CAMPUR ADUK

Wednesday, October 23, 2019

SI TAMBA

Di sebuah hutan tinggal seorang Ibu dengan anaknya. Namanya si Tamba. Si Tamba adalah anak yatim. Ayahnya telah meninggal ketika si kecil Tamba baru berumur satu tahun. Sedang Ibu Tamba hidup dari bercocok tani. Keluarga mereka adalah petani miskin yang musti membuka hutan dulu sebelum berladang karena mereka tidak memiliki ladang untuk bercocok tanam.

Pada suatu hari ketika si Tamba mau makan, Ibunya sedang membuka hutan. 

"Kita harus merembas hutan dulu, Nak! Memotong belukar dan membakarnya," kata Ibunya.

"Kalau mau makan harus membabat dulu," lanjutnya sampai terus melakukan pekerjaannya. Sebelum berladang hutan harus dirembas terlebih dahulu. Ibu Tamba bekerja merembas hutan setiap hari. Sejak matahari baru mengintip di belah timur sampai petang menjemput. Sementara si Tamba dibiarkannya bermain di dalam rumah panggung.

Di tengah hari, setengah selesai merembas hutan, Ibu Tamba menemukan seekor belalang, lalu ditangkapnya. Ia tunjukkan belalang besar berwarna coklat kayu itu pada Tamba yang tengah bermain di rumah.

"Ini Bapakmu, Nak!" kata Ibu Tamba sambil memasukkan. Belalang ke dalam kelambu tidur. Mungkin saja Ibu Tamba sangat merindukan Bapak si Tamba, sejak ia meninggal Ibu Tamba membating tulang sendirian untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua. Lalu, si Tamba ditinggalnya di rumah bersama belalang sementara Ibu Tamba bekerja merembas hutan kembali.

Di rumah, si Tamba yang kelaparan karena belum makan sama sekali sejak mereka sampai di hutan terus memandangi belalang yang ada di dalam kelambu. Kemudian karena tidak tahan ia memegang belalang yang kata Ibunya itu ayahnya sambil meratap, "Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."

"Sabarlah, Nak. Sekarang kita baru merembas," kata Ibunya. Anak itu diam. Dipeganginya belalang itu. Lalu ia tertidur. Dan selepas siang Ia terbangun dan menangis lagi karena lapar.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak di genggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."

"Sabarlah, Nak. Ibu sedang menebang pohon," kata Ibunya. 

Anak itu tertidur lagi dan ketika bangun ia menangis lagi.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."

"Sabarlah, Nak. Sekarang Ibu baru mengumpulkan bekas tebangan untuk dibakar" Anak itu diam lagi. Belalang itu masih digenggamnya dan ia meratap lagi.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, Sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."

"Tunggu dulu Nak. Sekarang Ibu baru membakar. Setelah ini Ibu harus, membakar kembali sisa-sisa bakaran. Nah sehabis itu Ibu akan bersihkan sisa-sisa bakaran dan kita bisa mulai meladang." Anak itu bisa tertawa sejenak, tapi setelah itu ia menangis lagi karena lapar.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar mau rasanya saya makan."

"Tunggu, Nak. Sekarang Ibu sedang melepaskan bibit dari tangkainya. Kita akan memilih bibit yang bagus supaya padi yang tumbuh nantinya subur," kata Ibunya. Diamlah si Tamba. Tapi sebentar kemudian ia menangis lagi. Demikianlah ia menangis terus menerus. Hingga akhirnya Tamba tertidur lagi, tapi karena lapar tidurnya hanya sebentar. Lalu ia meratap lagi. Demikianlah ia menangis terus menerus sambil terus meratap.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan." Tamba menangis sejak Ibunya menanam bibit padi menyiangi hingga padi teru berisi. Si Tamba menangis berbulan-bulan. Tak peduli atau petang. Ia terus menangis karena lapar.

Hingga akhirnya, pada suatu sore di antara pepohonan yang daun-daunnya berbunyi karena digesekkan angin, remang-remang suara Tamba masih di dengar Ibunya dari dapur seusai menuai butiran padi, mengangkatnya dari jemuran hingga menumbuknya menjadi beras.

"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya saya lapar, mau rasanya saya makan."

"Baiklah, Nak," kata Ibunya. "Ini baru diangkat."

"Saya tidur dulu, Ibu."

Maka tidurlah si Tamba. Rupa-rupanya baru mencium nasi yang ditanak Ibunya, si Tamba mabuk. Dan bukannya si Tamba tidur, malahan ia mati karacunan karena mencium bau nasi dengan didera rasa lapar yang sangat setelah hampir empat bulan lamanya. Selesai menanak nasi Tamba membangunkan anaknya untuk disuruh makam. Tapi dijumpainya tubuh si Tamba sudah kaku di ranjang. Maka merataplah Ibu itu.

"Tamba, bangun Tamba. Kamu makan Tamba, bangun!" diperiksanya sekali lagi anaknya. Tubuh Tamba hanya diam saja, bangunlah kamu Tamba. Makanlah, Nak!"

Sayang sekali nasi sudah menjadi bubur. Tamba kecil yang malang. Dengan sedihnya Ibu itu mengubur jenazah anaknya. Jenazah si Tamba dikuburnya di bawah tangga. Mereka berdua sudah sangat bersabar. Hanya untuk bisa makan nasi harus menahan lapar dan bekerja keras dari membuka hutan untuk menjadi ladang hingga menanam bibit padi, menyiangi hingga menunggu butiran padi itu penuh berisi. Tidak hanya itu, belum lagi mengolah beras menjadi nasi. Hanya beberapa jam terlewat si Tamba sudah menyusul Ayahnya.

Pada suatu hari di kuburkan si Tamba tumbuhlah sebatang pohon yang kelak akan dinamai Tembakau. Pohon ini kelak akan bisa diganti bertanam dengan padi. Maka sejak itu si Tamba akan tetap dekat dengan Ibunya dan belalang, Ayahnya.


Karya : Dyah Indra Martarirana

TIGA PANGERAN

Pada zaman dahulu di pulau madura ada sebuah kerajaan yang besar dan makmur. Rakyatnya hidup tenteram dan cukup sandang pangan.Kerajaan itu di pimpin oleh seorang raja yang sudah berusia lanjut,dan sudah waktunya dia mencari pengganti untuk menduduki tahtanya.

Raja itu mempunyai tiga orang putera, dan hal itulah yang membuat sang raja bingung. Karena takut dia akan salah dalam memilih dan menyebabkan permusuhan dan perpecahan di kerajaanya. Tapi ahirnya dia mendapat sebuah ilham untuk membantunya menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi.


Maka pada suatu hari,di panggilah ke tiga puteranya untuk menghadap. Lalu sang raja berkata..''Hai anak-anak ku, hari ini kalian bertiga ku panggil menghadap karena suatu hal. Kalian tahu usia ku tak lagi muda, maka aku berniat mengangkat salah satu dari kalian untuk menggantikan ku. Tapi agar adil, aku akan memberi satu pertanyaan yang masing-masing dari kalian harus jawab. Dan dari jawaban yang kalian utarakan aku akan menentukan siapa yang berhak menggantikan ku. Dan ketika aku telah memilih, maka kalian harus rela dan tidak ada dendam yang kalian pendam,'' kata sang raja.

Ketiga pangeran menyanggupi syarat dari raja. Karena mereka yakin, apa yang di putuskan oleh ayahandanya adalah pilihan terbaik. Kemudian sang raja pun berkata lagi "Seperti apa cinta mu pada rakyat mu?''


Anak pertama pun mengangkat tangan dan berkata ''Cinta ku pada rakyat ku sebesar gunung ayahanda,'' Jawabnya dengan mantab.


''Hmm..begitu? Mengapa harus sebesar gunung?'' tanya sang raja lagi.

''Gunung itu besar, tinggi dan kuat mencengkeram tanah. Jadi begitulah wujud cinta ku,yang kuat, besar dan tak tergoyahkan,'' jawab anak pertama dengan mantab.


''Tapi bukankah di pulau madura ini tidak ada gunung? Dari mana kau bisa tahu wujudnya gunung?'' tanya baginda raja lagi.

''Tapi di pulau jawa ada banyak gunung ayahanda,dan hamba mendengar semua hal tentang gunung dari orang-orang yang pernah ke sana,'' kata putra menjelaskan.

''Jadi kau menyimpulkan sesuatu dari kabar orang, padahal kau belum melihatnya sendiri? Lalu bagaimana cara mu berlaku adil pada rakyat mu jika kau mengetahui masalah mereka hanya dari kabar yang kau dengar?'' tanya sang Raja.


Anak pertama terdiam mendengar pertanyaan Raja, dia menyadari letak kesalahanya. Lalu sang raja pun ganti bertanya pada putra ke dua. Dengan mantab dan percaya diri si anak kedua pun menjawab..?.


"Cinta ku kepada rakyat ku seperti bintang di langit ayahanda."


''Sebutkan alasan mu..!!'' pinta Raja.

''Bintang itu indah, berkilau, bertaburan tak terhitung dan berada di langit yang tinggi hingga tak ada yang dapat melampauinya. Bahkan tingginya gunung sekalipun tak dapat mengalahkanya. Keindahan dan gemerlapnya dapat di nikmati setiap manusia yang ada di bumi, begitulah wujud cinta ku ayahanda...seperti bintang, agar semua rakyat ku dapat menikmati indahnya cinta ku," kata anak ke dua menjelaskan.

''Hmm..bagus,niat mu sangat mulia.Tapi..bagaimana mungkin rakyat mu bisa merasakan cinta mu,bisakah kau bersikap adil?'' tanya sang raja.


''Maksud ayahanda?'' tanya anak kedua tak mengerti.


''Begini..bintang itu tinggi,terlalu tinggi hingga tak terjangkau. Lalu..bagaimana kau bisa berlaku adil pada rakyat mu jika untuk menemui mu saja mereka tak bisa..?'' tanya Raja.

Anak ke dua pun terdiam tanpa bisa menjawab.Lalu sang Raja pun ganti melanjutkan bertanya pada si bungsu,anak terahirnya. Raja pun mengutarakan pertanyaan yang sama seperti yang di tanyakan pada ke dua kakaknya.

''Cinta ku pada rakyat ku seperti garam ayahanda......," jawab si bungsu.

''Hmm..kenapa garam? Bukankah garam adalah sesuatu hal yang remeh? Kenapa tak memilih bulan atau matahari yang lebih besar, indah, dan bersinar ?'' tanya Raja.

''Begini ayahanda...setiap hari hamba menghabiskan waktu untuk berkeliling negri dan membaur dengan rakyat, bahkan hamba di ajari membuat garam oleh mereka. Mungkin..garam adalah hal yang sepele dan tak bernilai, tapi garam adalah hal yang di butuhkan oleh semua orang. Karena garam adalah hal yang tak terlalu berharga,hingga membuat semua kalangan bisa mendapatkanya dengan mudah, bahkan jika membelipun, Garam bisa di dapat dengan harga yang cukup murah. Garam ada di manapun, hingga tak terlalu sulit untuk menemukanya," kata si bungsu menjelaskan.

Raja terdiam mendengar penjelasan si bungsu. Setelah lama di tunggu, Raja tetap tak menemukan sangkalan untuk si bungsu. Dan akhirnya Raja memutuskan bahwa si bungsulah yang akan menggantikan tahtanya. Dan kedua kakaknya pun menerima keputusan Raja dengan bijak dan lapang dada......

THE NAIL

A merchant had done well at the fair. He had sold all his wares, and filled his moneybag with gold and silver. He now wanted to make his way toward home, and to be in his own house before nightfall. So he loaded his duffel bag with the money onto his horse, and rode away.

Seorang pedagang telah sukses berjualan di Pekan Raya. Dia berhasil menjual semua barang dagangannya, dan kini kantong uangnya penuh terisi oleh emas dan perak. Sekarang, dia ingin bergegas pulang agar bisa sampai di rumah sebelum malam hari tiba. Dia pun menaikkan tas nya yang berisi uang ke punggung kudanya, dan memulai perjalanannya.

At noon made a rest stop in a town. When he was about to continue on his way, a servant brought him his horse and said, "Sir, a nail is missing from the shoe on his left hind hoof."

Saat siang tiba, dia beristirahat di sebuah kota. Saat dia akan melanjutkan perjalanannya, seorang pelayan yang membawakan kudanya berkata "Pak, paku dari sepatu kuda anda yang sebelah kiri belakang ada yang hilang."

"Let it be," answered the merchant. "The shoe will certainly stay on for the six hours that I still have to ride. I am in a hurry."

"Biarkan saja," jawab si pedagang. Sepatu kuda itu tidak akan lepas setidaknya untuk 6 jam perjalanan yang akan aku tempuh. Aku sedang terburu-buru."
That afternoon, when he dismounted once again and had his horse fed, a servant came into the inn and said, "Sir, a shoe is missing from your horse's left hind hoof. Shall I take him to the blacksmith?"

Saat sore tiba, si pedagang beristirahat lagi di sebuah kota, dan kudanya pun diberi makan. Kemudian, seorang pelayan masuk ke penginapan tempat dia beristirahat dan berkata, "Pak, sepatu kuda anda yang sebelah kiri belakang hilang. Perlukah saya bawa ke pandai besi?"

"Let it be," answered the man. "The horse can manage for the few hours that I still have to ride. I am in a hurry."

"Biarkan saja," jawab si pedagang. "Kuda itu tetap dapat berjalan sampai beberapa jam lagi. Aku sedang terburu-buru."

