Semua kekesalan Angel menggumpal di dada, bila ditumpuk tentunya telah membentuk gunungan besar yang menari-nari mengejeknya. Andaikan kekesalannya dapat dijejalkan dalam karung dan ditukarkan dengan beras, mungkin ibunya tak perlu membeli beras lagi dua bulan ke depan.
Semuanya bermula saat Angel terpaksa menginap seminggu di Krui, untuk menghibur kakak ibunya atau kerap dipanggil makwo olehnya. Siswi SMA populer di Bandar Lampung seperti di Krui. Bahasa yang tidak ia mengerti, anak laki-laki dengan cat rambut merah yang terus-terusan meliriknya dan memamerkan deretan giginya yang tak rata, pukulan keuntungan di malam hari dan teriakan aneh yang mengganggu tidurnya. Krui memang indah, ombak yang berkilau memantulkan keemasan sang mentari, persawahan yang hijau, namun Angel tak dapat menikmati kemewahan alam tesebut karena kedengkian di hatinya.
"Lina, Angelia!" suara nyaring khas makwo melengking menambah timbunan kekesalan di hati Angel. Angel menutup telinga serapat mungkin, melindungi gendang telinganya dari suara yang terdengar bagaikan sangkala hari akhir.
Makwo mengetuk kamar Angel dengan nada yang dibuat-buat, lalu ia membuka pintu kayu dan menimbulkan suara bedecit yang membuat Angel berusaha mencari alat untuk menyumpal telinganya.
"Apa apa sih, makwo?" tanya Angel kenal.
"Makwo masak sayur ikan kesukaan kamu, Lia" ujar makwo sambil tersenyum sendiri, centong sayur yang berlumuran kuah santah ia ayunkan kesana kemari. Logat lampungnya yang kental menghiasi setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.
"Angel makwo, Angel! Kenapa sih makwo selalu manggil aku Lia? Makwo masih keinget sama Dahlia? Kita semua tau, Dahlia sudah meninggal, kenapa sih makwo belum bisa mengikhlaskan kepergian dia?" ujar Angel dengan emosi yang tak mampu lagi dikuburnya dilontarkan dengan kasar.
Mendengarnya, makwo hanya tertunduk, namun masih tersenyum. "Makwo ikhas, anak makwo satu-satunya, telah pergi mendahului makwo mengahdap Allah Sang Pencipta" ujarnya pelan "Makwo tau kan, Mama Angel menyuruh Angel ke sini cuma ngehibur makwo atas kematian Dahlia, tapi gimana Angel mau menghibur kalo setiap helaan nafas makwo, cuma ada Dahlia terus?"
"Ayo dimakan sayur ikannya, makwo sudah memasak porsi besar untuk kamu" kata makwo seolah tak mendengar ucapan Angel. Ia keluar dari kamar Angel dengan tergesa, kerudungnya yang panjang nyaris menyapu lantai ia sibakkan memudahkan langkannya.
"Angel gak suka ikan, makwo, yang suka sayur ikan itu kan Dahlia!" protes Angel tak lagi didengar oleh makwo. Angel menghentakkan kakinya kesal, diraihnya handphone pink miliknya dan ditekannya nomor Aldi, pacarnya.
Saat didengar suara serak itu menyambutnya di ujung telepon, langsung saja Angel menceritakan unek-uneknya "Aku gak betah tinggal disini, kasurnya gak empuk, lantainya selalu berpasir, belom lagi makwo aku yang cerewet selalu memanggil 'Liaa, Liaa' dengan suaranya yang nyaring. Aku harus ke dokter THT pulang dari sini" keluh Angel.
Di seberang sana, Aldi malah tertawa mendengar ocehan pacarnya. "Kok kamu malah ketawa?" ujar Angel kesal.
"Lagian kamu manja banget sih, makanya cepet pulang dong sayang, aku kangen nih" kata Aldi dengan nada kekanakan.
"Aku juga mau pulang, kalo bisa detik ini juga!" kata Angel. "Kamu jemput aku doong!"
"A...apa?"
"Jemput aku, sayang" kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"A, a...apaa?"
"Jemput akuu!"
"A..." lalu sambungan terputus. Angel menjerit kesal, lalu berteriak histeris karena sinyal di handpohonenya hilang. Angel begitu geram, setiap kali menelpon Aldi, baru sekian detik, kemudian sambungannya putus. Sinyal yang tak stabil atau gangguan provider itu sendiri, apapun alasannya Angel tak memedulikannya, ia tengah mendidih dan butuh siraman es di ubun-ubunnya.
"Kenapa Lia?" tanya makwo tergopoh-gopoh memeriksa Angel di kamarnya, setelah mendengar bahana jeringan sang putri nan manja.
"Gak ada sinyal, makwo! Angel gak bisa nelpon Aldi!" jawab Angel sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.
"Aldi? Pacar kamu itu? Makwo kan sudah bilang, jangan pacaran dulu kamu masih kecil, ini salah satu peringatan Allah, biar kamu gak pacaran lagi" omel makwo, masih dengan centong sayur yang kini diacungkan ke hadapan Angel.
