintu dulu. Alias permisi. Kaya tidak di ajarkan totokromo," kata Kasino tegas.

"Sorry.....Kasino. Saya lancang. Abisnya saya sedikit jenuh aja," kata Dono.

Kasino pun duduk di sofa.

"Tolong ceritakan masalah kamu? Semoga saya bisa memberi solusi yang baik untuk kamu!" kata Kasino dengan tutur kata  yang baik.

"Masalahnya gak begitu rumit. Tetap masalah tentan tsunami di Banten dan Lampung kok bisa terjadi pada hal tidak ada getaran gempa dari gunung berapi Anak Krakatau?" Dono mulai bertanya.

"Ah....masalah itu sih di buat gampang aja. Lokasinya di perhitungkan dulu. Kejadian bencana Banten dan Lampung itu kenanya di pinggir pantai. Kenapa begitu? karena ketika air laut pasang udara bertiup kencang dan menciptakan gelombang besar yang hampir setinggi pohon kelapa. Langsung menghancurkan pesisir pantai. Padahal tempat tersebut memang rawan untuk di kelola. Karena dekat dengan proses dari gejala alam yang biasa," penjelasan Kasino.

"Jadi........bisa saja bencana Banten dan Lampung itu bukan tsunami seperti di aceh." kata Dono.

"Mungkin saja. Benar atau gaknya kan ada orang yang ahli dibidangnya yang menangani persoalan bencana," kata Kasino.

"Jadi kemungkinan besar bisa terjadi bencana alam susulan. Karena tidak bisa memperhitungkan gejala perubahan alamnya," kata Dono.

"Itu tahu. Tidak bisa memperhitungkan gejala perubahan alamnya. Ya harus bisa berjaga-jaga jangan sampai lengah. Kalau lengah lagi ya.......bencana datang tidak bisa terhindari," kata Kasino.

"Berarti saya harus terus waspada. Kalau begitu rumah saya di pinggir pantai lebih baik saya jual. Karena kalau di perhitungkan dari lingkungannya masuk kawasan rawan bencana. Ketika air laut pasang saja dengan cuaca biasa saja sudah dekat rumah....... ombaknya. Kalau begitu saya tinggal di rumah kamu aja Kasino biar aman," kata Dono.

"Kalau kamu sudah memutuskan begitu. Ya...saya siap menolong kamu. Demi keselamatan teman baik saya," kata Kasino.

"Saya permisi dulu Kasino. Mau beres-beres pindah. Demi keselamatan saya."

"Ok...."

Dono pun keluar dari kantor Kasino menuju rumahnya di pinggir pantai daerah Banten. Kasino merasa lelah dan lapar setelah membereskan pekerjaannya. Lalu Kasino keluar makan siang di kafe Milenia tidak jauh dari kantor cuma jalan kaki hemat biaya. Sekalian godain pelayan cantik kafe Melienia  yang bernama Dewi Persik.


Karya: No

LIBURAN

Dono datang ke kota London dan duduk di taman kota. Dono melihat tingkah semua manusia yang mengejar mimpi mereka semuanya demi diri dan keluarga. Dono sedikit gusar apa yang dilihatnya? Dan  berusaha untuk menangkan dirinya. Dono bergerak dari duduk dan lupa menyandang tas ranselnya. Langkah kakinya pasti sedikit membosankan.

"Masa depan ada di tangan saya. Belajar dan belajar sampai jenuh. Yang terlihat kenyataannya dunia tetap membangun dirinya dengan tangan-tangan manusia yang menciptakan teknologi," celoteh Dono.

Dengan kemampuan sihirnya Dono langsung pindah ke Jakarta dengan ruang demensi waktu. Langsung masuk ke dalam rumahnya yang tua tapi nyaman. Dono langsung bersantai di sofa tua dan tak lupa mengambil makan kecil dan minuman yang segar dari kulkas.

"Hidup lebih nikmat di rumah sendiri dari pada di negeri orang," celoteh Dono sambil mengunyah makannya dan setelah itu minum.

Indro pun dateng melewati pintu depan tidak menggunakan sihir seperti Dono. Indro langsung duduk bersama Dono.

"Dono...seharian ini kemana kamu?" tanya Indro.

"Main...ke kota London," jawab Dono dengan tenang.

"Gimana pendapat mu dengan kota London. Sama dengan film yang menceritakan kota London dengan penuh drama cinta?" tanya kembali Indro.

"Sama....aja. Manusia juga di sana. Tidak ada bedanya," kata Dono sambil makan-makanan kecilnya.

"Kalau begitu saya gak jadi lah ke London. Lebih baik ke Bali aja. Toh sama aja yang saya temui. Orang asing alias bule," kata Indro.

"Benar sekali. Jangan jauh-jauh mainnya. Lebih baik di negeri sendiri gak ngabisin biaya," kata Dono.

"Benar Dono. Nyari pekerjaan di negeri ini susah. Eh malah di tuntut menciptakan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran. Sedang kamu enak Dono. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya adalah penyihir. Jadi bisa menggunakan sihir perpindahan ruang dan waktu. Bisa sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan lebih banyak waktu menikmati keadaan sekitar," kata Indro yang menjelaskan ditel siapa Dono.

"Ya...ada enaknya jadi penyihir. Ada juga gak enaknya. Di buru oleh penyihir jahat demi darah dan buku mantra kuno yang di wariskan pada saya," 

"Kalau begitu. Pandai-pandai menjaga diri Dono."

"Terima kasih...Indro atas perhatiannya."

Indro beranjak dari duduknya, lalu mengambil sebuah dokumen di meja dekat Tv. 

"Indro...mau berangkat kerja lagi?" tanya Dono.

"Ya....lah. Hidup di kota Jakarta di tuntut untuk kerja keras apa bedanya di kota London." jawab Indro.

Indro pun keluar dari rumah. Dono pun membereskan makan dan minumnya dan sampah di buang di tong sampah. Segeralah Dono pergi ke rumah Wulan dengan kemampuan sihirnya. Tapi saat Dono sampai di rumah Wulan di balik pohon. Melihatlah dengan kepala Dono. Seseorang yang bertamu ke rumah Wulan. Rasa cemburu di hati terbangun dalam diri Dono. Seorang pemuda kelihatan baik dengan Wulan dan lembut sekali dari cara bicara dan tingkah lakunya. Ternyata pemuda tersebut meminta Wulan menjadi pasangan hidupnya.

Selang waktu menunggu akhirnya pemuda yang baik itu bernama Joko akhirnya pulang juga. Dono langsung menggunakan sihirnya ke dalam kamar Wulan.

Sangking terkejutnya Wulan melihat Dono yang sedang nyantai di kasur tempat tidurnya.

