Di sebuah hutan tinggal seorang Ibu dengan anaknya. Namanya si Tamba. Si Tamba adalah anak yatim. Ayahnya telah meninggal ketika si kecil Tamba baru berumur satu tahun. Sedang Ibu Tamba hidup dari bercocok tani. Keluarga mereka adalah petani miskin yang musti membuka hutan dulu sebelum berladang karena mereka tidak memiliki ladang untuk bercocok tanam.
Pada suatu hari ketika si Tamba mau makan, Ibunya sedang membuka hutan.
"Kita harus merembas hutan dulu, Nak! Memotong belukar dan membakarnya," kata Ibunya.
"Kalau mau makan harus membabat dulu," lanjutnya sampai terus melakukan pekerjaannya. Sebelum berladang hutan harus dirembas terlebih dahulu. Ibu Tamba bekerja merembas hutan setiap hari. Sejak matahari baru mengintip di belah timur sampai petang menjemput. Sementara si Tamba dibiarkannya bermain di dalam rumah panggung.
Di tengah hari, setengah selesai merembas hutan, Ibu Tamba menemukan seekor belalang, lalu ditangkapnya. Ia tunjukkan belalang besar berwarna coklat kayu itu pada Tamba yang tengah bermain di rumah.
"Ini Bapakmu, Nak!" kata Ibu Tamba sambil memasukkan. Belalang ke dalam kelambu tidur. Mungkin saja Ibu Tamba sangat merindukan Bapak si Tamba, sejak ia meninggal Ibu Tamba membating tulang sendirian untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua. Lalu, si Tamba ditinggalnya di rumah bersama belalang sementara Ibu Tamba bekerja merembas hutan kembali.
Di rumah, si Tamba yang kelaparan karena belum makan sama sekali sejak mereka sampai di hutan terus memandangi belalang yang ada di dalam kelambu. Kemudian karena tidak tahan ia memegang belalang yang kata Ibunya itu ayahnya sambil meratap, "Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."
"Sabarlah, Nak. Sekarang kita baru merembas," kata Ibunya. Anak itu diam. Dipeganginya belalang itu. Lalu ia tertidur. Dan selepas siang Ia terbangun dan menangis lagi karena lapar.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak di genggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."
"Sabarlah, Nak. Ibu sedang menebang pohon," kata Ibunya.
Anak itu tertidur lagi dan ketika bangun ia menangis lagi.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."
"Sabarlah, Nak. Sekarang Ibu baru mengumpulkan bekas tebangan untuk dibakar" Anak itu diam lagi. Belalang itu masih digenggamnya dan ia meratap lagi.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, Sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan."
"Tunggu dulu Nak. Sekarang Ibu baru membakar. Setelah ini Ibu harus, membakar kembali sisa-sisa bakaran. Nah sehabis itu Ibu akan bersihkan sisa-sisa bakaran dan kita bisa mulai meladang." Anak itu bisa tertawa sejenak, tapi setelah itu ia menangis lagi karena lapar.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar mau rasanya saya makan."
"Tunggu, Nak. Sekarang Ibu sedang melepaskan bibit dari tangkainya. Kita akan memilih bibit yang bagus supaya padi yang tumbuh nantinya subur," kata Ibunya. Diamlah si Tamba. Tapi sebentar kemudian ia menangis lagi. Demikianlah ia menangis terus menerus. Hingga akhirnya Tamba tertidur lagi, tapi karena lapar tidurnya hanya sebentar. Lalu ia meratap lagi. Demikianlah ia menangis terus menerus sambil terus meratap.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak masak digenggaman, alangkah enaknya Ibu, saya lapar, mau rasanya saya makan." Tamba menangis sejak Ibunya menanam bibit padi menyiangi hingga padi teru berisi. Si Tamba menangis berbulan-bulan. Tak peduli atau petang. Ia terus menangis karena lapar.
Hingga akhirnya, pada suatu sore di antara pepohonan yang daun-daunnya berbunyi karena digesekkan angin, remang-remang suara Tamba masih di dengar Ibunya dari dapur seusai menuai butiran padi, mengangkatnya dari jemuran hingga menumbuknya menjadi beras.
"Ibu, Ibu, belalang kesayanganku ini Ibu, sudah masak digenggaman, alangkah enaknya saya lapar, mau rasanya saya makan."
"Baiklah, Nak," kata Ibunya. "Ini baru diangkat."
"Saya tidur dulu, Ibu."
Maka tidurlah si Tamba. Rupa-rupanya baru mencium nasi yang ditanak Ibunya, si Tamba mabuk. Dan bukannya si Tamba tidur, malahan ia mati karacunan karena mencium bau nasi dengan didera rasa lapar yang sangat setelah hampir empat bulan lamanya. Selesai menanak nasi Tamba membangunkan anaknya untuk disuruh makam. Tapi dijumpainya tubuh si Tamba sudah kaku di ranjang. Maka merataplah Ibu itu.
"Tamba, bangun Tamba. Kamu makan Tamba, bangun!" diperiksanya sekali lagi anaknya. Tubuh Tamba hanya diam saja, bangunlah kamu Tamba. Makanlah, Nak!"
Sayang sekali nasi sudah menjadi bubur. Tamba kecil yang malang. Dengan sedihnya Ibu itu mengubur jenazah anaknya. Jenazah si Tamba dikuburnya di bawah tangga. Mereka berdua sudah sangat bersabar. Hanya untuk bisa makan nasi harus menahan lapar dan bekerja keras dari membuka hutan untuk menjadi ladang hingga menanam bibit padi, menyiangi hingga menunggu butiran padi itu penuh berisi. Tidak hanya itu, belum lagi mengolah beras menjadi nasi. Hanya beberapa jam terlewat si Tamba sudah menyusul Ayahnya.
Pada suatu hari di kuburkan si Tamba tumbuhlah sebatang pohon yang kelak akan dinamai Tembakau. Pohon ini kelak akan bisa diganti bertanam dengan padi. Maka sejak itu si Tamba akan tetap dekat dengan Ibunya dan belalang, Ayahnya.
Karya : Dyah Indra Martarirana