"Emangnya kenapa sih gak boleh pacaran? Aldi orangnya baik kok" ujar Angel, teringat pacarnya yang tampan dan perhatin. Mengapa ia tak boleh berpacaran dengan cowok sebaik Aldi, pikirnya.
"Pacaran itu awal dari maksiat, berdekatan dengan lawan jenis yang bukan mukhirm itu hanya akan menimbulkan fitnah bagi kita" makwo menasehati. "Coba kamu shalat tahajud, dekatkan diri pada Allah, kamu shalat 5 waktu saja masih malas, Lia"
"Makwo udah tua sih, gak ngerti perasaan anak muda" ucap Angel ketus.
"Bukan begitu, alangkah baiknya kita menjaga diri kita sendiri, kita gak tahu apa yang dipikirkan pacar kamu itu, bagaimana kalau dia bermaksud buruk?"
"Gak mungkin lah, Aldi itu selalu baik sama Angel, dia selalu ngasih apa yang Angel mau" Angel membela Aldi. Sudah tampan, kaya raya pula, Angel merasa sangat beruntung memiliki Aldi.
Mendengarnya, makwo hanya dapat mengurut dahinya. Tak mau kalah, Angel sendiri memasang raut masam dengan wajah ditekuk seribu. Demi mengakhiri debat dengan keponakannya, makwo kembali merayu Angel untuk memakan masakannya. Namun Angel membuang muda, kakinya sengaja dihentak-hentakkan ketika berjalan keluar kamar menggambarkan kekesalannya. Tak mampu berbicara lagi, makwo kembali mengurut keningnya.
Angel merapatkan kakinya sembari duduk di teras. Didengarnya nyanyian anak kecil membawa musal, lagi-lagi Angel menutup telinganya. Kenapa setiap suara begitu mengganggu pendengarannya? Dengan jarinya yang lentik, ia mengkalkulasi hari-hari yang ia lewati dan kesialan apa yang ia dapatkan.
'Seharusnya aku bisa belanja, ada discount besar yang akan berakhir minggu ini'
'Seharusnya aku bisa nonton film berduaan dengan Aldi'
'Seharusnya aku bisa ke salon, menata rambut dan facial'
'Seharusnya aku bisa menginap di rumah teman-temanku, pajama party'
Ah sungguh sial, batin Angel. Karena kepergian Dahlia sepupunya, ia ditugaskan mamanya menemani makwo bawel yang tinggal di pelosok begini. Membangkang sedikit, mama bisa memotong uang jajannya. Bahkan, Hp kesayangannya pun bisa disita. Maklum, mama sangat sayang pada makwo, kakak satu-satunya, ia tak mau kakaknya muram berlarut-larut karena kehilangan buah hatinya. Namun mama sendiri larut dalam kesibukannya, meniti tangga bisnisnya perlahan dengan langkah yang sigap, enggan menoleh khawatir peluangnya melayang.
Pesan masuk, Angel hanya tersenyum kecil, pasti Aldi.
"Sayang, gimana kalo aku jemput kamu? Besok pagi aku berangkat ke sana, kemasi barang-barang kamu yaa, kamu mau kan?"
Angel bersorak gembira. Kini ia tak perlu meratapi detik jam yang merayap begitu lama, pasir yang selalu menempel di tumitnya yang mulus, atau yang paling ia syukuri, ia tak perlu lagi mendengar kicauan makwonya.
***
Berjinjit, tangannya dengan tangguh menggenggam tangan Angel, deru nafas yang tertahan dan tas yang terseret menyapa kerikil yang tunduk dalam kesunyian.
"Bagaimana jika makwo tau?" Angel berbisik, cemas dan ragu.
"Makwo? Tante kamu itu?" suaranya serak, dipelankan hingga volume jangkrik.
"Harusnya kita pamit, Di" ujar Angel, kini merasa bersalah, namun begitu mata Aldi yang dingin menatapnya kaku, ia terpaksa diam. Bukankah ia yang begitu senang saat kemarin malam Aldi mengirim pesan akan menjemputnya, membebaskannya dari nestapa. Ia sendiri yang merengek minta dijemput, namun kini hatinya dikabuti kebimbangan.
Entah kenapa tiba-tiba ia teringat akan masakan makwonya. Makwo yang terus-terusan memanggilnya Lia, hingga ia menyerah dan beranggapan nama Angel tak akan meluncur dari lidahnya yang ia gunakan untuk menjilat sisa makanan di bibirnya. Namanya gulai taboh, ujar makwonya. Angel baru pertama kali merasakannya, masakan khas Lampung yang tak pernah dimasak ibunya. Bukan nudget atau sosis, bukan pula masakan cepat saji khas Italia maupun Jepang, inilah masakan Lampung yang rasanya masih menempel di ujung bibir Angel. Gurih, entah bagaimana menggambarkan rasanya. Angel menyukainya, ia tak menyesal menilik ke dapur dan mencicipi masakan tersebut kemarin malam. Meski dengan gengsi selangit, ia mengejap-ngerjapkan mata menikmati masakan makwonya. Ia merasakan cinta, rasa yang tulus dari sebuah masakan. Ia tak seberapa menyukai ikan, tapi gulai taboh ini sempurna.
Aldi memecahkan balon pikiran Angel, ia menarik lengan Angel dengan kasar masuk ke mobilnya. Angel merengut sambil mengelus tangannya.
Belum sempat Angel protes mengenai tangannya, Aldi sudah mencondongkan tubuhnya pada Angel seraya membisikan namanya. Angel yang merasa risih, mendorong pelan tubuh Aldi pelan seraya tertawa kecil mengira kekasihnya sedang bercanda. Namun, ketika Aldi memiringkan kepalanya mendekat ke wajah Angel, Angel dengan sigap menampar wajah Aldi.
"Jangan jual mahal, aku kesini bukan dengan suka rela, aku ingin dapat balas jasa!" ujar Aldi gusar, tangannya mengunci tangan Angel agar gadis itu tak dapat melawan.
"Maksud kamu apa?" napas Angel tercekal, otaknya tak berjalan semestinya, sepertinya ada baut yang terlepas, ia tak dapat berpikir dengan degup jantung yang membuat wajahnya kehilangan rona.
"Aku ingin memiliki kamu! Memiliki kamu seutuhnya, Angel!" Tangan Aldi dengan tak sabar merambat ke kancing baju Angel dan hendak melepasnya dengan paksa, seketika itu juga Angel berteriak. Ia menerjang tubuh Aldi dengan panik, otaknya belum berjalan sepenuhnya, namun ia tahu dirinya tidak dalam keadaan aman. Aldi, lelaki yang cintai, tidak benar-benar mencintainya. Itu tadi bukan cinta, itu tadi nafsu. Cinta dan nafsu itu berbeda, namun keduanya hanya dipisahkan garis kasat mata berupa sekat setipis serat kapas.
Tuhan menyelamatkan hamba-Nya, mobil Aldi tak terkunci sehingga Anggel dengan mudah membuka mobilnya dan melarikan diri dari lelaki yang hampir saja merenggut masa depannya. Tas kulit yang lusuh, terseret patuh pada sang majikan, tetesan hangat itu mengalir dari matanya yang kelam, putus asa dan amat kecewa. Ia marah, entah pada siapa, mungkin pada rinai hujan yang menitik pada poninya yang lepek oleh peluh. Angel berteriak, melepaskan emosi, juga sesak yang menghujamnya tanpa ampun.
Mendengar jeringan Angel, makwo dengan kaki telanjang, menyusuri jalan berkerikil dan tanpa basa basi langsung memeluk Angel. Tanpa memerlukan penjelasan, makwo tau keponakannya sedang tak ingin diintrograsi. Rambutnya yang berantakan, tas yang berisi pakaian yang lecet tergores saking tergesa-gesanya. Angel menengok sejenak, sekelebat bayangan itu, mata yang ia kenal sedang menatapnya, mata kekasihnya. Bukan, mata mantan kekasihnya, Aldi.
***
"Mama!"
Seperti berabad tak bertemu mamanya, Angel memeluk mamanya bahkan saat mamanya belum turun dari mobil. Heran dengan tingkah putrinya, mama memeriksa suhu badan Angel.
"Lia gak sakit kok, ma" ujar Angel.
"Lia? Sejak kapan kamu memanggil diri kamu sendiri Lia? Bukannya kamu yang selalu marah jika dipanggil seperti itu" Makin yakin anaknya sedang sakit.
"Gak apa kok ma, nama itu bagus, makwo selalu memanggil seperti itu" jelasnya, melirik ke belakang tempat makwo berdiri dengan senyum tulusnya. Mamanya hanya ikut tersenyum, melihat kakaknya yang sudah secerah biasanya, putrinya berhasil mengembalikan sinar di mata kakaknya.
"Apa saja yang terjadi seminggu di sini?" tanya mama pada Angel, mungkin kali ini lebih baik dipanggil Lia.
"Banyak sekali, di hari-hari terakhir aku baru merasakan indahnya malam dengan bintang yang berkelip genit, deburan ombak yang menyapu pesisir tanpa gentar, nyanyian nyiur di pantai, siput yang berjalan malu-malu di persawahan dan senandung lucu anak kecil berambut merah cabe, model rambutnya era 80an, lain kali aku akan mengajaknya ke salon langgananku"
Mama terkikik mendengar cerita anaknya, lalu mengelus kepala anaknya.
"Satu lagi ma," tambah Lia "aku putus dengan Aldi, aku gak mau pacaran lagi"
"Kenapa?"
"Lia mau mendekatkan diri pada Allah, mau menjauhkan diri dari maksiat. Dengan Islam, Lia menemukan jalan Lia, jalan yang lebih baik. Makwo yang mengajarkan semua itu, makwo yang menuntun Lia mengaji, setiap liburan Lia mau ke sini ya?"
Mamanya mengangguk, ia menatap kakaknya, terharu.
"Kalo gitu, pulang dari sini kita beli kerudung ya buat kamu?" mama menawarkan pada Lia, putrinya memberi respons postif dengan anggukan yang mantap.
Kamu pasti bangga memiliki ibu seperti makwo Dahlia.
Karya: Inas Maisa
No comments:
Post a Comment