"Mas Dono....kenapa masuk rumahnya dengan cara lancang gini?" tanya Wulan sambil mendekati Dono.

"Abisnya kamu cuekin saya demi cowok yang bertamu ke rumah ini," kata Dono dengan cembetut.

"Jadi mas Dono cemburu toh. Jadi khawatir dengan kesetian Wulan," 

"Bisa...jadi. Zaman sekarang cewek bisa menduakan hatinya," kata Dono mulai sedikit menyudutkan.

"Jadi mas Dono menyamakan Wulan dengan cewek-cewek yang tidak bisa menjaga komitmennya?" kata Wulan dengan tegas.

"Wajarkan saya punya pikiran itu. Tapi gak usah di pikirkanlah. Saya masih memberikan kebebasan pada kamu. Dan tidak mengekang kamu hanya urusan cinta. Toh kamu bukan istri mas Dono," kata Dono yang terlalu santai banget.

Mendengar kata-kata itu Wulan diam seribu bahasa. Lalu Dono pun mengajak Wulan untuk pergi liburan ke Bali. Rasa senang timbul di dalam hati Wulan dan melupakan segala penat di dalam dirinya. Dono pun membawa Wulan dengan kekuatan sihirnya sampai di Bali dan langsung memesan kamar di hotel untuk dua orang. Tapi ternyata Wulan ingin satu kamar bersama Dono.

Awalnya Dono senang dengan permintaan Wulan satu kamar. Karena teringat perkataan Ayah dan Ibu "Jangan satu kamar dengan wanita sebelum kamu menjadikan dia istri kamu." 

Dono menolak permintaan Wulan dan memesan dua kamar hotel. Sedangkan Wulan sedikit murung karena perasaan dia sedikit khawatir tinggal sendirian di kota lain. Walaupun Wulan tahu Dono di sebelah kamarnya. Perasaan gelisah itu pun hilang di hati Wulan dengan tingkah Dono yang selalu menghibur Wulan. 

Liburan di Bali pun menjadi luar biasa karena Dono di temani kekasih hatinya yang satu saat menjadi istrinya kalau Tuhan menghendaki. 


Karya: No

DAN, NARKOBA MERENGGUTNYA

Semoga Tulisan ini membawa manfaat bagi semuannya. Baik orang tua, murid, juga guru. Ini merupakan kenangan terburuk dalam hidupku. Yaitu, tentang seorang siswa terbaikku yang harus yang harus meninggalkan kami semua karena ketidaktahuan lingkungannya. Ya. Ia meninggal karena overdosis obat terlarang. Kini, ia memang telah bisa menjadi hikmah bagi orang yang ditinggalkannya.

Adalah Albin, siswa jenius yang tidak ada bandingannya di sekolah. Berkali-kali ia mengharumkan nama sekolah hingga tingkat internasional. Kami semua bangga dengannya. Anaknya pun luar biasa. Di usianya yang masing semuda itu, ia mampu membuktikan kebanggaan orang tuanya. Anaknya cerdas, suka menolong ramah dan pandai sekali bergaul. Tak heran, semua merasa memilikinya. Bahkan aaku sendiri pun merasakan kekaguman.

Begitu besarnya kepercayaan kami padanya. Tak pernah terbersit dalam hati kami musibah ini akan melanda. Tak terbersit dalam hati kami, siswa setangguh dialah yang menjadi korban keganasan narkoba.

Tak seperti biasanya, Albin tampak gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Aku menanyainya. Ia hanya mengatakan karena ingin ke kamar mandi. Aku tersenyum bangga. Dasar anak pandai. Sudah gelisah mau ke kamar mandi pun masih ditahan karena ingin tetap belajar. Aku menyuruhhnya ke toilet.

Ia segera bergegas ke toilet. Aku memberi tugas anak-anak. Aku juga memberi kesempatan pada siswa yang akan ke toilet. Ada beberapa siswa yang juga ternyata ingin ke tempat yang sama. Beberapa saat kemudian. Anak-anak mulai kembali. Namun, Albin belum juga kembali. Dan kini, ia telah tampak segar bugar dengan mata yang bersinar-sinar. Aku melanjutkan pelajaranku.

Belakangan terungkap juga hal yang sama dialami oleh guru yang lain.Tapi semuanya tak pernah menyangka kegelisahan itu akibat dari sakaw. Saat ia ketagihan obat terlarang itu. Kini, Albin lebih banyak menyendiri. Kami pun tak memahami hal itu. Kami mengira itu salah satu sifat anak jenius yang memiliki pemikiran lebih dari teman-temannya. Sebab, tentu saja ia kesepian karena di tempat aku mengajar merupakan sekolah terbaik di kotaku. Dan Albin lebih jenius dari pada mereka semua. Aku mengharapkan dia mendapat pengajaran yang lebih tinggi lagi. Sebab, sangat disayangkan jika bakatnya itu terpendam begitu saja karena ia hidup mendahului jamannya.

Kami tak menyangka sama sekali bahwa itu salah satu sikap dari pecandu narkoda. Ia akan tiba-tiba menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Sama sekali tak terbesit dalam angan-angan kami. Bahkan saat penerimaan rapor, ia tetap menunjukkan yang terbaik. Orang tuanya pun tak pernah alpa mengucapkan terimakasihnya pada kami para guru dan semua warga sekolah yang mendukung putera tunggalnya itu sehingga menjadi yang terbaik.

Mengenai sikapnya yang tiba-tiba pendiam, orang tuanya pun sempat mengungkapkan padaku. Menurut mereka, Albin sering sekali mengurung diri di kamar selama berjam-jam. Bahkan sering juga telat makan.

Kadang Albin tampak gelisah. Keringatnya bercucuran. Ia menelepon seseorang. Setelah orang itu datang dan mereka berkomukasi entah apa, anaknya menjadi tenang bahkan tampak sangat bersemangat. Mereka menganggap hal itu aneh sekali. Aku berusaha bijaksana dan menerangkan bahwa Albin adalah anak yang memiliki kecerdasan istimewa. Mungkin saja ia merasa dalam batas tertentu sudah tidak ada lagi yang mampu mengimbangi kecerdasannya. Sehingga ia memilih untuk menyendiri. Bahkan, pada orang tuanya aku menyarankan agar putranya itu diberi ruang untuk mengekspresikan diri.Orang tuanya mengangguk tanda mengerti.

Hal berganti dan waktu pun berlalu. Anak itu tampak semakin layu. Badannya kini semakin kurus. Matanya tampak cekung. Mukanya juga pucat. Aku terkaget-kaget atas kenyataan yang tidak pernah terduga sebelumnya. Sedemikian tersiksanyalah ia karena tak ada anak yang bisa menandingi kecerdasannya? Aku berinisiatif untuk memanggil orang tuanya.

Kami pun bertemu. Tak ada perasaan curiga sedikitpun. Sebab, Albin selalu menyatakan dirinya baik-baik saja. Bahkan memang ia tak pernah mengeluh. Menurut orang tuannya, badan Albin kurus karena ia masih masa pertumbuhan. Dan ayahnya dulu juga kurus seperti Albin sekarang ini. Aku berusaha memahami hal ini. Dalam pertemuan itu, aku menyatakan bahwa diriku sangat bangga atas perhatian orang tua Albin. Betapa anak itu sangat beruntung memiliki orang tua seperti mereka berdua. Orang tuannya juga menyatakan bahwa Albin sangat beruntung memiliki guru seperti aku.

Beberapa bulan setelah itu, aku mendapati kenyataan yang sangat mengejutkan diriku. Nilai Albin mendadak drop. Seperti tak ada lagi bekas-bekas kejeniusan di otaknya. Aku menyadari hal ini ketika Pak Mora mengatakan hal itu. Aku mengira semua ini karena kebetulan saja. Namun, beberapa guru juga mengadukan hal yang sama. Sampai pada saat ulangan pelajaranku, apa yang mereka katakan terbukti sudah. Albin mendapatkan nilai terendah di kelas.

Aku seperti limbung. Aku tak tahu harus berkata apa. Yang aku lakukan adalah melayangkan surat kepada kedua orang tuannya untuk  memecahkan masalah ini. Bagiku ini merupakan sesuatu yang sangat serius. Aku tak ingin hal yang lebih buruk menimpa murid kesayangan sekolah ini. Namun, tak seperti biasanya, suratku tak mendapat tanggapan sama sekali. Naluriku mengatakan ada suatu hal yang tidak beres terjadi.

Oleh karena itu, aku berinisiatif untuk menelepon rumahnya. Yang pertama kali diterima oleh pembantunya. Ia mengatakan bahwa orang tua Albin sedang ke luar kota. Minggu depannya aku menghubunginya lagi. Aku menyatakan bahwa telah beberapa kali mengirim surat namun tak pernah ada respons. Apalagi hari ini Albin juga tak masuk sekolah. Ibunya terkejut dan berjanji akan menemui aku segera.

Keesokan harinya, ibunya menemuiku. Kami bercerita panjang lebar tentang Albin. Yang membuat aku terkejut adalah pernyataan ibunya, bahwa Albin sekarang telah berubah. Ia selalu meminta uang jajan lebih. Bahkan beberapa barang elekronik dan perhiasan ibunya raib entah ke mana. Menurut Bi Yem, pembantunya, barang-barang itu dijual Albin. Aku menangis sedih. Sebenarnya ada apa dengan Albin.

Aku mendapat ide untuk menghubungi temanku. Seorang psikolog. Aku berbicara panjang lebar tentang apa yang menimpa siswaku ini. Jawabannya membuat aku seperti tersambar petir: kemungkinan Albin telah terkena narkoba. Tanganku gemetar hingga telepon terjatuh dari genggamanku. Aku sering sekali mendengar nama itu. Aku tahu kalau barang haram itu berbahaya. Aku tahu itu merusak masa depan dan segala-galanya. Namun, aku tak pernah tahu wujud dan tanda penggunanya. Aku shock luar biasa. Ibunya juga mengalami  hal yang sama denganku.

Saat itu juga, kami mendengar kabar yang sangat seakan membuat dunia runtuh. Albin telah meninggal akibat overdosis. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit setelah ditemukan oleh Bi Yem. Ini merupakan luka sejarah dalam hidupku.


Karya: Shuniyya Yusuf

SATE NANGKA

Nano dan Andi bermain ke rumah Nek Haris. Mereka memang suka ke sana sambil menemani Nek Haris yang hanya tinggal sendirian. Ketika sampai di situ, Nano melihat ada buah nangka yang sudah masak.

"Nangkanya tidak dijual saja, Nek?" tanya Nano pada Nek Haris.

"Nenek menunggu Bah A Hong. Dia biasanya datang ke sini dan membayar seribu rupiah setiap bauhnya!" jawab Nenek.

"Buah sebesar itu cuma seharga seribu rupiah, Nek" Adi membelalakkan mata.

"Harga di pasar mungkin bisa lebih, Di! Tetapi nenek sudah tidak kuat menurunkan buah itu dan membawanya ke pasar. Masih ada orang yang mau datang membeli di sini saja sudah untung!" kata Nenek lagi. Nadanya pasrah dan menerima apa adanya saja.

"Hm....kau boleh, kami akan menjualnya, Nek! Pokok, paling sedikit nenek dapat tiga ribu rupiah. Boleh, Nek?" tanya Adi.

Nek Haris tampak menimbang-nimbang, "Boleh saja. Asal nanti kalian tidak dimarahi orang tua kalian. Nenek juga khawatir kalau mereka marah pada nenek. Karena menyangka nenek menyuruh anak orang berjualan! sahut Nek Haris sambil menatap kedua bersahabat itu.

"Beres, Nek! Ini kan, pekerjaan halal. Tak mungkin orang tua kami marah! kata Adi penuh semangat.

Adi dan Nano lali membawa buah nangka tersebut dengan karung goni ke rumah Nano.
"Kamu macam-macam saja, Di! Di mana kita akan menjual nangka ini dengan harga tiga ribu atau lebih?" Nano berkata.

"Tenang, No! Aku ada akal. Kita buat sate nangka. Musim kemarau belum habis. Pasti akan habis tandas bila kita jual di pasar atau terminal!"

Adi dan Nano lalu membelah buah nangka itu. Isinya disayat, lalu bijinya dikeluarkan. Nano menyiapkan batang-batang lidi. Buah nangka yang bijinya sudah dikeluarkan, ditusuknya dengan lidi. Satu batang lidi berisi empat atau lima buah nangka.

Satu jam kemudian, Nano dan Adi sudah menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate nangka ditutup plastik bening. Mereka berjalan menuju terminal bis dan angkot yang menghubungkan kampung mereka dengan kota.

Sekejap saja, sopir-sopir dan kernet mengerumuni dagangan Adi dan Nano itu. Setusuk dijual dua ratus rupiah. Nangka Nek Haris ini memang manis dan lezat.  Di terminal itu saja, dalam waktu singkat, sudah habis tiga puluh tusuk.

"Enam ribu rupiah sudah di tangan. Kita bawa pulang saja nangka ini!" ajak Adi.

Mata Nek Haris berkaca-kaca menyambut kedua anak itu.

"Nek, ini hasilnya!" Nano menyerahkan hasil dagangan mereka kepada Nek Haris.

"Wah, wah, banyak betul, Adi, Nano!" ucap Nek Haris lirih. "Nenek akan mengambil empat ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian berdua. Nangka yang bisa ini untuk adik-adik kalian!" lanjut Nek Haris lagi.

Adi dan Nano saling menatap.

"Engg.....kami tidak terlalu memerlukan uang, Nek. Nenek pasti lebih perlu. Kami membawa nagka yang tersisa ini saja!" Nano berkata tergagap. Nek Haris menggeleng. 

"Tidak. Empat ribu rupiah sudah lebih dari cukup. Ingat, biasanya nenek cuma dapat seribu rupiah. Kalian memang hebat. Banyak akalnya. Nah, sepantasnya kalian mendapat juga hasil dari penggunaan akal kalian ini!" Nenek terus memaksa mereka.

"Baiklah, Nek! Terima kasih banyak kalau begitu!" ujar Adi akhirnya. Ia tak mau mengecewakan nenek yang berniat baik ini.

"Nanti kalau ada yang matang lagi, boleh kalian jual!" pesan Nek Haris ketika Adi dan Nano hendak pulang.

Dalam perjalan pulang Nano berkata, "Tabungan kita tambah lagi, Di! Ditambah lagi dengan sate nangka yang manis-manis dan lezat ini!"

"Berbuat kebajikan, memang selalu ada buahnya, No!" tukas Adi.


Oleh: Yusniar

CELENGAN AYAM

Celengan ayam itu kutimang-timang. Terasa berat di tanganku. Mungkin sudah ada beratus-ratus uang logam dan lembaran ribuan di sana. Mungkin juga sudah cukup untuk membeli playstation impianku. Tapi...kembali terngiang ucapan ibu tadi siang. 

"Yan, bagaimana menurutmu kalau celengan ayammu tidak usah kamu gunakan untuk membeli playstation?" ucap ibu lirih.

"Lalu mau digunakan untuk apa, Bu?"

"Ibu mempunyai rencana untuk memperluas kios kita dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Kamu mengerti maksud ibu bukan, Yan?"

"Iya, Bu."

Ah seandainya saja ayah masih ada. Tentu ibu tidak perlu bersusah payah membuka kios seperti itu. Seandainya saja....

Dengan pelan-pelan kuelus celengan ayam itu. Ada rasa sayang untuk merelakan satu-satunya benda yang kumiliki itu.

Celengan yang kumiliki sejak kelas VII SMP. Setiap hari aku mengisinya dengan uang saku yang diberikan ayah. Sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya menjadi seberat ini. Haruskah kubuka celengan itu untuk kuberikan pada ibu?

Sekelebat wajah ibu membayang di pikiranku. Aku kasihan padanya. Sejak ayah meninggal. Ibu terlihat semakin bertambah tua, mungkin karena beban berat yang harus ditanggungnya. Kubulatkan niatku untuk merelakan celengan ayam itu.

Untuk terakhir kali kuelus celengan itu. Selamat tinggal playstasion. Perlahan kuangkat celengan itu dan kabanting ke lantai. Pyaar...... Celengan itu pecah berkeping-keping. Uang logam dan lembaran uang kertas berserakan di lantai. Kupungut satu per satu untuk kuhitung.
........................................................................................

KEMARAU

Para petani semakin merasa berputus asa karena musim kemarau panjang yang sedang menimpa negeri ini. Sawah dan ladang mereka sangat kering dan cuaca panas sangat menyengat tubuh. Keadaan itu membuat mereka tidak mau lagi mengolah sawah atau mengairi sawah mereka. Mereka hanya bermalas-malasan dan bermain kartu.

Namun, ada seorang petani yang tidak ikut bermalas-malasan. Ia adalah Sutan Duano. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia tetap mengairi sawahnya dengan mengankat air dari danau yang ada di sekitar desa mereka sehingga padinya tetap tumbuh. Ia tidak menghiraukan panas matahari yang membakar tubuhnya. Ia berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Ia juga berusaha memberikan ceramah kepada  ibu-ibu yang ikut dalam pengajian di surau desa mereka. Namun, tak satu pun petani yang menghiraukan ceramahnya, apalagi mengikuti langkah-langkah yang dilakukannya. Tampaknya, keputusasaan penduduk desa telah sampai pada puncaknya.

Suatu hari ada seorang bocah kecil bernama Acin yang membantunya mengairi sawah sehingga keduanya saling bergantian mengambil air di danau dan mengairi sawah mereka. Penduduk desa yang melihat kerja sama antara keduanya bukannya mencontoh apa yang mereka lakukan, melainkan mempergunjingkan dan menyebar fitnah, bahwa Sutan Duano mencoba mencari perhatian Gundam, ibu si bocah itu, yang memang telah menjadi janda. Bahkan, seorang janda yang menaruh hati kepada Sutan Duano pun kemudian mempercayai gunjingan itu. Gunjingan itu semakin memanaskan telinga Sutan Duano, tetapi ia tidak menanggapinya dan tetap bersikap tenang.

Suatu hari ini ia menerima telegram dari Masri, anaknya yang sudah dua puluh tahun disia-siakannya. Ia diminta untuk pergi ke Surabaya. Dalam hatinya, ia ingin bertemu dengan anak semata wayangnya itu, namun ia tidak mau meninggalkan si bocah kecil yang masih memerlukan bimbingannya. Setelah mempertimbangankan masak-masak, ia pun memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Sementara itu, para penduduk desa merasa kehilangan atas kepergiannya. Apalagi setelah mereka membuktikan bahwa semua saran yang diberikan olehnya memberikan hasil. Mereka menyesal telah salah sangka terhadapnya.

Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, Sutan Duano pun berangkat ke Surabaya. Namun, sesampainya di kota tersebut, hatinya menjadi hancur ketika ia bertemu dengan mertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia marah kepada Iyah karena telah menikahkan dua orang yang bersaudara. Karena marahnya itu, Sutan Diano mengancam akan memberitahukan kepada Masri dan Arni. Namun, Iyah berusaha menghalanginya dengan memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kalau saja Arni tidak menghalanginya, kemungkinan besar Sutan Duano tidak akan selamat.

Melihat mantan suaminya bersimbah darah, Iyah merasa menyesal. Kemudian ia memberitahukan kepada Arni bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Ia kemudian menceritakan hal itu kepada suaminya, sehingga mereka sepakat untuk berpisah. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam.


Karya: A.A. Navis.

MENCOBA SESUATU

Seperti biasanya Erwin pergi kuliah di salah satu Universitas Kota Batam. Biasa anak perantauan dari pulau jawa ikut kakak berjualan nasi goreng. Impian Erwin satu merubah nasif garis orang miskin dengan sejuta mimpi. Kisah pun dimulai.....................!!!!!!

Hari itu Erwin bergegas untuk pergi kuliah.

 “ sial banget udah siang,” kata  Erwin.

“kenapa kamu, Er kayak banyak masalah?,”  tanya Kak Tino.

“ada urusan mendadak, mana kunci motor ya kak,” tanya Erwin.

“gak tahu lah, kamu yang make taruhnya sembarangan jadi bingung lah,” ujar Kak Toni.

“oh, di meja depan. Ahh ini dia,” kata Erwin senang.

“ Erwin gimana kerjaan mu ini, barang dagang  belum beres ini,” kata Kak Tino.

“nanti aja kak, ini masalah darurat militer. Bahaya banget udah lampu merah masalahnya,” penjelasan Erwin.

“pasti urusan Lia....kan,” ujar Kak Tino.

“bisa ia, bisa juga ia yang terpenting  ada kerjaan,”  kata Erwin.

“awas jalan kerjaan salah,”  ancam Kak Tino.

“beres lah Kak....ya udah dulu Asalamualaikum,” salam Erwin.

“walaikumsalam,” jawab Kak Tino.

Erwin menghampiri motor yang cukup bagus hasil dari kerja kerasnya. Mulailah Erwin menghidupkan motornya tapi tidak lupa helm untuk keamanan. Segera Erwin membawa motornya  ke suatu daerah yang di tujunya. Dengan kecepatan standar melaju kendaraannya. Selang beberapa saat sampailah ke tempat  Lia. Terlihat mimik wajahnya Lia yang kesel.

“ Asalammualaikum wahai gadis cantik,” salam pujian dari Erwin.

Rasa kesel itu melumer terlihat senyum manis dan pipinya merona. “ kak bisa aja,  adek jatoh dalam gombalan kak,” ujar Lia.

“Lia dan Erwin cepet pergi kuliah sana  malah pacaran,” kata Bapak Lia dengan Kasar.

“Bapak biar aja, namanya anak muda,” sahut Ibu Lia.

“gak pantes di lihatin tetangga,” tegas Bapak Lia.

“ya udah cepetan kalian pergi kuliah, biar ibu ademin Bapak  di dalem. Kamu juga Win datang telat, jadi ruet.”

Dengan menunduk malu Lia naik kendaraan Erwin dengan mengucap salam keduanya meninggalkan kediaman rumah Lia. Dengan penuh kehati-hatian mengendarain motor di jalan raya. Erwin memberikan kenyamanan bagi sang kekasih yang dibawanya di jok belakang. Hidup indah tetap saja waktu begitu cepat. Erwin dan Lia sampai di Kampus.

CINTAKU

Matahari perlahan menghilang, berganti dengan langit malam yang gelap. Amel masih saja tersenyum menatap langit, berharap esok akan menjadi hari yang indah untuknya. Hari itu Amel baru saja menerima hasil raotnya, dan hasilnya memang cukup memuaskan. Seusai janji ayahnya sebulan yang lalu, liburan kali ini mereka akan pergi ke pantai. Pantai mutun lah yang menjadi pilihan mereka. Pantai yang terletak tidak jauh dari pusat kota Bandar Lampung, kurang lebih 25 km arah barat daya dari kota Bandar Lampung. Tepatnya di daerah Kabupaten Pesawaran. Jelas saja ini tempat yang  paling Amel tunggu-tunggu, karena pemandangan di pantai mutun ini sangat indah. Disana juga ada jasa pengantaran wisata ke Pulau Tangkil dengan perahu, jenisnya perahu sampan, yang bisa memuat 10 sampai 15 orang. Disana juga banyak arena permainan. Mengingat pantai mutun yang begitu helau, Amel semakin tidak sabar untuk menginjakkan kakinya di tengah-tengah ombak yang deras.

Dengan semangatnya Amel berlari menyusuri anak tangga. Wajahnya ceritanya selalu terpancar begitu indah. Amel menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk berdua di meja makan. Walau mereka duduk berdua, tapi mereka tak saling menatap, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan. Amel yang masih bertingkah lucu mencium pipi bundanya. Tap tidak seperti biasanya, bundanya tidak memberikan respon apapun. Kini Amel menatap ayahnya, berharap mendapat jawaban.Tapi hasilnya sama, ayahnya bahkan tidak menoleh sedikit pun. Amel mengerutkan dahinya dan bertanya.

"Ayah dan bunda kenapa? kok diem aja?" suara khas Amel mendengar.

Masih tak terdengar suara, kecuali suara Amel yang bertanya. Tidak lama kemudian ayahnya pun bicara.

"Amel, hari ini kita nggak jadi pergi ke pantai."

"Ngapi bak?" wajah Amel terlihat lesu, dan kini logat Lampungnya pun keluar. Amel memang orang asli Lampung, karena itulah kedua orang tuanya terkenal sangat keras.

"Bak lagi lamon ukhusan," jawab ayahnya singkat.

"Tapi yah, ayah kan udah janji."

Tanpa menjawab apa pun, ayah Amel meninggalkan meja makan, dan pergi dari rumah.

Amel memang sudah cukup dewasa, bahkan bulan denga Amel genap berumur 17 tahun. Tapi ayah bundanya masih menganggap Amel tidak perlu mengetahui urusan mereka. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah terlihat semenjak dua minggu yang lalu. Orangtua Amel lebih sering makan di luar, jadi jarang pulan, apa lagi bertemu Amel. Tapi masih belum nampak jelas apa pokok dari permasalahan mereka.

***

Tiga hari berjalan, liburan Amel masih di penuhi masalah yang sama. Bahkan kini bunda Amel sering terlihat murung. Terdengar suara pintu yang terbuka, Amel lalu bergegas melihatnya. Ayah Amel pulang dengan wajah yang lelah. Amel masih menerka-nerka apa yang membuat ayahnya seperti itu. Mungkin karena pekerjaan yang begitu melelahkan. Amel hanya bisa memandang ayahnya yang perlahan menaiki tangga, membuka pintu kamar dan membantingnya. Amel mendekat dan berjalan perlahan menuju kamar ayahnya, mendekatkan telinganya di depan pintu, berharap dapat mendengar suara ayahnya yang begitu jelas memaki bunda. Pertengkaran orang tua yang seharusnya tidak Amel dengar. Amel berniat pergi, tapi sebelum Amel benar-benar melepaskan telinganya dari pintu, Amel mendengar kata cerai dari ayahnya. Sontak Amel kaget, menggelengkan kepalanya, menandakan dia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Perlahan berjalan mundur, namun Amel menyenggol guci dan memecahkannya. Kini di dapatkan bola mata Amel mengeluarkan setetes embun dan pecah di sudut kelopak matanya. Amel berlari kencang di dalam kamarnya, berharap tidak ada yang melihatnya menangis, bumi telah meneteskan air matanya, seakan mengerti betapa terpukulnya Amel saat ini.

"Kenapa harus seperti ini?!!!" teriak Amel di sela isak tangisnya.

***

Kini Amel lebih memilih untuk mengurung diri. Setelah apa yang dia dengar beberapa hari yang lalu, kini menjadi kenyataan. Ayah dan bundanya kini benar-benar bercerai. Amel masih tinggal bersama bundanya, tapi seperti hanya tinggal sendiri. Rumah yang dulu ramai dengan suara keluarga kecil itu, kini menjadi hampa. Bunda Amel hanya mengurung diri di kamarnya, tidak mau keluar kamar, tidak mau makan, bahkan sekedar duduk berdua bersama Amel sudah tidak pernah. Terlihat raut wajahnya yang sedih tatapannya yang kosong seperti tidak ada gairah hidup, miris melihatnya.

Rasa untuk kini mendera hati Amel. Terfikir begitu saja di benak Amel, dia ingin menghilangkan penat atau masalah-masalahnya saat ini. Dia putuskan untuk keluar rumah, walau belum tau akan kemana. Saat Amel tepat di depan pintu, Amel terkejut saat melihat pintu yang telah terbuka. Dia arahkan pandangannya ke setiap sudut rumah, khawatir kalau ada maling yang masuk. Takut terjadi sesuatu pada bundanya, Amel langsung lari terengah-engah menaiki tangga yang lumayan tinggi. Mencari bundanya di kamar, tapi tak di dapati siapa pun di sana. Amel semakin panik, karena tak seperti biasanya bunda keluar tanpa bilang apa-apa padanya.

Berlari di bawah teriknya matahari yang menyengat tanpa alas kaki. Sungguh panas terasa seperti menjalar di seluruh kakinya. Tapi rasa lelah dan panas itu tidak berpengaruh, rasa khawatir yang dirasakan Amel, membuat dia tak merasakan itu semua.

"Bunda....bunda dimana?" teriak Amel yang kini sampai di ujung jalan.

Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya Amel melihat bundanya yang sedang duduk di pinggir jalan. Termenung pemandang taman yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Taman itu adalah taman kenangan bagi mereka, dulu di taman itu mereka menghabiskan waktu libur bersama. Amel sangat mengerti kalau bundanya merindukan saat-saat seperti dulu, tapi Amel sendiri pun tak tahu apa yang dapat dia lakukan untuk bunda. Jalanan terlalu ramai,

terlalu lama untuk menyebrang ke sana, Amel memanggil-manggil bundanya.

"Bunda!!Bunda!!" teriakan khas suara Amel itu mengagetkan bundanya. Entah apa yang bunda fikirkan saat itu, tapi setelah melihat Amel yang berlari mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya. Bunda Amel berlari tanpa melihat arah, sampai tidak menyadari kalau dari arah berlawanan ada sebuah mobil. Mobil itu melaju begitu cepat, hingga tak sempat berhenti saat bunda Amel tiba-tiba muncul di depannya.

***

Kini masalah dalam hidup Amel semakin rumit. Setelah ayah dan bundanya berceraii, kini muncul masalah baru. Saat kecelakaan di jalanan itu, bunda Amel lurus merelakan  kehilangan satu kalinya. Benturan yang terjadi saat itu begitu keras, untung saja tidak terjadi sesuatu yang lebih parah dari itu. Amel merasa muak dengan semua masalah yang dihadapinya, air matanya hampir habis, karena hanya menangis yang bisa Amel lakukan saat ini. Hujan begitu deras, bukannya berteduh, tapi Amel justru terus berlari di tengah guyuran hujan. Seperti tak sanggup lagi menjalani setiap detik kehidupannya.

"Ya Allah. Apa salah Amel? kenapa satu persatu masalah datang di kehidupan Amel? kenapa ya Allah??? apa Allah udah nggak sayang lagi sama Amel?" bersandar di samping pohon yang rimbun, menatap langit yang mulai mengeluarkan petirnya. Amel terus mengeluh. Merasa kalau Allah sudah tidak menyayanginya. Kini baju Amel bukan lagi basah karena hujan, tapi murah basah karena tetesan air yang mengalir dari matanya. Saat tak terdengar lagi keluhan, saat suasana mulai hening. Hadir sebuah tangan yang menepuk bahu Amel. Amel kaget, dan sontak berteriak. Tapi ternyata yang datang adalah Usma, teman sekolah Amel.

"Kamu kenapa Amel? kamu ngapain disini?" tanya Uswa yang khawatir pada Amel.

Amel belum menjawab apa pun, bahkan kini tangisnya terdengar lebih kencang.

"Maaf mel kalau aku terlalu ikut campur, tapi aku cuma mau bantu kamu aku bisa. Cerita aja mel sama aku" Uswa terus meyakinkan Amel untuk cerita. Uswa memang terkenal bisa di sekolah, terkenal karena kepeduliannya pada teman-teman  yang lain. Tapi  itu belum cukup untuk Amel bercerita.

"Ikut aku yuk mel, nggak baik kalau lagi hujan malah ada di bawah pohon" Uswa mengulurkan tangannya, mengajak Amel agar berteduh. Kini walau tanpa suara, Amel menyambut tangan Uswa. Amel berusaha menghapus air matanya, tak ingin terlihat rapuh di depan Usma.

***

Matahari perlahan mulai tenggelam, Amel dan Uswa   masih saja duduk berdiam di dalam rumah sakit. Waktu telah menunjukan pukul enam sore, suara beduk pun mulai terdengar.

"Amel, kalau kamu memang belum mau cerita sama aku, nggak apa-apa kok" ucap Usma yang menepuk bahu Amel. Tapi Amel lebih memilih untuk diam. Wajahnya yang ceria, kini tertutup awan mendung. Hatinya seperti tercabik-cabik, entah ingin mengadu pada siapa. Saat Uswa beranjak dari tempatnya duduk, tiba-tiba saja Amel menahannya, seperti memberi isyarat  kalau Amel tidak ingin dia pergi.

"Aku nggak tau mau ngadu sama siapa lagi? tiba-tiba Amel bicara, "sepertinya Allah mulai marah sama aku us" lanjutnya.

Uswa mulai tertarik pada cerita Amel "kenapa?" tanya Uswa.

"Masalah datang bertubi-tubi, belum lama ini orang tuaku cerai, dan sekarang bunda harus lumpuh seperti itu, Apa Allah udah nggak sayang lagi sama aku Us? kenapa semua musibah datang di saat yang seharusnya aku behagia?"

"Maaf mel, bukan maksud aku mau menggurui. Tapi yang aku tahu, Allah hanya akan menguji kita sesuai kemampuan kita" ujar Uswa.

"Kamu lihat aku sekarang Us, apa aku terlihat mampu menghadapi masalah ini? apa aku terlihat tegar dengan ujian yang bertubi-tubi ini?"

"Kamu bukannya nggak mampu" Uswa kini terlihat lebih serius, "tapi kamu meragukan kemampuan kamu sendiri. Allah hanya ingin tahu seberapa kuat kamu menghadapinya, dan apakah kamu masih ingat padanya ketika  kamu merasa lelah menjalaninya"

Amel terlihat lebih serius, seperti tertarik pada kata-kata Uswa.

"Maaf mel, kalau aku boleh tanya, selama masalah ini datang, kamu cerita sama siapa?" tanya Uswa.

"Aku nggak pernah cerita sama siapa-siapa. Aku hanya menyimpan sakit dan tangisku sendiri, bahkan orang tuaku nggak pernah bertanya, apakah aku sedih dengan keputusan mereka untuk cerai"

Embun-embun bekas hujan sore tadi mulai terasa dingin, mengiringi hujan yang kini terlihat di sudut mata Amel. Kini suara tangis Amel terdengar jelas di telinga Uswa.

"Kenapa kamu nggak coba cerita sama Allah?" Uswa memulai pembicaraan lagi.

"Maksudnya?"

"Kamu punya Allah mel, kamu punya Dia untuk mendengarkan semua keluhmu. Allahmu yang memberimu ujian, dan Dia jugalah yang akan memberimu jalan. Emh...sekarang kita shalat dulu yuk, udah adzan tuh. Coba deh abis shalat nanti kamu berdoa, minta di lapangkan hatimu supaya tegar menghadapi semua masalah yang datang" ajak Uswa pada Amel.

"Tapi Us." Amel malu-malu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa?" kini Uswa yang mulai bertanya.

"Aku udah lama nggak shalat, jadi aku lupa doanya"

Uswa kaget mendengar pernyataan Amel, merasa tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Amel yang sudah dewasa, bahkan sebentar lagi berumur 17tahun, lupa bagaimana cara shalat. Miris sekali mendengarkannya. Tapi sebagai teman yang baik, Uswa ingin Amel kembali ke jalan yang benar. Melihatkan Allah dalam setiap masalahnya.

***

Dengar sabar Uswa mengajari Amel shalat, walau Uswa tahu ini terlalu terlambat untuk belajar shalat. Tapi Uswa ingin temannya menjadi lebih baik. Uswa yang ternyata wakil ketua robis, perlahan mengajak Amel untuk ikut masuk rohis. Berharap Amel mendapat ilham setelah dia bergabung dalam rohis. Setelah kini Amel mulai lancar shalat, Uswa juga ingin menuntun Amel untuk memakai jilbab. Karena selama ini Amel mengikuti ekskul dance yang cenderung membuka auratnya.

Tidak butuh waktu lama untuk Amel menyerap semua nasehat dari Uswa, kini semua seperti anugrah sesudah penderitaan  bagi Amel. Kini Amel menyadari bahwa apa yang selama ini menimpanya, adalah sebagian  ujian dari Allah, bukan karena Allah benci padanya, tapi justru karena Allah sangat menyayanginya. Allah ingin Amel kembali mengingatnya, dan sekarang Amel sudah mulai menerima keadaan keluarganya yang tercerai-berai, juga keadaan bundanya  yang kini lumpuh. Amel tak ingin lagi menyalahkan siapa pun. Tidak menyalahkan kedua orang tuanya, juga tidak menyalahkan takdir. Dan sejak saat itu Amel menjadi wanita yang benar-benar dewasa, wanita cantik dengan balutan jilbab dan akhlaknya yang baik.

Amel tersenyum, melihat bundanya yang kini sudah dapat tersenyum. Walau berat hidup sebagai ibu dan ayah, tapi bunda Amel tetap tegar. Ingin terlihat tegar di hadapan anaknya. Bahkan setelah bundanya lumpuh, Amel menjadi lebih sering berasa di rumah untuk sekedar menemani bundanya.

"Terimakasih ya Allah, atas anugrah yang engkau berikan padaku sampai saat ini. Maafkan dan terimalah taubatku, karena cinta terbesarku hanyalah engkau. Aku akan hampa tanpa cinta darimu. Hidupku akan penuh tangis, manakala aku tak dapat lagi mengagungkan namamu" Doa Amel di setiap malamnya.

Selesai.



Karya: Nedia Kurniati

PENUNGGU KAMAR HOTEL

Andi adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Karena mengikuti sebuah workshop, ia diharuskan pergi ke semarang selama 1 minggu. Kebetulan perusahaan tempat Andi bekerja sudah menunjuk sebuah hotel untuk Andi tinggali selama seminggu.

Setelah tiba di semarang. Andi langsung bergegas menuju hotel, dan ternyata hotel tersebut adalah hotel bintang 3. Tidak terlalu mewah, tapi sangat nyaman.

Setelah checkin, Andi pun bergegas menuju kamarnya. Ia pun merapikan pakaiannya. Karena merasa lelah, setelah makan malam, Andi memutuskan untuk tidur.

Waktu di jam tangan Andi menunjukkan pukul 12.30 malam. Di sela-sela tidurnya Andi mendengar suara shower di kamar mandi yang menyala, seakan-akan ada yang tengah mandi di sana. Sebenarnya Andi ingin sekali memeriksa kamar mandi, tetapi karena sangat ngantuk Andi tak bisa membuka matanya. Andi tetap terlelap.

Keesokan paginya, Andi bertanya-tanya apakah yang ia dengar semalam nyata atau dia sedang bermimpi. Karena harus pergi workshop Andi tidak menggubrisnya.

Sekitar pukul 5 sore, Andi kembali ke kamarnya. Setelah mandi dan makan malam, ia memutuskan untuk sejenak keluar menikmati suasana malam kota semarang. Sekitar pukul 11.30 malam, Andi kembali ke kamarnya. Ketika sampai di depan pintu, betapa kagetnya Andi karena samar-samar Andi mendengar suara wanita sedang tertawa di dalam kamarnya, seakan-akan wanita itu sedang membicarakan sesuatu yang sangat lucu.

Jantung Andi berdegup kencang. Perlahan-lahan Andi membuka kunci dan membuka pintu kamarnya secara perlahan. Alangkah kagetnya, Andi menemukan kamarnya dalam keadaan KOSONG! Tidak ada seorang pun di sana. Tak ada wanita yang suaranya ia dengar sebelumnya.

Jadi suara siapakah yang ia dengar tadi?

Andi memutuskan untuk tidak memikirkannya dan pergi tidur. Tetapi baru beberapa menit Andi memejamkan matanya, tiba-tiba ia mendengar suara shower kamar mandi kembali menyala. Jantung Andi kembali berdegup kencang, ia merasa ada yang tidak beres. Ia harus memeriksanya, walaupun di sisi lain ia sangat ketakutan.

Andi beranjak pelan menuju kamar mandi. Begitu ia membuka pintu kamar mandi, shower masih menyala. Perlahan-lahan Andi membuka tirai penutup wilayah basah. Dan betapa kagetnya andi melihat apa yang ada di bak kamar mandi. Andi melihat seorang wanita sedang terduduk di atas bak, seluruh badannya pucat dan bengkak berwarna keunguan. Wanita itu bersimbah darah, ada luka sayatan yang menganga di tangan dan lehernya.

Wanita itu menatap Andi dengan pandangan yang sangat menyeramkan. Seakan-akan ia ingin mencekik Andi. Tubuh Andi tidak bisa digerakan, tetapi ia tau bahwa ia harus lari. Dengan tenaga yang ia punya , Andi berlari keluar dari kamar ke arah lobby utama. Sesampainya di lobby, Andi langsung ambruk dan terdiam selama 1 jam.

Satpam & front officer hotel kebingungan. Setelah diberi minum, Andi akhirnya dapat berbicara. Dan hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah, “Saya ingin pergi dari hotel ini.”

Benar saja, malam itu juga Andi pergi dari hotel itu dan menginap di hotel lain. Ternyata di kamar tempat Andi menginap pernah terjadi peristiwa bunuh diri seorang wanita yang menyayat pergelangan tangannya dan lehernya sendiri. Dan arwah si wanita masih menghantui kamar itu hingga saat ini.

MENILAI

Malam begitu larut sekali. Dono tetap duduk santai di ruang tamu sambil mengetik untuk urusan kerjaannya. Indro keluar dari kamarnya langsung menuju dapur. Mengambil air minum di dalam kulkas. 

"Segarnya...air dingin ini," celoteh Indro. 

Indro langsung bergerak ke ruang tamu melihat Dono yang serius banget lagi ngerjain sesuatu di depan leptopnya. Indro langsung duduk bersama Dono.

"Sudah larut malam masih serius mengerjakan pekerjaan atau cuma mainan ...ya Dono?" tanya Indro.

"Sebenarnya sih di bilang kerjaan bisa bukan juga bisa," kata Dono.

"Kok ngomongnya gitu Dono. Yang benar yang mana?" kata Indro.

"Yang benar. Setelah menyelesaikan pekerjaan. Saya mengetik isi Blog saya.....sesuai keinginan hati saya," kata Dono.

Indro langsung melihat ketikan Dono pada leptopnya. Dengan seksama Indro membaca tulisannya Dono.

"Kenapa....Dono. Tokohnya.....selalu banyak wanita jarang banget cowoknya?" tanya Indro.

"Kan ...saya cowok. Wajar menyukai tokohnya lebih banyak cewek. Diambil di kehidupan sehari-hari. Tandanya saya menyukainya," penjelasan Dono.

"Bener....juga. Kalau banyak tokoh cowok yang di tulis kaya kita menyukai cowok. Kaya banci kaleng aja...ya gak Dono," kata Indro.

"Kaya......sih. Kalau......pola pikirnya jadi....cenderung negatif. Jatuh sakit..... Banci deh," kata Dono.

"Ah.....sebenarnya gak mungkin lah," kata Indro.

"Iya..gak. Mungkilah.......," tegas Dono.

Indro beranjak dari duduknya langsung ke ruang tengah dan segera menghidupkan TV. Lalu di pilihlah chanel yang terbaik oleh Indro dengan remotnya. Tiba-tiba ....Indro langsung hilang rasa ngantuknya karena melihat penampilan Selfi luar biasa. Terbawa suasana ketika Selfi menyanyikan lagu yang begitu bagus dan merdu. Indro dengan tenang menyaksikannya. Sedangkan Dono terus mengetik di Blognya untuk meluapkan semua perasaannya dengan nilai hoby yang baik. Sampai waktunya Dono berteriak di ruang tamu "Selesai juga saya menulis cerpen yang baik tentang penyanyi kesukaan saya."

Indro pun terkejut dengan ulah Dono yang kekanak-kanakan. Lalu Indro berkata "Dono jangan berisik .....hari sudah malam tenang...ya Dono."

"Iya...," saut Dono.

Dono langsung mematikan leptopnya, lalu di bawa ke dalam kamar. Saat melewati ruang tengah Dono melihat penampilan Selfi.....si penyanyi dangdut yang sedang bertanding. Dono pun terpukaw dengan penampilannya.

"Bagus...juga tuh....vokal dari Selfi," kata Dono.

"Namanya juga penyanyi......Dono. Otomatis bagus lah. Untuk menunjang penampilannya di panggung," kata Indro.

"Pengamatan kamu...luar biasa ya  Indro," pujian Dono.

"Ah...cuma sedikit pemahaman saja. Kalah dengan Soimah, Nazar, dan Inul Daratista yang terjun di dunia musik dangdut," kata Indro.

"Maksudnya.....kawakan...dalam dunia musik dangdut," kata Dono.

"Jelas...banget...........merekalah orang lebih kompeten yang dapat memberikan ilmunya yang didapat dari pendidikan atau pengalaman hidup. Maka jelas lah kualitas dangdutnya jauh lebih bermutu lagi." penjelasan Indro.

"Benar-benar penonton yang baik bisa menilai dengan baik. Tapi tetap saja ini. Cuma pandangan masyarakat kecil yang kurang pemahaman seni musik kan," kata Dono.

"Ya..jelaslah Dono. Kan saya pekerjaannya bangunan. Masalah  pengetahuan musik saya kan kurang memadailah," kata Indro.

"Ya..sudahlah saya tinggal tidur," kata Dono.

"Tidur...sana. Ganggu..orang nonton dangdut," kata Indro.

Dono masuk ke dalam kamarnya langsung menaruh leptopnya di meja belajar. Setelah itu rebaan di kasur tak lupa membaca doa mau tidur. Indro terus menyaksikan acara musik dangdut  yang di isi dengan kekonyolan dari pembawa acara dan juri yang menilai.


Karya: No

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK