Dahulu kala di kota Nara, ibukota Jepang di jaman kuno hiduplah seorang menteri yang bernama Pangeran Toyonari Fujiwara. Dia mempunyai seorang istri yang sangat cantik jelita dan baik budi pekertinya yang bernama Puteri Murasaki. Mereka berdua sudah dijodohkan dan dinikahkan sejak kecil sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat Jepang di jaman itu. Mereka berdua hidup bahagia sebagai sepasang suami isteri dan saling sayang-menyayangi. Namun, sayangnya walaupun sudah bertahun-tahun berumah tangga, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mereka sangat sedih dan merasa keharmonisan rumah tangganya terasa belumlah sempurna tanpa kehadiran seorang anak yang akan menjadi penerus mereka kelak.
Oleh karena itu mereka bermaksud pergi ke kuil untuk memanjatkan doa supaya dikaruniai anak. Keesokan harinya pergilah mereka berdua ke kuil Hase no Kwannon (kuil Dewi Welas Asih di Hase) dan menetap disana untuk beberapa waktu lamanya. Mereka percaya Sang Dewi Kwannon akan mendengar dan mengabulkan doa-doanya. Setiap hari mereka berdua dengan khusyuk memanjatkan doa supaya segera dikaruniai momongan. Beberapa tahun kemudian Puteri Murasaki pun hamil. Pangeran Toyonari Fujiwara merasa sangat bahagia mendengar berita tentang kehamilan isterinya itu. Dan akhirnya tibalah hari yang sangat mereka nanti-nantikan selama ini.
Puteri Murasaki melahirkan seorang puteri yang sangat cantik jelita. Mereka berdua memberinya nama Puteri Hase (Hase Hime) karena puteri tersebut merupakan karunia Dewi Kwannon di kuil Hase. Pangeran Toyonari dan Puteri Murasaki sangat menyayangi puteri kecil mereka itu. Mereka berdua mengasuh puteri kesayangannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Puteri Hime pun tumbuh menjadi seorang puteri kecil yang cantik dan cerdas. Namun, ketika Puteri Hase berumur lima tahun, sang ibu Puteri Murasaki jatuh sakit.
Banyak tabib telah didatangkan dan berbagai pengobatan telah dicoba, tetapi belum juga menunjukkan hasil yang diharapkan. Bahkan sakit yang diderita Puteri Murasaki terlihat semakin parah. Puteri Murasaki merasa hidupnya sudah tidak akan lama lagi. Maka dia pun memanggil Puteri Hase untuk mendekat kepadanya. Dipandanginya puteri mungilnya itu dengan perasaan mendalam. Dikecup dan dipeluknya dengan penuh kasih sayang. Rasanya dia tak akan sanggup untuk meninggalkan buah hatinya itu. Lalu dia pun berpesan kepada puteri Hase sambil membelai-belai rambutnya.
“Puteri Hase, anakku. Tentu ananda sudah tahu penyakit ibunda semakin lama semakin parah, dan ibunda merasa umur ibunda sudah tidak akan lama lagi. Ibunda takkan bisa lagi menemanimu bermain dan belajar. Oleh karena itu ibunda berpesan padamu, dan ingatlah pesan ibunda ini baik-baik. Kelak kalau ibunda sudah tiada, ibunda harap jadilah ananda seorang puteri yang baik. Jangan suka menyusahkan para pelayan ataupun keluarga. Dan, mungkin nanti ayahandamu akan menikah lagi dan ananda akan mempunyai ibu baru. Bersikaplah hormat dan sopan kepadanya, anggaplah dia seperti ibumu sendiri dan patuhilah semua perintahnya. Ketika ananda dewasa nanti, hormatilah orang-orang yang lebih tua darimu dan sayangilah mereka yang lebih muda darimu. Ibunda ingin ananda tumbuh menjadi seorang wanita yang bisa menjadi suri tauladan bagi semua orang.”
“Baik, ibunda. Ananda berjanji akan selalu mengingat dan melaksanakan semua petuah ibunda,” jawab puteri Hase sambil memeluk ibunya.
Beberapa hari kemudian puteri Murasaki pun wafat. Puteri Hase sangat sedih ditinggal mati ibu yang sangat dicintainya itu. Begitu pun Pangeran Toyonari, dia merasa sangat sedih dan kehilangan. Beberapa bulan setelah kematian isteri pertamanya, Pangeran Toyonari menikah lagi dengan seorang wanita bangsawan bernama Puteri Terute. Berbeda dengan Puteri Murasaki yang berwatak lembut dan bijaksana, Puteri Terute berwatak sebaliknya. Dia sangat kasar, kejam dan buruk hatinya. Dia selalu bersikap kasar dan tidak pernah menyayangi Puteri Hase sama sekali. Dia hanya bersikap lembut kepada puteri Hase bila berada di hadapan Pangeran Toyonari.
Meskipun diperlakukan seperti itu oleh ibu tirinya, Puteri Hase tidak pernah merasa dendam dan sakit hati. Dia selalu hormat dan patuh pada semua perintah ibu tirinya itu sesuai pesan almarhumah ibundanya untuk menjadi seorang gadis yang baik dan tidak menyusahkan siapapun juga. Puteri Hase hampir tidak pernah berbuat kesalahan, semua tugas yang diberikan oleh si ibu tiri kepadanya selalu dikerjakannya dengan benar sehingga tidak ada alasan bagi si ibu tiri untuk menghukumnya. Puteri Hase tumbuh menjadi seorang puteri yang cantik dan cerdas. Kegemarannya adalah membuat puisi dan bermain musik. Maka setiap hari dia selalu mengisi waktu luangnya dengan berlatih membuat puisi dan bermain musik.
Melihat bakat puterinya dalam berkesenian, Pangeran Toyonari pun mendatangkan seorang guru pilihan untuk melatih puteri tercintanya itu bermain koto (kecapi Jepang), menulis surat dan puisi. Puteri Hase merasa sangat senang dan menyerap semua ilmu yang diajarkan sang guru dengan cepat. Ketika menginjak usia 12 tahun, Puteri Hase benar-benar menjadi sangat mahir membuat puisi dan bermain musik. Musim semi pun tiba. Bunga-bunga bermekaran berwarna-warni menghiasi taman dan punggung gunung. Langit biru membentang luas di angkasa raya. Sinar matahari pun mulai menghangatkan kembali hari-hari yang membeku selama musim dingin yang lalu. Tibalah waktu yang selalu dinanti-nantikan masyarakat Jepang di setiap musim semi, yaitu festival bunga sakura. Sang Kaisar bermaksud menyelenggarakan perayaan yang meriah untuk menyambut festival bunga sakura di tahun ini.
Maka diundanglah seniman dan seniwati ternama untuk meramaikan festival bunga sakura di istana kerajaan. Wajah Pangeran Toyonari terlihat berseri-seri setelah membaca surat yang baru diterimanya. Segera dia menemui Puteri Hase yang sedang duduk bermain kecapi di pinggir kolam ikan koi. Dipandanginya Puteri Hase yang terlihat semakin cantik disaat mulai memasuki usia remajanya.
“Hebat... hebat... Bagus sekali puteriku,” kata Pangeran Toyonari sambil bertepuk tangan memuji kemahiran puterinya.
“Oh, ayahanda... Salam hormat ananda,” kata Puteri Hase sambil membungkukkan badan.
“Kau semakin mahir memainkan kecapi, puteriku. Ayah baru saja menerima kabar gembira. Sang Kaisar mengundang kita untuk datang ke istana di saat festival bunga sakura minggu depan. Kaisar ingin mendengarkan permainan kecapimu yang terkenal sangat merdu itu, dan juga meminta ibumu bermain seruling mengiringi permainan kecapimu itu. Hmm... Perpaduan suara kecapi dan seruling tentu akan terdengar sangat indah dan merdu. Bagaimana istriku, kau bersedia kan? ”
“Eee... Tapi aku... aku sudah tidak begitu mahir memainkan seruling lagi. Sudah lama sekali aku tak pernah bermain seruling,” jawab Puteri Terute dengan gelisah.
“Kau tidak perlu khawatir. Festival bunga sakura masih seminggu lagi. Masih ada waktu untuk berlatih. Setiap hari berlatihlah dengan Hase. Tentu kemahiranmu meniup seruling akan kembali lagi,” kata Pangeran Toyonari memberi semangat pada istrinya.
“Iya, benar yang dikatakan ayahanda. Sebaiknya mulai hari ini ibunda berlatih bersamaku, tentu disaat festival bunga sakura nanti kita bisa mempersembahkan musik yang bagus di hadapan Kaisar,” kata Puteri Hase menimpali perkataan ayahandanya.
“Tapi...”
“Ayolah istriku,” hardik Pangeran Toyonari.
“Baiklah aku akan mencobanya” kata Puteri Terute dengan perasaan kesal.
Lalu Puteri Hase dan Puteri Terute pun berlatih memainkan musik bersama-sama. Namun karena malas berlatih, Puteri Terute tidak bisa mengimbangi permainan kecapi Puteri Hase dengan permainan serulingnya. Puteri Terute malah menyuruh seorang dayang untuk menggantikannya berlatih seruling. Sedangkan dirinya enak-enakan tidur. Puteri Terute hanya mau berlatih seruling kalau ada Pangeran Toyonari. Festival bunga sakura pun tiba. Ibukota kerajaan terlihat begitu meriah. Di sepanjang jalan menuju istana raja dihiasi dengan umbul-umbul yang berwarna-warni.
Di tambah lagi keindahan bunga sakura yang mulai mekar terlihat sangat indah berwarna-warni menghiasi keelokan kota raja, dan hal ini semakin menyemarakkan suasana pesta di awal musim semi ini. Pangeran Toyonari sekeluarga sudah siap berangkat menuju istana raja. Puteri Hase berdandan sangat cantik, dia mengenakan baju kimono sutra terbagusnya. Dia terlihat sangat anggun dan menawan hati. Sementara itu Puteri Terute terlihat agak gelisah. Dia terlihat mondar-mandir kesana-kemari mencari alasan agar tidak dipaksa tampil memainkan seruling di hadapan Kaisar oleh suaminya.
“Istriku. Apakah kau sudah siap?” tanya Pangeran Toyonari,”Kalau sudah siap, ayo kita segera berangkat ke istana!”
“Oh, suamiku. Aku bingung. Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa sakit dan suaraku jadi serak. Mungkin ini karena aku terlalu banyak berlatih meniup seruling kemarin. Aku takut nanti tidak bisa menampilkan tiupan seruling yang baik,” jawab Puteri Terute berbohong dengan suara yang dibuat seolah-olah serak.
“Hmm... Terus bagaimana ini?” tanya Pangeran Toyonari kebingungan,”Tentu Kaisar akan kecewa sekali.”
“Begini saja suamiku. Gimana kalau posisiku digantikan oleh dayang Masao saja? Kulihat dayang Masao sangat mahir meniup seruling,” usul Puteri Terute dengan mimik yang sedih,”Kumohon kabulkanlah permohonanku. Ijinkanlah dayang Masao menggantikanku bermain seruling.”
“Hmm... Baiklah! Apa boleh buat? Ini satu-satunya cara agar Kaisar tidak kecewa,” kata Pangeran Toyonari menyetujui usulan istrinya.
Akhirnya mereka pun berangkat menuju istana kerajaan, tempat diselenggarakannya festival bunga sakura. Di istana tempat diselenggarakannya pesta, terlihat Kaisar duduk di atas mimbar yang tinggi. Dia mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning emas. Dihadapannya tergantung tirai-tirai bambu halus warna merah jambu sehingga Yang Mulia Kaisar bisa dengan leluasa melihat semua yang ada dihadapannya dari balik tirai bambu itu, dan orang lain tidak bisa melihat wajah suci dan mulianya itu. Begitu giliran Puteri Hase memainkan kecapi diiringi tiupan seruling sang dayang, Kaisar merasa sangat terpesona dan tersentuh hatinya mendengar alunan musik yang sangat merdu mendayu. Kaisar sangat terkagum-kagum atas kemahiran Puteri Hase memainkan alat musik kecapi diusianya yang masih begitu belia. Atas keberhasilannya menyuguhkan pertunjukan musik yang bagus itu, keesokan harinya Puteri Hase dihadiahi barang-barang yang bagus oleh Sang Kaisar. Pangeran Toyonari pun semakin menyayangi puteri satu-satunya itu. Dan hal ini membuat sang ibu tiri, Puteri Terute menjadi sangat iri dan semakin membenci Puteri Hase.
“Huhhh...!!! Hase lagi, Hase lagi...!!! Kenapa selalu dirinya yang mendapatkan pujian dan keberuntungan itu? Kalau seperti ini terus Pangeran Toyonari tidak akan pernah bisa sepenuhnya mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya padaku dan puteraku?” gerutu Puteri Terute dalam hati,”Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan Hase dari rumah ini! Dengan begitu perhatian dan kasih sayang Pangeran Toyonari akan sepenuhnya tercurah untukku dan puteraku.”
Puteri Terute sudah bertekad bulat untuk membunuh Puteri Hase. Diam-diam dia memesan serbuk racun. Hari ini merupakan hari ke lima bulan Mei yang merupakan hari Koinobori, yaitu hari perayaan untuk anak laki-laki. Puteri Hase bermain dengan adik laki-lakinya di halaman rumah. Semua tokoh boneka dan peralatan perang-perangan dikeluarkannya. Puteri Hase menceritakan setiap tokoh boneka dan peralatan perangnya kepada adik tercintanya. Sementara itu Puteri Terute di dalam rumah menyiapkan dua cangkir anggur manis yang akan diberikan kepada kedua anaknya itu.
Dengan hati-hati dia menaburkan serbuk racun yang sudah dibelinya ke dalam salah satu cangkir. Dia sudah menandai cangkir yang berisi anggur beracun itu dan akan diberikannya kepada Puteri Hase. Lalu dia pun keluar menuju halaman rumah sambil membawa nampan yang berisi dua cangkir anggur manis.
“Anak-anak, berhentilah bermain. Ini ibunda bawakan anggur manis untuk kalian berdua,” kata Puteri Terute dengan ramah. Puteri Terute memberikan cangkir berisi anggur beracun kepada Puteri Hase dan memberikan cangkir anggur tak beracun kepada puteranya. Ketika Puteri Hase hendak meminum anggur itu, tiba-tiba adik lelakinya merebut cangkirnya dan berkata,”Aku tidak ingin anggur di cangkir ini. Aku ingin minum anggurnya kakak.”
Sang adik langsung menenggak anggur yang berhasil dia rebut dari tangan Puteri Hase. Puteri Terute yang mengetahui hal itu tak sempat mencegah puteranya meminum anggur beracun itu. Tak berapa lama tiba-tiba sang adik roboh dengan mulut berbusa disertai kejang-kejang. Puteri Terute yang mengetahui anak lelakinya sekarat menangis sejadi-jadinya. Tabib segera dipanggil untuk mengobati sang putera, namun nyawa putera Puteri Terute tidak bisa ditolong karena ganasnya racun yang dia minum. Karena keterbatasan pengetahuan di waktu itu, tabib tidak bisa mengetahui kalau dalam anggur itu ada racunnya, dia hanya mengatakan kalau anggur tidak baik diminum oleh anak-anak. Dan itulah penyebab kematian putera Puteri Terute.
Terbunuhnya sang anak lelaki atas ulahnya sendiri itu tidak membuat Puteri Terute sadar atas kelakuannya yang salah. Dia malah semakin membenci Puteri Hase lebih dari sebelumnya. Dia merasa Puteri Haselah yang menjadi penyebab kematian anaknya. Andai Puteri Hase tidak pernah ada dalam kehidupannya, tentu anaknya tidak akan mati. Begitulah yang ada dalam pikiran jahatnya. Dan Puteri Terute selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan dan membunuh Puteri Hase. Di saat Puteri Hase menginjak usia 13 tahun, dia sudah menjadi seorang seniwati yang hebat. Banyak tanda jasa dan penghargaan dari kerajaan yang diterimanya.
Musim hujan pun tiba. Hujan deras terus-menerus mengguyur kota Nara setiap harinya. Hingga sungai Tatsuya yang berada di pinggir istana kerajaan banjir besar dan menimbulkan suara bergemuruh yang mengusik ketenangan Kaisar. Kaisar tidak bisa beristirahat dan sangat terganggu siang dan malam hingga Kaisar pun jatuh sakit. Akhirnya Sang Kaisar menitahkan kepada semua biksu di kuil-kuil Buda untuk memanjatkan doa supaya banjir segera surut. Namun hal itu tidak membuahkan hasil, bahkan hujan semakin deras mengguyur setiap harinya diiringi deru angin kencang dan halilintar yang menggelegar menyambar-nyambar hingga banjir besar pun semakin meluas.
Lalu ada seorang biksu Buda yang memberi saran kepada Kaisar agar mencari seorang gadis cantik yang mahir bermain musik, menyanyi dan membuat puisi. Karena menurut kepercayaan kuno hanya gadis seperti itulah yang bisa meredakan amarah alam. Puisi dan doa-doa yang dilantunkannya mampu menggetarkan surga, orang yang sakit bisa sembuh, tanah kering bisa kembali subur, hujan deras bisa reda, angin kencang bisa berhenti seketika. Lalu para pembesar istana menyarankan Kaisar untuk memanggil Puteri Hase yang sudah terkenal pandai dalam bermain musik dan berpuisi itu. Kaisar pun segera memanggil Pangeran Toyonari untuk mengahadap ke istana.
“Hormat hamba, baginda. Sekiranya ada hal penting apakah sehingga baginda memanggil hamba?” kata Pangeran Toyonari.
“Pangeran Toyonari, seperti yang telah kau katahui. Bencana besar telah melanda negeri ini. Setiap hari hujan deras terus-menerus mengguyur dari langit, sungai Tatsuya pun meluap dan menimbulkan suara bergemuruh, hingga kepalaku jadi teramat sakit karenanya. Berbagai pengobatan telah kucoba namun sakitku ini tak kunjung sembuh juga, malah terasa semakin parah. Tidak hanya itu, kudengar banjir juga semakin meluas jauh ke pelosok negeri hingga merusak daerah pertanian yang sudah siap panen. Kalau bencana ini tidak segera diatasi, tentu bencana yang lebih besar sudah ada di depan mata. Dan menurut saran penasehat istana dan para biksu untuk menghentikan bencana ini hanya ada satu cara yaitu mencari seorang gadis cantik yang pandai membuat puisi dan bermain musik. Karena hanya lantunan syair dan musik yang dipersembahkannyalah yang bisa menggetarkan surga hingga semua bencana ini berakhir,” kata Kaisar menjelaskan.
“Apakah Kaisar sudah menemukan gadis itu?” tanya Pangeran Toyonari.
“Sudah! Aku sudah menemukannya! Gadis itu adalah puterimu sendiri yaitu Puteri Hase. Karena itulah aku memanggilmu ke istana untuk memberikan titahku ini secara langsung.”
“Baiklah, baginda. Hamba akan menyampaikan titah paduka ini kepada puteri hamba,” kata Pangeran Toyonari sebelum mohon diri.
Sesampainya di rumah Pangeran Toyonari segera memanggil Puteri Hase dan menyampaikan titah Kaisar untuknya. Puteri Hase sangat terkejut mendapat tugas berat dan mulia itu. Di atas pundaknyalah keselamatan Kaisar dipertaruhkan. Akhirnya Puteri Hase pun menyepi dalam ruangannya mulai menulis bait demi bait puisi yang berisi pujian dan doa-doa yang akan dilantunkannya nanti. Dia menuliskan puisi itu di atas gulungan kertas putih bertinta emas. Pada hari yang telah ditentukan selesailah syair puisi yang telah dia tulis. Lalu diiringi para biksu, pembesar istana, dayang dan juga ayahandanya, Puteri Hase menuju ke tepi sungai Tatsuya. Dia duduk di atas lempengan batu di tepian sungai. Lalu membuka gulungan kertas putih bertinta emas yang berisi syair-syair pujian dan doa-doa yang sudah ditulisnya.
Diiringi petikan musik koto yang mendayu, dengan sepenuh hati bait demi bait syair itu pun dilantunkan Puteri Hase dengan merdunya dipersembahkan kepada surga. Keajaiban pun terjadi. Perlahan-lahan sungai Tatsuya menjadi tenang, suara gemuruhnya pun sirna. Mendung hitam yang selama ini menggantung di langit kota Nara terlihat menyibak pergi perlahan dihembus angin sepoi. Dan langit biru yang cerah menghias kembali di atas kota Nara. Pelangi besar melengkung berwarna-warni seiring selesainya syair yang dilantunkan Puteri Hase. Surga telah tergerak menjawab doa-doa Puteri Hase.
Kaisar merasa sangat senang dan bangga atas keberhasilan Puteri Hase. Penyakit yang dideritanya selama ini tiba-tiba sirna tiada terasa lagi. Oleh karena itu Kaisar memberikan hadiah istimewa kepada Puteri Hase dan memberinya pangkat sebagai ‘Chinjo’yaitu Letnan Jenderal. Dan sejak saat itu dia dipanggil ‘Chinjo hime’ (Letnan Jenderal Puteri). Puteri Hase sangat dicintai dan dihormati oleh semua orang. Namun ada satu orang yang sangat tidak suka dengan keberhasilan Puteri Hase yaitu si ibu tiri, Puteri Terute. Dia masih dendam terhadap Puteri Hase atas kematian anak lelakinya dulu ketika mencoba meracuni puteri tirinya. Si ibu tiri merasa sangat tersiksa dan iri hati melihat Puteri Hase memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dengan kebaikan Kaisar dan kekaguman semua orang. Rasa iri dan cemburu telah membakar hati sanubarinya.
Berbagai cara telah dicobanya untuk merusak citra Puteri Hase. Sering dia mengarang cerita dusta dengan menjelek-jelekkan Puteri Hase di hadapan suaminya. Pangeran Toyonari mendengarkan ceritanya sampai selesai, tapi selalu saja mengatakan bahwa apa yang diceritakan istrinya itu tidak benar dan keliru karena Puteri Hase bukan orang seperti itu. Akhirnya, kesempatan untuk menyingkirkan Puteri Hase pun tiba. Pangeran Toyonari ada tugas ke kota lain untuk beberapa waktu lamanya. Puteri Terute telah menyusun rencana jahat untuk menyingkirkan Puteri Hase. Oleh karena itu Puteri Terute menyuruh seorang pelayan tua setianya yang bernama Katoda untuk membawa Puteri Hase ke gunung Hibari yang merupakan daerah paling liar dan paling jauh dari kerajaan, lalu membunuhnya disana.
Dia mengarang cerita dan berkata kepada si pelayan tua bahwa Puteri Hase akan mendatangkan kesialan yang bertubi-tubi bagi keluarganya. Dan untuk menghindari datangnya kemalangan itu hanya ada satu cara yaitu dengan membunuh Puteri Hase.
“Kuperintahkan padamu, bawalah Puteri Hase ke gunung Hibari dan bunuhlah dia disana! Dan ingat! Jangan kembali kesini sebelum kau selesaikan tugasmu, kecuali kalau kau ingin menemui ajalmu!” perintah Puteri Terute.
“Baiklah, tuan Puteri,” jawab si pelayan tua.
Katoda hanya bisa mematuhi perintah majikannya walaupun tahu majikannya itu salah. Maka pada pagi hari yang buta dengan menunggang kuda dibawalah Puteri Hase ke gunung Hibari. Membawanya masuk jauh ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan Katoda pun menghentikan kudanya. Dipandanginya gadis kecil tak berdosa di hadapannya itu. Dia pun lalu menangis bersimpuh di hadapan Puteri Hase dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Maafkan hamba, tuan Puteri. Ini semua hamba lakukan atas perintah ibu tiri paduka, Puteri Terute. Hamba ditugaskan untuk membunuh tuan Puteri,” kata Katoda dengan suara terisak-isak,”Tapi... saya tidak sanggup melakukannya. Saya tidak ingin membunuh tuan Puteri.”
“Jadi ini semua atas perintah ibunda?” tanya Puteri Hase.
“Benar, puteri.”
“Kalau begitu kenapa tidak kau bunuh saja diriku? Dan kau bisa kembali pulang ke rumah,” kata Puteri Hase. “Tidak, tuan puteri. Saya tidak mau kembali ke rumah. Saya ingin menebus kesalahan saya ini dengan menjaga dan merawat tuan puteri disini,” kata Katoda.
Akhirnya Katoda membangun gubuk kecil di tengah hutan itu untuk tempat tinggal mereka berdua. Katoda merawat dan menjaga Puteri Hase dengan penuh kasih sayang seperti anaknya sendiri. Sementara itu Pangeran Toyonari sudah kembali pulang dari tugas luar kotanya. Dia sangat merindukan puteri kesayangannya yaitu Puteri Hase. Namun alangkah sedihnya hati Pangeran Toyonari begitu mengetahui puteri kesayangannya tersebut tak dijumpainya di rumah.
“Sepertinya Puteri Hase telah berbuat kesalahan besar. Mungkin karena takut kakanda nanti akan marah dan menghukumnya, maka dia melarikan diri dari rumah. Kami semua sudah mencarinya kemana-mana tapi tak kunjung jua menemukannya,” kata Puteri Terute berbohong dengan mimik muka yang dibuat sesedih mungkin.
Tak percaya dengan apa yang dikatakan isterinya, Pangeran Toyonari bertanya kepada semua pelayan yang ada di dalam rumah itu. Dan jawaban yang diterimanya sama seperti jawaban isterinya bahwa Puteri Hase tiba-tiba menghilang tak diketahui dimana keberadaannya. Pangeran Toyonari merasa sangat sedih tak terkira kehilangan puteri kesayangannya itu. Dia sudah berusaha mengirim prajurit ke berbagai pelosok kerajaan, tetapi keberadaan sang puteri tetap tidak diketemukan. Pangeran Toyonari merasa sangat putus asa. Suatu hari untuk mengusir kesedihannya, Pangeran Toyonari bermaksud berburu rusa di hutan untuk waktu beberapa hari lamanya.
Dia memerintahkan prajurit-prajuritnya mempersiapkan perbekalan untuk berburu. Dan berangkatlah Pangeran Toyonari beserta para prajuritnya dalam sebuah rombongan besar menuju hutan gunung Hibari yang terkenal liar. Begitu sampai di gunung Hibari, Pangeran Toyonari segera memimpin perburuan. Kudanya dipacu kencang masuk jauh ke dalam hutan. Dan tibalah dia di sebuah lembah sempit nan indah dan damai. Sayup-sayup di dengarnya suara seseorang membaca sutra agama Buda. Suara seorang perempuan yang sangat merdu. Pangeran Toyonari merasa seperti mengenal suara itu. Dia merasa semakin penasaran.
Lalu mencari asal dari suara itu. Dari kejauhan dilihatnya ada sebuah gubuk kecil di tengah lembah. Dia pun menghela kudanya menuju gubuk kecil itu. Begitu sampai di depan gubuk, dilihatnya ada seorang gadis kecil ditemani oleh seorang pengasuh sedang membaca sutra Buda. Pangeran Toyonari turun dari kudanya dan berjalan mendekati gubuk itu. Betapa terkejutnya dia begitu tahu bahwa gadis kecil yang membaca sutra Buda itu adalah Puteri Hase anaknya.
“Puteri Hase!” teriak Pangeran Toyonari dengan perasaan bahagia,”Anakku, Puteri Hase!”
“Oh, ayahanda! Benarkah ini... ayahanda?” teriak Puteri Hase tak percaya.
Bapak dan anak yang lama tak bertemu itupun segera berpelukan melepas rindu. Dari kedua matanya mengalir air mata bahagia.
“Dengarkan semua! Perburuan kali ini dibatalkan! Dan pulanglah sebagian dari kalian terlebih dahulu. Beritahukan kabar gembira ditemukannya puteriku ini kepada orang di rumah,” perintah Pangeran Toyonari kepada para prajuritnya.
“Baik, Yang Mulia,” jawab para prajurit. Pangeran Toyonari merasa heran dan benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya ini.
Dia merasa keajaiban ini seperti mimpi indah yang jadi kenyataan.
“Anakku, apa sebenarnya yang sudah terjadi padamu?” tanya Pangeran Toyonari masih sambil memeluk dan membelai rambut panjang anak gadisnya.
“Ayahanda. Ini semua karena ulah ibunda. Ibunda yang sudah membuangku ke tengah hutan ini,” jawab Puteri Hase dengan sesenggukan.
Lalu Katoda pun menceritakan semua yang sudah dialaminya bersama Puteri Hase. Begitu mendengar cerita Katoda, Pangeran Toyonari menjadi sangat marah dan geram kepada Puteri Terute. Dia bermaksud menghukum istrinya itu dengan hukuman seberat-beratnya. Sementara itu rombongan prajurit yang pulang terlebih dahulu telah sampai di rumah Pangeran Toyonari dan memberitahukan kabar gembira atas ditemukannya Puteri Hase di tengah hutan gunung Hibari. Puteri Terute merasa sangat cemas dan bingung begitu mendengar kabar itu. Dia merasa sangat ketakutan karena ulah jahatnya sudah diketahui oleh Pangeran Toyonari.
Oleh karena itu sebelum suaminya sampai di rumah, dengan diam-diam Puteri Terute melarikan diri dari rumah dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya lagi. Setelah sampai di rumah, Pangeran Toyonari mendapati istrinya sudah tidak ada di rumah. Beberapa prajurit sudah dikerahkan untuk menemukan dan menangkapnya, namun Puteri Terute tidak ditemukan juga keberadaannya. Dia hilang seperti tertelan bumi. Sementara itu Katoda si pelayan setia dianugerahi kedudukan tertinggi dalam melayani keluarga Pangeran Toyonari sampai akhir hayatnya. Puteri Hase tidak pernah melupakan jasa baik sang pelayan setia ini.
Dia benar-benar berhutang budi padanya. Karena tidak mempunyai anak lelaki, Pangeran Toyonari akhirnya mengangkat anak laki-laki bungsu dari salah seorang bangsawan istana sebagai ahli warisnya. Dan akhirnya setelah mereka dewasa, Pangeran Toyonari menikahkan anak laki-laki itu dengan Puteri Hase. Mereka pun hidup berbahagia sampai di hari tua. Setelah Pangeran Toyonari pensiun, Puteri Hase ditunjuk sebagai penggantinya. Dia terkenal sangat arif dan bijaksana. Sebagai salah satu peninggalan Puteri Hase, sampai sekarang masih tersimpan ‘sebuah jarum’ di salah satu kuil Buda di kota Kyoto yang pernah digunakan Puteri Hase untuk menyulam sebuah permadani bergambar Buda pada kain sutra yang disulam dengan menggunakan benang yang terbuat dari serat batang bunga teratai. Dan semua itu dikerjakan sendiri oleh Puteri Hase.
***
Yumi selesai membaca bukunya sih, ya isi buku memanga bagus sih ceritanya. Jadi buku di tutup sama Yumi dan di taruh di meja dengan baik.
No comments:
Post a Comment