CAMPUR ADUK

Tuesday, July 27, 2021

ASAL MULA BUNGA MISQUITE

Lira selesai membantu ibu di dapur, ya memasak gitu. Lira duduk di ruang tengah, ya mau nonton Tv sih. Di meja ada buku. Lira mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Lira :

Hujan turun lebat sekali. Miquel memandangi halaman rumahnya dari jendela. Rumahnya ini tampak reyot, hampir tergenang air.             

“Kata orang-orang, kalau hujan turun sederas ini, emas akan terbawa arus air. Emas-emas itu terkumpul di Lembah Pa’ala Bwia dekat Sungai Yaqui,” ucap Rafael, ikut duduk di sebelah adiknya.

“Oh, ya?” Miquel melongo, tak percaya.

“Kalau kita bisa mendapatkannya, kita bisa kaya. Tapi, kita harus menjadi orang pertama yang sampai di sana,” lanjut Rafael.

“Bagaimana kita bisa sampai di sana dengan cepat? Lembah Pa’ala Bwia kan cukup jauh?” tanya Miquel, penuh rasa ingin tahu.

“Kita bisa naik keledai ayah. Kau ingin pergi ke sana, Miquel?” tanya Rafael. Miquel mengangguk.

Rafael tesenyum melihat anggukan Miquel. 

“Bagaimana kalau kita diam-diam pergi ke sana? Kau setuju?” usul Rafael, meminta persetujuan Miquel. 

Miquel tampak berpikir keras. Dia ingin mendapatkan emas untuk ayahnya serta ingin memperbaiki rumah reyot mereka. Bila mereka punya uang banyak, mereka bisa mewujudkan itu semua. 

“Baiklah, Kak. Aku setuju,” jawab Miquel, mantap.

Hujan mulai reda ketika kedua kakak beradik itu mengeluarkan keledai ayahnya dari kandang. Ayah mereka belum pulang. Biasanya sang ayah baru sampai di rumah saat larut malam. Mereka pun segera memulai perjalanan. Perjalanan menuju ke lembah Pa’ala Bwia tidak mudah. Mereka harus melewati bukit yang curam dan berlumpur. Mereka harus berhati-hati karena keledai mereka bisa terperosok ke kubangan lumpur yang tebal dan dalam. Rafael berjalan di depan dengan keledai sang Ayah, sedangkan Miquel mengikuti dari belakang, menaiki keledai coklat kesayangannya. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, mereka hampir sampai di lembah Pa’ala Bwia. Mereka beruntung karena belum ada satu orang pun di sana. Rafael segera turun dari keledainya, yang diikuti Miquel di belakangnya. 

“Kita sudah sampai. Sekarang kita periksa dulu, apakah benar kata orang-orang tentang emas itu,” kata Rafael. Matanya lalu memeriksa dengan jeli setiap lumpur yang ia sapu dengan tangannya.

“Yang seperti ini, Kak?” tanya Miquel, menunjukkan butiran kecil tak beraturan berwarna kekuningan. Rafael terlonjak, ia lalu menghampiri adiknya, “Benar, Miquel. Ini emas. Kita menemukan emas!” serunya girang.

Mereka merasa senang, karena perjalanan berat yang mereka tempuh ternyata tak sia-sia. Semua kelelahan dan kesulitan yang mereka lewati akhirnya bisa terbayar dengan penemuan emas. Rafael merasa yakin jika di tempat itu ada banyak emas. Dia ingin menemukan lebih banyak emas dari adiknya. Maka, ia menyuruh adiknya mencari emas di tempat lain.

“Miquel, aku akan coba cari lagi di sini. Kau lebih baik mencari di sebelah sana. Siapa tahu di tempat yang lebih dalam itu tersimpan emas yang lebih besar dan lebih banyak,” kata Rafael.

