Nur Aziza adalah murid tunarungu yang memilih belajar di sekolah umum, yakni Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 66, Jakarta Selatan.
"Ketika pertama kali masuk sekolah, guru saya bahkan tidak mengetahui keadaan saya yang sesungguhnya. Baru sebulan kemudian, semua guru paham kondisi saya, dan secara perlahan membantu saya. Saya tidak mampu mendengar dan berbicara dengan jelas sehingga saya mengandalkan kemampuan membaca bibir. Padahal, guru-guru di sekolah saya tidak ada yang bisa berbahasa isyarat," cerita Nur Aziza.
Sejauh ini, semua pelajaran dapat diikutinya dengan baik. Gadis tersebut bersekolah di sekolah umum sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hanya pendidikan di Sekolah Luar Biasa Santi Rama.
Dodi Iskandar, murid tunanetra yang satu sekolah dengan Aziza, mengatakan, terkadang guru lupa dengan kondisi mereka. "Ada guru yang menjelaskan Matematika dengan cara 'ini ditambah ini sama dengan', padahal, kata 'ini' bisa diganti dengan angka agar kami dapat mengikuti," cerita Dodi.
"Saat melangkah pertama kali ke sekolah, saya khawatir dalam mencari teman. Apalagi ini pengalaman pertama saya bergaul dengan anak-anak normal. Sejak sekolah tingkat dasar hingga menengah pertama, saya habiskan di sekolah luar biasa," kata Doni.
"Untungnya, setelah hari pertama itu, saya agak lebih tenang," kata Dodi yang sehari-hari bekerja sebagai pemain keyboard di sebuah kafe untuk membiayai sekolahnya.
Aris, murid tunanetra lain, juga mengaku kaget ketika harus menyesuaikan diri dengan teman-teman lainnya. Sampai-sampai dia memutuskan menunggu disapa dulu baru melakukan pendekatan.
"Saya agak malu-malu atau segan," ujar remaja yang ingin menjadi pembuat program komputer. Akan tetapi, setelah lama berinteraksi, kebekuan itu pula mulai mencair.
"Bahkan, kini saya mulai mendapat sahabat baik yang juga rekan sebangku saya. Kelik namanya. Ia kerap membantu saya membacakan buku atau meminjamkan catatan untuk kemudian saya pindahkan ke huruf braille," cerita Aris senang.
No comments:
Post a Comment