“Bayangan apakah itu, Leird?” Brody berbisik di telinga Leird. Leird menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak ingin menebaknya. Dia takut apa yang ada dalam pikirannya itu benar.
Ayahnya pernah bercerita bahwa kuil itu adalah tempat tinggal para Banshee, makhluk yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai pembawa kematian. Tetapi, dalam hati, Leird sangat penasaran. Dia belum pernah melihat makhluk bernama Banshee ini. Dia ingin mengikuti kemana bayangan itu pergi. Namun, kakinya seolah berat untuk melangkah dan bulu kuduknya meremang. Hatinya dihinggapi perasaan takut yang teramat sangat. Brody, yang berada bersamanya, semakin erat mencengkeram bahunya. Dia juga mengalami perasaan yang sama. Ada hawa aneh yang terasa semakin kuat.
Dari tempat mereka berdiri, kedua bocah itu memerhatikan bayangan berjubah putih, yang menuju kastil Dunlucee, tempat tinggal keluarga bangsawan O’Neills. Desiran angin sedingin salju menyapa. Leird dan Brody menggigil. Mereka masih memerhatikan bayangan itu dengan rasa penasaran. Sampai akhirnya bayangan itu menghilang di kegelapan, Leird dan Brody baru bisa menarik nafas lega. Beban yang tadi dipanggul terasa hilang seketika.
“Ayo, kita pulang,” Leird menggamit tangan Brody yang dingin.
“Aku ... tidak bisa bergerak,” Brody berkata terbata. Dia masih berdiri kaku di tempatnya, sambil memegangi celananya yang basah.
“Eeemmm ... bau apa ini?” Leird menajamkan penciumannya.
“Aku ... pipis di celana,” Brody berkata, sambil menunduk, tersipu malu.
Tawa Leird hampir saja pecah. Dia tidak menyangka jika Brody, yang bertubuh lebih besar darinya, bisa sampai terkencing- kencing menahan rasa takut. Namun, Leird berusaha menahan tawanya. Ia tak ingin sahabatnya merasa malu. Setelah berhasil menahan senyum, Leird langsung berseru, “Ayo...!”
Meski merasa berat, Brody mulai mengikuti langkah Leird. Mereka berjalan mengendap, menuju rumah Leird. Di rumah itu Leird tinggal bersama ayah dan ibunya, yaitu Tuan dan Nyonya Alastair, serta seorang adik perempuan yang masih berusia tujuh tahun, Sheena. Sesampainya di rumah, Nyonya Alastair sedang membereskan sisa makan malam di atas meja. Tuan Alastair dan Sheena sedang asyik mengobrol di depan perapian.
“Dari mana saja kalian?” Tuan Alastair menyambut kedatangan mereka berdua dengan suara khasnya yang serak. “Brody, ada apa dengan celanamu?” Tuan Alastair memicingkan sebelah matanya ke arah Brody. Brody menunduk, malu. Sebenarnya, sejak tadi ia sudah merasa risih dengan celananya yang basah dan tentu saja bau. Tapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Em … nanti kami ceritakan, Ayah. Sekarang, kami berdua sangat lapar. Aku mencium aroma sup kesukaanku, sepertinya Ibu masak enak hari ini,” Leird berseru, sembari mencium bau di udara.
“Sup daging, eeemmm … Is breá liom ĕ!” seru Brody girang. Rasa lapar membuatnya lupa dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
“Sup dagingnya masih ada untuk kalian berdua. Tapi, Brody, ganti dulu celanamu. Kamu bisa meminjam celana Leird,” kata Nyonya Alastair, bijak. Leird telah membisikkan kejadian memalukan itu ke telinga ibunya. Dia tidak ingin Brody menjadi bahan olok-olokan Sheena.
“Celana Leird tidak muat jika dipakai Brody, Bu. Sepertinya, rok yang Ibu buatkan untukku cukup besar jika dipakai Brody,” Sheena menimpali sambil tersenyum mengejek. Rupanya, dia mendengar sedikit apa yang dibisikkan Leird tadi.
Seakan belum puas, Sheena menambahkan, “Jadi, Brody akan mirip dengan bangsawan kerajaan,” imbuhnya sambil terkekek.
Brody menjadi kikuk. Sheena memang tidak pernah akur dengannya, tapi dalam situasi seperti ini Brody berharap Sheena bisa lebih bersahabat. Leird merasa kasihan melihat Brody, maka dia segera lari ke kamarnya dan mencarikan celana yang cocok untuk Brody. Setelah selesai makan, Leird dan Brody ikut berkumpul bersama Tuan dan Nyonya Alastair, serta Sheena di depan perapian. Leird lalu membuka ceritanya.
“Ayah, tadi kami melihat bayangan seorang perempuan berpakaian jubah panjang, turun dari sebuah kuil di atas bukit.”
Tuan Alastair terperanjat.
“Apa kalian tidak salah lihat, Nak?” Nyonya Altasair bertanya, nada suaranya juga menyiratkan kekhawatiran yang sangat.
“Tidak, Bu. Kami melihatnya, walaupun samar-samar. Apakah itu makhluk Banshee seperti yang pernah Ayah ceritakan itu,” tanya Leird, ingin tahu.
“Hah … Banshee, makhluk apakah itu?” Dahi Brody berkerut, perasaan takut mulai mencengkeramnya kembali.
Dengan suara seraknya, Tuan Alastair mulai bercerita, “Banshee adalah sosok wanita berpakaian jubah panjang berwarna putih, kadang berwarna abu-abu. Dia juga bisa berwujud wanita tua berpakaian compang camping. Terkadang dia menyerupai wanita muda dan cantik, mencuci pakaian yang penuh noda darah di sungai. Jika dia menampakkan diri kepada seseorang, itu berarti salah seorang keluarga orang itu akan ada yang meninggal. Dia datang membawa kabar kematian, Nak.” Suara Tuan Altasair terdengar bergetar. Ruangan itu menjadi mencekam. Sheena menggeser duduknya ke arah sang ibu. Sementara Brody berusaha menyusutkan tubuhnya, rasa takut menguasainya, kini.
Tuan Altasair kemudian melanjutkan, “Kuil di kastil Dunlucee dipercaya sebagai tempat tinggal Banshee yang mempunyai kedekatan dengan keluarga bangsawan O’Neills. Mereka juga punya nama. Salah satunya bernama Maeveen. Jika ada salah seorang keluarga O’Neills yang meninggal, Banshee itu akan menampakkan diri dan menyanyikan lagu-lagu sedih. Apabila Banshee itu menyukai orang yang akan meninggal, maka Banshee itu akan menyanyikan lagu-lagu dengan irama yang lembut. Tapi, jika orang yang akan meninggal tidak disukainya, maka ia akan menyanyikan lagu-lagu kematian dengan suara yang keras bahkan jeritan yang menyayat hati.”
Sheena yang sedari tadi diam, mulai penasaran. Ia lalu bertanya, “Apakah Banshee itu jahat, Ayah?”
“Sesuai dengan namanya bean sidhe atau bean si yang artinya wanita dari dunia peri, atau orang yang membawa kedamaian dalam bahasa Scottish Gaelic. Namun, ayah menyebut Banshee sebagai malaikat kematian. Namanya malaikat, berarti dia tidak jahat, bukan?”
“Bagaimana tidak jahat, kalau malaikat kematian itu membunuh orang-orang?” Sheena merasa tidak puas dengan jawaban ayahnya.
“Malaikat kematian bukan pembunuh, Nak. Dia mendapat tugas dari Tuhan untuk mengambil roh manusia.” Tuan Alastair berhenti sejenak. Dia menoleh ke arah Sheena yang masih menatapnya dengan tatapan ingin tahu. “Tapi, kalian tidak perlu takut. Tuhan yang berkuasa atas kita, Dia yang menentukan seluruh nasib manusia di dunia. Oleh karena itu, kita harus berdoa setiap hari, meminta pertolongan Tuhan.”
“Bukankah Banshee Maeveen hanya turun untuk mengabarkan kematian bagi keluarga bangsawan O’Neills?” Nyonya Alastair berguman pelan, “kita bukan keturunan bangsawan, kita hanyalah rakyat biasa.”
Namun, tiba-tiba Nyonya Alastair teringat sesuatu. Dulu, ayahnya pernah bercerita bahwa keturunan keluarga bangsawan O’Neills ada yang tinggal di desa ini. Saat itu, keluarga besar O’Neills tidak setuju jika ada keluarga besar mereka yang menikah dengan rakyat jelata. Maka, keturunan bangsawan O’Neills itu diusir dari kastil Dunlucee dan memilih untuk menetap di desa ini. Ya, keluarga bangsawan keturunan O’Neills itu adalah…
Nyonya Alastair menatap Brody. Ia merasa harus memperingatkan keluarga sahabatnya itu. Mereka telah lama bersahabat, jadi jika ada hal-hal yang membahayakan, ia harus segera memberitahukannya.
“Jika Banshee menyukai seseorang, apakah dia bisa membatalkan tugasnya untuk mengabarkan kematian?” tanya Ibu seketika. Ayah terkesiap. Segala yang berkelindan di dalam pikirannya, terputus tiba-tiba.
“Maksud Ibu, bagaimana?” Tuan Alastair memandang istrinya lekat-lekat, mencoba membaca apa yang ada di pikiran istrinya.
“Banshee menyukai orang-orang yang pandai berpuisi atau bermain musik dengan indah.” Nyonya Alastair tahu bahwa sahabatnya ini sangat mahir memainkan alat-alat musik dan menyanyikan simfoni yang merdu. Selain itu, istrinya juga pandai membuat puisi-puisi yang indah. Dengan kepandaian itu, bisakah mereka terhindar dari kematian? Nyonya Alastair membatin. Dia tidak berani mengungkapkannya di depan anak-anak. Dia khawatir anak-anak akan semakin takut.
Tok .. tok .. tok ..
Pintu depan diketuk orang. Tuan Alastair segera bangkit dari duduknya lalu membuka pintu kayu itu.
“Tuan, maafkan saya mengganggu anda malam-malam begini. Tapi, saya datang untuk mencari adik saya, Brody.” Mac, kakak sulung Brody berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat kusut.
“Saya juga menyampaikan berita duka, Tuan. Ayah kami telah meninggal dunia beberapa jam lalu,” kata Mac, pelan. Kesedihan yang mendalam terpancar jelas di wajahnya.
Semua orang yang ada di rumah itu terkejut, terlebih Nyonya Alastair. Dia baru saja mencari cara agar sahabatnya, yaitu Tuan Sullivan bisa terbebas dari Banshee Maeveen. Tapi, rupanya semuanya sudah terlambat. Banshee Maeveen benar-benar telah mengabarkan berita kematian itu kepada keluarga O’Neills.
Sebelum Brody mengikuti kakaknya pulang, Nyonya Alastair berseru, “Brody, Mac, duduklah sebentar. Walaupun mungkin sudah terlambat, namun kalian berdua berhak tahu.” Nyonya Alastair menarik napas, dalam. Lalu, dia melanjutkan kata-katanya, “Ini adalah rahasia besar keluarga kalian,” Nyonya Alastair berhenti sejenak, “sebenarnya keluarga kalian masih termasuk dalam keturunan bangsawan.” Begitu menyelesaikan kalimatnya, Nyonya Alastair lantas diam. Dia memerhatikan perubahan raut wajah Brody dan Mac. Brody nampak terkejut, sedangkan Mac mengisyaratkan kesedihan yang dalam. Dia sangat terpukul dengan kematian ayahnya.
“Wow, ternyata Brody sungguh seorang bangsawan,” kata Sheena, tak bisa menutupi kekagumannya. Bagi Sheena, menjadi bangsawan adalah hal yang sangat luar biasa.
“Kenapa Ayah tidak pernah memberitahukannya kepada kami, Nyonya Alastair?” tanya Brody diantara isak tangisnya.
“Ayahmu tidak ingin kalian bersedih, karena keluarga besarnya seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan yang lainnya tidak mau mengakui kalian sebagai bagian dari keluarga mereka.”
“Mengapa sampai begitu?” desak Brody lagi.
“Karena Ayahmu telah dibuang dari keluarganya ketika ia menikahi Ibumu.”
“Oh, jahat sekali mereka!” Sheena kembali berkomentar. Brody menatap Sheena. Dari tatapannya, Nyonya Alastair menangkap kesan jika Brody setuju dengan pendapat Sheena. Maka, dia buru-buru meluruskan.
“Itu adalah konsekuensi dari sebuah tindakan. Ayah Brody sudah tahu kalau dia harus pergi dari keluarga besarnya, jika dia tetap memilih menikah dengan ibu Brody. Dan, ibu tahu, ayah Brody tidak pernah menyesal melakukannya.”
“Aku selalu percaya kalau Ayah adalah orang yang hebat,” Mac yang sedari tadi diam, mulai bersuara, lirih, “sebenarnya, Ayah pernah menceritakan semua itu padaku. Aku sendiri lebih suka menjadi rakyat biasa daripada menjadi bangsawan,” Mac berhenti sebentar, “Ayah sudah mengajarkan kepadaku bahwa gelar kehormatan tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa lebih berguna buat orang lain. Bukan harta, bukan gelar, bukan jabatan.”
“Ya, dan kehormatan itu datang beriringan. Tuan Sullivan sangat baik dan suka membantu orang lain. Oleh karena itu, dia begitu dihormati dan disegani di kampung ini,” Nyonya Alastair menambahkan. Brody dan Mac memandang Nyonya Alastair, penuh haru. Dalam hati, mereka sungguh bangga terhadap ayah mereka, Tuan Sullivan.
“Lalu, apa hubungannya semua ini, Bu?” Leird yang menyimak percakapan itu sejak tadi, ikut bertanya.
“Makhluk yang kalian lihat turun dari kastil adalah Banshee Maeveen. Mereka adalah Banshee yang mempunyai keterikatan dengan keluarga besar bangsawan O’Neills. Mereka selalu datang untuk mengabarkan berita kematian salah satu keluarga mereka. Dan rupanya, dia telah menampakkan dirinya padamu, Brody,” Nyonya Alastair menjelaskan.
Rasa takut kembali merayapi Brody. Makhluk seram itu ternyata tahu kalau dirinya masih keturunan bangsawan O’Neills, padahal dirinya sendiri justru tidak tahu apa-apa.
Serta merta, Brody menggamit tangan Mac, “Ayo, kita pulang, Mac,” ajaknya. Dia ingin segera melihat jenazah ayahnya.
“Kami akan ikut ke rumah kalian.” Tuan Alastair segera bergegas.
Setelah mengunci pintu, mereka berjalan beriringan ke rumah Tuan Sullivan. Leird berjalan di samping Brody, yang masih berpegangan pada Mac. Suasana malam yang mencekam membuat bulu kuduk sedikit merinding. Nyonya Alastair berjalan di samping suaminya yang menggendong Sheena. Gadis kecil itu memeluk erat ayahnya, karena udara malam yang begitu dingin. Tiba-tiba, Mac menghentikan langkahnya. Dia menggenggam tangan Brody kuat-kuat. Dari kejauhan, ia melihat sesosok bayangan putih berjalan membelakangi mereka. Rambutnya panjang terurai. Bayangan itu datang dari arah rumahnya. Brody menoleh ke arah kakaknya.
“Ada apa, Mac?” tanya Tuan Alastair.
“Aku sepertinya selihat sesuatu, Tuan Alastair,” kata Mac, mencoba menenangkan diri. Brody yang semakin erat memegang tangan Mac merasakan bulu kuduknya semakin tegak berdiri. Mac melihat bayangan itu kian menjauh dan akhirnya menghilang. Mac menarik napasnya dalam-dalam. Kakinya yang tadi kaku sudah bisa digerakkan lagi. Ia lalu berseru, “Ayo, kita jalan lagi.”
Sesampai di rumah, Brody langsung berlari ke dalam pelukan ibunya, Nyonya Sullivan, yang tengah menangis di dekat jasad suaminya. Nyonya Alastair lantas mendekat dan mengusap punggung Nyonya Sullivan, halus. Dia mencoba menguatkan hati Ibu Brody. Tetangga yang lain pun sudah ramai berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa sekaligus menemani keluarga Sullivan malam itu.
Keesokan harinya, jenazah Tuan Sullivan dimakamkan dengan upacara sederhana. Keluarga O’Neills yang tinggal di kastil Dunlucee tidak ada yang datang. Namun, pemakaman itu penuh oleh penduduk kampung. Tuan Sullivan adalah seorang yang baik dan disukai banyak orang, termasuk para Banshee Maeveen yang turut mengabarkan berita kematian kepada keluarga O’Neills.
***
Bastian selesai baca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asalnya....Irlandia," kata Bastian.
Bastian menutup bukunya dan menaruh buku di meja.
"Belajar ah!" kata Bastian.
Bastian beranjak dari duduknya di ruang tamu, ya ke kamarnyalah untuk balajar apa yang telah di ajarkan pada dirinya dengan baik sama guru di bangku sekolah.
No comments:
Post a Comment