Seorang anak lelaki tampak menyusuri sungai dengan berlari-lari kecil. Kakinya melompat lincah di antara bebatuan, sehingga percikan-percikan air sesekali mengenai kaki mungilnya. Wajahnya tampak berseri-seri. Hari ini dia mendapat sekeping uang logam, imbalan atas hasil jerih payahnya karena membantu salah seorang teman ayahnya mencari rumput untuk makanan ternak mereka.
Namun tiba-tiba, ia dikejutkan oleh suara logam yang beradu dengan bebatuan. Ia tersentak, kaget. Bukan oleh suara yang ia dengar, tetapi ia merasakan sesuatu terlepas dari genggamannya. Anak itu berhenti sesaat dan membuka telapak tangan yang tadi berisi uang logam secara perlahan. Wajahnya berubah seketika. Uang logam itu sudah lenyap dari tangannya.
Mata sipit anak itu segera menyusuri dasar sungai, berusaha mencari uang logamnya. Air sungai yang jernih membantunya melihat bebatuan yang ada di dasar sungai dengan lebih jelas. Pandangan matanya terus berputar dan tak henti mengamati dasar sungai. Namun, uang logam itu tak kunjung ia temukan.
Oleh karena tidak puas mengamati, anak itu pun membenamkan kakinya ke dalam air. Air sungai, yang terasa hangat karena sinar matahari sejak siang, menyentuh kulitnya. Ia membungkukkan tubuhnya dan mengedarkan pandangannya perlahan-lahan. Dasar sungai itu terlihat semakin jelas, tapi ia tetap tidak menemukan uang logam itu. Anak itu tampak sedih dan putus asa. Ia pun melanjutkan perjalanan pulang dengan terisak-isak.
Jarak rumahnya dengan rumah Tuan Ho Chu, teman ayahnya, lumayan jauh. Ia harus menyeberangi sungai yang baru saja menelan uang logamnya itu dan berjalan menyusuri jalanan yang penuh dengan pepohonan di kanan dan kirinya agar dapat sampai di rumahnya. Setelah berjalan cukup lama, anak itu pun hampir sampai di rumahnya. Dari kejauhan, ayahnya sudah terlihat menunggu anak semata wayangnya itu. Namun, melihat anak lelakinya mengusap kedua matanya, ia pun menjadi khawatir.
“Sun Ji, ada apa denganmu? Apakah teman-temanmu mengolok-olokmu lagi?” tanya sang Ayah ingin tahu.
Ini bukan pertama kalinya, Sun Ji pulang sambil menangis karena diolok-olok oleh teman-temannya dengan sebutan anak dungu. Walaupun sang Ayah menyadari kalau anaknya memang sedikit dungu, namun ia tidak suka dengan sebutan itu karena ia tahu jika Sun Ji adalah anak yang baik hati dan selalu patuh.
Mendengar pertanyaan ayahnya, tangis Sun Ji pun pecah. “Huu… huhuu… uang logam pemberian Tuan Ho Chu jatuh ke sungai, Ayah.”
Sang Ayah memandang Sun Ji sambil mengelus kepala buah hatinya itu. Ia dapat memahami perasaan anaknya.
“Sudahlah, Nak. Lain kali jika engkau mendapatkan uang logam, simpan uang itu di sakumu. Kalau kau memegangnya di tangan, uang itu akan mudah terlepas. Sudah, jangan menangis lagi. Ayah tidak marah, kok. Sekarang, lebih baik kau mandi dan kita makan bersama,” hibur sang Ayah.
Sun Ji terdiam mendengar perkataan ayahnya. Sebenarnya, ia bermaksud memberikan uang hasil jerih payahnya itu kepada orangtuanya. Namun, uang itu malah hilang, sehingga membuatnya merasa bersalah.
“Maafkan aku, Yah,” kata Sun Ji pelan, “lain kali, jika seseorang memberikan sesuatu kepadaku, aku akan menyimpannya di sakuku.”
Ayah Sun Ji tersenyum mendengar perkataan anaknya. Ia merasa senang akrena Sun Ji mengerti apa yang dia perintahkan.
Keesokan harinya, Sun Ji kembali membantu Tuan Ho Chun. Seperti hari sebelumnya, sesampai di rumah Tuan Ho Chun, Sun Ji segera mengambil karung untuk tempat rumput. Dengan riang, ia bergegas menuju padang rumput. Sun Ji mulai memotong rumput-rumput hijau dengan sabit dan memasukannya ke dalam karung sedikit demi sedikit. Setelah penuh, ia segera membawa karung itu ke kandang sapi yang terletak di belakang rumah Tuan Ho Chun dan memberi makan sapi-sapinya dengan telaten. Setelah Sun Ji menyelesaikan pekerjaannya, ia pun berpamitan kepada Tuan Ho Chun.
“Tunggu sebentar, Sun Ji. Aku akan mengambil sesuatu untuk kau bawa pulang.” Tuan Ho Chun masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu botol susu segar. Ia lalu memberikan botol itu kepada Sun Ji. “Ini untuk upahmu hari ini.”
Sun Ji menerima botol susu pemberian Tuan Ho Chun dengan wajah cerah. Ia menimang botol itu sesaat. Air liurnya mulai keluar membayangkan minum susu segar pemberikan Tuan Ho Chun. Dengan sedikit membungkukkan badannya, ia mengucapkan terima kasih dan segera melangkah pulang.
“Hati-hati, ya, membawanya. Botol susu itu tidak ada tutupnya,” pesan Tuan Ho mengingatkan.
Sun Ji mengangguk, mengerti. Namun sesaat kemudian, ia teringat pesan ayahnya untuk menyimpan segala sesuatu yang ia dapatkan di sakunya. Sun Ji pun memasukkan botol susu itu ke saku bajunya yang berukuran kecil. Meski botol itu berukuran lebih besar daripada saku Sun Ji, ia tetap memaksakan botol itu masuk ke dalam sakunya, hingga saku itu sobek. Sun Ji tidak memedulikannya. Ia hanya ingin mematuhi pesan ayahnya untuk memasukkan botol susu itu ke dalam saku agar botol itu selamat sampai di rumah. Dengan berlari-lari kecil, Sun Ji menyusuri jalan pulang dengan menyeberangi sungai. Sang Ayah sudah menunggunya di depan rumah sambil membelah kayu bakar.
“Kenapa bajumu basah seperti itu, Nak?” tanya sang Ayah keheranan. Ia melihat sesuatu menyembul dari saku baju Sun Ji yang sobek. Botol apa yang dia bawa? Sang Ayah bertanya dalam hati.
Sun Ji terkejut mendengar pertanyaan ayahnya. Ia segera mengintip botol susu di dalam sakunya. Sesaat kemudian, ia baru menyadari kalau botol susu yang dia bawa nyaris kosong karena isinya tumpah bersamaan dengan laju larinya. Sun Ji menatap ayahnya dengan wajah bersalah.
“Lain kali, kalau kau mendapatkan benda seperti itu, pegang di bagian lehernya, jangan memasukkannya ke dalam saku.” Sang Ayah mencoba menasihati.
Sun Ji menganggukkan kepalanya dengan lemah. Ia merasa sedih karena keinginannya untuk menikmati susu bersama kedua orang tuanya tidak terwujud. Kini, yang tertinggal hanyalah badan dan bajunya yang lengket karena susu.
“Maafkan aku, Ayah. Lain kali, aku akan memegang bagian lehernya.” Sun Ji berkata dengan mata berbinar. Akhirnya, ia mendapatkan cara agar susu di dalam botol tersebut tidak tumpah.
Hari berikutnya, Sun Ji masih melakukan pekerjaan yang sama. Ia mencari rumput dan memberi makan sapi-sapi Tuan Ho Chun. Tuan Ho Chun pun memberikan upah seekor ayam jantan berwarna kemerahan untuk Sun Ji.
“Ambillah sendiri sekor ayam jantan yang berwarna kemerahan di kandang belakang,” perintah Tuan Ho Chun.
“Baik, Tuan.”
Sun Ji bergegas ke belakang rumah Tuan Ho Chun dan masuk ke dalam kandang ayam. Di sana ada banyak ayam jantan dan betina. Sun Ji segera menangkap seekor ayam jantan untuk dibawa pulang. Namun, sebelum berjalan pulang, Sun Ji teringat pesan ayahnya untuk membawa benda pemberian Tuan Ho Chun dengan memegang bagian lehernya. Sun Ji pun memegang leher ayam itu erat-erat, meski ayam jantan itu meronta-ronta dan berusaha melukai tangan Sun Ji dengan cakarnya yang tajam.
“Sreet!”
Cakar ayam itu akhirnya melukai punggung tangan Sun Ji dan membuatnya meringis kesakitan. Darah mulai keluar dari punggung tangannya secara perlahan, tapi Sun Ji tidak mau melepaskan pegangannya. Ia justru memegang leher ayam itu lebih erat lagi agar ayam itu tidak lepas.
Sun Ji tidak memedulikan ayam jantan dalam genggamannya yang terus meronta-ronta. Ketika ayam itu mengepakkan kedua sayapnya dengan sekuat tenaga, Sun Ji justru berlari lebih cepat. Ia ingin segera sampai di rumah dan memamerkan hasil jerih payahnya hari ini kepada orang tuanya. Beberapa saat kemudian, ayam jantan dalam genggaman tangannya tidak lagi mencakar dan mengepakkan sayap. Sun Ji pun menjadi lebih mudah membawanya. Ia tidak menyadari jika ayam itu sudah kehabisan napas.
Ayah Sun Ji hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat anaknya memegangi leher ayam dari kejauhan. Sementara itu, Sun Ji justru tersenyum riang dan dengan bangga mengacungkan ayam jantan itu kepada ayahnya.
“Ayah, aku mendapatkan ini dari Tuan Hon Chun.” Sun Ji menunjukkan ayam jantan di tangannya yang sudah terkulai lemas.
“Sun Ji, seharusnya kamu mengikat kaki ayam ini dengan tali. Jika kamu memegang erat lehernya seperti itu, ayam itu bisa mati.”
Ayah Sun Ji mencoba memberikan penjelasan kepada Sun Ji sembari mengambil dan memeriksa ayam dalam genggamannya. “Lihatlah, ayam ini sudah mati!” sambung sang Ayah lagi. Ia menunjukkan ayam jantan yang sudah kehabisan napas itu kepada Sun Ji.
Sun Ji tertunduk lemas. Ia merasa sedih sekaligus bersalah kepada ayahnya. “Maafkan aku, Ayah,” ucap Sun Ji lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak tahu jika perbuatannya itu dapat menyebabkan ayam pemberian Tuan Ho Chun mati.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Lain kali kamu harus mengikat kakinya dengan tali,” nasihat sang Ayah.
“Baik, Ayah. Aku akan ingat nasihat Ayah.”
Sun Ji pun berusaha mengingat nasihat ayahnya dengan baik. Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya lagi. Maka, ketika Tuan Ho Chun memberikan kaki kambing keesokan harinya, ia langsung mengikat dan menarik kaki kambing itu dengan tali. Jalan bebatuan yang dia lewati, sedikit demi sedikit mengikis daging yang ada di kaki kambing itu. Sun Ji sama sekali tidak menyadari hal itu dan terus berjalan pulang dengan riang dan bernyanyi senang. Pun ketika dia menyeberangi sungai, sisa-sisa daging yang terkikis bebatuan akhirnya hanyut terbawa arus air.
“Ayah, aku membawa kaki kambing!” seru Sun Ji nyaring pada ayahnya yang sedang membelah kayu di depan rumah.
Ayah Sun Ji terbeliak melihat Sun Ji. Ia sudah mulai kesal dengan kedunguan anaknya itu. “ Nak, kalau kau mendapat seperti ini, seharusnya kau memanggulnya agar dagingnya tidak habis terkikis oleh bebatuan di jalan.”
Sun Ji memerhatikan kaki kambing yang dibawanya, kemudian berpikir sejenak. Ayahnya benar. Daging di kaki kambing itu telah habis terkikis bebatuan, sehingga hanya tulangnya yang berwarna putih saja yang tersisa. Mengapa ia sama sekali tidak memikirkan hal itu? katanya dalam hati.
Kini, kaki kambing itu hanya menyisakan tulang, sehingga tidak bisa diolah menjadi masakan lezat yang ia inginkan. Padahal, Sun Ji sudah lama ingin makan daging kambing yang dimasak oleh koki nomor satu di desanya, ibunya. Sekarang, ia pun hanya bisa menelan ludah.
“Baiklah Ayah, aku akan menuruti nasihat Ayah. Besok, jika Tuan Ho Chun memberikan sesuatu lagi, aku akan memanggulnya.”
“Nak, apakah kau membawa sesuatu untuk ibu masak?” tanya ibu Sun Ji sambil menghampiri Sun Ji dan suaminya. Persediaan makanan mereka memang sudah habis. Oleh karena itu, ibu Sun Ji sangat berharap jika anaknya pulang membawa bahan makanan.
“Maafkan aku, Ibu. Kaki kambing yang kubawa hanya tinggal tulang saja, dagingnya telah hilang terkikis oleh bebatuan di jalan.”
“Oh, sayang sekali.” Ibu Sun Ji terdiam memandangi tulang yang disodorkan Sun Ji. “Tapi tak mengapa, mungkin masih ada yang bisa ibu olah,” kata ibunya lagi dengan bijak.
Ibu Sun Ji tidak ingin menambah rasa bersalah di hati anaknya. Ia menyadari kekurangan anaknya yang dungu. Meskipun demikian, anaknya itu adalah anak yang baik dan tak pernah membantah perintahnya maupun suaminya.
Ibu Sun Ji kemudian membawa tulang kaki kambing itu ke dapur. “Bersihkan badanmu dan beristirahatlah, kau pasti lelah bekerja seharian,” perintah ibu Sun Ji saat melihat anaknya mengikuti dia ke dapur.
Sun Ji menganggukkan kepala dan segera pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan badan, ia merebahkan tubuhnya di dipan kayu untuk beristirahat sejenak. Namun, ia ternyata tertidur hingga pagi menjelang. Ketika bangun, Sun Ji sudah melupakan masakan tulang kambing yang diolah oleh ibunya. Setelah selesai bersiap-siap, ia segera berpamitan kepada ibunya untuk pergi bekerja.
“Makanlah sup ini dulu, Nak, agar kamu memiliki tenaga untuk bekerja,” saran ibunya. Ia menyerahkan semangkuk sup tulang kaki kambing kepada Sun Ji.
Sun Ji mulai menyendok sup itu sampai ke dasar mangkuk, berharap menemukan sesuatu selain tulang dan air, namun ia tidak menemukannya. Tanpa banyak bicara, ia pun segera menghabiskan sup itu dan pergi bekerja. Sepanjang hari itu, Sun Ji terus teringat nasihat ayahnya. Dan, ketika Tuan Ho Chun memberikan hadiah atas pekerjaan yang ia lakukan selama ini, Sun Ji pun mematuhi nasihat ayahnya. Ia pulang ke rumah dengan memanggul seekor kambing pemberian Tuan Ho Chun. Ukuran kambing yang jauh lebih besar dari tubuh Sun Ji membuat anak itu kepayahan. Ia pun berniat mencari jalan pintas agar lebih cepat sampai ke rumah. Namun, Sun Ji malah salah jalan, sehingga ia harus berputar-putar untuk dapat menemukan jalan pulang.
Dari sebuah rumah, seorang putri merasa aneh melihat seekor kambing yang bergoyang-goyang di atas bahu seseorang. Rupanya, ada seorang anak yang memanggul kambing itu. Ketika sang Putri melihat raut muka dan cara jalan anak pemanggul kambing itu, ia pun tertawa terbahak-bahak. Suara tawa sang Putri membuat para dayang terkejut. Mereka pun segera menghampiri sang Putri.
“Tuan putri kita sudah sembuh dari sakitnya!” seru salah seorang dayang.
Putri Yeong memang menderita penyakit aneh, yang hanya bisa sembuh jika Tuan Putri tertawa. Badut-badut di negeri itu sudah diundang oleh Raja untuk membuat sang Putri tertawa. Puluhan tabib juga sudah didatangkan untuk menyembuhkan penyakit aneh sang Putri. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Hal itu membuat Raja gundah gulana. Ia pun akhirnya membuat sayembara, barang siapa berhasil menyembuhkan penyakit putrinya akan diberi sebagian kekayaan kerajaan.
Selama ini agar Putri Yeong dapat beristirahat dengan tenang, Raja membangun sebuah tempat peristirahatan untuk putri kesayangannya itu. Dan selama Putri tinggal di tempat itu, ia belum pernah tertawa sama sekali. Namun kali ini, seorang lelaki kecil yang memanggul seekor kambing berhasil membuat sang Putri tertawa. Dayang suri pun segera mengirim utusan untuk memberitahukan berita gembira tersebut kepada sang Raja.
Sang Raja menyambut gembira kabar kesembuhan putrinya. Ia segera menyiapkan sebuah pesta dan mengizinkan seluruh rakyat datang untuk menikmati hidangan spesial ala kerajaan. Raja pun tidak lupa mengundang Sun Ji dan keluarganya. Sesampai di istana, Sun Ji tak henti-hentinya berdecak kagum. Ia memang belum pernah menginjakkan kaki di istana sebelumnya. Ia kemudian berjalan kikuk menghadap sang Raja dan membungkuk penuh hormat ketika sampai di hadapan sang Raja.
“Jadi, kau yang memanggul kambing itu, Anak Muda?” tanya sang Raja ingin tahu. Sun Ji tidak mampu berkata-kata, sehingga ia hanya menganggukkan kepala dengan hikmat.
“Mengapa kau memanggul kambing yang lebih besar dari tubuhmu itu? Bukankah kau bisa mengikat lehernya dengan tali dan menariknya?” tanya Raja penasaran.
“Karena Ayah menyuruh saya melakukannya, Paduka Raja.” Sun Ji menjawab dengan terbata-bata. Tubuhnya mulai gemetar karena berhadapan dengan Raja secara langsung.
Ayah Sun Ji kemudian menceritakan semuanya kepada sang Raja, mulai dari pekerjaan Sun Ji sebagai pencari rumput maupun hadiah dari Tuan Ho Chun. Sang Ayah juga menceritakan ejekan yang sering diterima Sun Ji sebagai anak yang dungu dan sifat Sun Ji yang selalu patuh dan tidak pernah membantah perintah kedua orang tuanya.
Mendengar cerita ayah Sun Ji, Raja mengangguk mengerti. Ia kemudian berkata, “Saya sebagai raja dan ayah dari Putri Yeong mengucapkan terima kasih yang tak terhingga karena kamu telah menyembuhkan sang Putri. Kamu adalah anak yang baik dan sangat saat kepada kedua orang tuamu. Oleh karena itu, saya akan memberikan sebagian kekayaan kerajaan kepadamu.”
Sun Ji dan kedua orang tuanya merasa sangat senang mendengar perkataaan sang Raja. Mereka terus-menerus mengucap syukur atas anugerah yang mereka terima. Namun, satu hal yang paling membuat mereka bangga adalah karena mereka mempunyai seorang anak yang patuh. Keluarga kecil yang semula hidup sederhana itu pun menjadi kaya raya. Raja juga memperbolehkan mereka tinggal di istana jika mereka mau. Namun, Sun Ji dan kedua orang tuanya memilih untuk tetap tinggal di desa dan mereka pun hidup bahagia.
***
Damini selesai membaca bukunya.
"Ya..ya..ya bagus cerita asal dari Korea Selatan," kata Damini.
Damini menutup bukunya dan menaruh buku di meja.
No comments:
Post a Comment