Miquel beranjak dari tempat itu dengan keledainya. Miquel memang selalu menuruti perkataan kakaknya. Ia memercayai Rafael dan menganggapnya serba tahu serta lebih pintar darinya. Miquel mengikat keledainya di sebatang pohon, kemudian turun ke dasar lembah. Ia mulai menyelisik lumpur untuk mencari emas. Ia tak memedulikan lumpur yang dalam dan membuat lututnya terendam. Miquel terus berusaha keras untuk bergerak maju, menjelajah kubangan lumpur itu meski badan kecilnya kepayahan. Tiba-tiba, Miquel melihat sesuatu yang berkilauan di lumpur. Miquel mendekatinya dan mendapati sebongkah emas.  Emas itu berbentuk bulat seperti bola, berukuran sekepalan tangan. Emas itu berukuran sangat besar bila dibandingkan dengan butir-butir emas yang mereka temukan sebelumnya.             

“Kakak, lihat ini. Aku mendapatkan bola emas!” Miquel berteriak sekencang-kencangnya.

Rafael yang mendengar teriakan adiknya, bergegas turun ke dasar lembah dengan menaiki keledainya. Ia segera menyimpan baik-baik beberapa butir emas yang sudah ia temukan.

 “Mana? Tunjukkan padaku,” seru Rafael, setelah sampai di dasar lembah. Miquel memperlihatkan bola emas itu pada kakaknya lalu berkata,   “Aku simpan ya, Kak,” kata Miquel, sambil mengambil kembali bola emas itu dari tangan kakaknya. Ia kemudian memasukkannya dalam kantong dan mengikat erat dengan bajunya.

“Ayo, kita pulang. Kita harus sampai di rumah sebelum ayah datang,” ajak Rafael. 

Miquel mengangguk. Mereka lalu berjalan beriringan, pulang. Penduduk desa yang tinggal di sekitar Sungai Yaqui percaya adanya Yoeme dan Yori. Yoeme adalah orang-orang yang memiliki jiwa yang tulus. Kebaikan hati para Yoeme seringkali membawanya pada keberuntungan dan keberhasilan. Orang-orang Yoeme memiliki karisma yang khas. Dan sepertinya, Miquel adalah salah satu orang tersebut. Sedangkan Yori adalah kebalikan Yoeme. Mereka adalah orang-orang dengan jiwa yang tak tenang. Mereka sering diliputi rasa tamak, iri, dan sombong. Jiwa mereka berada dalam ketakutan dan kebingungan ketika menghadapi hidup. Rafael adalah orang yang sepertinya memiliki sifat Yori. 

Rafael dan Miquel baru saja menempuh perjalanan ketika Rafael tiba-tiba mengusulkan, “Miquel, berjalanlah di depan. Kau sudah tahu arah jalan pulang kan? Aku akan menjagamu dari belakang,” ujar Rafael pada adiknya. 

Sebenarnya hati Rafael sedang berkecamuk. Hatinya diliputi kemarahan karena merasa Miquel lebih beruntung, sudah mendapatkan emas yang lebih besar dan lebih banyak darinya. Rafael merasa tidak terima melihat keberuntungan adiknya. Padahal, Miquel tak pernah menganggap emas yang ia temukan adalah miliknya sendiri. Miquel berpikir bahwa emas yang mereka dapatkan hari itu adalah milik bersama. Ia pun sudah berpikir untuk membagi emas tersebut sama rata, bila ternyata emas yang dia dapat lebih banyak. Sayangnya, Rafael tidak mengetahui pikiran adiknya itu.

Rafael memandang adiknya dengan cemburu. Rafael semakin tak bisa mengendalikan perasaannya saat melihat kantung emas adiknya yang penuh, berayun-ayun. Tiba-tiba, ia berhenti dan mengambil sebongkah batu. Tanpa berpikir panjang, ia melemparkan batu itu ke arah Miquel dengan kesal. Batu itu melayang dan mengenai kepala Miquel. Miquel terjatuh dari keledainya. Rafael terkejut. Ia segera bergegas menghampiri adiknya. Darah terlihat mengucur dari kepala adiknya. Miquel pingsan.           Rafael sangat panik melihat kondisi adiknya. Ia takut adiknya mati, padahal ia tak bermaksud membunuh adiknya. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan sang adik di sana dan menutupi tubuhnya dengan daun dan bebatuan. Ia lalu mengambil kantung emas Miquel, melepaskan keledai Miquel begitu saja, dan melanjutkan perjalanan pulang. Sesampai di rumah, Rafael merasa lega karena ayahnya belum pulang. Ia bergegas masuk ke dalam kamar untuk menyembunyikan emas-emasnya. Emas-emas itu akan ia pergunakan untuk meminang gadis cantik dan membangun rumah yang indah suatu hari nanti. 

“Ayah baru pulang?” tanya Rafael saat mendengar suara pintu berdecit. 

Ayahnya mengangguk. Raut wajahnya tampak lelah. Ayah Rafael dan Miquel berdagang di pasar setiap hari. Bila hari menjelang sore dan pasar sudah mulai sepi, padahal dagangan masih banyak, sang ayah berkeliling menjajakan dagangannya. Sepeninggal istrinya, ibu Rafael dan Miquel, pria itu harus bekerja keras setiap hari sekaligus memerhatikan kondisi kedua putranya. Pria itu sangat menyayangi kedua putranya. Ketika waktu makan malam tiba, ayah menanyakan Miquel yang tak tampak di meja makan. 

“Ke mana adikmu? Malam sudah larut. Tak biasanya dia pulang terlambat.”

“Aku tak tahu, Ayah,” jawab Rafael, singkat.

Malam semakin beranjak, tapi Miquel belum juga pulang. Ayah mulai cemas. Ia  terlihat mondar mandir di depan pintu, menanti kedatangan putranya. 

“Bagaimana ini? Apa sebaiknya kita mencari Miquel?” tanya sang Ayah pada Rafael.

“Sebaiknya kita tunggu saja, Ayah. Hari sudah gelap, di luar juga gerimis. Kita akan kesulitan mencarinya,” usul Rafael.

“Justru karena itu kita harus segera mencari adikmu.” Ayah mulai gusar.

“Biar ayah saja yang pergi mencarinya. Kau di rumah saja, tunggu dia pulang,” lanjut sang Ayah, memutuskan. Rafael mengantar kepergian ayahnya dengan cemas. 

Ia takut ayahnya menemukan Miquel dan Miquel akan mengadu pada ayahnya. Dia pasti akan mendapat masalah besar jika sampai itu terjadi. Namun, perkiraan Rafael meleset. Lewat tengah malam, ayah pulang dengan tangan hampa. Ia sudah keliling desa dan tak menemukan Miquel. Rumah-rumah penduduk sudah gelap karena penghuninya sudah terlelap. Tak ada seorang pun yang bisa dimintai keterangan. Ayah pun pulang dengan tak membawa hasil apa-apa. Di tempat lain, keadaan Miquel sungguh menyedihkan. Hujan yang turun membawa aliran lumpur ke arahnya, sehingga tubuhnya tertimbun lumpur. 

Tak kuat menanggung kesakitan dan kedinginan, akhirnya Miquel tak terselamatkan. Ia meninggal. Keesokan harinya sang Ayah sudah bersiap-siap untuk mencari Miquel. Rafael memutuskan untuk ikut pergi bersama ayahnya. Mereka bertanya kepada penduduk, tapi tak ada yang mengetahui keberadaan Miquel. Beberapa penduduk desa bahkan turut membantu mencari Miquel. “Lihat, ada keledai yang terlepas di sana!” teriak seorang penduduk.

“Apa kalian mengenali keledai itu?” tanyanya lagi. 

Ayah Miquel langsung berlari mendekati keledai itu. Ia memeriksa keledai itu dan segera tahu jika keledai itu adalah miliknya, saat melihat tato huruf M di pantat si keledai. Keledai itu adalah keledai kesayangan Miquel. 

“Anakmu pasti ada di sekitar sini, Tuan. Sebaiknya kita berpencar mencarinya,” usul penduduk desa.

Matahari sudah hampir tenggelam. Sudah seharian mereka mencari Miquel di pinggir dan luar desa, bahkan masuk ke hutan di tepi desa. Namun, tak ada yang menemukan tanda-tanda keberadaan Miquel. Saat sore menjelang petang, mereka mulai menyerah. 

“Mungkin anakmu kabur dari rumah,” duga seorang penduduk desa.

“Tapi apa sebabnya? Umurnya baru 12 tahun. Selama ini ia juga tak pernah nakal,” kata Ayah. 

“Apa ia bertengkar denganmu, Rafael?” tanya penduduk yang lain.

“Tidak!” sergah Rafael, cepat. 

“Sebaiknya kita pulang dulu. Hari sudah mulai gelap. Jangan sampai kita malah tersesat,” ajak penduduk yang lain. 

Hari demi hari berganti, Ayah tetap berharap Miquel akan kembali pulang suatu hari nanti. Setiap berdagang di pasar, ia selalu bertanya kepada setiap pembelinya, apakah mereka melihat Miquel. Setiap berdagang keliling pun, ia tak pernah lupa untuk mencari Miquel. Ayah Miquel melakukannya selama berbulan-bulan tanpa pernah merasa bosan. Suatu hari di musim kering, seorang pengembara melewati lembah Pa’ala Bwia. Saat merasa lelah, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dan mengikat keledainya pada tonggak pohon yang sudah kering. Namun, pria pengembara itu terkejut kala mendengar suara berisik ketika ia menyentuh tonggak tersebut. 

“Kakakku membunuhku demi sebuah bola emas.” 

Begitu suara itu berujar. Pria pengembara itu tercengang, dan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia lalu memegang tonggak kayu itu sekali lagi dan keluarlah suara yang sama. Ini benar-benar tonggak kayu ajaib. Aku akan mencabutnya dan membawanya, sehingga aku bisa mendapatkan banyak uang dari tonggak ini, gumam pengembara itu. Tanpa menunda-nunda, ia mencabut tonggak kayu itu sampai ke akarnya. Setelah cukup beristirahat, pengembara itu pun melanjutkan perjalanannya, dengan membawa serta tonggak kayu itu. Setelah berjalan jauh, pria pengembara sampai di desa San Marcial. Ia menuntun keledainya ke pasar, lalu menggelar kain dan mulai berteriak-teriak. “Satu keping perak untuk mendengar tonggakku yang bisa berbicara!” 

Pria pengembara itu berseru berulang-ulang. Namun, orang-orang yang lalu lalang hanya menertawai dan menganggapnya bodoh. Mana ada tonggak kayu bisa bicara, pikir mereka. Mereka mengira pria pengembara itu melakukan tipuan. Tapi, pengembara tidak mau menyerah. 

“Satu keping perak untuk mendengar tonggakku yang bisa berbicara!” serunya.

“Buktikan dulu, baru kami percaya,” ujar seorang pemuda, mulai tertarik. 

“Baiklah. Dengarkan baik-baik.” 

Pengembara menyentuh tonggak kayu dengan menggenggamnya. Kemudian keluarlah suara dari tonggak kayu itu. 

“Kakakku membunuhku demi sebuah bola emas.”

Orang-orang terlonjak mendengar suara tonggak kayu itu. Ada yang bergidik ngeri, ada yang berlari menjauh, dan ada pula yang mendekat karena takjub. 

“Apa kau membuat tipuan?”

“Tidak! Kau coba saja sendiri. Tapi, jangan lupa keping perakmu sebelum kau mencobanya,” ujar pengembara, pongah. 

Ia merasa berhasil membuat orang-orang penasaran pada tonggak kayunya. Seorang pemuda lantas menyerahkan sekeping uang perak pada pengembara. Ia ingin membuktikan sendiri apakah tonggak kayu itu yang berbicara. Ternyata benar. Orang-orang di pasar lalu berbondong-bondong mengerumuni sang pengembara. Mereka mengacungkan koin peraknya, ingin membuktikan sendiri keajaiban tonggak kayu kering itu. Pengembara sangat senang. Kantong uangnya sudah hampir penuh. Ia pun melipat kainnya untuk pergi melanjutkan perjalanan. Orang-orang di pasar masih berkasak-kusuk tentang tonggak ajaib itu. 

Mereka penasaran siapa yang sebenarnya berbicara, apalagi suara itu terdengar seperti suara anak-anak. Orang-orang juga mempertanyakan siapa kakak yang tega membunuh adiknya demi harta. Tongkat dan keajaibannya langsung menjadi buah bibir di pasar hingga hari-hari berikutnya. Sang Pengembara sampai di desa Vicam. Sama seperti sebelumnya, ia menggelar kain lusuhnya di pasar lalu meneriakkan kalimat yang sama. 

“Satu keping perak untuk mendengar tonggakku yang bisa berbicara!” serunya berulang-ulang. 

Di pasar Vicam, orang-orang langsung berkumpul mengerumuninya. Mereka penasaran pada tonggak yang katanya ajaib itu. “Apa yang bisa dilakukan tonggakmu selain berbicara?” tanya seorang pria.

“Apa dia bisa mengobati?” seorang pria lain menimpali. 

“Apa dia bisa berjalan sendiri?” ujar pria lain dengan nada mengejek. 

“Atau apa dia bisa mengeluarkan uang dari ranting-rantingnya?” orang-orang tergelak meledek sang pengembara.

“Tongkatku hanya bisa berbicara,” ujar pengembara kesal. 

“Kalau kalian tak mau dengar juga tak apa,” lanjutnya, sambil bersiap mengemasi kainnya. 

“Tunggu!” seru seorang pemuda. 

“Kemarin aku ke desa San Marcial. Mereka sedang membicarakan tonggak ajaibmu. Aku ingin membuktikanya sendiri.”

Pemuda itu melempar koin perak ke arah pengembara. Pengembara lalu menyerahkan tonggaknya pada sang pemuda. Pemuda itu menggenggamnya, hati-hati. Sebuah suara kemudian terdengar, “Kakakku membunuhku demi sebuah bola emas.” 

Suara itu membuat orang-orang yang tadi mengejek pengembara ikut terdiam. Seorang di antara mereka mendekat dan menyerahkan sekeping uang perak lagi. Pengembara tersenyum senang. Ayah Miquel yang sedang berdagang di pasar Vicam ikut bergabung dengan kerumunan orang. Ia baru saja datang, sehingga belum tahu apa yang terjadi. 

“Kakakku membunuhku demi sebuah bola emas.” 

Suara itu berujar berulang-ulang, setiap kali digenggam. Ayah Miquel tercekat. Ia mengenali suara itu. Namun, ia ingin memastikan kebenarannya. Ia lalu menyerahkan beberapa keping uang perak pada pengembara. Ia mendengarkan suara dari tonggak kayu itu berulang-ulang. 

“Kakakku membunuhku demi sebuah bola emas.” 

Ayah Miquel yang gemetar berkata, “Ini, suara anakku yang hilang, Miquel.” 

Orang-orang yang berkerumun terkejut. Mereka mengenal ayah Miquel. Mereka pun tahu jika Miquel sudah menghilang selama berbulan-bulan.

“Tonggak ini bilang, ia dibunuh kakaknya. Kalau ini benar suara Miquel, berarti Rafael yang membunuhnya,” kata tetangga ayah Miquel, menyimpulkan. 

“Tak mungkin Rafael membunuh adiknya,” sergah sang Ayah.

“Bagaimana kalau kita buktikan saja, Tuan? Kita geledah setiap rumah untuk mengetahui apakah mereka mempunyai bola emas. Siapapun yang memilikinya, bisa jadi dia yang membunuh Miquel,” usul seorang penduduk.

Orang-orang menahan pria pengembara agar tidak pergi kemana-mana. Mereka memintanya sabar menunggu sampai mereka menemukan kebenaran. Beberapa orang yang dihormati di desa Vicam lalu melakukan penggeledahan ke setiap rumah. Rafael sedang ada di rumah saat rumahnya digeledah tiba-tiba. Ia sama sekali tak mengetahui apa yang terjadi di pasar. Saat orang-orang menggeledah rumahnya, mereka menemukan bola emas di dalam kamarnya. Ayahnya sangat terkejut, wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal menahan marah pada putra sulungnya. 

“Jadi kau telah membunuh adikmu?” bentaknya pada Rafael. 

“Tidak, Ayah. Aku tak bermaksud membunuh Miquel,” Rafael menjawab, mencoba membela diri.

“Bagaimana bisa kau membunuh saudaramu sendiri?” suara ayah Miquel gemetar karena tangis.

Ia menangisi putra bungsunya yang telah meninggal dan tindakan putra sulungnya yang begitu kejam. Rafael yang nelihat kemarahan ayahnya, berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada sang Ayah. Ia pun menceritakan semua kejadian di lembah Pa’ala Bwia saat itu. 

“Ya, aku memang menemukan tonggak kayu ini di dekat lembah Pa’ala Bwia. Tonggak kayu ini tertancap di atas gundukan tanah,” ujar sang Pengembara. 

Kini, mereka semua sudah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sang Ayah masih menangis meratapi nasib putranya, Miquel. Sang pengembara yang melihat kesedihan sang Ayah segera menyerahkan tonggak kayu itu kepadanya. Saat ayah Miquel menerimanya, terdengar suara dari tonggak itu. 

“Jangan bersedih, Ayah. Sekarang semua sudah tahu. Aku sudah memaafkan Kakak. Tolong tanam aku di dekat makam ibu.” 

Ayah Miquel segera pergi ke halaman belakang rumah, dan menancapkan tonggak itu didekat makam istrinya. Tiba-tiba, tonggak kayu itu tumbuh dengan cepat. Ia mengeluarkan ranting-ranting yang dipenuhi dengan daun berwarna hijau dan bunga-bunga berwarna kekuningan dari ujung-ujungnya. Wangi bunga yang tumbuh dari tonggak kayu Miquel menyebarkan aroma wangi. Wangi itu mengharumi dunia dan hati ayahnya. Kini bagi ayah Miquel, roh Miquel dan kebaikannya tetap tinggal bersama mereka selamanya. Pohon berbunga itu kemudian diberi nama misquitl yang berarti kulit yang coklat, seperti kulit kecoklatan Miquel yang manis. 

Pohon misquitl mempunyai daun dan bunga majemuk. Setiap tangkai daun terdiri dari terdiri dari 12-20 daun kecil. Setiap tangkai bunga terdiri dari 10-30 bunga kecil. Pohon ini berkerabat dekat dengan pohon akasia. Di sebagian daerah Meksiko lainnya, pohon berbunga itu disebut dengan bunga mesquite. Banyak orang takjub melihat bunga itu. Penduduk di sekitar sungai Yaqui meyakini bahwa bunga adalah jelmaan dari roh mereka. Bunga adalah wujud lain dari jiwa dan kehidupan mereka. Bahkan mereka punya sapaan khas saat bertemu satu sama lain, “Haisa Seewa?” yang berarti “Bagaimana bunganya?”

***

Lira selesai baca bukunya dengan baik.

"Cerita yang bagus, ya asalnya dari Mesiko....tertulis di buku sih," kata Lira.

Lira menutup bukunya dan menaruh buku di meja. Lira mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Acara yang di tonton Lira, ya musik sih. Lira asik nonton acara Tv yang bagus. Ibu pun duduk bersama Lira di ruang tengah, ya nonton Tv.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK