Sukma, gadis cantik sedesa itu. Meskipun ia dari keluarga tak mampu. Ibunya tak begitu cantik. Namun, sifat Sukma amat buruk. Ia sombong. Cara bersolek layaknya dari keluarga mampu. Jika berjalan dengan sang Ibu, ia tak pernah bersisian dengan Ibu selalu berada di belakang atau di depan Ibu.
Setiap berpapasan dengan orang lain, dan bertanya siapa perempuan tua bersamanya. Sukma akan menjawab enteng "Dia pembantuku." Terkadang mendengar itu, sang Ibu sangat teriris hatinya. Hati perempuan tua itu luka. Meski begitu, ia tetap tersenyum.
Sukma selalu bermimpi menjadi anak orang kaya. Itulah yang membantu pribadinya buruk. Ia memilih-milih menicari teman. Para bujang yang berani menyapanya, tentu bukan orang sembarang. Pastilah dari keluarga terpandang. Sayangnya tak satu pun keluarga bujang yang menyenangi perilaku Sukma. Itu sebabnya sampai berusia 22 tahun, belum ada tanda-tanda yang hendak meminangnya.
"Kamu cantik Sukma...." puji teman-teman perempuannya setiap berjumpa dengannya.
"Kau seperti putri anak seorang raja...."
Mendengar pujian itu, Sukma makin bangga. Ia kembali bersolek. Ia merasa di desa itu, dialah paling cantik. Sukma lupa bahwa kecantikan hanyalah sementara, namun kecantikan yang lahir dari perilaku terpuji itu akan berbekas sepanjang masa.
Akan tetapi fahamkah Sukma?
Tak. Bahkan Ibunya yang berkali-kali menasehatinya selalu ditampik.
"Ingat Sukma, buruk rupa lebih baik dari pada buruk hati!" suatu kesempatan, entah yang sudah ke berapa nasehat itu diterima Sukma. "Buruk rupa hanya sementara dan tidak akan celaka. "Tetapi kalau buruk hati ia akan tercela sepanjang masa. Orang tak akan suka. Kita akan terkucil. Ingatlah nasihat Ibu, ini nak?"
"Ah Ibu tahu soal itu!" tepis Sukma. Sang Ibu mengurut dada.
"Ibu tak usah ajari aku. Lihat saja nanti, justru dengan wajahku yang cantik ini banyak orang yang suka padaku. Tak akan mungkin ada orang yang membenciku!" Sukma kian sombong.
Sukma adalah anak satu-satunya keluarga itu. Ia ditinggal ayahnya yang wafat saat ia berusia enam bulan. Dulu memang ayahnya terpandang, orang kaya di desa itu. Namun sejak ayahnya meninggal, kekayaannya kian hari habis. Tinggal sang Ibu membanting tulang untuk mencari sesuap nasi. Janda itu bekerja apa saja asalkan halal untuk membesarkan Sukma.
Sukma pun tumbuh menjadi kanak-kanak remaja dan kini tengah menginjak dewasa. Tetapi, tak satupun bujang di desa itu yang berani meminang. Mereka takut gagal kasihnya ditolak Sukma. Sementara Sukma sesungguhnya tengah menanti-nanti pemuda yang meminangnya. Perjaka yang tampan, kaya, dan mesti dari keluarga yang terpandang.
Mungkinkah lelaki ideal seperti itu ada didesanya? Itulah soalnya. Di desa Tataan ini mayoritas keluarga miskin. Tak mungkin mampu meminangnya. Jika tampan cukup banyak.
"Tampan saja tak cukup bisa membahagiakan aku!". Aku kan cantik Ibu, maka suamiku mesti kaya!" kata Sukma ketika ada bujang yang hendak melamarnya. Bujang itu tampan, tapi tak kaya!"
"Sukma.... Sukma..... Ingat, Nak. Ingat. Tuhan sangat membenci orang-orang yang sombong, tak mau mensyukuri nikmat-Nya."
"Ah, Ibu lagi-lagi menasihatiku. Ibu tak pantas menasehatiku!"
"Sukma" sang Ibu berkeras suaranya.
Sukma terdiam. Tetapi matanya nyalang. Memandang tajam ke wajah sang Ibu. Setelah keluar rumah meninggalkan Ibunya yang terpaku. Sukma menuju rumah teman perempuannya di seberang desa. Ia tumpahkan kekesalannya. Ia bertekad untuk tidak pulang lagi.
"Aku malu tinggal di rumah buruk ini. Tak pantas bagikku yang cantik ini, tinggal di rumah bersama Ibu tua yang melarat" kata Sukma.
"Tapi, itu Ibumu. Sukma. Ibu kandungmu...." kata Rosna, temannya.
"Bukan. Dia pembantu dari Ayahku. Karena Ayahku yang kaya itu meninggal akhirnya aku diasuh oleh perempuan buruk itu," Sukma membela diri.
"Lalu, kalau itu bukan Ibumu, yang mana lagi Ibumu?"
