CAMPUR ADUK

Friday, August 13, 2021

GUJI KEMBAR AJAIB

Kitianna Majedah sedang asik baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Kitianna Majedah :

Yoo Bok adalah seorang petani miskin yang tinggal di lereng gunung. Setiap hari ia bekerja di sawah milik seorang petani kaya yang kikir bernama Eun Min. Selama bekerja bersama Eun Min, Yoo Bok mempunyai satu keinginan yaitu memiliki satu petak sawah. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Yoo Bok selalu bekerja dengan giat dan berusaha mengumpulkan uang hasil jerih payahnya. Ia bahkan rela mengurangi jatah makannya agar bisa menabung lebih banyak. Setelah menabung selama berbulan-bulan, Yoo Bok mendatangi Eun Min, petani kaya yang kikir itu. Ia bermaksud membeli sepetak tanah yang akan dijual oleh Eun Min.

“Hah! Kau tidak sedang bergurau, kan, Yoo Bok? Dari mana kau mempunyai uang untuk membayar tanah itu?” Eun Min tampak meragukan Yoo Bok.

Tanpa banyak bicara, Yoo Bok mengeluarkan sekantung besar uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit selama ini.

“Selama ini, saya menabung sedikit demi sedikit, Tuan. Silakan Anda hitung uang ini. Saya rasa uang dalam kantong itu lebih dari cukup untuk membayar satu petak tanah yang akan Anda jual.”

Eun Min menerima kantong yang disodorkan Yoo Bok. Uh, kantong ini berat sekali, pikir Eun Min saat menerima kantong uang Yoo Bok. Eun Min nyaris tidak percaya jika Yoo Bok memiliki uang sebanyak itu. Ia pun segera mengeluarkan seluruh isi kantong dan mulai menghitung dengan cekatan. 

Ketika ia menghitung koin terakhir, Eun Min menganggukkan kepalanya lalu berkata, “Baiklah, sepetak tanah di sebelah barat itu menjadi milikmu sekarang. Kau sudah tahu batas-batasnya, kan?”

Yoo Bok mengangguk, tanda mengerti. Ia sudah mengetahui batas-batas sawah Eun Min karena ia membantu menggarap tanah itu selama ini. “Jadi, mulai besok saya tidak lagi bekerja pada Anda, Tuan,” kata Yoo Bok berpamitan.

Eun Min sebenarnya merasa kehilangan Yoo Bok karena ia adalah salah seorang pekerjanya yang paling rajin. Selama Yoo Bok bekerja,  sawahnya selalu digarap dengan cepat dan menghasilkan padi yang banyak.

“Ya, terima kasih atas bantuanmu selama ini,” kata Eun Min.

“Sama-sama, Tuan. Karena bantuan Anda, cita-cita saya untuk mempunyai sawah sendiri akhirnya dapat terwujud.” Yoo Bok berkata sambil menjabat tangan Eun Min erat.

Setelah pulang dari rumah Eun Min, Yoo Bok kembali ke gubuk mungilnya yang terletak tidak jauh dari tanah yang ia beli. Yoo Bok sudah tidak sabar menunggu pagi tiba karena ingin segera mengolah tanahnya. Beberapa hari ini, ia sudah menyiapkan bibit padi dan sayuran yang akan dia tanam di lahannya.

“Hah, sudah pagi rupanya!” seru Yoo Bok terkejut karena baru bangun saat matahari sudah mulai naik.

Yoo Bok bergegas mengambil cangkul dan segera pergi ke sawahnya. Dengan penuh semangat, ia mulai mencangkul tanah garapannya. Tiba-tiba, mata cangkulnya membentur sesuatu. Yoo Bok lalu mencangkul tanah di sekitar benda itu. Dan, setelah agak dalam, ia melihat sebuah guci tertanam di sana. Ia segera mengambil guci itu dan mengangkatnya dengan hati-hati. Ia juga membersihkan guci itu di sungai kecil dekat sawahnya.

“Ehm, lumayan, guci ini bisa kupergunakan untuk menaruh barang-barangku di rumah,” kata Yoo Bok sambil memerhatikan guci yang ia temukan.

Ketika sore menjelang, Yoo Bok mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang. Agar lebih mudah membawa barang-barangnya, Yoo Bok memasukkan cangkulnya ke dalam guci dan meletakkan guci itu di atas kepalanya. Sesampainya di rumah ia meletakkan guci itu di pojok ruangan. Keesokan harinya, saat Yoo Bok hendak berangkat ke sawah dan sedang mengambil cangkulnya, ia terheran-heran karena mendapati dua buah cangkul yang sama di dalam gucinya.

“Cangkul siapa ini, kok bisa ada di dalam guci ini?” Yoo Bok bergumam sendiri sambil memandangi kedua cangkul di hadapannya.

Yoo Bok mengambil kedua cangkul itu. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, ia mengambil satu cangkul untuk menggarap sawah dan meletakkan satu cangkul yang lain di samping guci. Sebelum pergi ke sawah, ia juga meletakkan koin sisa tabungannya ke dalam guci. Sepanjang perjalanan ke sawahnya, Yoo Bok terus memikirkan cangkulnya yang tiba-tiba menjadi dua. Namun, begitu ia sampai di sawah, ia segera bekerja dengan giat dan melupakan kejadian aneh di rumahnya. Sepanjang hari itu, Yoo Bok mengerjakan sawahnya dengan perasaan riang hingga sore datang menjelang. Yoo Bok pun pulang ke rumah dan kembali teringat kepada gucinya dalam perjalanan pulang. Ia bergegas pulang karena ingin tahu apakah uangnya akan bertambah seperti cangkul yang dia letakkan di dalam guci.

“Wow! Guci ini ternyata guci ajaib!” seru Yoo Bok ketika ia sampai di rumah. Ia tak berkedip memandangi uang koin yang kini berlipat jumlahnya. “Guci ini bisa membuatku menjadi kaya raya!”

Yoo Bok menari-nari senang dan berlari keluar rumah untuk menceritakan keajaiban guci yang ia temukan itu kepada para tetangganya. Tetangga Yoo Bok pun penasaran dan ingin membuktikan keajaiban itu sendiri. Satu per satu tetangga Yoo Bok memasukkan benda yang mereka bawa ke dalam guci. Dan, seperti Yoo Bok, mereka pun terheran-heran karena guci itu memang benar-benar ajaib. Guci itu pun kemudian disebut dengan nama guci kembar ajaib karena dapat mengeluarkan benda yang sama persis dengan yang dimasukkan ke dalamnya. Tak menunggu lama, berita tentang guci kembar ajaib itu pun sampai ke telinga Eun Min. Petani kikir itu merasa bahwa guci yang ditemukan Yoo Bok adalah miliknya. Dengan berjalan tergopoh-gopoh, ia pun mendatangi rumah Yoo Bok.

“Yoo Bok, kembalikan guci itu. Guci itu milikku karena kau menemukannya di tanah yang dulu milikku!” seru Eun Min.

“Oh, tidak bisa, Tuan. Aku sudah membeli tanah itu, jadi seluruh isinya adalah milikku,” jawab Yoo Bok tak mau kalah.

“Tidak bisa begitu. Saya hanya menjual tanahnya saja, bukan guci itu.” Eun Min tetap kokoh dengan pendiriannya.

Eun Min dan Yoo Bok pun bertengkar. Masing-masing dari mereka beranggapan bahwa mereka adalah pemilik guci itu. Setelah bertengkar selama beberapa saat, para tetangga yang menyaksikan kejadian itu mulai bingung karena mereka tidak tahu pasti siapa pemilik sah guci itu.

“Saudara-saudara, bagaimana jika masalah ini kita bawa ke 

Hakim Desa. Ia pasti dapat memberikan keputusan yang adil,” saran seorang tetangga.

Yoo Bok dan Eun Min berhenti sejenak dan saling berpandangan. Mereka, akhirnya, menyetujui usul tersebut. Maka, dengan iringan beberapa tetangga, mereka berjalan menuju rumah Hakim Desa.

“Bukankah kau membeli tanahku, bukan guci Yoo Bok?” tanya Eun Min. mereka sudah sampai di rumah hakim desa dan berusaha menjelaskan perkara yang sedang mereka hadapi.

“Benar, saya membayar tanah milik Tuan Eun Min. Tapi, saya juga tidak tahu sama sekali kalau ada guci itu di sana.”

“Berarti guci itu bukan milikmu Yoo Bok!” kata sang Hakim dengan tegas.

“Nah, berarti guci itu milikku!” Eun Min dengan cepat menimpali. Ia benar-benar menginginkan guci ajaib itu untuk menambah harta kekayaannya.

“Apakah Anda punya bukti kalau guci itu milik Anda, Tuan Eun Min?” Sang Hakim balik bertanya kepada Eun Min.

Eun Min kebingungan. “Tidak, Tuan Hakim,” jawab Eun Min sambil menggeleng lemah.

“Kalau begitu, guci itu juga bukan milik Anda, Tuan Eun Min,” kata Hakim lagi, “jadi, karena belum ada yang dapat menunjukkan siapa pemilik sah guci ini, untuk sementara guci ini akan saya simpan sampai diketahui pemilik sahnya.”

Orang-orang yang hadir menyetujui keputusan Hakim Desa. Maka, guci itu pun dibawa ke rumah Hakim Desa sampai mereka mengetahui siapa pemilik sah dari guci ajaib itu. Malam itu, Hakim Desa dibuat penasaran dengan guci ajaib yang ditemukan oleh Yoo Bok. Dia ingin membuktikan sendiri apakah guci itu benar-benar ajaib atau tidak. Maka dia pun memasukkan sebuah palu ke dalam guci. Dan sesaat kemudian, ia dibuat takjub karena palu di dalam guci itu menjadi dua buah.

“Wah, luar biasa! Ternyata mereka tidak berbohong. Guci ini benar-benar guci ajaib,” gumam sang Hakim sendirian. Sifat tamak dalam dirinya mulai muncul dan ia ingin memiliki sendiri guci ajaib itu. Ia pun segera menyimpan guci kembar ajaib itu di dalam kamarnya agar tak ada orang yang tahu.

Malam itu, ia berbaring di tempat tidur sembari memandangi guci kembar ajaib. Ia mulai berkhayal, seandainya ia mempunyai sekeping emas, ia pasti akan memasukkan sekeping emas itu ke dalam guci agar muncul keping emas yang lain. Tapi, ia tidak mempunyai sekeping emas saat ini. Ehm, mungkin ibu mempunyai sekeping emas, pikirnya. Hakim desa itu pun segera keluar dari kamar dan menghampiri ibunya.

“Ibu, apakah ibu mempunyai sekeping emas?”

Perempuan berambut putih yang sedang merajut itu segera mengalihkan pandangannya. Keningnya tampak berkerut, heran.

“Kau tahu kalau ayahmu tak pernah mewariskan apa-apa. Tidak, ibu tidak memiliki emas sekeping pun.” Sang ibu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Jemari tangannya yang keriput kembali menari bersama jarum hakken dan benang sulam.

“Ehm, di mana kita bisa meminjam sekeping emas itu, Bu?” tanya Hakim Desa. Suaranya terdengar mengiba. “Aku janji akan segera mengembalikannya kalau kita bisa mendapat pinjaman, Bu,” lanjutnya.

Ibu  sang Hakim yang semula tekun merajut, mulai terusik oleh pertanyaan anaknya, “Untuk apa sekeping emas itu?”

Hakim desa itu terdiam. Ia tidak mau mengatakan niatnya untuk melipat gandakan emas dengan menggunakan guci kembar ajaib. Ia ingin membuat ibunya gembira dengan kejutan yang akan dia berikan. Walaupun ibunya sering cerewet dan galak, namun ia tahu jika itu adalah tanda sayang Ibu kepadanya.

“Ehm, kita bisa menjadi kaya dengan sekeping emas itu, Bu,” jawab sang Hakim singkat.

“Bagaimana caranya?” tanya sang Ibu.

“Kalau caranya, itu rahasia, Bu. Aku tidak bisa mengatakannya,” tolak Hakim Desa. Ia benar-benar tidak ingin memberi tahu ibunya.

“Jangankan sekeping emas, perak atau perunggu pun Ibu tidak punya!” komentar sang Ibu yang mulai jengkel dengan anaknya. “Ibu tidak tahu di mana kau bisa mendapatkan sekeping emas. Carilah sendiri,” lanjut sang Ibu.

Hakim Desa tahu jika ibunya mulai marah. Ia harus segera pergi jika tidak ingin dimarahi oleh ibunya. ia pun segera kembali ke kamar dan mencari cara lain untuk mendapatkan sekeping emas. Beberapa hari kemudian, ketika sang Hakim belum menemukan cara untuk mendapatkan emas, ibunya masuk ke dalam kamarnya dan mendapati sebuah guci di sudut ruangan. Rasa penasaran membuat ibunya menjulurkan tubuhnya ke dalam guci. Namun, ia terpeleset dan masuk ke dalam guci itu.

“Tolong… tooolong!” Sang Ibu berteriak kencang.

Sang Hakim yang mendengar teriakan ibunya, segera masuk ke dalam kamar dan kaget mendapati ibunya berada di dalam guci. “Ibu, kenapa Ibu bisa masuk ke dalam guci?”

“Kau tidak usah banyak bertanya, cepat keluarkan Ibu dari dalam guci ini!” seru sang Ibu panik. Ia kesal karena anaknya tidak segera menolongnya.

Dengan sekuat tenaga, sang Hakim menarik ibunya keluar dari dalam guci. Sesaat kemudian, ibunya berhasil keluar dari dalam guci. Namun beberapa saat kemudian, sebuah teriakan kembali terdengar dari dalam guci.

“Tolong, keluarkan aku!”

Sang Hakim terkejut karena suara itu terdengar seperti teriakan ibunya tadi. Ia semakin kebingungan karena ibunya sudah berada di sampingnya, duduk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Karena penasaran, sang Hakim pun melongokkan kepalanya ke dalam guci. Ia tampak kaget karena ibunya, kini, menjadi dua. Satu ibu berada di dalam guci, berteriak minta tolong, sedangkan satu ibu lagi sedang duduk mengatur napas.

“Oh… Guci ajaib ini juga bisa menyulap ibuku menjadi dua!” teriak Hakim Desa sambil memegangi kepalanya.

“Cepat keluarkan Ibu dari dalam guci ini!”

Teriakan itu membuat sang Hakim segera mengulurkan tangannya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha mengangkat tubuh ibu yang satu lagi. Dan, keluarlah Ibu Kedua yang sama persis dengan Ibu Pertama yang ia keluarkan dari dalam guci.

“Heh… Siapa kamu?” tanya ibu yang pertama keluar dari guci. Ia terheran-heran dan merasa tidak suka dengan kehadiran orang yang menyerupai dirinya.

“Heh… Aku ini ibu Hakim Desa. Kamu ini siapa? Bagaimana bisa kamu mirip aku?” tanya Ibu Kedua.

“Aku adalah ibu Hakim Desa. Kamu jangan mengaku jadi ibunya, ya!” jawab Ibu Pertama.

Hakim Desa berdiri kebingungan dalam diam. Dia benar-benar tidak tahu mana ibunya yang asli karena kedua wanita itu terlihat sama. Hingga tiba-tiba...

“Praaang!”

Guci ajaib itu pecah.

Wajah Hakim Desa seketika menjadi pucat pasi. Keinginannya untuk menjadi orang kaya kandas sudah. “Hah! Kenapa kalian memecahkan guci ajaib itu!”

“Siapa yang peduli dengan guci jelek itu!” seru salah seorang ibu.

“Guci itu dapat membuat kita menjadi orang kaya, Bu!”

Kedua orang ibu itu sontak berhenti berkelahi. Mereka saling pandang dalam kebingungan.

“Kalau kita memasukkan sebuah benda ke dalam guci itu,  benda itu akan menjadi kembar. Ibu contohnya,” jelas Hakim Desa.

Kedua wanita itu berpandangan lagi. Kemudian kembali bertengkar, saling menyalahkan.

“Karena ulahmu guci itu pecah!” tuduh Ibu Pertama.

“Enak saja, kakimu yang tadi mengenai guci itu!” balas Ibu Kedua.

“Itu karena aku menghindari pukulanmu,” elak Ibu Pertama tak mau kalah.

Kedua ibu itu tak henti menyalahkan satu sama lain. Hal itu membuat sang Hakim semakin pusing. Kini, keinginannya untuk menjadi kaya tidak mungkin terwujud karena guci kembar ajaib itu sudah pecah. Dan, ia pun harus berhadapan dngan dua orang ibu yang terus-menerus bertengkar.

“Seandainya aku tidak tamak, ingin memiliki guci itu sendiri, aku tidak akan mempunyai dua orang ibu yang galak dan cerewet,” sesal sang Hakim.

Hakim Desa sangat menyesali ketamakannya. Namun, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kini, ia harus menghadapi dua ibu yang galak dan cerewet akibat dari ketamakannya sendiri. 

***

Kitianna Majedah selesai membaca bukunya.

"Okkkkk...bagus cerita asal dari Korea Selatan," kata Kitianna Majedah.

Kitianna Majedah menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK