CAMPUR ADUK

Wednesday, August 4, 2021

ASAL MULA POHON AREN

Roni membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Roni.

Pada zaman dahulu di Tanah Karo hiduplah sebuah keluarga sederhana dengan dua orang anak. Anak pertama dari seorang pria bernama Tare Iluh. Yang kedua adalah seorang putri bernama Beru Sibou. Meski hidup dalam kesederhanaan, ayah mereka adalah seorang pekerja keras. Dia bekerja keras siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya karena bekerja terlalu keras, ia jatuh sakit dan meninggal.

Setelah kematian sang ayah, sang ibu bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Karena kerja keras, sang ibu jatuh sakit. Minimnya biaya pengobatan membuat penyakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal dunia.

Tare Iluh dan Beru Sibou kini menjadi yatim piatu. Mereka berdua kemudian dibesarkan oleh bibinya, adik dari ayah mereka. Tare Iluh sebagai seorang kakak merasa sangat sedih dengan penderitaan yang dialaminya. Setelah kedua orang tua mereka meninggal, sekarang bibi mereka yang bekerja keras untuk menjaga mereka tetap hidup. Tare Iluh berjanji suatu saat ia akan bekerja keras mencari nafkah untuk kehidupan yang lebih baik.

“Saya berjanji, ketika saya dewasa saya akan bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga saya. Aku tidak ingin mengganggu bibiku. Saya ingin membuat satu-satunya saudara perempuan saya bahagia. ” kata Tare Iluh dalam hati.

Seiring berjalannya waktu, Tare Iluh, si sulung, telah menjelma menjadi seorang pria dewasa yang tampan dengan wajah bersih dan bersinar. Sementara itu, Beru Sibou menjelma menjadi seorang gadis cantik. Suatu hari Tare Iluh menyampaikan keinginannya kepada bibinya dan juga kepada adiknya Beru Sibou, bahwa ia ingin bepergian ke kota. Tare Iluh ingin hidup mandiri. Dia berjanji bahwa suatu hari dia akan membalas kebaikan bibinya yang telah membesarkan mereka sejak kecil.

“Wahai bibiku wahai adikku, aku ingin pergi ke luar negeri ke kota untuk mencari nafkah. Bibiku sudah lama merawat kami, aku ingin mencari nafkah di kota agar suatu saat aku bisa membalas kebaikanku." kata Tare Iluh.

"Jika itu kehendakmu, Bibi tidak bisa melarangmu. Hati-hati di tanah orang lain. Bibi akan selalu mendoakanmu." kata bibi.

"Aku tidak ingin ditinggalkan olehmu, tapi aku ingin tahu apa lagi. Kamu harus berjanji untuk segera kembali setelah kamu berhasil." Beru Sibou dengan enggan melepaskan adiknya.

"Tentu saja adikku. Adikku pasti akan kembali.” kata Tare Iluh.

Tare Iluh kemudian melakukan perjalanan ke kota dengan bekal yang disiapkan oleh bibinya. Ia merasa sangat sedih harus meninggalkan kakak dan bibinya yang tercinta, namun sebagai anak sulung, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka berdua. Ia tidak ingin terus hidup dalam kemiskinan.

Sesampainya di kota, Tare Iluh kemudian melakukan apa saja untuk menghidupi dirinya sendiri. Upah bekerja sebagian dia tabung. Namun, cepat atau lambat ia merasa bahwa penghasilan yang diperolehnya tidak sepadan dengan kerja kerasnya. Dia kemudian tergoda untuk berjudi. Dengan mempertaruhkan pendapatannya yang kecil, Tare Iluh berjudi. Beruntung kemudian dia memenangkan pertaruhan. Hal ini membuatnya kecanduan judi. 

“Kenapa saya bekerja keras seharian tapi hasilnya tidak sesuai. Sementara hanya dengan mempertaruhkan sedikit uang di meja judi, saya bisa mendapatkan banyak uang. Lebih baik aku bertaruh saja." kata Tare Iluh.

Sejak saat itu, Tare Iluh menjadi malas bekerja. Setiap hari kerja dia hanya bertaruh uang di meja judi. Hingga akhirnya ia terjerat banyak hutang akibat kalah judi. Karena tidak mampu membayar hutangnya, Tare Iluh dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau penjara oleh penduduk setempat.

Sementara di desa, setelah kematian Tare Iluh, Beru Sibou merasa sedih. Dia sangat ingin bertemu dengan kakak yang dia cintai. Selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, adik perempuan yang dicintainya tidak pulang ke rumah. Beru Sibou mengkhawatirkan keselamatan adiknya.

“Wahai Beru Sibou, aku mendengar dari negeri bahwa saudaramu adalah seorang penjudi berat. Dia saat ini diborgol karena tidak mampu membayar hutangnya.” kata seorang penduduk desa.

Setelah sekian lama sang adik pergi ke daerah orang, datanglah kabar dari orang-orang di desa yang mengatakan bahwa Tare Iluh telah berubah menjadi penjudi. Menurut kabar yang beredar, Tare Illuh saat ini terancam hukuman pasung karena terlilit hutang yang sangat besar. Mendengar berita ini, Beru Sibou menjadi semakin sedih. Dia hanya bisa menangis setiap hari.

“Adikku sayang, benarkah penduduk desa mengatakan bahwa kamu sekarang sedang dipenjara di tanah rakyat?” Beru Sibou meratap.

Suatu hari, Beru Sibou bertemu dengan seorang kakek tua. Sang kakek bertanya kepada Beru Sibou mengapa wajahnya sedih.

"Kenapa wajahmu sedih, Nak? Ada apa? Mungkin Kakek bisa membantumu." tanya kakek tua itu.

"Saya sedih memikirkan adik saya. Namanya Tare Iluh Kek. Dia sekarang berada di negara di mana orang-orang diancam hukuman karena berhutang. Saya sangat ingin bertemu untuk membantu adik perempuan saya satu-satunya." kata Beru Sibou.

"Oh ternyata kamu adik Tare Iluh. Kakek belum pernah bertemu dengannya tapi pernah mendengar namanya. Kakek dengar dia penjudi berat dan juga punya banyak hutang." kata kakek tua itu.

"Benar, Kakek. Lalu apakah Kakek tahu di mana negara saudara perempuanku?" tanya Beru Sibou.

“Gak tau, Kakek juga gak tahu dimana. Maaf nak, kakek tidak bisa membantumu tapi jika Kakek bisa memberimu saran, coba Nak Beru memanjat pohon yang tinggi lalu bernyanyi dan memanggil adikmu. siapa tahu adikmu bisa mendengarnya." Kakek memberinya nasihat.

Beru Sibou pun mengikuti nasihat kakeknya. Dia mencari pohon tertinggi dan kemudian memanjatnya. Setelah sampai di puncak pohon, Beru Sibou bernyanyi sambil memanggil nama adiknya. 

“Tare Iluh, adikku, kamu di mana? Ayo pulang, saudara. Wahai penduduk negeri yang berduka atas saudara perempuanku! Aku mohon lepaskan dia sekarang." Beru Sibou berulang kali memanggil adiknya.

Tapi dia juga tidak mendapatkan hasil. Setelah berjam-jam memanggil nama adiknya, Beru Sibou akhirnya merasa lelah. Dia memutuskan untuk berdoa kepada Yang Mahakuasa.

"Tuanku! Saya ingin bertemu dengan saudara perempuan saya sehingga saya dapat membantunya. Biarkan saya membayar hutangnya. Saya bersedia menggunakan air mata, rambut, dan seluruh tubuh saya untuk digunakan oleh orang-orang di negara yang menghukum saudara perempuan saya." Beru Sibou berdoa.

Yang Maha Kuasa mengabulkan permintaan Beru Sibou. Setelah Beru Sibou berdoa, tiba-tiba angin bertiup kencang disusul hujan lebat disertai kilat menyambar bumi. Pada saat itu, Beru Sibou tiba-tiba berubah menjadi pohon Aren. Tubuhnya menjelma menjadi Pohon Aren yang bisa menghasilkan buah kolang-kaling sebagai makanan. Air mata Beru Sibou berubah menjadi tuak atau nira yang dijadikan minuman oleh masyarakat. Sedangkan rambutnya digunakan oleh warga sebagai pohon palem untuk membuat atap rumah.

***

Roni berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Sumatra Utara," kata Roni.

Roni pun membaca lagi bukunya.

Isi lanjutan buku yang di baca Roni :

Apakah manfaat pohon aren?

Aren atau enau adalah tanaman serbaguna. Tingginya bisa mencapai 25 meter dan lebarnya bisa mencapai 65 cm. Air kran seikat bunga jantan yang disebut nira biasanya diolah menjadi gula aren atau gula merah, diolah menjadi minuman tuak atau terkadang nira juga diolah menjadi cuka meski kini sudah putus asa oleh cuka buatan pabrik. Biji buahnya dapat diolah menjadi kolang kaling sebagai campuran es atau kolak. Daunnya biasa digunakan sebagai atap rumah penduduk di pedesaan. Pucuk daun yang masih pucuk yang disebut daun kawung dapat digunakan sebagai daun rokok. Telapak pohon palem dapat dipelintir menjadi tali. Sedangkan dari tusuk sate bisa dibuat menjadi sapu tusuk sate.

Tuak yang diolah dengan air nira memiliki fungsi penting bagi kehidupan sosial masyarakat Batak. Selain sebagai minuman, tuak biasanya digunakan dalam upacara adat Batak, juga dapat digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman, atau digunakan untuk sesajen kepada arwah orang yang sudah meninggal. 

***

Roni selesai membaca bukunya.

"Memang banyak manfaatnya pohon aren," kata Roni.

Roni menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh di meja.

LEGENDA PUTRI RUNDUK

Milki membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Milki :

Alkisah, Raja Jayadana memerintah Kerajaan Barus Raya yang berpusat di Kota Guguk dan Kota Beriang dekat Kadai Gadang, Sumatera Utara sekarang. Kerajaan Barus Raya saat itu sudah memeluk agama Islam dan berada di puncak kesuksesannya. Pada masa kejayaannya, Kerajaan Barus Raya kaya akan seni dan budaya.

Masyarakat pesisir memiliki budaya seperti Serampang 12, Bersanggu Gadang, Bakonde, Berinai, Turun Air, Berkambabodi, Berkelambu Kain Kuning, Berpayung kuning, gertakan gigi dan lain-lain. Raja Jayadana menikahi seorang ratu yang kecantikannya menyebar ke negara-negara lain. Putri Runduk adalah nama ratu.

Banyak raja dan pedagang yang tertarik dengan kecantikan Putri Runduk. Mereka ingin melamar Putri Runduk meskipun dia sudah menikah. Sebut saja Raja Tiongkok daratan yang secara terang-terangan datang melamar Putri Runduk, yang lamarannya tentu saja ditolak. 

Kemudian Raja Janggi dari Sudan, Afrika dan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram, Jawa juga jatuhcinta pada Puteri Runduk. Kedua kerajaan ini akan mengirimkan pasukannya ke Kerajaan Barus Raya hanya untuk merebut Puteri Runduk.

Raja Jayadana tentu tidak tinggal diam. Ia segera mempersiapkan pasukannya untuk menghadang kekuatan kedua pemerintahan tadi. Kerajaan pertama yang datang menyerang adalah Kerajaan Mataram dari Jawa. Pertempuran hebat terjadi antara Kerajaan Islam Barus Raya dan Kerajaan Hindu Mataram. Setelah perang yang panjang, Kerajaan Barus Raya akhirnya mengalami kekalahan telak dari Kerajaan Mataram. Pasukan Pemerintahan Barus Raya dalam keadaan kacau balau berusaha menyelamatkan diri. Raja Jayadana sendiri tewas dalam pertempuran tersebut. 

Setelah Kerajaan Barus Raya jatuh ke tangan Kerajaan Mataram, Raja Sanjaya langsung melamar Putri Runduk, janda Raja Jayadana. Namun usulan itu ditolak mentah-mentah karena Puteri Runduk beragama Islam sedangkan Raja Sanjaya beragama Hindu. Karena penolakan tersebut, Raja Sanjaya akhirnya memutuskan untuk menangkap Putri Runduk. Seperti yang disebutkan dalam sebuah puisi:

Perang antara Pemerintah Barus Raya dan Pemerintah Mataram telah berakhir. Pasukan Pemerintah Mataram sudah sangat lelah. Hal ini dimanfaatkan oleh Raja Janggi dari Afrika untuk menyerang pasukan Kerajaan Mataram yang membuat kekuatan Kerajaan Mataram menjadi kacau. Kota Guguk dan istana Kerajaan Barus Raya hancur akibat perang ini. 

Pasukan Raja Janggi akhirnya berhasil mengalahkan Kerajaan Mataram dengan mudah. Di tengah kericuhan, sekelompok pengawal setia Raja Jayadana beserta para pelayannya mengambil kesempatan untuk membawa Putri Runduk ke Pulau Morsala. Dalam pelarian yang menegangkan ini, banyak peralatan milik rombongan Putri Runduk jatuh di sepanjang pulau. Sehingga pulau-pulau tersebut di beri nama sesuai dengan nama-nama barang yang tersebar, seperti Pulau Terika, Pulau Lipat Kain, Pulau Puteri, Pulau Situngkus dan lain-lain.