"Ada. Ibuku cantik sepertiku. Dia tinggal di desa setelah gunung itu. Kata perempuan itu, Ibuku lari karena ditinggal mati suaminya. Ia talu menikah lagi dan kini punya anak perempuan, cantiknya seperti aku. Kalau kami disanding bak buah pinang dibelah dua sama rata...." kata Sukma lagi.
"Benarkah itu Sukma?.) Jangan-jangan kau hanya bermimpi.....!"Kau tak percaya? Kau bandingkan sendiri, mana mungkin aku yang secantik ini punya Ibu seburuk rupa itu. Tentunya. Ibuku secantikku. Tiada pohon kelapa berbuah semangka, Mustahil!" Sukma berujar lagi.
"Tak mustahil di dunia ini, Suka, kalau Tuhan berkeinginan!" jawab Rosa. "Ingat Sukma, kau sudah berlebihan. Hatimu sudah rusak. Kau pantasnya mendapat kutukan dari Ibumu yang telah melahirkanmu!" Tuhan pasti marah!!"
"Aku bosan dengan nasihat. Aku lari dari rumahku karena Ibuku sering menasehatiku. Sekarang kau mau menasehatiku lagi! sela Sukms "Kamu iri dengan kecantikanku. Kamu tak mampu secantik aku!". Aku harus pergi ke kampung seberang. Aku akan bawa Ibu dan adikku lalu akan kutunjukkan pada orang sedesa ini bahwa aku tidak berdusta!"
Sukma hendak beranjak, Rosa mencegah.
"Mau ke mana? Kau sedang bermimpi, Sukma. Dibalik gunung itu tidak ada lagi desa, selain belantara. Kau akan mati diracik-racik binatang buas!"
"Bohong!" teriak Sukma "Kau membohongi aku. Katakan saja kalau kau iri padaku, kau tak ingin melihatku bersama Ibuku yang memang cantik. Kau takut tersaingi oleh adikku.....!"
"Ibumu, itu yang yang ada di rumahmu. Kini ia menanti kepulanganmu!" kata Rosna sabar. "Aku tidak pernah iri pada siapapun, juga pada kecantikanmu betapapun aku tidak cantik aku merasa bersyukur, Tuhan masih memberi anggota tubuhku yang sempurna.....!" jawab Rosna.
Kata Rosna lagi. "Kecantikan hanyalah semu, sementara. Yang abadi adalah kecantikan lahir dan perilaku yang baik, dan hati yang bersih. Untuk apa cantik jika hati ini tak bersih. Kecantikan itu tak akan memancar!"
"Cukup aku muak nasihatmu, Rosna. Aku permisi pergi jangan sebut aku temanmu lagi. Aku akan ke kampung sebelah gunung itu. Aku ingin hidup bersama Ibuku. Di sana aku akan bahagia. Tetangga-tetangga yang kaya, para bujang yang tampan. Tidak seperti disini, aku bosan hidup seperti ini!"
Sukma kemudian meninggalkan rumah temannya itu. Ia tak pamit lagi pada sang Ibu. Tak berbekal apa pun Ia menuju gunung yang dari jauh hanya tampak kabut putih. Ia tembus pematang, padang, belantara. Tubuhnya makin mengecil dalam pandangan Rosna. Sekejap kemudian, lenyap di telan belantara yang lebat.
Rosna menceritakan kejadian itu pada Ibu Sukma. Perempuan tua nan miskin itu tak bisa berbuat apa-apa. Hatinya telah benar-benar luka. Di dalam hati ia mengutuki anaknya, namun pada bagian hatinya yang lain Ia berdoa demi keselamatan anaknya. Ia berharap Tuhan akan membalikkan hati Sukma, balik ke rumah lagi.
Harapan itu sia-sia. Doa perempuan itu belum dikabulkan Tuhan, atau mungkin sengaja untuk memberi pelajaran kepada perempuan-perempuan berparas cantik lain jangan sombong.
Suka lenyap sampai kegunung itu. Tubuhmu lenyap, sukmanya hilang. Orang-orang sedesa terus menerus memanggil namanya. Ibunya begitu pula. Bahkan menangis sejadinya. Sedih. Duka. Menyesal.....
"Sukma......"
"Sukma......"
"Sukma hilanggggg....."
Berhari-hari orang-orang mencari. Para bujang tak lelah berharap bisa Sukma, dengan harapan jika berjumpa bisa menjadikan istrinya.
Tetapi, sudah berbulan-bulan Sukma tak dijumpai. Alkisah, sesungguhnya desa disebelah gunung itu tiada. Belantara yang terbentang. Sukma lenyap bersama kabut putih yang menyedot tubuhnya.
Sejak itu, gunung sebelah barat dari kota Bandar Lampung itu, disebut Gunung Sukma Hilang. Konon, jika perempuan sombong berani menaiki gunung itu akan lenyap.
Karya : Isbedy Setiawan ZS
No comments:
Post a Comment