He rode on, but before long the horse began to limp. It did not limp long before it began to stumble, and it did not stumble long before it fell down and broke a leg. The merchant had to leave the horse where it was, and unbuckle the duffel bag, load it onto his shoulder, and walk home on foot, not arriving there until very late that night.

Si pedagang kemudian melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian, kudanya pun mulai pincang, dan terjatuh. Kaki kuda itu pun patah. Si pedagang terpaksa meninggalkan kudanya dan berjalan sambil memanggul tasnya yang berat. Si pedagang baru sampai di rumahnya saat sudah larut malam.

"All this bad luck," he said to himself, "was caused by that cursed nail."

"Semua ini adalah kesialan," kata si pedagang kepada dirinya sendiri. "Ini karena paku yang terkutuk itu."

Haste makes waste.
Tergesa-gesa dapat mengakibatkan segalanya jadi runyam/sia-sia.

ULAR, KATAK DAN SAUDAGAR

Konon, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai tiga anak gadis yang cantik dan belum menikah. Suatu ketika, saudagar tersebut pergi jalan-jalan menengok sawahnya. Tiba-tiba, di pematang sawah, ia melihat seekor ular memangsa seekor katak.

Katak itu menjerit kesakitan. "Kiik.. kiik…" begitulah suara jeritannya. Karena merasa kasihan, maka sang saudagar berseru kepada sang ular. "Wahai ular, tolong lepaskan katak itu. Aku punya tiga orang anak gadis. Kalau kau melepaskan katak itu aku akan memberikan seorang dari mereka untuk jadi istrimu" kata sang saudagar. Mendengar perkataan tersebut, ular pun melepaskan mangsanya dan pergi ke semak-semak. Lama setelah kejadian itu, sang saudagar pun lupa terhadap janjinya. Sampai pada suatu hari, datanglah seorang samurai muda yang gagah dan tampan menemui sang saudagar di rumahnya. Samurai tersebut lalu memperkenalkan diri. "Saya adalah jelmaan dari ular. Saya datang untuk menagih janji menikahi salah seorang anak gadis Anda" kata sang samurai. Mendengar perkataan itu, sang saudagar teringat kembali janjinya yang dulu. Akhirnya ia meminta agar sang samurai datang kembali pada waktu yang dijanjikan. Dan sang samurai pun menerima hal itu. Ia akan datang lagi untuk menjemput pengantinnya. Berhari-hari sang saudagar tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan perjanjiannya dengan sang ular. Akhirnya suatu pagi, anak-anak gadisnya berkumpul dan bertanya kepada ayahnya.

"Ayah, akhir-akhir ini engkau kelihatan kurang sehat. Ada masalah apa?" tanya salah seorang anak gadisnya. Sang ayah pun akhirnya menceritakan permasalahan yang dialaminya kepada anaknya. Mendengar penjelasan ayahnya, mereka semua terdiam. Anak pertama dan kedua menolak menjadi pengantin sang ular. Namun anak terakhir bersikap lain. "Baiklah, aku tidak akan mengecewakan ayah. Aku bersedia menjadi pengantin ular itu!" katanya dengan tenang. Sang ayah pun lega dibuatnya. Akhirnya, hari pernikahan pun tiba. Sang anak bungsu minta agar ia dibekali beberapa labu panjang dan jarum tenun. Setelah itu, sang pengantin pria membawa pengantin wanita pulang ke rumahnya. Rumah pengantin pria berada di balik bukit. Beberapa lama kemudian, mereka sampai di sebuah kolam yang besar. "Ini adalah rumahku. Silakan kau dulu yang masuk ke dalam air!" kata pengantin pria. Tetapi sang pengantin wanita menolak dengan halus. "Barang bawaanku banyak. Tolong kau dulu yang masuk dengan membawakan barang-barangku tersebut" kata sang pengantin wanita.

Demikianlah, akhirnya pengantin pria dengan membawa barang-barang milik pengantin wanita, masuk ke dalam kolam. Ketika masuk ke kolam, labu panjang yang ia bawa menyembul ke permukaan kolam beberapa kali. Saat ia memasukkan beberapa labu itu, labu lainnya menyembul lagi ke permukaan. Sang pria pun merasa jengkel, labu-labu itu akhirnya mengapung semua ke permukaan kolam. Karena terlalu lelah, perlahan-lahan tubuh pria itu berubah menjadi wujud aslinya, yaitu ular. Ular itu naik ke tanggul kolam dan tertidur disana. Melihat bahwa ular sedang tertidur pulas, pengantin wanita itu segera mengeluarkan jarum tenunnya. Ia lalu menancapkan jarum tenunnya ke atas kepala hingga ekor sang ular.