Mengetahui Putri Runduk telah melarikan diri ke Pulau Morsala, Raja Janggi segera mengejar. Dengan kekuatan tim dan peralatan yang lengkap, tentu saja mudah bagi Raja Janggi untuk mengejar Puteri Runduk. Ketika Raja Janggi saling berhadapan mencoba untuk memeluk Putri Runduk, Puteri Runduk melawan dengan memukul tongkat keberuntungan dari akar baru, tongkat warisan Raja Barus, ke kepala Raja Janggi. Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

Pulau Puteri Pulau Penginang

Pulau Anak Janggi Ketiga

Bantal Bantal Putih

Racun Bermain Di Hati

Layanannya bagus karena lapisan putihnya

tapi sayang bantalnya kendor

orang yang tidur menjadi gatal

Dalam ayat lain disebutkan:

Hujan deras di Morsala

Biarkan orangutan mekar

Bintang-bintang di langit salah

ombak di laut beruang

Pulau Talam Pulau Tarika

tiga pulau lipat kainnya

jangkar pendaratan rusak rusak

haluan pindah ke jalan lain

Tapi bagaimanapun, Puteri Runduk hanyalah seorang wanita yang lemah dibandingkan dengan Raja Janggi. Merasa lelah dalam pengejaran ini, Putri Runduk akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut. Putri Runduk menghilang di tengah lautan tanpa jejak. Ia tidak rela dikendalikan oleh Raja Janggi. 

Sikambang Bandahari, asisten Puteri Runduk di Keraton Barus Raya, menjadi saksi mata kejadian tersebut. Ia menangis sedih karena tidak bisa menyelamatkan Putri Barus. Ia sangat marah dengan kekejaman para raja yang terpesona dengan kecantikan Putri Runduk. Sikambang Bandahari terus meratap tanpa henti, dari hari ke hari. Ratapan legendaris yang menceritakan tentang kecantikan putri-putri Barus Raya, ketenaran dan kesuksesan Kerajaan Barus Raya. 

***

Milki selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus, ya asal Sumatra Utara," kata Milki.

Milki menutup buku dan menaruh buku di meja.

PANGERAN HIDUNG BESAR

Jajang selesai melihat ikan hiasnya di akuarium sih. Jajang duduk di ruang tengah, ya sambil membaca bukunya dengan baik sih.

Isi buku yang di baca sama Jajang :

Hari ini adalah hari ulang tahun raja. Raja mengundang seluruh teman-temannya dan beberapa penyihir ke istana. Raja menjamu para tamunya dengan baik. Makanan yang dihidangkan pun amat enak. Raja terlihat asyik bercengkerama dengan semua orang yang hadir di pestanya. Namun, raja tak sadar bahwa ia telah membicarakan hidung penyihir yang besar. Semua orang yang hadir di sana pun tertawa.

“Hidung penyihir yang besar itu memang sangat lucu,” seru raja sambil tertawa.

Para penyihir yang mendengar perkataan raja tersebut langsung memegangi hidung mereka. Mereka menjadi sangat malu dengan ucapan raja.

“Kau menghina kami,” ucap salah satu penyihir. Seketika, raja menyadari kesalahannya.

“Ah, aku tak bermaksud menghina kalian. Tolong, maafkan aku,” pinta raja.

Namun, para penyihir sudah telanjur marah. Mereka langsung pergi meninggalkan pesta itu. Raja merasa sangat bersalah.

“Aku akan mengutukmu. Kelak ketika kau memiliki seorang anak, anakmu akan memiliki hidung besar seperti hidung kami,” ucap salah satu penyihir sambil berlalu meninggalkan pesta.

Hal itu membuat raja dan ratu menjadi sedih. Mereka tak ingin anak mereka memiliki hidung besar. Mereka ingin anak mereka normal seperti anak-anak lainnya. Beberapa bulan kemudian, ratu melahirkan seorang anak laki-laki. Benar saja, anak itu memiliki hidung yang sangat besar. tak seperti anak pada umumnya. Raja pun memerintahkan semua pelayannya untuk meyakinkan pangeran bahwa hidung sang pangeranlah yang normal, sedangkan hidung orang lain tak normal.

Semua pelayan mematuhi perintah raja. Akibatnya, hingga pangeran dewasa, ia menganggap hidungnyalah yang normal, sedangkan hidung orang lain tak normal. Pangeran berhidung besar itu bernama Pangeran Arnold. Pangeran Arnold tak pernah diizinkan pergi ke luar istana. Raja tak mau orang-orang menertawakan anaknya yang berhidung besar. Namun, pada suatu hari, raja hendak menjodohkan Pangeran Arnold dengan seorang putri yang sangat cantik dari kerajaan tetangga.

“Kau harus menemui putri itu di kerajaannya,” ucap raja.

“Baik, Ayah. Aku akan menemui putri itu dan membawanya pulang ke istana kita.” balas Pangeran Arnold.

Tak lupa, raja menyuruh pelayan Pangeran Arnold untuk selalu meyakinkan Pangeran Arnold, bahwa hidung Pangeran Arnold itulah yang normal. Pangeran Arnold memang merasa dirinyalah yang normal, sedangkan orang lain yang berhidung kecil tidak normal. Pangeran Arnold pun berangkat dengan pelayannya menuju ke kerajaan tetangga. Saat sampai di kerajaan itu, banyak sekali orang yang memperhatikan Pangeran Arnold. Mereka tertawa melihat hidung Pangeran Arnold yang besar.

“Kenapa mereka tertawa melihat hidungku? Bukankah hidung mereka yang tak normal?” tanya Pangeran Arnold kepada pelayannya.

“Mereka iri melihat hidung pangeran yang normal, sementara hidung mereka tak normal,” jawab pelayannya, berbohong.

Begitu pula dengan putri yang ditemui oleh Pangeran Arnold. Ia juga tertawa melihat hidung Pangeran Arnold. Namun, Pangeran Arnold tak menghiraukan tawa sang putri. Ia pun mengulurkan tangannya kepada sang putri. Olala, saat Pangeran Arnold hendak mencium tangan putri, hidungnya menghalanginya. Saat itulah, Pangeran Arnold tersadar bahwa hidungnyalah yang tak normal.

“Aku tak bisa mencium tanganmu karena hidungku terlalu besar. Rupanya, selama ini orang-orang di istana membohongiku,” kata Pangeran Arnold.

Tiba-tiba, muncul sebuah keajaiban. Hidung pangeran Arnold mengecil dan akhirnya menjadi normal. Ternyata, sihir yang diberikan oleh si penyihir akan hilang jika Pangeran Arnold mengakui bahwa dirinyalah yang tak normal. Pangeran Arnold lalu membawa pulang sang putri. Mereka pun menikah di istana Pangeran Arnold. Raja dan ratu juga menjadi sangat bahagia dengan perubahan hidung Pangeran Arnold.

***

Jajang terus membaca buku tersebut sampai pesan moral yang di tulis di buku dengan baik yaitu dari  pada berbohong, Iebih baik berkata jujur meskipun menyakitkan. Akuilah kekurangan diri sendiri. Jangan sampai membohongi diri sendiri, apalagi orang lain.

Jajang selesai membaca bukunya, ya memahami isi buku tersebut dan berkata " Cerita yang bagus asal dari Perancis."

Jajang menutup buku dan buku di taruh di meja dengan baik.

HANS YANG BODOH

Andi selesai bermain dengan teman-temannya, ya pulang ke rumahnya. Sampai di rumah Andi duduk di ruang tengah. Ada buku di meja, ya di ambil sama Andi dan di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Andi :

Tersebutlah seorang pengawal tua yang berkeinginan menikahkan salah satu orang putranya dengan putri sang Raja, lalu dia mendidik dua orang putranya yang akan mengatakan kata-kata terbaik untuk syarat yang harus dipenuhinya. Kata terbaik yang menyentuh perasaan sang putri itulah pemenangnya, sehingga mereka berdua belajar keras untuk cita-cita mereka masing-masing. Dari mulai belajar merangkai kata-kata yang indah dan memilih kata-kata yang terbaik.

Mereka belajar siang dan malam dengan harapan dapat berjodoh dengan sang putri dan ayah mereka memberi mereka masing-masing satu ekor kuda pilihan yang terbaik untuk datang dan pergi ke aula istana Raja. Sebenarnya sang pengawal tua mempunyai tiga orang putra namun anak yang ketiga dianggap kurang dalam berpikir atau dianggap sangat bodoh (dari cara berpikirannya yang lebih rendah) sehingga disebut Blockhead-Hans atau Hans yang bodoh.

Namun dia juga punya keinginan ikut untuk memenangkan perlombaan dengan imbalan menikah dengan sang putri Raja yang cantik jelita, tetapi sang ayahnya tidak memberinya izin dan tidak diberi kuda seperti kedua kakaknya. Sehingga dia naik seekor kambing yang sangat besar, sebagai ganti untuk kendaraan yang akan ditungganginya pergi menuju aula istana tempat sang putri mengujinya.

Dalam perjalanan ke aula istana tempat ruang Raja, Blockhead-Hans atau Hans bodoh mengambil beberapa hadiah untuk diberikan kepada sang putri sabagai buah tangan diantaranya: gagak mati, sepatu kayu tua tanpa atas, dan lumpur. Pada Tahta kerajaan, telah hadir tiga wartawan dan editor yang berdiri diposisi masing-masing dekat jendela aula. Mereka diperintahkan untuk menuliskan apa saja kata-kata dari masing-masing pelamar yang diucapkan untuk menerbitkannya diharian kerajaan. Perlombaan semakin memanas saja, karena setiap pelamar yang gagal melakukan pengujian dari sang putri, menjadi sangat kecewa dan marah terbakar hatinya.

Kedua saudara Hans bodoh mengucapkan kata-kata terbata-bata dan gagal untuk mengesankan sang putri dari semua kata-kata indahnya, meraka berdua terkesimak dan menadi gerogi oleh kecantikkan dan pesona sang putri. Hans bodoh dengan naik seekor kambing maju dan masuk ke dalam aula kerajaan dengan tingkahnya yang sangat tenang. Dia mengatakan tentang suasana yang semakin memanas dari semua orang yang datang.

Sang putri merasa senang dengan sikapnya yang tenang itu, dia malah menjawab dengan jawaban bahwa dia sedang memanggang ayam-ayam muda yang berarti para peserta pelamar semuanya, dalam plesetan kata-katanya. "Itu bagus!" jawab Blockhead-Hans Hans bodoh. "Maka saya bisa sekalian memanggang burung gagak bersama dengan mereka," dan dia mengambil gagak mati sebagai buah tangan untuk sang putri. Sanga putri sangat setuju dengan jawaban dari Blockhead-Hans. Apakah dia juga punya sesuatu untuk memanaskan suasana di aula Raja yang sedang terbakar emosi.

Hans bodoh mempersembahkan sepatu dengan menyebutkan kata-kata "memasak harusnya dengan cincin timah untuk pelaksanaannya dan gagak mati yang sudah siap di masak di dalamnya. "Sang putri sangat setuju," dan bertanya kembali kepada sang pemuda lugu, "di mana supnya." Sang Bodoh-Hans menuangkan lumpur diatas burung gagak. Sang putri menyukai ketulusan serta keluguan dari sang pemuda yang bernama "Hans" ini dan lalu dia memutuskan untuk menikah dengannya.

Sang putri mengatakan kepadanya bahwa wartawan telah menuliskan semua yang dia katakan, mereka akan menerbitkannya. Hans Bodoh mengatakan, "Lalu aku telah memberikan kata-kata terbaik untuk para wartawan tersebut, dan melemparkan lumpur di wajah editor yang bodoh ini." Bodoh-Hans berlanjut dengan menikahi sang putri dan kemudian dari beberapa tahun kedepan dia dinobatkan menjadi sang Raja dan mereka hidup dengan penuh suka-cita.

Sekian semoga mengibur.

***

Andi selesai membaca bukunya dan berkata "Cerita yang bagus asal dari Belanda."

Andi menutup bukunya dan di taruh di meja. 

"Mandi ah. Hari sudah sore juga!" kata Andi.

Andi beranjak dari tempat duduknya, ya kebelakang untuk mandilah.

ASAL MULA PULAU SI KANTAN

Nazar selesai latihan menyanyi, ya karokean di rumah saja sih....bisa bilang menghibur diri juga sih. Nazar duduk santai di ruang tengah, ya membaca bukunya dengan baik.

Isi buku di baca Nazar :

Di tepi sebuah sungai di Labuhan Batu, Sumatra Utara, hiduplah seorang janda yang sangat miskin bersama seorang anaknya. Anaknya bernama Si Kantan. Si Kantan dan Ibunya tinggal di sebuah gubuk yang reot dan kumuh. Mereka hidup sengsara. Ayah Si Kantan telah lama meninggal dunia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu Si Kantan mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Si Kantan sering membantu ibunya untuk membawa kayu bakar dari hutan ke pasar. Si Kantan terkenal sebagai anak yang rajin dan patuh kepada ibunya.

Ketika malam tiba, ibu Kantan bermimpi. Dia bertemu dengan seorang kakek tua yang menyuruh mereka untuk menggali tanah pada sebuah tempat di dalam hutan. Ketika pagi tiba, sang ibu menceritakan perihal mimpinya kepada Si kantan. Si Kantan menyarankan kepada ibunya untuk mematuhi apa yang disuruh oleh kakek tua itu. 

“Ibu, cobalah kita laksanakan perintah sang kakek tersebut, mana tau akan membawa keberuntungan bagi kita. Semoga nasib kita bisa berubah menjadi lebih baik,” ujar Si Kantan penuh harap.

Mereka akhirnya ke hutan dengan membawa peralatan untuk menggali tanah. Ibu Kantan mengingat-ingat kembali tempat mana yang ditunjukkan oleh kakek tersebut untuk digali tanahnya. Ketika berada di tempat yang tepat, ibu Kantan pun berseru kepada anaknya.

“Anakku, mungkin di sinilah tempatnya. Mari kita gali tanahnya!” kata sang ibu penuh harap.

“Jika ibu yakin tempatnya di sini, saya segera akan menggalinya Bu,” kata Si kantan dengan tidak kalah semangat.

Dengan semangat, Si Kantan menggali tanah yang berada di bawah pohon rindang dan cukup besar. tidak lama kemudian, dia menemukan sebuah benda yang dibungkus oleh kain putih yang telah usang. Si Kantan berseru kepada ibunya, karena dia telah menemukan sesuatu yang dianggap mungkin itulah benda yang diberitahu oleh kakek tua dalam mimpi ibunya.

Mereka membuka benda yang dibungkus oleh kain putih tesebut. Alangkah tercengang sekaligus bahagianya mereka. Ternyata benda tersebut sangat berharga. Benda tersebut adalah sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata. Mereka terkagum-kagum akan benda itu. Si Kantan dan ibunya berharap agar benda tersebut dapat merubah nasib mereka. Setelah sampai di rumah, mereka bermusyawarah untuk memastikan nasib benda tersebut. Apakah benda tersebut akan mereka simpan atau dijual.

“Anakku, sebaiknya benda ini dijual. Hasil penjualannya akan ibu belikan rumah yang pantas dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Si Kantan merenung, lalu berkata “Ibu, jika ibu jual benda ini, lalu siapa yang akan membelinya ? benda ini terlalu berharga dan sangat mahal tentunya. Penduduk kampung ini tidak akan bisa membelinya.”

“Benar anakku, kalau begitu, benda tersebut harus engkau jual ke penduduk pulau lain,” kata ibunya.

Mereka akhirnya setuju bahwa benda tersebut akan dijual di luar pulau tempat mereka menetap. Si kantan pun akhirnya pamit kepada ibunya untuk menjual benda tersebut. Sejujurnya, Si Kantan sedih meninggalkan ibunya yang sebatang kara. Apalagi ibunya telah tua renta dan tidak cukup tenaga untuk bekerja sendiri. Namun, demi memperbaiki hidup, Si Kantan harus menjual tongkat ajaib tersebut untuk dijadikan sebagai uang yang dapat membuat mereka bahagia. Sang Ibu akhirnya melepas kepergian Si Kantan dengan rasa sedih bercampur haru.

“Jika engkau telah menjual benda itu, pulanglah secepatnya Nak, ibu selalu merindukanmu,” kata ibu Si Kantan sambil terisak.

“Kantan berjani Bu, akan kembali secepatnya ke rumah ini,” kata Si Kantan sambil membalas pelukan ibunya.

Si kantan akhirnya pergi ke Malaka untuk menjual tongkat tersebut. Di perjalanan, dia harus mengarungi Sungai Barumun lalu melewati laut lepas. Dia harus menggunakan kapal layar dan rela terombang-ambing karena badai yang yang sangat dahsyat. Si Kantan selalu berharap agar tongkat emas yang dibawanya laku terjual dengan harga yang pantas.

Setelah sampai di Malaka, Si Kantan mencoba menawarkan barang tersebut kepada para pedagang. Semua pedagang yang ada di Malaka ditawari Si Kantan untuk membeli tongkat tersebut. Ternyata semua pedagang di kota itu tidak sanggup membelinya. Harga tongkat itu terlalu mahal karena sangat bernilai tinggi. Akhirnya Si Kantan berniat pulang karena tidak ada satupun yang membeli benda tersebut. Ketika sampai di pelabuhan untuk pulang ke kampungnya, Si Kantan bertemu dengan para hulubalang Kerajaan malaka. Para hulubalang Kerajaan Malaka melihat benda yang dibawa oleh Si Kantan. Mereka bertanya kepada Si Kantan, benda apa gerangan yang dia bawa, mengingat benda tersebut masih ditutupi oleh kain.

“Ini adalah tongkat emas, Tuan. Saya mau menjualnya,” jawab Si Kantan.

“Cobalah kau bawa tongkat itu ke raja kami. Mana tau sang raja mau membelinya,” kata salah satu hulubalang tersebut.

Si Kantan dengan para hulubalang pergi ke istana untuk menemui sang raja. Di istana, raja terkagum-kagum atas keindahan dan kemewahan tongkat emas tersebut.

“Alangkah indahnya tongkat ini, saya tertarik untuk memilikinya,” ujar sang raja. 

“Dengar anak muda, saya tidak akan membeli tongkat ini. Namun sebagai gantinya, saya akan mengangkatmu sebagai menantu, saya memiliki seorang putri cantik yang belum dinikahkan kepada siapapun.”

Mendengar ucapan sang raja, Si Kantan berkata, “Ampun paduka yang mulia, jika memang itu kehendak paduka, saya bersedia untuk dinikahkan dengan anak anda.”

Si Kantan akhirnya menikah dengan seorang putri dari raja Malaka. Mereka akhirnya menikah. Pesta pernikahan mereka sangat megah. Kantan telah menjadi salah satu keluarga kerajaan. Di istana, Si Kantan dan istrinya hidup bergelimang kemewahan. Dengan kehidupan yang sangat mewah, Si Kantan akhirnya melupakan sang ibu di kampung. Si Kantan lupa akan janjinya. Padahal, hari demi hari sang ibu dengan penuh harap tetap menunggu kepulangan Si Kantan. Namun, tidak lama setelah Si Kantan menikah, sang istri terus mendesak ingin bertemu dengan ibu Si Kantan. Dia ingin diperkenalkan kepada ibu mertuanya. Apalagi, keinginan tersebut juga direstui oleh mertua Si Kantan, sang raja. Setelah didesak secara terus menerus, akhirnya Si Kantan bersedia pulang ke kampung untuk mengenalkan ibunya dengan istrinya, meskipun keinginan tersebut sangat berat bagi Si Kantan.

Ketika pagi hari, sebuah kapal besar yang megah membawa Si Kantan dan istrinya untuk pergi ke kampung menemui ibu Si Kantan. Mereka membawa puluhan pengawal. Mereka menempuh perjalanan selama berhari-hari, hingga sampailah ke daerah yang bernama Labuhan Bilik. Labuhan Bilik adalah sebuah kota kecil yang terletak di muara Sungai Barumun.

Penduduk muara Sungai Barumun terkagum-kagum atas kemegahan sebuah kapal yang ditumpangi oleh Si Kantan bersama istrinya. Mereka menerka-nerka siapakah orang yang menggunakan kapal megah tersebut. Alangkah terkejutnya mereka, bahwa kapal tersebut ternyata ditumpangi oleh seorang pemuda dan istrinya yang cantik jelita. Pemuda dan istrinya tersebut mengenakan pakaian yang mewah. Salah satu penduduk kampung berseru bahwa dia mengenali pemuda tersebut.

“Hei, itu adalah Si Kantan. Pemuda yang tinggal bersama ibunya di tepi sungai,” sahut salah seorang dari mereka.

“Benar, itu adalah Si Kantan,” sahut lainnya.

Kabar akan kedatangan Si Kantan akhirnya terdengar oleh ibu kandungnya sendiri. Sang ibu dengan gembira dan penuh suka cita menunggu anaknya di gubuk reotnya. Namun, sang anak tidak kunjung datang. Sang ibu akhirnya memutuskan untuk menemui anaknya di pelabuhan.

Sang ibu menggunakan sebuah sampan tua untuk mengarungi Sungai Barumun, dia ingin menemui anaknya. Dengan hati yang berdebar dan penuh harap, sang ibu ingin memeluk anaknya untuk melepas kerinduannya. Tidak lama kemudian, sampailah sang ibu di pelabuhan. Tampaklah sebuah kapal besar yang megah sedang bersandar di pelabuhan tersebut.

“Jika memang itu adalah kapal Si Kantan, alangkah bahagianya aku,” kata sang ibu.

Sang ibu dengan sekuat tenaga mengayuh sampan tua tersebut untuk mendekati kapal besar di pelabuhan itu.

“Kantaaan.... Kantaaan..., Kantan anakku,” panggil perempuan itu dengan penuh semangat namun penuh haru. “Ini ibumu nak....”

Istri Kantan mendengar suara teriakan ibu mertuanya. Dia lalu bertanya kepada Kantan untuk memastikan apakah suara tersebut adalah benar mertuanya.

“Kanda, ada yang berteriak memanggil suara Kanda. Apakah ibu itu adalah ibu kandung Kakanda ?” tanya sang istri Kantan.

“Bukan, itu mungkin orang gila yang tidak aku kenali,” jawab Kantan. Si Kantan sebenarnya mengetahui suara ibunya, namun dia malu untuk mengakui bahwa perempuan tua itu adalah ibunya.

Sang ibu terus-menerus memanggil anaknya. Dia berharap agar Si Kantan datang menemuinya.

“Ini ibumu nak..., datanglah Kantan,” ibunya terus memanggil.

Sang istri akhirnya keluar dari kapal dan menuju anjungan. Dia penasaran dan ingin bertemu dengan ibu mertuanya. Keluarnya sang istri disusul oleh Si Kantan. Tampaklah seorang wanita tua renta dengan pakaian yang kumal sedang menunggu ke arah kapal Si Kantan. Melihat keadaan tersebut, Si Kantan mengusir dengan suara yang keras ke arah wanita tua tersebut.

“Hai, perempuan tua yang jelek. Kau seenaknya saja mengaku ibuku. Ibuku tidak seperti kau !” hardik Si Kantan

Sang istri menenangkan Si Kantan bahwa mungkin bisa saja itu adalah ibunya. Namun, karena malu dan tidak ingin beribukan yang telah tua dan miskin, Si Kantan tetap bersikeras bahwa itu bukanlah ibunya.

“Dia bukan ibuku, ibuku cantik dan masih muda,” kata Si Kantan kepada istrinya.

Si Kantan terus memaki-maki wanita yang sebenarnya adalah ibu kandungnya sendiri. Dengan bantuan pengawal, Si Kantan menyuruh mereka untuk mengusir ibunya sendiri. Sang ibu dengan berat hati kembali pulang ke gubuk reotnya, sedangkan Si Kantan bersama istrinya kembali ke istana. Dengan perasaan yang sangat sedih karena diusir oleh anak kandungnya sendiri, sang ibu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, anakku telah durhaka kepada ibunya. Berilah dia balasan yang setimpal. Dia tidak tau balas budi terhadap ibunya yang telah mengandung, melahirkan, serta membesarkannya,” dengan penuh isak tangis yang tidak terbendung lagi, sang ibu berdoa kepada Tuhan.

Tidak lama kemudian, langit menjadi gelap, petir menyambar-nyambar, lalu turunlah hujan badai. Air di Sungai Barumun menjadi bergulung-gulung. Kapal besar yang ditumpangi oleh Si Kantan dan istrinya mulai terombang ambing di perairan. Setelah itu, kapal terhempas oleh gelombang air yang sangat dahsyat. Kapal tersebut akhirnya tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Si Kantan akhirnya tewas. Tidak lama setelah kejadian tersebut, munculah sebuah pulau di tengah Sungai Barumun. Oleh masyarakat, pulau tersebut di beri nama pulaun Si Kantan. 

***

Nazar selesai baca bukunya.

"Bagus ceritanya," kata Nazar.

Nazar menutup buku dan menaruh buku di meja.

KISAH PUTRI ULAR

Dewi selesai bermain dengan adiknya Lilia. Dewi duduk santai di ruang tamu sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Dewi :

Di sebuah daerah yang bernama Simalungun, Sumatera Utara sekarang, berdirilah sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang arif bijaksana. Raja tersebut memiliki seorang putri yang cantik jelita. Putri raja tersebut terkenal dengan kecantikannya. Tidak hanya di kerajaan itu, kecantikan sang putri juga terkenal di negeri seberang. Seorang raja muda yang tampan dari negeri tetangga ingin mempersunting putri dari raja di daerah Simalungun itu.

Raja muda tersebut akhirnya bermusyawarah dengan para penasehatnya untuk mempersunting putri tersebut. Sang raja menegaskan lagi apakah seorang putri tersebut sangat cantik kepada para penasehatnya. Semua para penasehat raja serempak membenarkan kenyataan tersebut. Mereka juga menyetujui jika putri tersebut pantas dijadikan permaisuri oleh raja muda itu. Mengingat sang raja juga memiliki paras yang tampan dan sang putri yang memiliki paras yang cantik jelita. Semua rakyat pasti akan bahagia apabila rajanya bersanding dengan seorang permaisuri yang cantik jelita.

Mereka akhirnya mempersiapkan acara lamaran untuk meminang putri tersebut. Segala keperluan seperti perhiasan emas dan berlian, kain sutra berhiaskan permata, dan beberapa perlengkapan mewah dan berharga mereka siapkan untuk meminang sang putri. Dengan hati gembira, utusan raja muda pergi menuju kerajaan tempat berdiamnya sang putri. Sang raja berharap agar pinangannya diterima baik. Dia tidak sabar untuk menjadikan sang putri sebagai permaisurinya. 

Setelah sampai di kerajaan yang dimaksud, utusan raja muda diterima baik oleh ayah sang putri. Mereka melakukan perjamuan makan bersama. Hingga akhirnya, utusan raja muda menyampaikan pesan dari raja muda yang bermaksud mempersunting sang putri raja.

“Wahai utusan raja muda, ada apakah gerangan maksud engkau datang kemari ?” tanya ayah sang putri.

“Ampun baginda, kami datang kemari untuk menyampaikan pinangan raja muda yang berniat memperistri anak baginda raja yang cantik jelita,” jawab utusan raja muda.

Sang raja yang merupakan ayah dari sang putri tersenyum, lalu berkata “Kedua kerajaan apabila memiliki hubungan pernikahan, pastilah akan menjadi sahabat. Baiklah, saya menerima pinangan beliau.”

Utusan raja muda tampak bahagia, “Ampun baginda raja, kami sangat berterimakasih atas penerimaan pinangan ini. kami tentunya akan menyampaikan kabar gembira ini kepada raja muda dengan senang hati. Acara pesta pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi.”

“Mengapa begitu lama ?” tanya sang raja.

“Kami akan menyiapkan pesta pernikahan secara besar-besaran baginda.” Jelas utusan raja muda.

“Oh, baiklah kalau begitu.”

Akhirnya utusan raja muda pulang ke negaranya dengan senang hati. setelah sampai di istana, mereka dengan senang hati memberitakan perihal penerimaan lamaran tersebut. Raja muda tidak kalah gembiranya mendengar penerimaan pinangan dari putri yang cantik jelita. Wajahnya tambah sumringah mendengar berita tersebut. Mereka akhirnya sibuk mempersiapkan pesta pernikahan secara besar-besaran dengan penuh semangat. Sebentar lagi, raja mereka akan memiliki permaisuri yang sangat cantik jelita. Di kerajaan sang putri, sang ayah menghampiri putrinya yang tengah duduk di taman istana. Sang raja mendekati anaknya yang asyik merangkai bunga.

“Putriku, tahukah engkau maksud kedatangan kerajaan seberang pada saat kemarin ?” sang raja bertanya.

“Ampun ayahanda, saya tidak mengetahuinya,” jawab sang putri.

Sang raja tersenyum lalu berkata, “Mereka menyampaikan sesuatu bahwa raja mereka yang masih muda dan tampan ingin melamarmu dan ayah menerima lamarannya.”

Sang putri akhirnya tersipu malu. Rona merah di pipinya mulai tampak, menambah kecantikan di paras wajahnya yang lembut.

“Bagaimana menurutmu, putriku ?” tanya sang raja.

“Jika ayahanda menghendakinya, saya menyetujuinya ayahanda,” kata sang putri dengan bola mata yang berbinar.

“Jagalah dirimu baik-baik, pesta pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” pesan sang raja.

“Baik ayahanda,” sahut sang putri.

Beberapa hari menjelang pernikahannya dengan raja muda, seperti biasanya, sang putri melakukan ritual mandi di taman belakang istana. sang putri tidak sendiri, sebab ditemani dayang-dayangnya. Di kolam mandi, sang putri seperti biasanya duduk di atas sebuah batu yang telah dipersiapkan khusus. Dia masih membasuh kakinya yang berjuntai di dalam air kolam meskipun telah selesai mandi. Dalam lamunannya, dia membayangkan kebahagiaannya ketika bersanding dengan seorang raja muda nan tampan. Raja muda yang sebentar lagi menjadi suaminya. Sesekali, dia senyum-senyum sendiri mengingat betapa tampannya raja muda itu.

Namun, cuaca buruk terjadi. Angin yang sepoi-sepoi berubah menjadi angin ribut. Dedaunan pohon saling bergesekan karena tertiup angin kencang. Seorang dayang-dayang mengingatkan sang putri agar kembali ke dalam istana.

“Tuan putri, sebaiknya kita harus kembali ke dalam istana. Cuaca di luar sangat buruk,” kata salah satu dayang-dayang.

Sang putri tidak mendengarkan peringatan dari dayang-dayang tersebut. Dia masih berjibaku dengan lamunannya. Akhirnya, salah satu ranting dari sebuah pohon jatuh tepat mengenai ujung hidungnya. Ranting pohon tersebut cukup tajam hingga melukai hidung sang putri.

“Aduh.... hidungku..,” teriak sang putri menahan kesakitan.

Sang putri akhirnya memerintahakan dayang-dayang untuk membawakan sebuah cermin. Namun, alangkah terkejutnya sang putri. Hidung sang putri berdarah dan bentuknya telah menjadi sompel (hilang sebagian) akibat tertimpa ranting itu, bentuknya tidak lagi mancung seperti dahulu. Sang putri menangis terisak penuh penyesalan. Sebab, dengan rupa seperti itu, dia tidak akan cantik lagi.

Sang putri akhirnya ketakutan dengan pernikahanya. Dia menduga, pastinya sang raja muda akan membatalkan pernikahan dengan dirinya, karena tidak akan mau memperistrinya. Wajahnya telah berubah menjadi jelek. Air matanya bercucuran, dia meratapi nasibnya. Pada saat itu, sang putri menjadi putus asa. Rakyatnya akan kecewa memiliki seorang putri dengan paras yang buruk. Kedua orang tuanya pasti menanggung malu akibat rupa anaknya yang telah berubah menjadi jelek. Sang raja muda pasti akan mencari putri yang lain untuk dijadikan permaisurinya.

Pada saat keadaan tertekan tersebut. Keputusasaan sang putri semakin bertambah. Pikiran-pikiran buruk pun berkecambuk. Hingga akhirnya, sang putri berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar dirinya dihukum atas perbuatannya.

“Ya Tuhan Yang Maha Esa, hukumlah hamba..,” doa sang putri.

Ternyata, doa sang putri dikabulkan. Petir menyambar-nyambar. Angin bertambah ribut. Langit menjadi gelap. Tubuhnya mengalami perubahan yang sangat berbeda. Tiba-tiba kakinya menjadi bersisik, persis seperti sisik ular. Lalu, tangan dan tubuhnya juga ditumbuhi oleh sisik. Dayang-dayang yang melihat kejadian itu berlari untuk mengadu kepada raja dan permaisuri. Mereka memberitakan perihal tentang sang putri yang ditumbuhi sisik seperti ular.

“Ampun baginda raja dan permaisuri, hamba memberitakan bahwa kulit sang putri ditumbuhi sisik seperti ular,” kata dayang-dayang istana.

“Apa...? putriku ditumbuhi sisik?” raja terkejut seolah tidak percaya.

Raja dan sang permaisuri akhirnya bergi bergegas ke halaman belakang istana, tempat kolam pemandian sang putri. Alangkah terkejutnya mereka, karena tidak menemukan sang putri. Mereka hanya menemukan seekor ular besar yang melingkar di atas batu, batu yang biasanya diduduki sang putri.

“A..aa.. anakku,” kata sang raja dengan wajah yang seolah tidak percaya.

“Putriku.... kenapa kau nakk..,” kata sang permaisuri dengan air mata yang berurai.

Sang ular yang merupakan penjelmaan sang putri hanya menggerakan kepalanya dan menjulurkan lidahnya. Wajah sang ular tampak ingin menyampaikan sesuatu, namun tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Akhirnya sang ular pergi meninggalkan raja dan permaisuri. Sang ular akhirnya masuk ke dalam hutan. Raja, permaisuri dan pegawai istana tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya terdiam dan merasakan kesedihan yang mendalam, karena sang putri telah menjelma menjadi seekor ular.

Berubahnya sang putri menjadi ular karena ulah dirinya sendiri. Dia tidak mematuhi amanat dari ayahnya untuk menjaga dirinya baik-baik. Padahal, cuaca buruk dan dayang-dayang sudah memperingatkan agar segera menyelamatkan diri ke istana. Keputusasaan sang putri dan meminta kepada Tuhan agar dirinya di hukum merupakan atas permintaan sendiri, akhirnya menjadi terkabul. 

***

Dewi selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Dewi.

Dewi menutup buku dan buku di taruh di meja dengan baik.

"Waktunya mengerjakan PR," kata Dewi.

Dewi mengambil lagi buku di meja, ya di bawanya ke kamarnya untuk di taruh di rak buku di kamarnya. Dewi mengeluarkan buku dari tasnya dengan baik, ya segera di kerjakan PR dengan baik pula.

PUTERI HIJAU

Agafia selesai bermain dengan teman-teman di lapangan, ya segera pulang ke rumah. Sampai di rumah, ya Agafia duduk santai di ruang tengah sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Agafia :

Inilah kisah Putri Hijau, sebuah cerita rakyat Sumatera Utara. Di suatu daerah yang bernama Medan Deli, terdapat sebuah kerajaan dengan istana yang megah, istana tersebut bernama Istana Maimun. Kerajaan ini berdiri sekitar abad 15-16 Masehi. Kerajaan Melayu dipimpin oleh seorang raja bernama Sultan Muhayat Syah. Sultan Muhayat Syah memiliki 3 orang anak. Anak pertama bernama Mambang Yazid, anak kedua bernama Mambang Khayali, dan anak ketiga bernama Putri Hijau.

Ketiga anak Sultan Muhayat Syah ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Mambang Yazid dapat mengubah dirinya menjadi seekor naga. Anak kedua, Mambang Khayali, bisa mengubah dirinya menjadi meriam. Sedangkan si bungsu, Putri Hijau, bisa memancarkan cahaya hijau di tubuhnya saat malam bulan purnama tiba. Putri Hijau tidak hanya bisa memancarkan cahaya, tetapi memiliki wajah yang sangat cantik. Banyak orang kagum dan terpesona dengan kecantikannya. Selain itu, sang putri memiliki sifat ramah dan murah hati kepada rakyatnya.

Ketika malam bulan purnama tiba, Putri Hijau sedang berjalan-jalan di taman istana. Sinar cahaya dapat dilihat dari jarak yang cukup jauh. Hingga pancaran lampu hijau cantik mempelai wanita terlihat oleh kerajaan tetangga, kesultanan Aceh.

Sultan dikejutkan oleh seberkas cahaya hijau yang indah. Kepada pengawalnya, sultan memerintahkan untuk mencari lokasi sumber lampu hijau itu. Dari informasi yang diperoleh pengawalnya, ternyata lampu hijau itu datang dari seorang putri cantik dari kerajaan tetangga di daerah Deli.

Setelah mendengar penjelasan dari pengawalnya, sultan akhirnya berniat untuk menikahi Putri Hijau. Permohonan disiapkan, berbagai perhiasan dan beberapa pengawal dikirim untuk mengunjungi kerajaan Putri Hijau, namun lamaran itu di tolak oleh sang putri.

Penolakan lamaran tersebut membuat sultan Aceh menjadi sangat marah. Ia merasa bahwa Pemerintah Deli telah menebar permusuhan kepada Pemerintah Aceh. Untuk itu, sultan mengirimkan ratusan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Deli akibat penolakan Putri Hijau. Ternyata Kerajaan Deli begitu tangguh, perang tidak bisa dimenangkan oleh lawan. Akhirnya Kerajaan Deli memenangkan pertempuran tersebut.

Sultan tidak patah semangat, dengan kelicikannya, ia kemudian menembakkan senjatanya sebagai serangan terhadap Pemerintah Deli dengan peluru koin emas. Para prajurit Kerajaan Deli dengan senang hati mengambil koin emas itu. Sementara tentara pemerintah Deli sibuk mengambil koin emas, pemerintah Aceh akhirnya menyerang Deli Bersatu. Akibatnya, Kerajaan Deli mengalami kekalahan. Putra kedua sultan Deli, Bambang Khayali, tidak terima dengan kekalahan yang di derita kerajaannya. Dia mengubah tubuhnya menjadi meriam dan menembak musuh tanpa henti. Karena tembakan senjata yang berkepanjangan ke arah kekuatan di Aceh, peluru menjadi sangat panas. Akhirnya meriam itu pecah menjadi dua. Ujung pistol itu dibuang ke perbatasan kerajaan Aceh.

Melihat kehancuran itu, Kerajaan Deli mengaku kalah. Putri Hijau akhirnya di ambil alih oleh pemerintah Aceh. Arwah Yazid, adik Putri Hijau, akhirnya meminta syarat kepada sultan Aceh. Syarat itu tidak menyentuh Putri Hijau sampai mereka datang ke Aceh. Selain itu, Putri Hijau harus di bawa dengan kotak kaca, dan sesampainya di kawasan Jambu Air, Putri Hijau harus turun ke sungai untuk membakar dupa dan menabur padi dan telur. Setelah membakar dupa dan menabur padi dan telut, sang putri harus menyebut nama kakaknya sebanyak 3 kali. Persyaratan tersebut dipenuhi oleh sultan Aceh, karena dianggap mudah.

Putri Hijau dan Sultan beserta pengawalnya meninggalkan kapal pesiar kembali ke provinsi. Kapal pesiar dapat mengarungi sungai Deli yang konon pada zaman dahulu dilintasi kapal pesiar. Pink Water di daerah tersebut, Putri Hijau keluar dari kaca pengaman dan turun ke sungai untuk membakar dupa, menabur padi dan telur dan disebut "Yazid.. Kalender Kalender Kalender Yazid Yazid .. .. Ayo, saudaraku, dan selamatkan saudaramu dalam genggaman Sultan Aceh.” Akhirnya air sungai menjadi beriak, air menjadi gemuruh dan angin menjadi badai. Putri Hijau akhirnya kembali ke kotak kaca. Segera, petir menyambar tanpa henti dan langit menjadi gelap. Dalam situasi seperti itu, muncul seekor naga yang sebenarnya adalah jelmaan Mambang Yazid.

Akhirnya Putri Hijau yang berada di dalam kotak kaca itu terlempar ke sungai dan hanyut. Seekor naga yang merupakan jelmaan Mambang Yazid membawa kotak kaca berisi Putri Hijau ke dalam mulutnya dan membawanya ke laut. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu apakah Putri Hijau masih hidup sebagai manusia atau telah menghilang.

***

Agafia selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Agafia.

Agafia menutup bukunya dan buku di taruh di meja. Agafia pun beranjak dari duduknya di ruang tengah ke dapur untuk membantu ibu memasak di dapur.

LEGENDA LAU KAWAR

Albina selesai membantu ibu berjualan di depan rumah. Albina duduk santai di ruang tamu sambil baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Albina :

Cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Karo, Sumatera Utara. pada zaman dahulu, berdirilah sebuah desa yang bernama Kawar. Daerah tersebut memilki tanah yang subur. Karena memiliki tanah yang subur, sebagian besar matapencaharian penduduk tersebut adalah bertani.

Pada suatu waktu, desa tersebut mengalami panen yang berlipat ganda. Para penduduk bersuka cita menerima hasil panen yang berlimpah. Bahkan, lumbung padi pun tidak mampu menampung hasil bumi yang sangat banyak. Mereka akhirnya mengadakan selamatan untuk mensyukuri hasil panen yang berlimpah ruah. 

Upacara adat untuk mensyukuri hasil panen yang berlimpah dilaksanakan dengan sangat meriah. Mereka mengenakan pakaian yang pantas untuk melaksanakan upacara tersebut. Kaum wanita tidak lupa memasak makanan yang cukup banyak untuk pesta syukuran, agar mereka dapat menyantap makanan enak hasil dari panen raya. Tidak lupa alunan musik gendang guro-guro juga ikut menyemarakan pesta. Mereka bersuka cita menikmati pesta yang sangat meriah.

Namun, di sebuah rumah, tinggalah seorang nenek tua yang telah lumpuh. Sang nenek tidak bisa menikmati pesta panen raya karena mengalami lumpuh total. Badannya tidak bisa digerakan sama sekali, dia hanya bisa tidur di pembaringan. Akan tetapi, anak, cucu, dan menantu sang nenek ikut berpesta. Padahal sang nenek sangat berharap untuk ikut dalam pesta panen raya itu. 

“Ya Tuhan, aku ingin sekali mengikuti pesta panen raya itu. Namun apalah dayaku, untuk membawa badanku ke sana saja tidak bisa,” gumam si nenek dengan air mata yang berderai.

 Tidak ada satu orang pun yang mengajak sang nenek untuk menghadiri pesta panen raya itu. Jangankan mengajak untuk menghadiri pesta panen raya, untuk mengajak berbicara saja tidak satu pun yang mau. Padahal, sang nenek sangat kesepian. Dia butuh hiburan dan orang yang mau menemani perbincangannya dikala waktu luang.

Sayup-sayup terdengarlah gendang guro-guro yang membawanya ke masa lalu. Dimana alat musik tersebut sangat indah didengarkan dan digunakan oleh kaum muda mudi untuk berpesta. Para muda mudi berpasang-pasangan sambil menari. Sang nenek menjadi ingat ke masa lalunya. Namun kenangan tinggal kenangan, saat ini sang nenek bergelut dalam kesakitan. Dia harus melawan rasa sakit dan kesepiannya. Perasaannya saat ini sangat sedih karena dilupakan anak, menantu, dan cucunya sendiri.

Hingga akhirnya tibalah acara untuk menikmati hidangan. Mereka memasak makanan yang enak-enak. Banyak aneka lauk-pauk yang terhidang dengan nasi hangat, sayur-mayur, serta buah-buahan yang segar. Nasi hangat, daging ayam, lembu, babi dan aneka jenis ikan terhidang. Mereka menyantapnya dengan lahap. Sesekali guyonan beberapa orang di sana membuat mereka tertawa di sela-sela hembusan angin yang sejuk. Mereka telah lupa ada seorang nenek tua lumpuh yang ingin menghadiri pesta tersebut.

Sang nenek tua merasa lapar, karena tidak ada nasi yang diantarkan oleh anak menantunya. Sudah sejak pagi sang nenek tidak menyantap makanan. anak menantunya hanya sibuk mengurus pesta panen raya. Mereka seolah telah lupa dengan ibu mereka yang telah tua.

“Ya Tuhan, perutku terasa sakit melilit karena menahan lapar..., apakah anak-anaku telah lupa terhadapku, hingga tidak mengantarkan sama sekali makanan kepadaku ?”, lirih sang nenek.

Dengan badan lemas dan bergetar, sang nenek akhirnya mencoba untuk beringsut dari tempat tidurnya. Dia lalu mencoba berangkat ke dapur rumah, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan. Sang nenek dengan sekuat tenaga mencari makanan yang ada di dapur, meskipun dengan tenaga yang sangat sedikit. Namun, alangkah malangnya sang nenek. Anak menantunya tidak menyisakan makanan sedikit pun. Mereka sengaja tidak memasak makanan karena berniat akan mengikuti pesta panen raya dan menyantap makanan yang enak-enak di sana.

“Mereka tidak menyediakan makanan untukku..., alangkah teganya mereka... Mereka dengan enak memakan makanan di pesta panen raya itu, tapi melupakan orang tuanya yang telah renta hingga kelaparan.” ujar sang nenek.

Sambil menyeka air mata yang terus berlinang dan membawa kembali tubuhnya yang telah lemah, sang nenek kembali ke tempat tidurnya. Ada rasa sedih dan kecewa yang dia rasakan. Sang nenek terus mengeluarkan air mata. Dia selalu menangisi nasibnya yang malang.

Di tempat pesta panen raya, para penduduk bersuka cita dengan perut kenyang habis bersantap masakan yang lezat. Sang anak dari nenek tersebut akhirnya baru sadar dan teringat dengan ibunya yang malang. Sang anak lalu bertanya kepada istrinya, apakah dia sudah mengantarkan makanan untuk sang ibu.

“Istriku, apakah kamu telah megantarkan makanan untuk ibu ?” tanya sang suami kepada istrinya.

“Belum, suamiku,” kata sang istri.

Sang suami terkejut, lalu memerintahkan kepada istrinya untuk membawa makanan ke rumah. Makanan tersebut diperuntukkan bagi sang nenek.

“Bawalah makanan ini pulang, lalu berikan kepada nenek,” perintah sang anak kepada istrinya, sambil membungkus makanan hasil dari memasak ketika pesta panen raya.

Istrinya lalu memerintahkan anaknya untuk mengantarkan makanan tersebut.

“Tolong bawa makanan ini ke nenekmu !” perintah sang ibu kepada anaknya.

Sang cucu akhirnya segera pergi ke rumahya. Setelah sampai di rumah, sang cucu memberikan sebungkus makanan kepada neneknya. Alangkah bahagianya sang nenek, sebab anaknya masih ingat dengan ibunya. Namun, alangkah terkejutnya sang nenek. Setelah dia membuka bungkusan itu, ternyata isinya hanyalah sisa makanan. Sisa makanan tersebut terdiri dari tulang yang telah habis dagingnya dan nasi sisa habis dimakan. Sang nenek geram dengan perbuatan anaknya.

Sebenarnya nasi sisa yang diberikan kepada nenek tersebut akibat ulah cucunya. Sang cucu memakan nasi bungkus tersebut ketika di perjalanan menuju rumah sang nenek, lalu memberikannya kepada sang nenek setelah sampai di rumah.

Itulah akibat orang tua tidak mengajarkan cara menghormati sang anak kepada neneknya. Sehingga, nasi bungkus untuk sang nenek pun dilahap habis. Dengan rasa lapar yang mendera sang nenek serta perasaan kesal bercampur marah, air matanya pun sudah tidak dapat dibendung lagi. Sang nenek yang telah kesal dan merasa sangat lapar akhirnya mengutuk anak menantunya.

“Ya Tuhan, anak dan menantuku telah durhaka kepadaku. Berilah kutukan kepada mereka. Saya sudah tidak kuat menahan penderitaan akibat ulah mereka...,” doa sang nenek kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam sekejap, Desa Kawar didatangi gempa bumi yang sangat dahsyat. Penduduk yang pada saat itu sedang bersuka cita menikmati pesta panen raya tiba-tiba menjadi panik. Mereka tidak bisa menyelamatkan diri. Angin bertiup kencang. Langit menjadi gelap. Munculah petir yang menggelegar. Desa Lau Kawar akhirnya mengalami bencana yang sangat dahsyat. Hujan pun turun dengan derasnya.

Desa Kawar hilang ditelan bumi. Desa tersebut terkubur beserta para penduduknya. Hingga tersisa kawah besar yang digenangi air. Kawah tersebut akhirnya diberi nama Lau Kawar. 

Demikian cerita daerah dari Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Semoga ini bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya.

***

Albina selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Albina.

Albina beranjak dari duduknya sambil membawa bukunya, ya ke kamarnya untuk mengerjakan PR lah.

ASAL USUL DANAU MANINJAU

Amaliya selesai mengerjakan PR-nya, ya melanjutkan baca buku cerita dengan baik banget.

Isi buku cerita yang di baca Amaliya :

Cerita rakyat dari Sumatera Barat mengenai asal usul Danau Maninjau atau biasa dikenal juga dengan legenda Bujang Sembilan. Asal Mula Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah cinta antara Giran dan Siti Rasani. 

Alkisah, Sumatera Barat terdapat sebuah gunung sangat tinggi. Masyarakat setempat menyebutnya Gunung Tinjau. Di kaki Gunung Tinjau, terdapat sebuah perkampungan yang memiliki tanah subur. Penduduk setempat kebanyakan bermata pencarian menjadi petani. Masyarakat hidup makmur karena hasil panen selalu melimpah.

Di perkampungan tersebut tinggal sepuluh bersaudara dengan sembilan orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, Kaciak dan yang perempuan bernama Siti Rasani. Kukuban menjadi kepala keluarga setelah kedua orang tua mereka meninggal. 

Kesepuluh bersaudara tersebut hidup bertetangga dengan keluarga Datuk Limbatang. Datuk Limbatang memiliki seorang anak laki-laki bernama Giran. Kedua keluarga tersebut biasa saling berkunjung. Suatu hari, Datuk Limbatang pergi berkunjung ke rumah keluarga Kukuban. Ia mengajak anaknya yaitu Giran. 

Saat itulah Giran bertemu Siti Rasani, adik bungsu Kukuban. Nampak keduanya saling jatuh cinta. Dengan hati berdebar Giran menyampaikan perasaannya kepada Siti Rasani.

“Sudah lama merendam selasih Barulah kini mau mengembang Sudah lama kupendam kasih Barulah kini bertemu pandang.”

“Telah lama orang menekat Membuat baju kebaya lebar Sudah lama abang terpikat Hendak bertemu dada berdebar.”

“Rupa elok perangaipun cantik Hidupnya suka berbuat baik Orang memuji hilir dan mudik Siapa melihat hati tertarik.”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.

Siti Rasani menyukai Giran dan ia membalasnya dengan sebuah pantun.

“Buah nangka dari seberang Sedap sekali dibuat sayur Sudah lama ku nanti abang Barulah kini dapat menegur.”

“Jika roboh kota Melaka Papan di Jawa saya tegakkan Jika sungguh Kanda berkata Badan dan nyawa saya serahkan.”

Semenjak saat itu, keduanya menjalin kasih. Karena khawatir menimbulkan fitnah, keduanya kemudian berterus terang kepada keluarga masing-masing. Beruntung, baik keluarga Datuk Limbatang maupun keluarga Kukuban menyetujui hubungan keduanya. Tidak lama semenjak perkenalan Giran dengan Siti Rasani, penduduk desa mengadakan acara syukuran karena hasil panen melimpah. 

Syukuran diadakan dengan membuat adu ketangkasan pencak silat. Baik Kukuban maupun Giran mengikuti acara tersebut. Pada perlombaan tersebut, Kukuban menunjukan kehebatannya. Ia berhasil mengalahkan lawan-lawanya. Tidak ada satupun lawan mampu mengimbangi Kukuban. Akhirnya sampailah pada pertandingan antara Kukuban melawan Giran.

Pada awal pertandingan, Kukuban dan Giran bertanding cukup sengit tapi juga seimbang. Tapi lama-kelamaan, Kukuban mampu mendesak Giran hingga Giran terlihat sangat kewalahan. Melihat Giran terlihat sudah terdesak, Kukuban pun melayangkan tendangan pamungkasnya ke arah dada Giran. Melihat serangan cepat tersebut, Giran tidak punya pilihan lain selain menangkis tendangan Kukuban menggunakan tangannya.

“Aduh, kakiku!”. Teriak Kukuban sambil tertatih menjauhi Giran. 

Tangkisan tangan Giran cukup keras sehingga membuat Kukuban merasa kesakitan. Pertandingan pun dihentikan dengan Giran dinyatakan sebagai pemenang. Ternyata Kukuban tidak bisa menerima kekalahannya. Ia merasa sangat sakit hati terhadap Giran. Beberapa hari kemudian Datuk Limbatang beserta istrinya mengunjungi rumah Kukuban bersaudara dengan tujuan melamar Siti Rasani untuk anak mereka, Giran. Semua kakak-beradik menerima kedatangan Datuk Limbatang sekeluarga. Mereka menyetujui pernikahan Giran dengan Siti Rasani kecuali Kukuban. Ia memilih berdiam diri di dalam kamar.

“Aku tidak setuju Sani menikah dengan Giran!” tiba-tiba Kukuban berteriak kemudian keluar dari dalam kamar.

“Kenapa Kukuban? Bukankah engkau menyetujui hubungan Sani dengan Giran?” tanya Datuk Limbatang.

“Giran adalah pemuda sombong! Dia sudah mempermalukanku di depan orang banyak pada pertandingan pencak silat. Pokoknya aku tidak setuju!” Kukuban berteriak.

“Baiklah kalau begitu. Kami akan pulang.” Datuk Limbatang sekeluarga kemudian pulang dengan tangan hampa.

Giran dan Sani tentu saja merasa sangat sedih. Mereka berdua kesal dengan tingkah laku Kukuban. Mereka berdua memutuskan untuk bertemu diam-diam membicarakan masalah ini. Saat bertemu, mereka berdua tidak banyak bicara karena bingung harus berbuat apa. Siti Rasani bangkit dari tempat duduknya karena bingung memikirkan hal ini, namun kain sarungnya tersangkut pada duri pohon hingga robek hingga melukai pahanya.

“Aduh kain sarungku robek!” teriak Sani.

“Wah, pahamu terkena duri, duduklah adik, biar Abang obati lukamu.” Giran pun segera menolong dengan mengusapkan obat pada paha Sani.

Kukuban beserta adik-adiknya keluar rumah mencari Sani yang lama tidak terlihat. Tibalah mereka di hadapan Giran dan Kukuban. Mereka sangat kaget ketika melihat Giran tengah mengusap paha Sani.

“Giran! Engkau memang pemuda tidak tahu sopan santun. Berani sekali engkau berbuat tidak senonoh pada adikku!” teriak Kukuban marah.

“Jangan salah sangka, aku hendak mengobati kaki Sani” Giran berusaha menjelaskan.

“Betul Kak, Giran sedang mengobati kakiku.” Ujar Sani.

Tapi Kukuban beserta saudara-saudaranya tak memperdulikan jawaban Giran. Mereka kemudian menyeret keduanya untuk diadili secara adat. Kukuban beserta saudara-saudaranya menggiring Giran dan Sani ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. 

Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka. Keduanya berteriak-teriak memohon ampun tetapi tidak ada yang mau mendengarkan. 

Dengan kedua mata terikat kain hitam, Giran & Sani diperintahkan untuk melompat ke dalam kawah Gunung Tinjau. Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa. 

“Ya Tuhan, jika kami memang bersalah, maka hancurkanlah tubuh kami di dalam kawah panas. Tetapi kami jika tidak bersalah maka letuskanlah Gunung Tinjau. Kutuk saudara-saudara Sani menjadi ikan.” 

Karena sudah pasrah dengan hukuman, Ia akhirnya meloncat ke dalam kawah. Tuhan mengabulkan doa Giran. Sesaat setelah mereka berdua melompat, tiba-tiba gunung bergemuruh akhirnya meletus dengan dahsyat. Lahar panas mengalir menghancurkan desa di kaki gunung tersebut. Bekas letusan gunung yang sangat dahsyat tersebut menghasilkan cekungan luas. Kini cekungan tersebut telah dipenuhi air. Cekungan gunung Tinjau menjadi sebuah danau. Kesembilan bersaudara, Kukuban beserta adik-adiknya, berubah menjadi ikan. 

Konon letusan Gunung Tinjau menyisakan kawah yang luas dan lambat laun terisi oleh air hujan dan menjadi sebuah danau. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Danau Maninjau. Sementara tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama-nama daerah di sekitar Danau Maninjau seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, balok, Kukuban, dan Sungai Batang. 

Danau Maninjau terletak di provinsi Sumatera Barat, kecamatan Tanjung Raya kabupaten Agam, sekitar 140 kilometer dari sebelah utara kota Padang, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung. Dengan luas sekitar 99,5 km2 dan kedalaman 495 meter menjadikan Danau Maninjau sebagai danau kesebelas terluas di Indonesia dan terluas kedua di Sumatera Barat setelah Danau Singkarak. Danau Maninjau merupakan sebuah kaldera yang terbentuk karena letusan gunung api strato komposit yang berkembang di zona tektonik sistem sesar besar Sumatera yang bernama Gunung Sitinjau.

***

Amaliya selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Amaliya.

Amaliya menutup bukunya dan semua buku di rapihkan di meja belajar.

"Nonton Tv ah!" kata Amaliya.

Ameliya keluar dari kamarnya, ya ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama ayah dan ibu. Acara Tv yang sedang di tonton, ya sinetron tema anak-anak. Ameliya senang menonton Tv yang acaranya bagus banget.

MALIN KUNDANG

Anya selesai membantu ibu memasak di dapur. Anya duduk santai di ruang tengah, ya sambil baca bukunya.

Isi buku yang di baca Anya :

Cerita rakyat terkenal dari daerah Sumatera Barat, Malin Kundang. Seorang anak durhaka, malu mengakui ibunya karena miskin sehingga disumpahi oleh ibunya menjadi batu. Konon cerita ini terjadi di perkampungan pantai Air Manis, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.

Alkisah hidup sebuah keluarga kecil miskin di perkampungan pantai Air Manis, pesisir pantai Sumatera Barat. Untuk penghidupan, sang ayah bekerja sebagai nelayan. Keluarga tersebut memiliki seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Sedangkan ibunya bernama Mande Rubayah. Sekian lama hidup dalam kemiskinan, sang ayah memutuskan untuk merantau ke negeri seberang dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

Sepeninggal suaminya merantau, Ibu Malin Kundang, Mande Rubayah mengambil alih peran mencari nafkah ayah Malin Kundang. Ia sehari-hari bekerja menangkap ikan di pantai atau berkeliling kampung berjualan kue. Sementara sang ayah telah lama merantau untuk mencari kehidupan lebih baik bagi keluarganya, namun hingga kini belum juga kembali. 

Mande Rubayah beserta Malin menunggu kepulangan sang ayah tercinta namun telah satu tahun lamanya tidak ada kabar berita. Hal ini membuat Mande Rubayah dan anaknya Malin Kundang merasa sedih.

“Dimanakah ayah sekarang Bundo? Kenapa belum juga pulang?” Malin bertanya kepada ibunya.

“Ayahmu tengah merantau, mencari nafkah bagi kehidupan kita. Bersabarlah nak.” jawab ibunya.

Meski dibesarkan tanpa kehadiran sang ayah tercinta, Malin tumbuh menjadi anak cerdas dan mudah bergaul dengan siapa saja walaupun sedikit nakal. Ia sering mengejar-ngejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari, kaki Malin terantuk batu hingga terjatuh ketika tengah mengejar seekor ayam sambil memegang sapu. 

 Akibatnya lengan kanannya terluka dan luka tersebut berbekas tidak bisa hilang. Kehidupan miskin, membuat Malin Kundang ingin merantau. Ia berpikir jika berhasil dalam perantauannya, ibunya tak perlu lagi hidup dalam kemiskinan. Tidak perlu lagi berkeliling kampung berjualan kue. Malin Kundang kemudian meminta izin ibunya untuk merantau.

“Bundo, Malin tidak tega melihat Bundo setiap hari berjualan kue keliling kampung. Malin ingin membantu meringankan beban Bundo. Malin ingin merantau Bundo. Jika telah berhasil nanti, Bundo tidak perlu lagi hidup dalam kemiskinan. Izinkan anakmu ini untuk pergi merantau, untuk mencari penghidupan yang lebih baik.” kata Malin.

“Nak, Bundo mengerti keinginanmu untuk meringankan beban Bundo, tapi Bundo khawatir Engkau tidak kembali seperti ayahmu. Telah lama ayahmu pergi merantau, tetapi hingga kini belum juga kembali.” jawab Ibu Malin.

“Tetapi sampai kapan kita akan hidup miskin seperti ini Bundo? Malin ingin berhasil. Malin berjanji jika telah berhasil nanti, Malin akan pulang. Jika Malin tidak merantau maka kehidupan kita akan tetap seperti ini Bundo.” Malin memohon.

Mendengar keinginan anak kesayangannya, Mande Rubayah tak kuasa menolaknya, walaupun sebenarnya ia tidak setuju. Ia khawatir anaknya akan hilang di perantauan dan tidak kembali seperti terjadi pada ayahnya. 

“Baiklah anakku. Jika itu memang keinginanmu, Bundo tidak bisa menolaknya. Bundo akan selalu mendoakanmu nak, agar cita-citamu cepat tercapai. Dan berjanjilah Malin, jika engkau telah berhasil di perantauan, kembalilah pulang. Jangan sekali-kali lupakan Bundo.”

“Tidak Bundo. Malin tidak akan pernah melupakan Bundo tercinta. Justru Malin ingin merantau agar bisa berhasil. Malin ingin Bundo bisa hidup berbahagia.” jawab Malin Kundang. 

Malin merasa senang karena ibunya akhirnya mengizinkan dirinya merantau. Sejak saat itu, setiap hari Malin pergi ke pantai Air Manis berharap ada kapal berlabuh. Ia telah bertekad kuat untuk pergi merantau demi penghidupan yang lebih baik. Suatu hari, sebuah kapal dagang berlabuh di pantai Air Manis. Betapa gembiranya hati Malin Kundang ketika melihat ada kapal dagang tengah berlabuh di Pantai Air Manis. Ia meminta izin nahkoda kapal untuk menumpang kapal tersebut. 

“Wahai Nahkoda kapal yang mulia. Izinkanlah hamba untuk menumpang kapal ini. Hamba sangat ingin merantau agar bisa membahagiakan ibu hamba.” kata Malin.

“Baiklah anak muda, Engkau boleh menumpang di kapal ini dengan syarat Engkau mau membantu pekerjaan para awak kapal.” Nahkoda kapal tersebut mengizinkan Malin menumpang kapalnya.

“Terima kasih Nahkoda kapal yang budiman. Hamba akan pulang sebentar untuk membawa bekal dan memberitahu ibu hamba.” jawab Malin.

Malin segera berlari ke rumahnya guna memberitahu ibunya bahwa ia akan segera pergi berlayar. 

“Bundo, Malin mendapat izin dari Nahkoda untuk menumpang kapal. Malin mohon pamit Bundo untuk pergi berlayar mencari penghidupan yang lebih baik. Malin berjanji akan kembali setelah berhasil Bundo.”

“Baik-baiklah di rantau Nak. Bekerja keras dan jujurlah agar hidupmu berhasil.” Ibu Malin menasihati sambil berlinang air mata. 

Setelah berpamitan kepada ibunya, Malin Kundang akhirnya pergi berlayar untuk merantau. Hanya berbekal sedikit uang dan tujuh bungkus nasi, Malin memulai pengembaraannya. Selama berlayar, Malin Kundang banyak membantu nahkoda kapal melakukan perkerjaan-pekerjaan sehari-hari seperti menyapu, mengepel, membersihkan peralatan kotor dan berbagai pekerjaan lainnya. 

Sementara itu juga, Malin banyak mempelajari berbagai hal ilmu pelayaran. Nahkoda kapal dan awak kapal senang berbagi pengalaman mereka kepada Malin. Tidak disangka kejadian buruk menimpa kapal tersebut. Bajak Laut menyerang kapal dagang tersebut. Malin Kundang bersembunyi di sebuah ruangan kecil tertutup tumpukan kayu. 

Para perompak membunuh nahkoda kapal beserta seluruh awaknya. Para perompak juga merampas seluruh harta benda di kapal tersebut. Beruntung, Malin Kundang selamat dari serangan Bajak Laut tersebut. Kapal tersebut kemudian terombang-ambing di lautan. Malin memasrahkan nasibnya pada Tuhan. 

Akhirnya kapal tersebut terdampar di sebuah pantai. Ia kemudian berjalan menuju desa terdekat dari pantai tersebut. Orang-orang di desa tersebut segera menolong Malin. Ia sangat bersyukur karena orang-orang di desa mau menolongnya. Setelah agak sehat, Malin menceritakan perihal dirinya yang menumpang kapal untuk pergi merantau, namun di pertengahan jalan kapal yang ditumpanginya diserang bajak laut. 

Penduduk desa kemudian mempersilahkan Malin untuk tinggal di desa mereka. Malin Kundang akhirnya memutuskan untuk tinggal di desa tersebut. Malin kemudian berkerja serabutan di desa tersebut. Ternyata desa tersebut memiliki alam sangat subur. Ia berkerja sangat keras dan sangat hemat. Sebagian penghasilannya dari kerja serabutan tersebut ia tabung. 

Ketika tabungannya sudah cukup banyak, ia lantas mencoba berdagang. Orang-orang senang bertransaksi jual beli dengannya karena kejujurannya. Dalam bekerja, Malin selalu teringat akan nasihat ibunya yang memintanya untuk bersikap jujur dan bekerja keras.

Singkat cerita, Malin Kundang kini telah berubah menjadi seorang saudara kaya raya. Ia mulai mengadakan perdagangan ke desa-desa lainnya bahkan antar pulau. Untuk keperluan perdagangan antar pulau, ia menyewa kapal-kapal dagang. Setelah perdagangannya makin membesar, ia akhirnya mampu membeli kapal-kapal dagang sendiri. 

Lebih dari seratus orang bekerja padanya. Kekayaannya sangat banyak dan tidak ada saudagar di desa tersebut dapat menyaingi kekayaannya. Ia lantas menikahi gadis paling cantik di desa tersebut, putri dari keluarga kaya raya. Sementara, di Perkampungan Pantai Air Manis, Mande Rubayah, ibunda Malin Kundang, terus menunggu kabar anaknya. Ia sangat khawatir jika anaknya bernasib sama seperti ayahnya yang hilang entah dimana. 

Setiap ada kapal berlabuh di Pantai Air Manis, Mande Rubayah akan segera mencari tahu apakah anaknya berada di kapal tersebut. Namun telah sekian lama anaknya tidak juga terlihat. Pada suatu hari, Mande Rubayah mendengar kabar ada sebuah kapal dagang berlabuh di Pantai Air Manis. Ia segera berlari ke pelabuhan untuk mencari tahu apakah anaknya ada di kapal tersebut. 

Detak jantung Mande Rubayah kian cepat saat dari kejauhan ia melihat anaknya berdiri bersama seorang perempuan cantik di kapal dagang mewah tersebut. Ia benar-benar yakin bahwa orang itu adalah anaknya, Malin Kundang, karena di lengan kanannya ada bekas luka sewaktu terjatuh mengejar ayam dahulu. Mande Rubayah bertambah gembira saat orang-orang berseru bahwa Malin Kundang adalah pemilik kapal dagang mewah tersebut. Malin Kundang yang berpakaian mewah kemudian menuruni kapal. Mande Rubayah segera berlari mendekati Malin. Tanpa basa-basi Ia langsung memeluknya anaknya erat-erat. 

“Malin anakku, kenapa lama sekali tak ada kabar darimu Nak? Bundo sangat khawatir. Bundo senang akhirnya engkau pulang kembali dengan selamat.”

Malin melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya dengan kasar hingga terjatuh. 

“Hai perempuan tua miskin tidak tahu sopan santun, Siapakah engkau? Berani-beraninya memelukku.” bentak Malin pada Ibunya.

Malin Kundang sesungguhnya mengetahui pasti bahwa perempuan tua miskin yang memeluknya itu adalah ibu kandungnya, Mande Rubayah. Namun ia dihinggapi rasa malu luar biasa karena ibunya terlihat sangat miskin dengan pakaian lusuh. Ia malu pada istri dan anak buahnya karena memiliki ibu miskin.

“Malin apa katamu? Engkau tak mengenal ibumu sendiri Nak? Aku Mande Rubayah, ibu kandungmu Malin. Bundo yakin Engkau adalah Malin anak Bundo. Di tangan kananmu ada luka Malin.” Mande Rubayah sangat terkejut dengan sikap anaknya.

“Kakanda, perhatikan dahulu baik-baik apakah ibu tua itu adalah ibu kandung kakanda. Jangan langsung mengusir secara kasar begitu.” Istri Malin mengingatkan suaminya.

“Dia bukan ibu kandungku. Ia hanya seorang pengemis tua mengaku-ngaku sebagai ibuku karena aku saudagar kaya-raya. Ibu kandungku telah lama meninggal sewaktu aku masih kecil. Pergi engkau menjauh dari kapalku! Pergilah jauh-jauh!” Teriak Malin seraya mendorong ibu kandungnya hingga jatuh terjerembab.

Hati Mande Rubayah sangat sakit hati dengan perlakuan Malin, anak kandungnya tercinta. Ia segera pergi menjauh dari Malin Kundang. 

Kemudian Mande Rubayah mengangkat tangannya ke atas kemudian berdoa, “Ya Tuhan, sekiranya lelaki yang tidak mau mengakui hamba sebagai ibu kandungnya dan mendorong hamba hingga jatuh  adalah benar-benar anakku, Malin Kundang, maka aku sumpahi ia berubah menjadi batu.”

Tidak lama kemudian Malin kembali ke kapal dagang mewahnya. Ia memerintahkan anak buahnya agar pergi dari Pantai Air Manis. Saat itu langit terlihat cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Kapal dagang tersebut perlahan-lahan pergi meninggalkan Pantai Air Manis. Tapi tak lama kemudian kejadian aneh terjadi. 

Angin badai datang tiba-tiba lalu menghantam kapal dagang milik Malin. Begitu hebatnya badai dan besarnya ombak di lautan, kapal Malin hancur berkeping-keping seketika. Tubuh Malin Kundang terseret ombak kemudian terdampar kembali di Pantai Air Manis. Tidak lama kemudian tubuhnya berubah menjadi batu dalam kondisi tengah bersujud meminta ampun pada ibunya. 

Malin Kundang, anak durhaka yang malu mengakui ibu kandungnya, kini telah menerima azab berubah menjadi batu. Kisah seorang anak durhaka yang menjadi batu di pantai Air Manis telah membuat pantai Air Manis yang tenang menjadi lokasi wisata yang ramai. 

Namun, batu Malin Kundang di pantai Air Manis yang menyerupai sesosok pria yang tengah bersujud, sejatinya tidak terbentuk secara alami, tetapi merupakan relief batu hasil karya Dasril Bayras dan Ibenzani Usman yang dibuat pada tahun 1980.

Pantai Air Manis terletak di Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. Berjarak 15 km dari pusat Kota Padang, Sumatera Barat. Dari Bandara Internasional Minangkabau, pengunjung bisa pergi ke Air Manis melalui Kota Padang. Pasirnya berwarna putih kecoklatan. Tidak jauh dari tepian pantai Air Manis, terdapat sebuah pulau kecil seluas sekitar satu hektar bernama pulau Pisang. 

Jika air sedang surut, kita bisa berjalan kaki dari pantai Air Manis ke pulau Pisang. Namun kita harus segera kembali ke pantai Air Manis, karena hanya dalam beberapa jam, air kembali pasang jadi kita tidak bisa kembali kecuali naik perahu. Para pengunjung bisa menyewa perahu motor untuk mengunjungi pulau Sikuai yang berada di sebelah pulau Pisang. Untuk urusan makanan tidak perlu kuatir, karena di dekat pantai ada restoran yang menjual ikan bakar, nasi kapau maupun makanan lainnya.

***

Anya selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Anya.

Anya menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik. 

"Nonton Tv aja!" kata Anya.

Anya mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Anya, ya sinteron sih. Remot di taruh di meja sama Anya. Ya Anya terus asik nonton sinetron yang tema cerita anak-anak yang bagus itu.

KENDI YANG BERISI UANG PERAK

Wu Qian selesai membantu ibunya beres-beres rumah. Wu Qian duduk santai di ruang tengah, ya sambil baca buku dengan baik sih.

Isi buku yang di baca Wu Qian :

Ada seorang petani yang hidupnya miskin. Setiap hari ia berdoa kepada Tuhan agar Tuhan memberikan uang perak kepadanya. Hingga suatu hari, petani itu pergi ke ladangnya. Celananya robek terkena pohon berduri. Lelaki itu lalu mencabut tanaman berduri itu. Hal itu dilakukannya agar duri di pohon itu tak mengenai orang lain yang lewat. Saat petani mencabut tanaman itu, ia melihat sebuah kendi berisi uang perak yang tertanam di hawah tanaman tersebut. Alangkah senang hati petani itu.

“Tetapi, sepertinya ini bukan uang untukku. Ini milik orang lain.” ujar si Petani. Ia pun meninggalkan kendi berisi uang perak itu di tempat semula.

Sesampainya di rumah, si Petani menceritakan hal itu pada istrinya. Sang istri pun memarahinya.

“Harusnya kau membawa uang perak itu ke rumah! Itu rezeki kita,” seru istrinya.

“Kalau memang rezeki kita, pasti uang itu akan kembali pada kita,” jawab si Petani.

Istrinya menceritakan hal itu kepada tetangganya. Tetangganya mau mengambil uang perak itu, asalkan uang itu dibagi dua dengannya. Istri petani pun menyetujuinya. Tetangganya pergi ke ladang milik petani. Di sana ada sebuah kendi. Namun, kendi itu bukan berisi uang perak, tetapi berisi ular yang sangat besar. Tetangganya berpikir bahwa istri petani ingin mencelakainya.

“Rupanya istri petani itu membodohiku.” ujar si Tetangga.

“Akan aku lemparkan kendi ular ini ke rumah petani itu,” dengusnya.

Si Tetangga lalu membawa kendi berisi ular tersebut. Sesampainya di rumah Petani, ia melemparkan kendi itu ke rumah tersebut. Kendi itu masuk ke cerobong perapian rumah petani. Petani dan istrinya kaget mendengar sesuatu yang jatuh di perapian rumahnya. Mereka pun memeriksanya.

“Apa yang terjadi dengan perapian kita?” tanya Istri Petani.

“Sepertinya ada yang melempar sesuatu ke rumah kita,” jawab Petani.

Petani itu langsung memeriksa perapiannya. Alangkah kagetnya ia saat menemukan kendi yang ia tinggalkan di ladangnya.

“Ini adalah kendi yang ada di ladangku. Tetapi kenapa kendi ini bisa berada di sini?” ujar Petani, bingung. Ia melihat ke dalam kendi. Ada banyak uang perak di sana, bukan ular.

“Itu berarti kendi berisi uang perak itu adalah rezeki kita,” jawab Istri Petani.

Petani itu setuju dengan istrinya. Dia dan istrinya sangat senang. Dengan uang perak itu, mereka tidak akan hidup kesusahan lagi.

“Terima kasih,Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku selama ini,” ucap Petani.

***

Wu Qian terus membaca bukunya dengan baik sampai pesan moral yang di tulis dengan baik di buku yaitu tuhan menyayangi orang-orang yang selalu berdoa kepada-Nya.

Wu Qian selesai membaca bukunya, ya memahami apa yang ia baca dengan baik dan buku di taruh di meja.

"Cerita yang bagus asal cerita dari Afganistan," kata Wu Qian.

Wu Qian beranjak dari duduknya, ya keluar dari rumah untuk bermain dengan teman-temannya di lapangan gitu.

KAYA CERITA MAINAN SAJA

Indro nonton Tv di ruang tengah, ya dengan santai banget gitu sih. Kasino selesai urusan kerjaannya, ya keluar dari kamarnya ke ruang tengah untuk nonton Tv. Dono duduk santai di ruang tamu, ya asik baca bukunya. Kasino duduk di sebelah Indro. Tiba-tiba terdengar suara pemberitahuan dari mesjid tentang orang meninggal. Dono, Kasino dan Indro mendengar pemberitahuan itu dan berkata bersamaan "Inalilahi wainalilahi rojiun."

Dono melanjutkan baca bukunya karena orang yang meninggal itu, ya tidak di kenal Dono begitu juga dengan Kasino dan Indro tetap nonton Tv karena orang yang meninggal itu tidak di kenal Kasino dan Indro. Berita di Tv tentang Donasi Rp 2 Triliun sih.

"Kasino. Heboh beritanya tentang donasi Rp 2 Triliun," kata Indro.

"Ceritanya jadinya....prank kata di berita," kata Kasino.

"Kaya cerita mainan saja ya. Contohnya kaya gini sih : Aku punya uang Rp 2 Triliun, ya aku sumbangin ke Kasino. Jadinya aku di sebut orang dermawan," kata Indro.

"Aku kaya. Indro miskin kan. Karena semua hartanya di sumbangkan ke aku untuk mengurus masalah tentang orang-orang yang butuh bantuan gitu," kata Kasino.

"Ya aku tidak miskinlah Kasino. Kan aku khayalin saja uang Rp  2 Triliun lagi!" kata Indro.

"Iya juga ya. Uang khayalan. Permainan dari kecil sampek dewasa tentang jadi orang kaya yang dermawan ini dan itu," kata Kasino.

"Jadi berita di Tv tentang donasi Rp 2 Triliun itu...sama kan dengan permainan anak-anak kan Kasino?!" kata Indro.

"Sama banget!" kata Indro.

Indro dan Kasino terus berita di Tv dengan baik. Berita berganti dengan hewan yang katanya terkait dengan covid-19.

"Beritanya tentang hewan di kaitan dengan covid-19. Ya antara kena atau tidak ya Kasino?!" kata Indro.

"Iya," kata Kasino.

"Kaya permaina kita ya Kasino?!" kata Indro.

"Yang mana?!" kata Kasino.

"Burung yang terbang di langit itu terkena covid-19 karena menceloknya di tubuh manusia yang meninggal karena covid-19," kata Indro.

"Burung itu menyebarkan covid-19 kesana kesini," kata Kasino.

"Burung itu mencelok di atep rumah kita, ya mati tuh burung karena penyakit," kata Indro.

"Pertanyaannya. Burung itu mati karena kelelahan apa karena penyakit covid-19 atau flu burung?!" kata Kasino.

"Matinya tuh burung di tembak Dono dengan menggunakan senapan gitu," kata Indro.

"Aku kirain. Itu burung mati karena patah hati kaya kisah para manusia yang sakit hati karena cinta, ya mati karena tekanan batin gitu," kata Kasino.

"Maunya sih gitu sih. Cuma permainan, ya Kasino?!" kata Indro.

"Yo,...i," kata Kasino.

Kasino terus nonton Tv dengan baik banget. Berita Tv memberitakan tentang Astrologi.

"Cerita tentang perbintangan bagus juga ya Kasino?!" kata Indro.

"Tentang bintang ini dan itu, ya ada kaitan tentang ramalan ini dan itu sih," kata Kasino.

"Tetap saja tidak perlu percaya ramalan ini dan itu. Hidup harus berjuang dengan baik untuk mencapai impian jadi kenyataan dengan baik, ya kan Kasino," kata Indro.

"Omongan Indro benarlah!" kata Kasino menegaskan omongan Indro.

"Tetap saja. Kita harus beradaptasi dengan keadaan seperti sekarang ini. Masih kaitan dengan covid-19," kata Indro.

"Ujian. Covid-19 itu. Manusia yang kuat, ya bisa bertahan dari segala keadaan apa pun untuk bertahan hidup demi tujuannya tercapai," kata Kasino memotivasi.

"Jadi manusia yang kuat. Omongan Kasino bener!" kata Indro menegaskan omongan Kasino.

Indro dan Kasino terus nonton Tv dengan baik. Berita memberitakan tentang game.

"Gamenya...bagus banget!" kata Indro yang antusias banget.

"Kenyataannya seperti itu," kata Kasino.

"Aku suka game, ya tertarik banget gitu!" kata Indro.

"Yo....,i," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus nonton Tv dengan baik, ya sampai acara berita berganti ke acara berikutnya....pokoknya bagus gitu. Dono di ruang tamu tetap baca buku dengan baik.

KISAH EMPAT BONEKA

Najwa selesai mengerjakan PR-nya dan di lanjutkan dengan membaca buku dengan baik.

Isi buku yang baca Najwa :

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pembuat boneka, ia tinggal bersama puteranya yang bernama Aung. Sang ayah sangat menginginkan anaknya bisa seperti ayahnya yang seorang pembuat boneka, tetapi bagi anaknya menjadi seorang pembuat boneka ialah pekerjaan yang sangat membosankan. 

Pada suatu ketika Aung berbicara kepada ayahnya, "Ayah, aku tidak ingin menjadi seperti ayah dan aku ingin mencoba mencari keberuntunganku diluar sana.”

“Nak, asal kamu tahu membuat boneka ialah suatu pekerjaan yang mulia. Dan ayah sangat senang kau tinggal bersama ayah disini.” jawab sang ayah. “Tetapi kalau kau masih ingin memaksa untuk pergi dan meninggalkan ayah, tolong bawalah ini untuk menemanimu selama diperjalanan dan tolong jaga baik-baik pemberian ayah ini."

Diberikannya empat buah boneka oleh ayahnya yang sudah dipahat, diberi cat dan dipakaikannya baju yang indah sehingga saat dilihat sangat bagus.

“Beberapa boneka yang diberikan ayahnya memiliki keistimewaan dan makna tersendiiri.”

"Pada boneka pertama disebut raja dewa. Sang pembuat boneka menerangkan bahwa pada boneka yang disebut raja dewa memiliki kelebihan yang kebijaksanaan.”

Berikutnya untuk boneka kedua ialah raksasa berwajah hijau. Yang mempunyai arti Raksasa yang menyimpan kekuatan. Dan untuk boneka yang ketiga ialah boneka peramal. Dengan memiliki arti peramal yang akan memberikan pengetahuan. Dan untuk pemberian boneka yang terakhir kepada Aung ialah pertapa suci, yang memiliki arti bahwa boneka itu akan membawa kebaikan.

Sang ayah juga memberikan pesan kepada Aung, “Kau harus inget, semua boneka ini bisa membantumu di dalam perjalanan. Namun didalam diri kamu harus didasari kebijakan dan kebaikan yang tulus karena  setiap kekuatan dan pengetahuan.

Keesokan harinya Aung pergi dan ia membawa sebatang tongkat bambu, yang pada satu ujung bambunya ia ikat dengan bungkusan yang berisi pakaian dan makanan. Kemudian di ujung yang satu lagi digantungkan boneka-boneka yang diberikan dari sang ayah.

Malam pun telah tiba dan Aung sudah sampai di tengah hutan, kemudian dirinya berhenti di bawah sebatang pohon. Sambil berkata dalam hati, “Wah tempat ini sangat nyaman untuk bermalam disini, namun apakah tempat ini cukup aman untukku bermalam disini?", baiklah untuk lebih meyakinkan lagi, aku akan bertanya kepada salah satu boneka yang diberikan ayah.“

Sambil tersenyum dan berkata kepada boneka dewa, "Tolong katakan dan beritahu aku, apakah tempat ini aman untukku bermalam disini?"

Setelah Aung berkata dan tiba-tiba boneka tersebut hidup, kemudian lompat dari tongkat bambu dan berubah menjadi besar sehingga berukuran seperti manusia.

Boneka dewa itu menjawab, “Aung, cobalah kau buka mata serta lihat di sekitarmu. Karena seperti itulah yang akan menjadi langkah pertamamu dalam kebijaksanaan. Apabila sekitarmu tidak ada yang tepat maka yang lainya akan menyesatkannmu.”

Pada hitungan detik, boneka tersebut kembali kebentuk semula dan tergantung pada tongkat bambu yang Aung bawa. Setelah boneka dewa itu kembali kebentuk semula, kemudian Aung melihat dan mengamati disekelilingnya. Terlihat jejak harimau pada tanah yang lembek. Dan akhirnya pada malam itu Aung menaiki pohon dan tidur di atas cabang pohon tersebut. Pada saat tengah malamnya, tiba-tiba datang seekor harimau yang sedang berkeliaraan dibawah pohon. Dimana pohon tersebut menjadi tempat tidurnya.

Ketika matahari tenggelam di barat keesokan harinya, Agung telah tiba di lereng pegunungan, dan ia pun segera mendirikan kemah. Esok harinya ketika matahari terbit di sebelah timur, ia  melihat iring-iringan kereta sewaktu terbangun dari tidurnya di jalan tepat dibagian bawah dimana kemahnya berdiri. Kereta itu dipenuhi dengan barang-barang yang tak ternilah, dan dia melihat ada 12 kereta.

“Seorang juragan pedagang kaya raya sepertinya memiliki kereta-kereta ini,” demikian batin Aung pada berkata dengan hati kecilnya sediri. “Jika saja aku memiliki harta yang melimpah seperti itu.”

Ia pun mengajukan pertanyaan kepada seorang raksasa berwajah hijau. “Bagaimana caranya agar aku bisa memiliki barang berharga sebanyak itu?”

Raksasa itu berubah wujud menjadi seukuran manusia ketika turun dari tongkat.  “Jika kamu mampu, kamu bisa mengambil harta apapun yang kau harapkan bila mempunyai cukup kekuatan seperti ku. Cobalah lihat apa yang kuperbuat” katanya. Kakinya ia hentakkan ke muka bumi, dan tanah pun berguncang.

"Tahan dulu!" Aung berteriak, namun teriakannya terlambat. Tanah dan batu-batu berjatuhan menyusuri gunung dan jalanan dibagian bawah tertutup karenanya. Kereta-kereta itu ditinggalkanoleh para kusir yang ketakutan dan melarikan diri tunggang langgang.

“Coba kau lihat?” kata raksasa.

“Apakah itu semua terlihat mudah?” kata Aung dengan terkesima.

Aung langsung mendatangi kereta-kereta tersebut dan didalam kereta itu berisi tumpukan kain-kain yang sangat mahal dan logam mulia, sehingga Aung terkagum-kagum melihat itu semua dan berkata " Apakah semua ini milikku?"

Terdengarlah suara tangisan didalam salah satu kereta itu, saat Aung mencoba melihatnya kedalam. Aung sangat kaget, ternyata ada seorang wanita cantik yang seumuran dengan dirinya. Wanita itu tersedu-sedu mengeluarkan air mata dan tubuhnya menggigil ketakutan.

“Tenang, aku tidak akan melukaimu. Siapa kamu?” kata Aung

“Aku Mala,” jawab wanita itu dengan suara yang lirih. “Dan aku sedang melakukan perjalanan untuk bisa bertemu dengan ayahku, ayahku yang mempunyai kereta ini loh.”

Kemudian jatuh cintalah Aung kepada wanita tersebut. “Tidak usah khawatir, aku akan menajagamu dan kamu akan ikut bersamaku.”

Tetapi Mala hanya terduduk dengan rasa marah dan berkata, "Kau pencuri, kau sudah mengambil semuanya dan sekarang kau ingin mengambilku. Aku tidak ingin berbicara denganmu apalagi harus ikut bersamamu!"

Raksasa itu berkata setelah mendengar wanita tersebut berbicara, “Tenang Aung, wanita itu sebentar lagi akan berubah pikirannya. Yang terpenting saat ini, kau sudah mendapatkan semua apa yang kau inginkan. Lebih baik searang kita pergi dari sini.”

Pergilah mereka meninggalkan pegunungan dan sampai di ibu kota. Selama perjalan raksasa itu pun membersihkan jalanan dari longsoran dan juga membantu Aung untuk memimpin kereta tersebut.

"Dengan harta sebanyak ini, apa yang mesti aku perbuat?" Aung bertanya kepada raksasa.

“Aku pun tidak tahu, coba kau bertanya kepada si peramal" jawab si raksasa.

Dengan cepat Aung langsung bertanya kepada peramal, “Apakah kau bisa memberitahuku untuk apa harta sebanyak ini?”

Seperti boneka-boneka lainnya saat diperlukan berubah menjadi hidup. Mala sangat kaget melihat boneka peramal itu bisa hidup. “Kalau kau masih menginginkan harta-hartamu meningkat, kau wajib belajar ilmu rahasia alam,” kata peramal.

Diketuklah Aung dengan tongkat ajaib miliknya dan membawa terbang ke udara. Dipandanya dari atas udara oleh Aung untuk bisa melihat tanah manakah yang subur untk bertani, serta gunung manakah yang terlihat mengandung emas dan perak.

“Wahh hebat sekali ini,, dan aku lagi membayangkan seandainya aku bisa menolong semuanya dengan apa yang sekarang aku miliki” kata Aung.

“Sangat bisalah kau melakukan dengan apa yang sekarang kau miliki, tapi kenapa kau tidak simpan sendiri saja rahasia ini?" jawab peramal.

Akhirnya mereka pun langsung pergi ke ibu kota. Saat berada di kota, Aung menjadi pedagang yang berhasil berkat bantuan dari raksasa dan peramal itu. Semua kekayaan miliknya bertambah menjadi bertlipat ganda. Setelah itu Aung membuat istana yang megah untuk mala dan dirinya tinggal. Tetapi Aung tidak merasakan kebahagiaan, sebab sampai saat ini mala masih tidak ingin berbicara dengannya.

Pada suatu ketika dibelikanlah sebuah mahkota yang sangat indah dan malah untuk mala. Terbuat dari emas dan dihiasi batu-batu permata sehingga terlihat indah. Tetapi yang dilakukan oleh Mala hanya acuh kepada mahkota tersebut.

Seperti jatuh dari atas gunung apa yang dirasakan oleh Aung mendapatkan sikap dari Mala dan Aung berkata kepadanya, "Apakah kamu benar-benar tidak tahu kalau diriku sangat mencintaimu?." Lagi-lagi Mala hanya terdiam, tak ada satu kata yang keluar dari mulutnya.

Keesokan harinya Aung berkata kepada raksasa dan peramal. "Sampai sekarang Mala masih belum ingin berbicara kepada ku. Dan sekarang keadaan ku kan lebih kaya tidak seperti ayahnya yang miskin. Mala sangat kehilangan ayahnya, dan aku berniat akan membantunya untuk bertemu dengan ayahnya karena ini semua juga kesalahan sudah mengambil semua yang dia punya. Semoga dengan niat baikku, dia akan luluh untuk berbicara kepada ku dan akan belajar mencintaiku."

“Heiii Aung, itu bukan ide yang bagus untuk kamu lakukan. Dan tidak boleh ada satupun yang harus kamu serahkan dengan harta yang kamu miliki sekarang,” kata raksasa.

“Kau sudah terlambat Aung,” kata peramal. “Semalam Mala sudah pergi untuk meninggalkanmu.”

Aung terkaget-kaget, kemudian dirinya langsung mencari ke semua ruang rumah tetapi Mala tetap tidak ada. 

Setelah ia mencari Mala, Aung datang lagi ke raksasa dan peramal. “Semua kekayaanku tidak ada artinya kalau aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai!!” katanya putus asa.

Raksasa dan peramal kali ini hanya terdiam, tidak dapat berbicara sedikitpun. 

Masih ada boneka yang belum pernah di panggilnya, kemudian Aung memanggil dan berkata kepadanya. Hai boneka pertapa suci, aku ingin bertanya kepadamu dan tolong katakan kepadaku "kenapa semuanya berakhir seperti ini, aku mendapatan kekayaan tetapi aku harus kehilangan orang yang sangat berarti untukku?"

“Aung, Kau menginginkan banya harta selalu menghadirkan kebahagiaan. Yang perlu kau tahu ialah, suatu kebahagiaan tidak dapat di lihat dari banyaknya harta yang kau miliki tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya ialah sesuatu yang kau lakukan dengan tulus.”

Raja dewa boneka yang ada di samping pertapa datang dan berkata kepada Aung, "Ada yang kau lupakan dari pesan yang diberikan ayahmu. Harusnya kau ingat pesannya, tidak hanya kekuatan dan pengetahuan saja yang berguna melainkan kau harus dapat di imbangi dengan kebijakan dan kebaikan dengan begitu kau akan mendapatkan kebahagian yang sesungguhnya."

"Baiklah aku tidak akan melupakan hal itu.”

Setelah kejadian yang telah menimpa, Aung memanfaatkan kekayaan dan bakatnya untuk perllakuan yang baik. Kemudian Aung membangun sebuah pagoda suci yang sangat luas dan menyediakan suatu tempat makan dan istirahat bagi orang-orang yang datang tempat suci tersebut.

Pada siang hari di antara banyaknya para pengunjug, Aung melihat sesosok wanita muda cantik yang sudah dikenalnya dan seorang pria yang sudah tua. Mereka berdua memakai baju yang sangat sederhana.

“Mala, Aung pun berlari mendatangi wanita muda cantik tersebut dan sesampai di hadapannya Aung langsung bersujud dan ayahnya mala pun melihatnya dengan terkejut.”

“Aku minta maaf kepada tuan, aku sudah melakukan kesalahan kepadamu yang sudah merebut semua yang tuan miliki. Dan sekarang aku ingin mengembalikannya kepadamu, kemudian aku akan pulang ke kampung halamanku dan membantu ayahku membuat boneka.”

“Ayah, dia Aung. Dia sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada kita” Mala berbicara pelan kepada ayahnya.

“Nak, bagaimana dia bekerja untuk kita dan hidup bersama kita" kata ayah.

Akhirnya Aung menjadi orang kepercayaan sang pedagang dan menjadi teman bisnisnya. Dengan kegigihan dan kesabarannya Aung untuk mengambil hati anaknya sang pedagang, Mala pun akhirnya jatuh cinta kepadanya. Tetapi dengan keberhasilannya Aung saat ini, ia tidak melupakan boneka-boneka pemberian dari ayahnya. Meskipun, Aung masih meminta bantuan kekuatan dan pengetahuan para bonekanya, Aung juga tidak lupa mengimbangi dengan kebijaksanaan dan kebaikan.

***

Najwa selesai membaca bukunya.

"Bagus cerita asal dari Myanmar," kata Najwa.

Najwa menutup bukunya dengan baik dan menaruh buku di meja dengan baik.

"Nonton Tv," kata Najwa.

Najwa keluar dari kamarnya ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama orang tua. Acara Tv yang sedang di tonton ayah dan ibu, ya film sih......Samson dan Delilah.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK