Di tepi sebuah sungai di Labuhan Batu, Sumatra Utara, hiduplah seorang janda yang sangat miskin bersama seorang anaknya. Anaknya bernama Si Kantan. Si Kantan dan Ibunya tinggal di sebuah gubuk yang reot dan kumuh. Mereka hidup sengsara. Ayah Si Kantan telah lama meninggal dunia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu Si Kantan mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Si Kantan sering membantu ibunya untuk membawa kayu bakar dari hutan ke pasar. Si Kantan terkenal sebagai anak yang rajin dan patuh kepada ibunya.
Ketika malam tiba, ibu Kantan bermimpi. Dia bertemu dengan seorang kakek tua yang menyuruh mereka untuk menggali tanah pada sebuah tempat di dalam hutan. Ketika pagi tiba, sang ibu menceritakan perihal mimpinya kepada Si kantan. Si Kantan menyarankan kepada ibunya untuk mematuhi apa yang disuruh oleh kakek tua itu.
“Ibu, cobalah kita laksanakan perintah sang kakek tersebut, mana tau akan membawa keberuntungan bagi kita. Semoga nasib kita bisa berubah menjadi lebih baik,” ujar Si Kantan penuh harap.
Mereka akhirnya ke hutan dengan membawa peralatan untuk menggali tanah. Ibu Kantan mengingat-ingat kembali tempat mana yang ditunjukkan oleh kakek tersebut untuk digali tanahnya. Ketika berada di tempat yang tepat, ibu Kantan pun berseru kepada anaknya.
“Anakku, mungkin di sinilah tempatnya. Mari kita gali tanahnya!” kata sang ibu penuh harap.
“Jika ibu yakin tempatnya di sini, saya segera akan menggalinya Bu,” kata Si kantan dengan tidak kalah semangat.
Dengan semangat, Si Kantan menggali tanah yang berada di bawah pohon rindang dan cukup besar. tidak lama kemudian, dia menemukan sebuah benda yang dibungkus oleh kain putih yang telah usang. Si Kantan berseru kepada ibunya, karena dia telah menemukan sesuatu yang dianggap mungkin itulah benda yang diberitahu oleh kakek tua dalam mimpi ibunya.
Mereka membuka benda yang dibungkus oleh kain putih tesebut. Alangkah tercengang sekaligus bahagianya mereka. Ternyata benda tersebut sangat berharga. Benda tersebut adalah sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata. Mereka terkagum-kagum akan benda itu. Si Kantan dan ibunya berharap agar benda tersebut dapat merubah nasib mereka. Setelah sampai di rumah, mereka bermusyawarah untuk memastikan nasib benda tersebut. Apakah benda tersebut akan mereka simpan atau dijual.
“Anakku, sebaiknya benda ini dijual. Hasil penjualannya akan ibu belikan rumah yang pantas dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Si Kantan merenung, lalu berkata “Ibu, jika ibu jual benda ini, lalu siapa yang akan membelinya ? benda ini terlalu berharga dan sangat mahal tentunya. Penduduk kampung ini tidak akan bisa membelinya.”
“Benar anakku, kalau begitu, benda tersebut harus engkau jual ke penduduk pulau lain,” kata ibunya.
Mereka akhirnya setuju bahwa benda tersebut akan dijual di luar pulau tempat mereka menetap. Si kantan pun akhirnya pamit kepada ibunya untuk menjual benda tersebut. Sejujurnya, Si Kantan sedih meninggalkan ibunya yang sebatang kara. Apalagi ibunya telah tua renta dan tidak cukup tenaga untuk bekerja sendiri. Namun, demi memperbaiki hidup, Si Kantan harus menjual tongkat ajaib tersebut untuk dijadikan sebagai uang yang dapat membuat mereka bahagia. Sang Ibu akhirnya melepas kepergian Si Kantan dengan rasa sedih bercampur haru.
“Jika engkau telah menjual benda itu, pulanglah secepatnya Nak, ibu selalu merindukanmu,” kata ibu Si Kantan sambil terisak.
“Kantan berjani Bu, akan kembali secepatnya ke rumah ini,” kata Si Kantan sambil membalas pelukan ibunya.
Si kantan akhirnya pergi ke Malaka untuk menjual tongkat tersebut. Di perjalanan, dia harus mengarungi Sungai Barumun lalu melewati laut lepas. Dia harus menggunakan kapal layar dan rela terombang-ambing karena badai yang yang sangat dahsyat. Si Kantan selalu berharap agar tongkat emas yang dibawanya laku terjual dengan harga yang pantas.
Setelah sampai di Malaka, Si Kantan mencoba menawarkan barang tersebut kepada para pedagang. Semua pedagang yang ada di Malaka ditawari Si Kantan untuk membeli tongkat tersebut. Ternyata semua pedagang di kota itu tidak sanggup membelinya. Harga tongkat itu terlalu mahal karena sangat bernilai tinggi. Akhirnya Si Kantan berniat pulang karena tidak ada satupun yang membeli benda tersebut. Ketika sampai di pelabuhan untuk pulang ke kampungnya, Si Kantan bertemu dengan para hulubalang Kerajaan malaka. Para hulubalang Kerajaan Malaka melihat benda yang dibawa oleh Si Kantan. Mereka bertanya kepada Si Kantan, benda apa gerangan yang dia bawa, mengingat benda tersebut masih ditutupi oleh kain.
“Ini adalah tongkat emas, Tuan. Saya mau menjualnya,” jawab Si Kantan.
“Cobalah kau bawa tongkat itu ke raja kami. Mana tau sang raja mau membelinya,” kata salah satu hulubalang tersebut.
Si Kantan dengan para hulubalang pergi ke istana untuk menemui sang raja. Di istana, raja terkagum-kagum atas keindahan dan kemewahan tongkat emas tersebut.
“Alangkah indahnya tongkat ini, saya tertarik untuk memilikinya,” ujar sang raja.
“Dengar anak muda, saya tidak akan membeli tongkat ini. Namun sebagai gantinya, saya akan mengangkatmu sebagai menantu, saya memiliki seorang putri cantik yang belum dinikahkan kepada siapapun.”
Mendengar ucapan sang raja, Si Kantan berkata, “Ampun paduka yang mulia, jika memang itu kehendak paduka, saya bersedia untuk dinikahkan dengan anak anda.”
Si Kantan akhirnya menikah dengan seorang putri dari raja Malaka. Mereka akhirnya menikah. Pesta pernikahan mereka sangat megah. Kantan telah menjadi salah satu keluarga kerajaan. Di istana, Si Kantan dan istrinya hidup bergelimang kemewahan. Dengan kehidupan yang sangat mewah, Si Kantan akhirnya melupakan sang ibu di kampung. Si Kantan lupa akan janjinya. Padahal, hari demi hari sang ibu dengan penuh harap tetap menunggu kepulangan Si Kantan. Namun, tidak lama setelah Si Kantan menikah, sang istri terus mendesak ingin bertemu dengan ibu Si Kantan. Dia ingin diperkenalkan kepada ibu mertuanya. Apalagi, keinginan tersebut juga direstui oleh mertua Si Kantan, sang raja. Setelah didesak secara terus menerus, akhirnya Si Kantan bersedia pulang ke kampung untuk mengenalkan ibunya dengan istrinya, meskipun keinginan tersebut sangat berat bagi Si Kantan.
Ketika pagi hari, sebuah kapal besar yang megah membawa Si Kantan dan istrinya untuk pergi ke kampung menemui ibu Si Kantan. Mereka membawa puluhan pengawal. Mereka menempuh perjalanan selama berhari-hari, hingga sampailah ke daerah yang bernama Labuhan Bilik. Labuhan Bilik adalah sebuah kota kecil yang terletak di muara Sungai Barumun.
Penduduk muara Sungai Barumun terkagum-kagum atas kemegahan sebuah kapal yang ditumpangi oleh Si Kantan bersama istrinya. Mereka menerka-nerka siapakah orang yang menggunakan kapal megah tersebut. Alangkah terkejutnya mereka, bahwa kapal tersebut ternyata ditumpangi oleh seorang pemuda dan istrinya yang cantik jelita. Pemuda dan istrinya tersebut mengenakan pakaian yang mewah. Salah satu penduduk kampung berseru bahwa dia mengenali pemuda tersebut.
“Hei, itu adalah Si Kantan. Pemuda yang tinggal bersama ibunya di tepi sungai,” sahut salah seorang dari mereka.
“Benar, itu adalah Si Kantan,” sahut lainnya.
Kabar akan kedatangan Si Kantan akhirnya terdengar oleh ibu kandungnya sendiri. Sang ibu dengan gembira dan penuh suka cita menunggu anaknya di gubuk reotnya. Namun, sang anak tidak kunjung datang. Sang ibu akhirnya memutuskan untuk menemui anaknya di pelabuhan.
Sang ibu menggunakan sebuah sampan tua untuk mengarungi Sungai Barumun, dia ingin menemui anaknya. Dengan hati yang berdebar dan penuh harap, sang ibu ingin memeluk anaknya untuk melepas kerinduannya. Tidak lama kemudian, sampailah sang ibu di pelabuhan. Tampaklah sebuah kapal besar yang megah sedang bersandar di pelabuhan tersebut.
“Jika memang itu adalah kapal Si Kantan, alangkah bahagianya aku,” kata sang ibu.
Sang ibu dengan sekuat tenaga mengayuh sampan tua tersebut untuk mendekati kapal besar di pelabuhan itu.
“Kantaaan.... Kantaaan..., Kantan anakku,” panggil perempuan itu dengan penuh semangat namun penuh haru. “Ini ibumu nak....”
Istri Kantan mendengar suara teriakan ibu mertuanya. Dia lalu bertanya kepada Kantan untuk memastikan apakah suara tersebut adalah benar mertuanya.
“Kanda, ada yang berteriak memanggil suara Kanda. Apakah ibu itu adalah ibu kandung Kakanda ?” tanya sang istri Kantan.
“Bukan, itu mungkin orang gila yang tidak aku kenali,” jawab Kantan. Si Kantan sebenarnya mengetahui suara ibunya, namun dia malu untuk mengakui bahwa perempuan tua itu adalah ibunya.
Sang ibu terus-menerus memanggil anaknya. Dia berharap agar Si Kantan datang menemuinya.
“Ini ibumu nak..., datanglah Kantan,” ibunya terus memanggil.
Sang istri akhirnya keluar dari kapal dan menuju anjungan. Dia penasaran dan ingin bertemu dengan ibu mertuanya. Keluarnya sang istri disusul oleh Si Kantan. Tampaklah seorang wanita tua renta dengan pakaian yang kumal sedang menunggu ke arah kapal Si Kantan. Melihat keadaan tersebut, Si Kantan mengusir dengan suara yang keras ke arah wanita tua tersebut.
“Hai, perempuan tua yang jelek. Kau seenaknya saja mengaku ibuku. Ibuku tidak seperti kau !” hardik Si Kantan
Sang istri menenangkan Si Kantan bahwa mungkin bisa saja itu adalah ibunya. Namun, karena malu dan tidak ingin beribukan yang telah tua dan miskin, Si Kantan tetap bersikeras bahwa itu bukanlah ibunya.
“Dia bukan ibuku, ibuku cantik dan masih muda,” kata Si Kantan kepada istrinya.
Si Kantan terus memaki-maki wanita yang sebenarnya adalah ibu kandungnya sendiri. Dengan bantuan pengawal, Si Kantan menyuruh mereka untuk mengusir ibunya sendiri. Sang ibu dengan berat hati kembali pulang ke gubuk reotnya, sedangkan Si Kantan bersama istrinya kembali ke istana. Dengan perasaan yang sangat sedih karena diusir oleh anak kandungnya sendiri, sang ibu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, anakku telah durhaka kepada ibunya. Berilah dia balasan yang setimpal. Dia tidak tau balas budi terhadap ibunya yang telah mengandung, melahirkan, serta membesarkannya,” dengan penuh isak tangis yang tidak terbendung lagi, sang ibu berdoa kepada Tuhan.
Tidak lama kemudian, langit menjadi gelap, petir menyambar-nyambar, lalu turunlah hujan badai. Air di Sungai Barumun menjadi bergulung-gulung. Kapal besar yang ditumpangi oleh Si Kantan dan istrinya mulai terombang ambing di perairan. Setelah itu, kapal terhempas oleh gelombang air yang sangat dahsyat. Kapal tersebut akhirnya tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Si Kantan akhirnya tewas. Tidak lama setelah kejadian tersebut, munculah sebuah pulau di tengah Sungai Barumun. Oleh masyarakat, pulau tersebut di beri nama pulaun Si Kantan.
***
Nazar selesai baca bukunya.
"Bagus ceritanya," kata Nazar.
Nazar menutup buku dan menaruh buku di meja.
No comments:
Post a Comment