Ular itu pun mati. Setelah berhasil membunuh sang ular, anak gadis itu segera pergi dari kolam. Namun karena hari sudah gelap, ia tersesat di dalam hutan. Setelah berjalan menyusuri hutan, ia menemukan sebuah pondok kecil. Pondok tersebut dihuni oleh seorang nenek tua. Selama beberapa lama sang gadis menginap di pondok itu. Sampai pada suatu hari, sang nenek bercerita bahwa dia sebenarnya adalah penjelmaan dari katak yang pernah ditolong oleh ayah sang gadis. Karena ingin membalas budi ayahnya, ia pun ingin menolong anak gadisnya. Sang nenek menyarankan agar sebelum kembali ke rumahnya, ia bekerja dulu di rumah seorang saudagar kaya di dekat desa.

Namun karena jarak ke desa terdekat itu agak jauh, sang nenek pun khawatir kalau anak gadis secantik itu akan diganggu oleh orang jahat selama dalam perjalanannya nanti. Sang nenek memberikan sebuah pakaian dari kulit untuknya. "Pakailah pakaian dari kulit ini, agar bisa menyamarkan kecantikanmu" kata sang nenek sambil menyerahkan sebuah pakaian yang terbuat dari kulit katak yang kasar. "Dengan memakai pakaian kulit itu, kecantikanmu akan tersembunyi. Hal itu lebih baik agar kamu tidak diganggu oleh orang-orang jahat nantinya" kata sang nenek. "Rumah saudagar itu sedang membutuhkan pembantu untuk mengurus dapur dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bekerjalah disana untuk beberapa waktu!" saran sang nenek.

Setelah mengenakan pakaian dari kulit itu, sang gadis berubah menjadi seorang nenek yang kulitnya sudah berkeriput. Ketika sampai di rumah sang saudagar, ia menemui sang pemilik rumah dan memohon agar ia diterima sebagai pembantu rumah tangganya. Demikianlah, sejak saat itu sang gadis bekerja di rumah itu. Setiap hari ia harus bangun pagi, menanak nasi dan membersihkan rumah besar tersebut. Pada suatu hari, ketika para anggota keluarga sedang pergi menonton rombongan pemain sandiwara di balai desa, sang gadis tinggal sendirian di rumah. Karena tidak ada seorang pun di rumah, maka ia melepaskan pakaian kulitnya. Sudah lama ia ingin melihat dirinya yang sebenarnya. Ia melihat wajahnya di kaca. Ternyata tidak ada yang berubah. Ia tetap cantik seperti sebelum memakai pakaian kulit pemberian sang nenek. Pada saat itu, seorang anak pria putra bangsawan datang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Karena di rumah tidak ada seorang pun ia menjadi penasaran. Ia sangat terkejut ketika melihat sesosok gadis yang cantik jelita berada di dalam kamar. Putra bangsawan itu pun jatuh hati kepada sang gadis.

Beberapa hari kemudian, sang pemuda jatuh sakit. Berhari-hari ia tidak mau makan. Tubuhnya sangat lemah. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Ketika seorang tabib datang memeriksa, ketahuan bahwa sakit yang diderita sang putra bangsawan tersebut dikarenakan cinta. Pemuda tersebut telah jatuh cinta pada seorang gadis yang pernah dilihatnya. Namun karena gadis tersebut tidak ia temukan lagi, maka ia pun jatuh sakit.

Keluarganya pun sangat kebingungan, nenek pembantu rumah tangga pun menyadari bahwa gadis yang dilihat oleh putra bangsawan tersebut pasti adalah dirinya ketika ia melepas pakaian kulitnya beberapa waktu yang lalu. Karena merasa kasihan, ia pun melepaskan pakaian kulitnya lagi dan menemui putra bangsawan yang sedang sakit tersebut. Melihat wajah cantik jelita itu, sang pemuda tersenyum dan sakitnya pun berangsur-angsur sembuh kembali.

Demikianlah, akhirnya sang gadis dinikahkan dengan putra bangsawan tersebut. Mereka hidup dengan bahagia. Setelah beberapa lama menikah timbul kerinduannya terhadap ayah dan kedua saudarinya. Ia pun meminta agar suaminya mengantarkan pulang ke rumah orang tuanya. Orang tua sang gadis yang semula mengira bahwa putri bungsunya tidak akan pernah kembali lagi, merasa sangat bahagia ketika bertemu kembali. Mereka terharu mendengar cerita pengorbanan putri bungsunya. Sejak saat itu mereka bisa berkumpul kembali dan hidup dengan bahagia.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK