“Jika ada suara yang memanggil namamu, jangan didengarkan,” kata Pak Moore menasihati anaknya.
“Apakah dia berbahaya untuk keselamatan kita, Pak?”
“Ya, mereka yang dibawa pooka tidak bisa kembali ke desa lagi. Itu yang biasanya terjadi,” tutur Pak Moore, sedih.
“Lalu orang-orang yang dibawa oleh mereka itu diapakan, Pak?” Anak lelaki itu menatap Bapaknya, penuh rasa ingin tahu.
“Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pernah bercerita tentang itu.” Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya, seolah ingin menghapus kenangan lama.
Apabila mengintip dari pagar rumahnya, malam ini akan menjadi malam yang indah. Bulan mulai muncul dengan sinarnya yang terang. Bintang juga sudah menampakkan diri satu per satu. Namun, kehadiran Pooka membuat malam ini menjadi malam yang meresahkan.
“Phadraig…” Sebuah suara lembut, terdengar memanggil nama seseorang.
“Menjauhlah dari pagar itu, Nak. Tutup telingamu rapat-rapat,” Pak Moore berkata, tegas. Ia tidak ingin anak lelakinya dipengaruhi oleh suara-suara Pooka yang halus terdengar. Phadraig menuruti perkataan Bapaknya. Dia menutup telinganya rapat-rapat.
“Apakah mereka tahu kalau aku tadi mengintip dari balik lubang di pagar?” Phadraig mendekati Bapaknya, berbisik di telinganya.
“Mungkin juga,” Pak Moore tersenyum untuk menenangkan anaknya “dia juga bisa mendengar apa yang baru saja kamu katakan.” Pak Moore tersenyum lebih lebar. Dia tidak ingin anak lelakinya menjadi penakut. Phadraig ikut tersenyum ketika melihat Bapaknya mulai bergurau.
“Aku masih penasaran, Pak. Makhluk itu bentuknya seperti apa,” gumam Phadraig lagi. Dia kembali mendekati pagar rumahnya. Dari celah lubang, dia melihat seekor kuda berwarna coklat kehitaman. Tubuhnya tinggi dan besar. Terlihat gagah dengan matanya yang bersinar terang.
“Wow … Aku ingin punya kuda seperti itu, Pak.” Phadraig menoleh kepada Bapaknya. Ia berharap Bapaknya juga mau melihat kuda gagah itu melalui lubang di pagar rumahnya, seperti yang dia lakukan.
“Phadraig…” Suara itu terdengar kembali. Phadraig tersentak kaget. Kali ini suara itu seolah-olah sangat dekat dengan telinganya. Setengah berlari, dia kembali mendekati Bapaknya.
“Jangan kau dengarkan! ” kata Bapaknya lagi. Phadraig menutup telinganya dengan kedua tangan. Pooka seperti berada di luar dinding rumah mereka. Langkahnya terdengar jelas. Berjalan bolak-balik di sekitar rumah mereka. Pak Moore dan Phadraig mendengarkan dalam diam. Setelah beberapa saat, suara itu berjalan menjauh. Meninggalkan rumah mereka.
“Kalau kita dengarkan suara mereka, apa yang akan terjadi, Pak?”
“Kita bisa terpengaruh dan mengikuti ajakan mereka. Kalau sudah begitu, dia akan membawa kita dengan mudah.”
Phadraig terdiam. Dibawa pergi dari kampung dan tidak kembali. Dia sama sekali tidak menginginkannya. Dia tidak mau jauh dari Bapaknya. Kalau tidak ada dirinya, siapa lagi yang akan membantu pekerjaan Bapaknya di ladang. Lagi pula, kalau diajak pergi untuk bertamasya, tentu menyenangkan, tapi Pooka membawa orang-orang untuk menjadi korbannya. Iiih…sungguh mengerikan. Phadraig bergidik.
Malam itu mereka habiskan dengan bercengkrama, hingga bapak dan anak itu lelah bercerita dan terlelap dengan mimpi masing-masing. Di luar, bulan bersinar indah. Hawa seram sudah hilang terbawa angin malam.
Pagi itu, kampung mereka dihebohkan oleh kabar rusaknya kebun milik Pak Ruben. Tanaman gandumnya hancur. Pak Ruben tampak sedih, memandangi ladangnya. Jerih payahnya selama ini sia-sia. Keluarga mereka tidak akan panen gandum tahun ini, yang artinya keluarga mereka tidak punya persediaan makanan lagi. Pak Moore berusaha menghibur Pak Ruben. Dia dan Phadraig membantu mengambil biji gandum yang masih ada, walaupun belum cukup waktu untuk dipanen. Warga desa juga semakin khawatir. Mereka takut ladang mereka akan menjadi sasaran pada malam berikutnya.
Suatu sore Phadraig baru pulang dari ladangnya. Bapaknya sudah lebih dulu pulang. Dia tadi pamit untuk bermain-main sebentar dengan kawan-kawannya. Namun, dia lupa waktu. Matahari sudah tergelincir dan dia baru menyadarinya. Kawan-kawannya hanya tinggal beberapa. Rumah Phadraig yang paling jauh dari sungai, tempat dia dan kawan-kawannya bermain. Dia harus menyusuri beberapa ladang milik warga seorang diri. Senja nyaris tiba, dia merasa sangat khawatir. Apalagi waktu yang berbahaya hampir tiba.
Dari kejauhan Phadraig melihat seekor binatang mendekat ke arahnya. Sepertinya seekor kuda. Phadraig segera bersembunyi. Senja adalah saat di mana pooka mulai mencari mangsa. Dia semakin khawatir ketika tetesan air dari langit satu per satu jatuh mengenai tubuhnya. Hujan datang. Dia pun bergerak mencari persembunyian yang lebih aman. Aman dari air hujan juga aman dari Pooka.
Dari tempatnya bersembunyi, Phadraig berharap kuda itu cepat melewatinya, sehingga dia bisa berlari pulang ke rumah tanpa diketahui Pooka. Bapaknya pasti gelisah menanti kepulangannya. Namun, tiba-tiba kuda itu jatuh tersungkur di depannya. Phadraig terkejut. Kuda itu tergeletak tak berdaya. Phadraig kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Lari atau menolong kuda itu. Jika dia lari, maka dia akan terhindar dari bahaya. Tapi, dia merasa kasihan melihat kuda itu tak berdaya. Lama Phadraig berpikir, apakah ini salah satu cara Pooka untuk menjebak manusia. Phadraig bergidik takut. Dia harus lari, itu keputusannya. Namun, kakinya tidak bisa bergerak sama sekali, seakan tertancap kuat di bumi. Phadraig semakin ketakutan.
“Tolong ... aku,” Kuda itu tiba-tiba berseru.
Phadraig terperanjat. Jantungnya hampir copot. Dia tidak menyangka jika kuda itu berbicara kepadanya. Walaupun dia pernah mendengar suaranya tempo hari, namun itu hanya samar-samar. Tiba-tiba, sesosok bayangan berdiri di samping Phadraig. Phadraig kembali tersentak. Dia spontan memejamkan matanya kuat-kuat. Habis sudah umurnya, kini. Pooka benar-benar datang untuk mengambilnya.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” Sebuah suara yang dia kenal, terdengar jelas di telinganya. Ya, itu suara Bapaknya. Dia merasa lega Bapaknya ada di sini.
“Bapak khawatir denganmu, Nak,” lanjut Pak Moore.
“Tolongah aku, Tuan,” si Kuda kembali bersuara.
Tanpa menghiraukan rintihan sang Kuda, Pak Moore bergegas mengajak Phadraig pergi dari tempat itu. Namun, langkah kedua orang itu seperti dibebani beban yang berat. Kaki mereka tidak bisa melangkah. Apakah ini pengaruh kekuatan Kuda Pooka itu, Pak Moore bertanya dalam hati. Ya, Tuhan. Tolonglah kami, batin Pak Moore memohon. Jangan-jangan ini hanya cara Kuda Pooka untuk menjebak kami, Pak Moore masih berbicara pada dirinya sendiri. Namun, setelah berpikir sejenak, Pak Moore merasa tidak punya pilihan lain. Akhirnya dia memilih untuk menolong si Kuda Pooka itu.
Bersama Phadraig, Pak Moore memeriksa sang Kuda. Dia mendapati kaki Kuda itu berdarah. Pak Moore tidak tahu mengapa dan tidak ingin bertanya. Keinginannya hanya ingin segera menolong Kuda itu dan pulang ke rumah. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dengan mereka berdua. Saat membantu bapaknya memeriksa sang Kuda, Phadraig dapat melihat dengan jelas jika Kuda itu tidak berwarna coklat kehitaman seperti yang dia intip dari balik pagar tempo hari. Kuda ini berwarna hitam. Hitam yang legam. Rambut di atas lehernya juga hitam. Terlihat mengkilat diterpa temaram cahaya bulan. Dengan sekuat tenaga, Phadraig dan Pak Moore berusaha membawa Kuda hitam ke gubuk kecil yang ada di dekat tempat itu. Namun, tenaga yang mereka miliki tidak berarti apa-apa. Kuda besar itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.
“Carilah daun shamrock yang tumbuh di dekat sungai. Hanya daun itu yang bisa menyembuhkan kakiku,” Kuda hitam itu kembali berbicara. Matanya yang berkilat, kini tanpak redup. Phadraig merasa kasihan.
“Aku saja yang mencari daun itu, Pak. Aku tadi memetiknya beberapa, tapi aku sudah membuangnya dijalan.” Phadraig segera mencari daun yang tadi dibuangnya. Sementara itu Pak Moore membersihkan luka dan membalutnya dengan sobekan bajunya.
“Mengapa kalian begitu takut kepada kami,” si Kuda hitam membuka pembicaraan.
“Ya, kalian adalah makhluk pengganggu manusia. Kalian menghancurkan ladang, memangsa ternak, memorak-porandakan desa. Sungguh, kami tidak ingin melihat kalian ada di desa kami lagi,” Pak Moore berkata dengan berapi-api. Dia teringat keluarga Pak Ruben yang ladangnya hancur karena ulah Pooka. Dia juga teringat istrinya.
“Tidak semua dari kami seperti yang anda katakan, Tuan,” kata Kuda hitam itu, sambil merintih.
“Pak, aku mendapatkannya.” Phadraig datang tergopoh-gopoh membawa tiga lembar daun shamrock di tangannya.
Pak Moore segera meremas-remas daun berbentuk tiga hati itu, lalu menempelkannya di kaki sang Kuda hitam. Ajaib, dalam sekejap luka di kakinya sembuh. Kuda itu mencoba berdiri. Ia mulai berjalan ke kanan dan ke kiri seperti tidak merasakan sakit lagi.
“Terima kasih banyak. Kalian berdua telah menolongku. Sekarang, bolehkah aku ikut dengan kalian?” tanya sang Kuda, riang.
“Tidak!” Spontan Pak Moore menolak permintaan si Kuda hitam. “Eeemmm, maksudku, rumah kami tidak memiliki tempat untukmu menginap. Rumah kami sangat kecil, hanya cukup untuk kami berdua saja.”
“Aku bisa tinggal di lumbung gandummu, Tuan yang baik hati,” sang Kuda berusaha membujuk Pak Moore. “Aku tidak seperti peri-peri yang lain, Tuan. Percayalah padaku,” lanjut Kuda hitam itu lagi.
Pak Moore berpikir sejenak. Dia juga tidak mempunyai persediaan gandum yang banyak. Jadi, ada ruang untuk Kuda hitam ini. Pak Moore menoleh ke arah Phadraig . Anak laki-lakinya tampak setuju jika Kuda hitam itu ikut pulang ke rumah. Akhirnya, Pak Moore mengizinkan Kuda hitam itu ikut bersama mereka. Phadraig senang sekali. Selama ini dia ingin punya seekor kuda untuk membantu pekerjaan mereka di ladang, maupun di lumbung gandum mereka. Tapi, dia menginginkan kuda yang sesungguhnya, bukan Kuda Pooka.
Sesampai di rumah, Pak Moore membawa sang Kuda hitam ke lumbung gandumnya. Dia meninggalkan Kuda itu tanpa mengunci pintu lumbung kembali. Dia berharap, sebelum matahari terbit Kuda itu sudah pergi dari lumbung gandumnya. Namun, keesokan harinya, sebelum berangkat ke ladang bersama Phadraig, dia menengok lumbung gandumnya. Dia melihat Kuda hitam itu masih tidur lelap. Dia tidak tega membangunkan Kuda itu. Maka, selama perjalanan ke ladang, Pak Moore menasihati Phadraig untuk tidak bercerita apapun kepada orang lain.
“Phadraig, kau jangan berkata apa-apa pada orang lain, kalau ada Pooka di rumah kita. Mereka bisa membakar lumbung gandum kita. Hanya itu persediaan makanan yang kita punya. Kalau lumbung itu sampai dibakar, kita tidak akan punya apa-apa.” Phadraig mengangguk mengerti.
Dalam hati, dia sebenarnya ingin bercerita pada kawan-kawannya, kalau kemarin senja ada seekor Pooka yang diselamatkannya, dan sekarang berada di lumbung gandum mereka. Dia ingin menunjukkan kepada kawan-kawannya bentuk Pooka yang sesungguhnya. Pooka yang selama ini ditakuti banyak orang, ternyata tidak menyeramkan seperti cerita orang-orang. Namun, Phadraig bersedia diam demi keselamatan mereka berdua.
Mereka bekerja dengan giat di ladang seharian. Sesekali mereka beristirahat sambil menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Phadraig sudah tidak sabar untuk kembali ke rumah dan menengok lumbung gandumnya. Dia penasaran, apa saja yang Kuda hitam itu lakukan seharian.
“Apa yang dilakukan Pooka itu seharian di lumbung kita, Pak?” Phadraig berharap Bapak punya jawabannya.
“Bapak berharap peri itu sudah pergi dari lumbung padi kita, Nak. Bapak sengaja tidak mengunci pintunya agar dia bisa keluar dan pergi dari desa kita ini.”
Phadraig memerhatikan raut wajah Bapaknya. Dia tahu jika Bapaknya tidak menyukai Pooka, Kuda hitam itu sama sekali.
Banyak pertanyaan yang ada dipikiran Phadraig. Tapi, belum sempat dia bertanya, Bapaknya tiba-tiba berkata. “Tidak hanya kerusakan yang sudah ditimbulkan Pooka. Tapi, tahukah kau, Nak. Ibumu meninggal karena dibawa oleh Pooka.” Raut wajah Bapak dirundung kesedihan yang dalam. Suaranya pun bergetar ketika menceritakan kejadian itu. Phadraig terkejut, dia sama sekali tidak mengetahui cerita itu. Bapaknya tidak pernah bercerita tentang kepergian ibunya.
“Kejadian itu sudah lama terjadi. Bapak sudah mencoba untuk menerimanya. Kamu tak perlu menyimpan amarah, apalagi dendam di hati,” Pak Moore berkata, bijak.
Kini, Phadraig mengerti, mengapa bapak tidak ingin melihat si Pooka lagi. Hingga sore tiba, mereka tidak banyak bicara lagi. Phadraig melupakan keinginannya untuk segera menemui sang Kuda hitam. Ia justru ingin menghabiskan sore bersama dengan kawan-kawannya.
“Aku ingin bermain dengan kawan-kawanku, Pak. Bapak pulang dulu saja.”
“Eeemmm, hari ini kita pulang bersama saja. Besok kau tidak perlu membantu bapak di ladang. Bapak bisa mengerjakan semua sendiri, jadi kau bebas bermain seharian.” Phadraig mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan, kembali ke rumah.
Sesampai di rumah, Phadraig segera membersihkan diri dan membantu Bapaknya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.
“Rupanya, persediaan gandum kita hanya cukup untuk makan malam ini saja, Nak. Kita harus ke penggilingan Pak Ruben besok pagi. Penggilingan kita yang rusak, entah kapan bisa bapak perbaiki. Kita belum punya cukup uang untuk itu,” kata Pak Moore sambil menata makanan di meja. Phadrig mengangguk, mengerti.
Mereka berdua makan dengan lahap. Setelah itu, mereka beristirahat sebentar. Pak Moore tidak mau tinggal diam, dia masih menyiapkan perlengkapan untuk bekerja besok pagi. Mereka berdua akhirnya terlelap karena lelah bekerja seharian. Di lumbung padi belakang rumah, tempat si Capall Dorcha, sang Kuda hitam tinggal untuk beberapa waktu, terdengar suara seseorang yang sedang bekerja. Tak seorang pun mengetahuinya, termasuk Pak Moore dan Phadraig yang telah lelap dalam mimpi-mimpi mereka.
Keesokan harinya, Pak Moore bangun pagi-pagi. Dia harus segera pergi ke penggilingan Pak Ruben. Gandum-gandum itu harus digiling sebelum diolah menjadi makanan. Pak Moore bergegas ke lumbung gandum karena persediaan gandum di rumah telah habis. Perlahan, Pak Moore membuka lumbung gandumnya yang tidak dikunci. Dia terkejut mendapati lumbung gandumnya berantakan. Remah-remah kulit gandum berserakan. Dia pikir ada pencuri yang masuk ke lumbungnya, karena lumbung itu tidak di kunci, dua hari ini. Dia lalu mencari sang Capall Dorcha hingga ke sudut ruangan. Namun, sia-sia. Dia tidak mendapatinya di sudut manapun. Dia segera memeriksa persediaan gandum dan anggurnya. Tiba-tiba Pak Moore duduk tercenung, pandangannya tertumpu pada onggokan gandum yang telah digiling dan anggur-anggur yang telah diolah, semuanya berjejer rapi. Pak Moore tidak tahu siapa yang telah melakukan ini. Dia sangat ingat jika tadi malam dia tertidur lelap, bahkan sampai bermimpi.
Perlahan, dia mendengar suara-suara mencurigakan dari arah penggilingan gandumnya. Dengan berjalan mengendap-endap, dia mengintip ke dalam. Dia terkejut mendapati sang Kuda hitam sedang menggiling gandum-gandumnya dengan penggilingan miliknya. Kali ini, penggilingan itu tidak rusak. Penggilingan itu berfungsi dengan baik. Setelah selesai, Kuda hitam itu mulai memeras anggur-anggurnya. Mata Pak Moore kian terbeliak ketika Kuda hitam itu mendekat ke arahnya. Dari lubang yang sama, Pooka Capall Dorcha, sang Kuda hitam itu menempelkan matanya yang hitam, lalu dia berkata, “Terima kasih banyak atas pertolongan Anda, Tuan. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan hati Tuan dan Anak Tuan.”
Pak Moore kaget, seketika itu juga dia bangun dari tidurnya. Fajar sudah tiba, Pak Moore kebingungan di dalam lumbung gandumnya. Pak Moore tidak dapat membedakan, apakah semua yang dialaminya adalah sebuah mimpi atau kenyataan.
***
Sonya selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus....asal dari Irlandia," kata Sonya.
Sonya menutup bukunya dan di taruh di meja. Sonya di panggil ibunya untuk memasak di dapur. Sonya melanksanakan perintah ibunya dengan baik, ya memasak di dapur lah.
No comments:
Post a Comment