Matahari perlahan menghilang, berganti dengan langit malam yang gelap. Amel masih saja tersenyum menatap langit, berharap esok akan menjadi hari yang indah untuknya. Hari itu Amel baru saja menerima hasil raotnya, dan hasilnya memang cukup memuaskan. Seusai janji ayahnya sebulan yang lalu, liburan kali ini mereka akan pergi ke pantai. Pantai mutun lah yang menjadi pilihan mereka. Pantai yang terletak tidak jauh dari pusat kota Bandar Lampung, kurang lebih 25 km arah barat daya dari kota Bandar Lampung. Tepatnya di daerah Kabupaten Pesawaran. Jelas saja ini tempat yang paling Amel tunggu-tunggu, karena pemandangan di pantai mutun ini sangat indah. Disana juga ada jasa pengantaran wisata ke Pulau Tangkil dengan perahu, jenisnya perahu sampan, yang bisa memuat 10 sampai 15 orang. Disana juga banyak arena permainan. Mengingat pantai mutun yang begitu helau, Amel semakin tidak sabar untuk menginjakkan kakinya di tengah-tengah ombak yang deras.
Dengan semangatnya Amel berlari menyusuri anak tangga. Wajahnya ceritanya selalu terpancar begitu indah. Amel menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk berdua di meja makan. Walau mereka duduk berdua, tapi mereka tak saling menatap, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan. Amel yang masih bertingkah lucu mencium pipi bundanya. Tap tidak seperti biasanya, bundanya tidak memberikan respon apapun. Kini Amel menatap ayahnya, berharap mendapat jawaban.Tapi hasilnya sama, ayahnya bahkan tidak menoleh sedikit pun. Amel mengerutkan dahinya dan bertanya.
"Ayah dan bunda kenapa? kok diem aja?" suara khas Amel mendengar.
Masih tak terdengar suara, kecuali suara Amel yang bertanya. Tidak lama kemudian ayahnya pun bicara.
"Amel, hari ini kita nggak jadi pergi ke pantai."
"Ngapi bak?" wajah Amel terlihat lesu, dan kini logat Lampungnya pun keluar. Amel memang orang asli Lampung, karena itulah kedua orang tuanya terkenal sangat keras.
"Bak lagi lamon ukhusan," jawab ayahnya singkat.
"Tapi yah, ayah kan udah janji."
Tanpa menjawab apa pun, ayah Amel meninggalkan meja makan, dan pergi dari rumah.
Amel memang sudah cukup dewasa, bahkan bulan denga Amel genap berumur 17 tahun. Tapi ayah bundanya masih menganggap Amel tidak perlu mengetahui urusan mereka. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah terlihat semenjak dua minggu yang lalu. Orangtua Amel lebih sering makan di luar, jadi jarang pulan, apa lagi bertemu Amel. Tapi masih belum nampak jelas apa pokok dari permasalahan mereka.
***
Tiga hari berjalan, liburan Amel masih di penuhi masalah yang sama. Bahkan kini bunda Amel sering terlihat murung. Terdengar suara pintu yang terbuka, Amel lalu bergegas melihatnya. Ayah Amel pulang dengan wajah yang lelah. Amel masih menerka-nerka apa yang membuat ayahnya seperti itu. Mungkin karena pekerjaan yang begitu melelahkan. Amel hanya bisa memandang ayahnya yang perlahan menaiki tangga, membuka pintu kamar dan membantingnya. Amel mendekat dan berjalan perlahan menuju kamar ayahnya, mendekatkan telinganya di depan pintu, berharap dapat mendengar suara ayahnya yang begitu jelas memaki bunda. Pertengkaran orang tua yang seharusnya tidak Amel dengar. Amel berniat pergi, tapi sebelum Amel benar-benar melepaskan telinganya dari pintu, Amel mendengar kata cerai dari ayahnya. Sontak Amel kaget, menggelengkan kepalanya, menandakan dia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Perlahan berjalan mundur, namun Amel menyenggol guci dan memecahkannya. Kini di dapatkan bola mata Amel mengeluarkan setetes embun dan pecah di sudut kelopak matanya. Amel berlari kencang di dalam kamarnya, berharap tidak ada yang melihatnya menangis, bumi telah meneteskan air matanya, seakan mengerti betapa terpukulnya Amel saat ini.
"Kenapa harus seperti ini?!!!" teriak Amel di sela isak tangisnya.
***
Kini Amel lebih memilih untuk mengurung diri. Setelah apa yang dia dengar beberapa hari yang lalu, kini menjadi kenyataan. Ayah dan bundanya kini benar-benar bercerai. Amel masih tinggal bersama bundanya, tapi seperti hanya tinggal sendiri. Rumah yang dulu ramai dengan suara keluarga kecil itu, kini menjadi hampa. Bunda Amel hanya mengurung diri di kamarnya, tidak mau keluar kamar, tidak mau makan, bahkan sekedar duduk berdua bersama Amel sudah tidak pernah. Terlihat raut wajahnya yang sedih tatapannya yang kosong seperti tidak ada gairah hidup, miris melihatnya.
Rasa untuk kini mendera hati Amel. Terfikir begitu saja di benak Amel, dia ingin menghilangkan penat atau masalah-masalahnya saat ini. Dia putuskan untuk keluar rumah, walau belum tau akan kemana. Saat Amel tepat di depan pintu, Amel terkejut saat melihat pintu yang telah terbuka. Dia arahkan pandangannya ke setiap sudut rumah, khawatir kalau ada maling yang masuk. Takut terjadi sesuatu pada bundanya, Amel langsung lari terengah-engah menaiki tangga yang lumayan tinggi. Mencari bundanya di kamar, tapi tak di dapati siapa pun di sana. Amel semakin panik, karena tak seperti biasanya bunda keluar tanpa bilang apa-apa padanya.
Berlari di bawah teriknya matahari yang menyengat tanpa alas kaki. Sungguh panas terasa seperti menjalar di seluruh kakinya. Tapi rasa lelah dan panas itu tidak berpengaruh, rasa khawatir yang dirasakan Amel, membuat dia tak merasakan itu semua.
"Bunda....bunda dimana?" teriak Amel yang kini sampai di ujung jalan.
Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya Amel melihat bundanya yang sedang duduk di pinggir jalan. Termenung pemandang taman yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Taman itu adalah taman kenangan bagi mereka, dulu di taman itu mereka menghabiskan waktu libur bersama. Amel sangat mengerti kalau bundanya merindukan saat-saat seperti dulu, tapi Amel sendiri pun tak tahu apa yang dapat dia lakukan untuk bunda. Jalanan terlalu ramai,
terlalu lama untuk menyebrang ke sana, Amel memanggil-manggil bundanya.
"Bunda!!Bunda!!" teriakan khas suara Amel itu mengagetkan bundanya. Entah apa yang bunda fikirkan saat itu, tapi setelah melihat Amel yang berlari mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya. Bunda Amel berlari tanpa melihat arah, sampai tidak menyadari kalau dari arah berlawanan ada sebuah mobil. Mobil itu melaju begitu cepat, hingga tak sempat berhenti saat bunda Amel tiba-tiba muncul di depannya.
***
Kini masalah dalam hidup Amel semakin rumit. Setelah ayah dan bundanya berceraii, kini muncul masalah baru. Saat kecelakaan di jalanan itu, bunda Amel lurus merelakan kehilangan satu kalinya. Benturan yang terjadi saat itu begitu keras, untung saja tidak terjadi sesuatu yang lebih parah dari itu. Amel merasa muak dengan semua masalah yang dihadapinya, air matanya hampir habis, karena hanya menangis yang bisa Amel lakukan saat ini. Hujan begitu deras, bukannya berteduh, tapi Amel justru terus berlari di tengah guyuran hujan. Seperti tak sanggup lagi menjalani setiap detik kehidupannya.
"Ya Allah. Apa salah Amel? kenapa satu persatu masalah datang di kehidupan Amel? kenapa ya Allah??? apa Allah udah nggak sayang lagi sama Amel?" bersandar di samping pohon yang rimbun, menatap langit yang mulai mengeluarkan petirnya. Amel terus mengeluh. Merasa kalau Allah sudah tidak menyayanginya. Kini baju Amel bukan lagi basah karena hujan, tapi murah basah karena tetesan air yang mengalir dari matanya. Saat tak terdengar lagi keluhan, saat suasana mulai hening. Hadir sebuah tangan yang menepuk bahu Amel. Amel kaget, dan sontak berteriak. Tapi ternyata yang datang adalah Usma, teman sekolah Amel.
"Kamu kenapa Amel? kamu ngapain disini?" tanya Uswa yang khawatir pada Amel.
Amel belum menjawab apa pun, bahkan kini tangisnya terdengar lebih kencang.
"Maaf mel kalau aku terlalu ikut campur, tapi aku cuma mau bantu kamu aku bisa. Cerita aja mel sama aku" Uswa terus meyakinkan Amel untuk cerita. Uswa memang terkenal bisa di sekolah, terkenal karena kepeduliannya pada teman-teman yang lain. Tapi itu belum cukup untuk Amel bercerita.
"Ikut aku yuk mel, nggak baik kalau lagi hujan malah ada di bawah pohon" Uswa mengulurkan tangannya, mengajak Amel agar berteduh. Kini walau tanpa suara, Amel menyambut tangan Uswa. Amel berusaha menghapus air matanya, tak ingin terlihat rapuh di depan Usma.
***
Matahari perlahan mulai tenggelam, Amel dan Uswa masih saja duduk berdiam di dalam rumah sakit. Waktu telah menunjukan pukul enam sore, suara beduk pun mulai terdengar.
"Amel, kalau kamu memang belum mau cerita sama aku, nggak apa-apa kok" ucap Usma yang menepuk bahu Amel. Tapi Amel lebih memilih untuk diam. Wajahnya yang ceria, kini tertutup awan mendung. Hatinya seperti tercabik-cabik, entah ingin mengadu pada siapa. Saat Uswa beranjak dari tempatnya duduk, tiba-tiba saja Amel menahannya, seperti memberi isyarat kalau Amel tidak ingin dia pergi.
"Aku nggak tau mau ngadu sama siapa lagi? tiba-tiba Amel bicara, "sepertinya Allah mulai marah sama aku us" lanjutnya.
Uswa mulai tertarik pada cerita Amel "kenapa?" tanya Uswa.
"Masalah datang bertubi-tubi, belum lama ini orang tuaku cerai, dan sekarang bunda harus lumpuh seperti itu, Apa Allah udah nggak sayang lagi sama aku Us? kenapa semua musibah datang di saat yang seharusnya aku behagia?"
"Maaf mel, bukan maksud aku mau menggurui. Tapi yang aku tahu, Allah hanya akan menguji kita sesuai kemampuan kita" ujar Uswa.
"Kamu lihat aku sekarang Us, apa aku terlihat mampu menghadapi masalah ini? apa aku terlihat tegar dengan ujian yang bertubi-tubi ini?"
"Kamu bukannya nggak mampu" Uswa kini terlihat lebih serius, "tapi kamu meragukan kemampuan kamu sendiri. Allah hanya ingin tahu seberapa kuat kamu menghadapinya, dan apakah kamu masih ingat padanya ketika kamu merasa lelah menjalaninya"
Amel terlihat lebih serius, seperti tertarik pada kata-kata Uswa.
"Maaf mel, kalau aku boleh tanya, selama masalah ini datang, kamu cerita sama siapa?" tanya Uswa.
"Aku nggak pernah cerita sama siapa-siapa. Aku hanya menyimpan sakit dan tangisku sendiri, bahkan orang tuaku nggak pernah bertanya, apakah aku sedih dengan keputusan mereka untuk cerai"
Embun-embun bekas hujan sore tadi mulai terasa dingin, mengiringi hujan yang kini terlihat di sudut mata Amel. Kini suara tangis Amel terdengar jelas di telinga Uswa.
"Kenapa kamu nggak coba cerita sama Allah?" Uswa memulai pembicaraan lagi.
"Maksudnya?"
"Kamu punya Allah mel, kamu punya Dia untuk mendengarkan semua keluhmu. Allahmu yang memberimu ujian, dan Dia jugalah yang akan memberimu jalan. Emh...sekarang kita shalat dulu yuk, udah adzan tuh. Coba deh abis shalat nanti kamu berdoa, minta di lapangkan hatimu supaya tegar menghadapi semua masalah yang datang" ajak Uswa pada Amel.
"Tapi Us." Amel malu-malu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa?" kini Uswa yang mulai bertanya.
"Aku udah lama nggak shalat, jadi aku lupa doanya"
Uswa kaget mendengar pernyataan Amel, merasa tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Amel yang sudah dewasa, bahkan sebentar lagi berumur 17tahun, lupa bagaimana cara shalat. Miris sekali mendengarkannya. Tapi sebagai teman yang baik, Uswa ingin Amel kembali ke jalan yang benar. Melihatkan Allah dalam setiap masalahnya.
***
Dengar sabar Uswa mengajari Amel shalat, walau Uswa tahu ini terlalu terlambat untuk belajar shalat. Tapi Uswa ingin temannya menjadi lebih baik. Uswa yang ternyata wakil ketua robis, perlahan mengajak Amel untuk ikut masuk rohis. Berharap Amel mendapat ilham setelah dia bergabung dalam rohis. Setelah kini Amel mulai lancar shalat, Uswa juga ingin menuntun Amel untuk memakai jilbab. Karena selama ini Amel mengikuti ekskul dance yang cenderung membuka auratnya.
Tidak butuh waktu lama untuk Amel menyerap semua nasehat dari Uswa, kini semua seperti anugrah sesudah penderitaan bagi Amel. Kini Amel menyadari bahwa apa yang selama ini menimpanya, adalah sebagian ujian dari Allah, bukan karena Allah benci padanya, tapi justru karena Allah sangat menyayanginya. Allah ingin Amel kembali mengingatnya, dan sekarang Amel sudah mulai menerima keadaan keluarganya yang tercerai-berai, juga keadaan bundanya yang kini lumpuh. Amel tak ingin lagi menyalahkan siapa pun. Tidak menyalahkan kedua orang tuanya, juga tidak menyalahkan takdir. Dan sejak saat itu Amel menjadi wanita yang benar-benar dewasa, wanita cantik dengan balutan jilbab dan akhlaknya yang baik.
Amel tersenyum, melihat bundanya yang kini sudah dapat tersenyum. Walau berat hidup sebagai ibu dan ayah, tapi bunda Amel tetap tegar. Ingin terlihat tegar di hadapan anaknya. Bahkan setelah bundanya lumpuh, Amel menjadi lebih sering berasa di rumah untuk sekedar menemani bundanya.
"Terimakasih ya Allah, atas anugrah yang engkau berikan padaku sampai saat ini. Maafkan dan terimalah taubatku, karena cinta terbesarku hanyalah engkau. Aku akan hampa tanpa cinta darimu. Hidupku akan penuh tangis, manakala aku tak dapat lagi mengagungkan namamu" Doa Amel di setiap malamnya.
Selesai.
Karya: Nedia Kurniati
Dengan semangatnya Amel berlari menyusuri anak tangga. Wajahnya ceritanya selalu terpancar begitu indah. Amel menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk berdua di meja makan. Walau mereka duduk berdua, tapi mereka tak saling menatap, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan. Amel yang masih bertingkah lucu mencium pipi bundanya. Tap tidak seperti biasanya, bundanya tidak memberikan respon apapun. Kini Amel menatap ayahnya, berharap mendapat jawaban.Tapi hasilnya sama, ayahnya bahkan tidak menoleh sedikit pun. Amel mengerutkan dahinya dan bertanya.
"Ayah dan bunda kenapa? kok diem aja?" suara khas Amel mendengar.
Masih tak terdengar suara, kecuali suara Amel yang bertanya. Tidak lama kemudian ayahnya pun bicara.
"Amel, hari ini kita nggak jadi pergi ke pantai."
"Ngapi bak?" wajah Amel terlihat lesu, dan kini logat Lampungnya pun keluar. Amel memang orang asli Lampung, karena itulah kedua orang tuanya terkenal sangat keras.
"Bak lagi lamon ukhusan," jawab ayahnya singkat.
"Tapi yah, ayah kan udah janji."
Tanpa menjawab apa pun, ayah Amel meninggalkan meja makan, dan pergi dari rumah.
Amel memang sudah cukup dewasa, bahkan bulan denga Amel genap berumur 17 tahun. Tapi ayah bundanya masih menganggap Amel tidak perlu mengetahui urusan mereka. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah terlihat semenjak dua minggu yang lalu. Orangtua Amel lebih sering makan di luar, jadi jarang pulan, apa lagi bertemu Amel. Tapi masih belum nampak jelas apa pokok dari permasalahan mereka.
***
Tiga hari berjalan, liburan Amel masih di penuhi masalah yang sama. Bahkan kini bunda Amel sering terlihat murung. Terdengar suara pintu yang terbuka, Amel lalu bergegas melihatnya. Ayah Amel pulang dengan wajah yang lelah. Amel masih menerka-nerka apa yang membuat ayahnya seperti itu. Mungkin karena pekerjaan yang begitu melelahkan. Amel hanya bisa memandang ayahnya yang perlahan menaiki tangga, membuka pintu kamar dan membantingnya. Amel mendekat dan berjalan perlahan menuju kamar ayahnya, mendekatkan telinganya di depan pintu, berharap dapat mendengar suara ayahnya yang begitu jelas memaki bunda. Pertengkaran orang tua yang seharusnya tidak Amel dengar. Amel berniat pergi, tapi sebelum Amel benar-benar melepaskan telinganya dari pintu, Amel mendengar kata cerai dari ayahnya. Sontak Amel kaget, menggelengkan kepalanya, menandakan dia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Perlahan berjalan mundur, namun Amel menyenggol guci dan memecahkannya. Kini di dapatkan bola mata Amel mengeluarkan setetes embun dan pecah di sudut kelopak matanya. Amel berlari kencang di dalam kamarnya, berharap tidak ada yang melihatnya menangis, bumi telah meneteskan air matanya, seakan mengerti betapa terpukulnya Amel saat ini.
"Kenapa harus seperti ini?!!!" teriak Amel di sela isak tangisnya.
***
Kini Amel lebih memilih untuk mengurung diri. Setelah apa yang dia dengar beberapa hari yang lalu, kini menjadi kenyataan. Ayah dan bundanya kini benar-benar bercerai. Amel masih tinggal bersama bundanya, tapi seperti hanya tinggal sendiri. Rumah yang dulu ramai dengan suara keluarga kecil itu, kini menjadi hampa. Bunda Amel hanya mengurung diri di kamarnya, tidak mau keluar kamar, tidak mau makan, bahkan sekedar duduk berdua bersama Amel sudah tidak pernah. Terlihat raut wajahnya yang sedih tatapannya yang kosong seperti tidak ada gairah hidup, miris melihatnya.
Rasa untuk kini mendera hati Amel. Terfikir begitu saja di benak Amel, dia ingin menghilangkan penat atau masalah-masalahnya saat ini. Dia putuskan untuk keluar rumah, walau belum tau akan kemana. Saat Amel tepat di depan pintu, Amel terkejut saat melihat pintu yang telah terbuka. Dia arahkan pandangannya ke setiap sudut rumah, khawatir kalau ada maling yang masuk. Takut terjadi sesuatu pada bundanya, Amel langsung lari terengah-engah menaiki tangga yang lumayan tinggi. Mencari bundanya di kamar, tapi tak di dapati siapa pun di sana. Amel semakin panik, karena tak seperti biasanya bunda keluar tanpa bilang apa-apa padanya.
Berlari di bawah teriknya matahari yang menyengat tanpa alas kaki. Sungguh panas terasa seperti menjalar di seluruh kakinya. Tapi rasa lelah dan panas itu tidak berpengaruh, rasa khawatir yang dirasakan Amel, membuat dia tak merasakan itu semua.
"Bunda....bunda dimana?" teriak Amel yang kini sampai di ujung jalan.
Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya Amel melihat bundanya yang sedang duduk di pinggir jalan. Termenung pemandang taman yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Taman itu adalah taman kenangan bagi mereka, dulu di taman itu mereka menghabiskan waktu libur bersama. Amel sangat mengerti kalau bundanya merindukan saat-saat seperti dulu, tapi Amel sendiri pun tak tahu apa yang dapat dia lakukan untuk bunda. Jalanan terlalu ramai,
terlalu lama untuk menyebrang ke sana, Amel memanggil-manggil bundanya.
"Bunda!!Bunda!!" teriakan khas suara Amel itu mengagetkan bundanya. Entah apa yang bunda fikirkan saat itu, tapi setelah melihat Amel yang berlari mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya, bunda Amel justru berlari menjauh, seakan tak ingin Amel mendekatinya. Bunda Amel berlari tanpa melihat arah, sampai tidak menyadari kalau dari arah berlawanan ada sebuah mobil. Mobil itu melaju begitu cepat, hingga tak sempat berhenti saat bunda Amel tiba-tiba muncul di depannya.
***
Kini masalah dalam hidup Amel semakin rumit. Setelah ayah dan bundanya berceraii, kini muncul masalah baru. Saat kecelakaan di jalanan itu, bunda Amel lurus merelakan kehilangan satu kalinya. Benturan yang terjadi saat itu begitu keras, untung saja tidak terjadi sesuatu yang lebih parah dari itu. Amel merasa muak dengan semua masalah yang dihadapinya, air matanya hampir habis, karena hanya menangis yang bisa Amel lakukan saat ini. Hujan begitu deras, bukannya berteduh, tapi Amel justru terus berlari di tengah guyuran hujan. Seperti tak sanggup lagi menjalani setiap detik kehidupannya.
"Ya Allah. Apa salah Amel? kenapa satu persatu masalah datang di kehidupan Amel? kenapa ya Allah??? apa Allah udah nggak sayang lagi sama Amel?" bersandar di samping pohon yang rimbun, menatap langit yang mulai mengeluarkan petirnya. Amel terus mengeluh. Merasa kalau Allah sudah tidak menyayanginya. Kini baju Amel bukan lagi basah karena hujan, tapi murah basah karena tetesan air yang mengalir dari matanya. Saat tak terdengar lagi keluhan, saat suasana mulai hening. Hadir sebuah tangan yang menepuk bahu Amel. Amel kaget, dan sontak berteriak. Tapi ternyata yang datang adalah Usma, teman sekolah Amel.
"Kamu kenapa Amel? kamu ngapain disini?" tanya Uswa yang khawatir pada Amel.
Amel belum menjawab apa pun, bahkan kini tangisnya terdengar lebih kencang.
"Maaf mel kalau aku terlalu ikut campur, tapi aku cuma mau bantu kamu aku bisa. Cerita aja mel sama aku" Uswa terus meyakinkan Amel untuk cerita. Uswa memang terkenal bisa di sekolah, terkenal karena kepeduliannya pada teman-teman yang lain. Tapi itu belum cukup untuk Amel bercerita.
"Ikut aku yuk mel, nggak baik kalau lagi hujan malah ada di bawah pohon" Uswa mengulurkan tangannya, mengajak Amel agar berteduh. Kini walau tanpa suara, Amel menyambut tangan Uswa. Amel berusaha menghapus air matanya, tak ingin terlihat rapuh di depan Usma.
***
Matahari perlahan mulai tenggelam, Amel dan Uswa masih saja duduk berdiam di dalam rumah sakit. Waktu telah menunjukan pukul enam sore, suara beduk pun mulai terdengar.
"Amel, kalau kamu memang belum mau cerita sama aku, nggak apa-apa kok" ucap Usma yang menepuk bahu Amel. Tapi Amel lebih memilih untuk diam. Wajahnya yang ceria, kini tertutup awan mendung. Hatinya seperti tercabik-cabik, entah ingin mengadu pada siapa. Saat Uswa beranjak dari tempatnya duduk, tiba-tiba saja Amel menahannya, seperti memberi isyarat kalau Amel tidak ingin dia pergi.
"Aku nggak tau mau ngadu sama siapa lagi? tiba-tiba Amel bicara, "sepertinya Allah mulai marah sama aku us" lanjutnya.
Uswa mulai tertarik pada cerita Amel "kenapa?" tanya Uswa.
"Masalah datang bertubi-tubi, belum lama ini orang tuaku cerai, dan sekarang bunda harus lumpuh seperti itu, Apa Allah udah nggak sayang lagi sama aku Us? kenapa semua musibah datang di saat yang seharusnya aku behagia?"
"Maaf mel, bukan maksud aku mau menggurui. Tapi yang aku tahu, Allah hanya akan menguji kita sesuai kemampuan kita" ujar Uswa.
"Kamu lihat aku sekarang Us, apa aku terlihat mampu menghadapi masalah ini? apa aku terlihat tegar dengan ujian yang bertubi-tubi ini?"
"Kamu bukannya nggak mampu" Uswa kini terlihat lebih serius, "tapi kamu meragukan kemampuan kamu sendiri. Allah hanya ingin tahu seberapa kuat kamu menghadapinya, dan apakah kamu masih ingat padanya ketika kamu merasa lelah menjalaninya"
Amel terlihat lebih serius, seperti tertarik pada kata-kata Uswa.
"Maaf mel, kalau aku boleh tanya, selama masalah ini datang, kamu cerita sama siapa?" tanya Uswa.
"Aku nggak pernah cerita sama siapa-siapa. Aku hanya menyimpan sakit dan tangisku sendiri, bahkan orang tuaku nggak pernah bertanya, apakah aku sedih dengan keputusan mereka untuk cerai"
Embun-embun bekas hujan sore tadi mulai terasa dingin, mengiringi hujan yang kini terlihat di sudut mata Amel. Kini suara tangis Amel terdengar jelas di telinga Uswa.
"Kenapa kamu nggak coba cerita sama Allah?" Uswa memulai pembicaraan lagi.
"Maksudnya?"
"Kamu punya Allah mel, kamu punya Dia untuk mendengarkan semua keluhmu. Allahmu yang memberimu ujian, dan Dia jugalah yang akan memberimu jalan. Emh...sekarang kita shalat dulu yuk, udah adzan tuh. Coba deh abis shalat nanti kamu berdoa, minta di lapangkan hatimu supaya tegar menghadapi semua masalah yang datang" ajak Uswa pada Amel.
"Tapi Us." Amel malu-malu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa?" kini Uswa yang mulai bertanya.
"Aku udah lama nggak shalat, jadi aku lupa doanya"
Uswa kaget mendengar pernyataan Amel, merasa tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Amel yang sudah dewasa, bahkan sebentar lagi berumur 17tahun, lupa bagaimana cara shalat. Miris sekali mendengarkannya. Tapi sebagai teman yang baik, Uswa ingin Amel kembali ke jalan yang benar. Melihatkan Allah dalam setiap masalahnya.
***
Dengar sabar Uswa mengajari Amel shalat, walau Uswa tahu ini terlalu terlambat untuk belajar shalat. Tapi Uswa ingin temannya menjadi lebih baik. Uswa yang ternyata wakil ketua robis, perlahan mengajak Amel untuk ikut masuk rohis. Berharap Amel mendapat ilham setelah dia bergabung dalam rohis. Setelah kini Amel mulai lancar shalat, Uswa juga ingin menuntun Amel untuk memakai jilbab. Karena selama ini Amel mengikuti ekskul dance yang cenderung membuka auratnya.
Tidak butuh waktu lama untuk Amel menyerap semua nasehat dari Uswa, kini semua seperti anugrah sesudah penderitaan bagi Amel. Kini Amel menyadari bahwa apa yang selama ini menimpanya, adalah sebagian ujian dari Allah, bukan karena Allah benci padanya, tapi justru karena Allah sangat menyayanginya. Allah ingin Amel kembali mengingatnya, dan sekarang Amel sudah mulai menerima keadaan keluarganya yang tercerai-berai, juga keadaan bundanya yang kini lumpuh. Amel tak ingin lagi menyalahkan siapa pun. Tidak menyalahkan kedua orang tuanya, juga tidak menyalahkan takdir. Dan sejak saat itu Amel menjadi wanita yang benar-benar dewasa, wanita cantik dengan balutan jilbab dan akhlaknya yang baik.
Amel tersenyum, melihat bundanya yang kini sudah dapat tersenyum. Walau berat hidup sebagai ibu dan ayah, tapi bunda Amel tetap tegar. Ingin terlihat tegar di hadapan anaknya. Bahkan setelah bundanya lumpuh, Amel menjadi lebih sering berasa di rumah untuk sekedar menemani bundanya.
"Terimakasih ya Allah, atas anugrah yang engkau berikan padaku sampai saat ini. Maafkan dan terimalah taubatku, karena cinta terbesarku hanyalah engkau. Aku akan hampa tanpa cinta darimu. Hidupku akan penuh tangis, manakala aku tak dapat lagi mengagungkan namamu" Doa Amel di setiap malamnya.
Selesai.
Karya: Nedia Kurniati
No comments:
Post a Comment