CAMPUR ADUK

Monday, January 7, 2019

RAKA SI TUKANG KAYU

Raka mengusap keningnya, melihat karyanya yang sebentar lagi selesai. Karya yang entah sudah keberapa diciptakannya. Sebuah kipas sederhana yang terbuat dari kayu cendawan asli yang didapatnya ketika berkeliling hutan seminggu yang lalu. Lalu ia melirik ke kanan. Melihat tumpukan karyanya di samping meja kerjanya. Sebuah galah panjang dengan pengait pada ujungnya yang diselesaikannya 3 hari yang lalu. Lalu karya yang lainnya, seperti, sebuah tongkat berbentuk huruf Y pada ujungnya, sebuah kayu lurus dengan banyak gerigi besi pada ujung bawahnya, sebuah papan persegi panjang dengan datar bawahnya yang agak landai. Sederhana? Memang sangat sederhana, namun Raka membuatnya dengan sepenuh hati, penuh dengan ketelitian.

Raka tinggal di Desa Wood, sebuah desa di negeri fantasi yang jauh di sana. Desa Wood terkenal karena melimpahnya kekayaan alam kayunya. Raka adalah satu dari sekian banyak pengrajin kayu yang tinggal di Desa Wood. Di desa itu hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai pengrajin kayu. Dari desa bagian barat, terdapat pengrajin kayu terkenal bernama Dare. Dare tak hanya pintar dalam memahat dan mengukir kayu. Dare juga pintar dalam menceritakan filosofi hasil pahatan dan ukiran yang dibuatnya. Setiap hasil pahatan memiliki kisahnya sendiri, begitu katanya. Dare juga selalu diundang untuk berpidato mengenai perkembangan hasil kayu di Desa Wood di alun-alun kota.

Dari desa bagian timur, terkenal seorang pengajin kayu bernama Moris. Moris adalah seorang pengrajin kayu yang memberi pahatan kayu sambil mendengarkan dendangan lagu. Setiap lagu dapat memberikan inspirasi dan menghasilkan hasil pahatan kayu dengan keunikan tersendiri, begitu ocehnya. Tak jarang juga, Moris bersenandung sambil berkarya.

Tapi, Tuhan punya rencana lain untuk Raka. Raka tak perlu berfilosofi, apalagi bersenandung. Hanya perlu jari-jari halus dan cermat untuk membuat bentuk dan ukiran kayu sempurna. Sederhana memang, sebab Raka tak ingin karyanya justru menyusahkan dan membingungkan orang lain.

Entah sudah berapa kali matahari dan bulan berputar silih berganti melaksanakan tugasnya masing-masing. Selama itu pula Raka belum bisa membuat nama dan potretnya diukirkan di “Papan Pengumuman Desa” yang terbuat dari kayu cendawan berkualitas terbaik. Karyanya tak pernah dilirik dan Raka tak pernah berani mengungkapkannya walau sering berakhir di tempat sampah. Hingga suatu hari Raka memberanikan diri datang ke rumah Tetua Desa. Raka tak lupa membawa karya, sebuah buku catatan kecil, dan sebuah pulpen.

Raka mengetuk pintu.

Tetua Desa keluar dari rumahnya, sambil berkacak pinggang. Tak mengerti, Raka menganggap pose Tetua Desa sangat keren.

“Oh Raka. Kupikir kau sudah mati dimakan harimau, singa, atau kelaparan di tengah hutan. Lama kau tak kelihatan. Apa yang kau inginkan?”, kata Tetua Desa sambil tersenyum sinis.

Raka tak memikirkan kata-kata menyakitkan Tetua Desa, namun yang dilihatnya, Tetua Desa itu tersenyum walau hanya bibir kanannya saja yang terangkat. Ahh, ramah betul Tetua Desa ini, pikir Raka dalam hatinya.

Raka mengambil bukunya dan mulai menulis.

Aku membawa karyaku. Maukah kau melihatnya dan mencobanya untukku?

Tetua Desa mengambil kertas itu dan mengangguk pelan. Kali ini tanpa senyuman. Raka memberikan karya pertamanya. Sebuah kayu panjang meliuk-liuk berbentuk huruf Y dengan ukuran batik di seluruh tubuh kayu itu dan tulisan “Desa Wood” pada bagian ujung bawahnya.

“Kau membawakanku sampah?”, tanya Tetua Desa

Raka berpikir, mungkin Tetua Desa berkata, “Apakah kau ingin aku mengukir namamu di Papan Pengumuman?”

Tetua Desa melambaikan tangannya di depan wajah Raka untuk menyadarkan Raka dari lamunannya. Raka mengangguk.

Braaaaakkkk… Pintu dibanting kuat di depan wajah Raka. Raka terkejut. Mungkin Tetua Desa sedang tidak enak badan. Raka pulang dengan wajah berseri-seri membayangkan potretnya di Papan Pengumuman besok.

Ternyata, tak hanya Raka dan Tetua Desa yang ada disitu. Mata Dare dari tadi mengintip di kejauhan sambil bersembunyi di belakang pohon oak yang rindang.

“Cihhh, cari muka betul anak itu. Pakai acara mengunjungi Tetua Desa segala. Dasar orang aneh. Ngomong saja tidak nyambung. Mau menandingi aku segala. Lihat saja. Selama Dare masih ada disini, takkan ada yang bisa menjadi pengrajin kayu terbaik di desa ini.”, kata Dare berapi-api.

Dare segera berlari menuruni bukit, menyeberangi sungai, hamparan sawah, hutan kayu yang begitu luas, untuk mencapai desa bagian timur, menemui Moris. Sesampainya disana, Moris sedang mengetam dan mengamplas kayunya dengan kertas pasir.

Dare segera menceritakan semuanya, sebentar Moris tersenyum, lalu kemudian mengangguk pelan. Cukup lama mereka berdiskusi, hingga matahari pulang ke tempat peraduannya…

Keesokan hari datang begitu sempurna dan indah. Matahari dan kicauan burung membingkai menyambut datangnya hari yang baru dengan segala sesuatu yang baru yang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Raka menyambut datangnya pagi dengan ceria dan seribu semangat yang baru. Raka segera mandi, sarapan dengan roti dan selai madu, lalu berpakaian dan memakai kacamata keberuntungannya. Ia siap melihat namanya di Papan Pengumuman.

Mungkin aku akan diukir dengan memakai dasi kupu-kupu yang kemarin kupakai, pikirnya. Lalu Raka pergi, tak lupa membawa catatan dan pulpennya.

Ketika Raka datang, semua orang memandangnya dengan tatapan kecewa, saling bisik satu sama lain. “Tega sekali dia melakukannya.”, bisik salah satu warga

“Aku tak menyangka Raka sejahat itu.”, bisik warga yang lain.

Apa yang terjadi? Mereka menyambutku terlalu semangat. Apakah wajahku dipotret dengan sangat lucu? Ayolah. Aku yakin tidak begitu aneh, pikir Raka.

Tetua Desa berjalan ke arahnya dengan wajah amat marah. Sementara Moris dan Dare mengikuti dari belakang sambil tersenyum licik.

“Kau pencuri, pengkhianat, perusak.”, kata Tetua Desa sambil menunjuk ke arah Raka.

Raka terkejut, lalu mengangkat bahunya dan membalas dengan tatapan heran. Istri Tetua Desa mengerti lalu mengambil buku catatan dan pulpen milik Raka, dan mulai menulis.

Apakah kau mengambil kayu dari hutan baru-baru ini?

Raka mengangguk sambil tersenyum.

Istri Tetua Desa menulis lagi.

Boleh kami datang dan melihat rumahmu?

Raka mengangguk lagi lalu tangannya mengisyaratkan untuk mengajak mereka.

Semua orang berbondong-bondong mengikuti dari belakang. Tetua Desa berjalan dengan tatapan marah. Moris dan Dare mengikuti dari belakang sambil tersenyum berharap ini semua terjadi sesuai dengan rencana mereka. Sedangkan warga mengikuti dengan penasaran.

Sesampainya di rumah Raka, tepat di kamar kerjanya, semua melonjak terkejut. Kamar kerja Raka sungguh berantakan. Berserakan banyak sekali pohon-pohon mahoni, cendawan, jati, berkualitas baik bahkan terlihat tertebang dan dibuang begitu saja. Dugaan warga mengenai pelaku pencurian kayu-kayu di hutan yang terjadi tepat semalam semakin ditujukan pada Raka.

Raka segera mengambil bukunya dan menulis untuk menjelaskan semuanya.

Tadi tak sebanyak ini. Kemarin aku hanya mengambil 75 cm kayu mahoni dan 38 cm untuk membuat hadiah pada Tetua Desa sebagai ucapan terimakasihku karena telah menaruh potretku.

Raka memberikan sebuah kotak kepada Tetua Desa, dibungkus rapi dengan kertas kado yang dibuatnya sendiri, dihiaskan pita biru dari sulur-sulur tanaman anggrek.

“Pembohong… Pembuat cerita… Banyak alasan… Sekarang juga kuperintahkan kau pergi dari desa ini. Biar saja kau mati di luar sana. Daripada kami harus hidup dan tinggal bersama orang sepertimu.” Tetua Desa berada di puncak emosinya.

Raka sangat ketakutan. Walau tak tahu apa yang dikatakan Tetua Desa, Raka tahu semua raut kebencian dan rasa yang tak menginginkan kehadirannya lagi. Raka pun pergi, membawa semua rasa yang paling sakit dirasakannya sepanjang hidupnya. Warga pun bubar berhamburan keluar.

Hari-hari selanjutnya sangat kelabu di Desa Wood. Tak ada lagi Raka yang menjadi bahan caci dan maki. Tak ada lagi gosip karena Raka tak ingin ke luar rumah.

Lalu dilakukan pembongkaran di rumah Raka…

Kini semua mengerti. Alat-alat yang diciptakan Raka memang sangat sederhana tapi sangat bermanfaat. Kayu yang dibuatnya bisa menjadi galah untuk memanen jambu, sebagai tongkat untuk mengganjal sarang burung yang hampir terjatuh, sebagai alat untuk menggemburkan tanah, dan sebagainya.

Moris dan Dare ikut menyesal dahulu pernah menjadi dalang dalam skenario untuk memfitnah Raka. Tetua Desa juga mengambil hadiah di dalam kotak yang dahulu pernah dicampakkannya tepat di depan wajah Raka. Hadiah berupa kacamata yang gagangnya dibuat dari kayu dengan lensa di tengahnya dan ukiran kata Desa Wood membingkainya, dilengkapi dengan sebuah surat pendek.

Kau tahu pak? Aku yakin kau perlu ini untuk membaca surat kabar yang datang tiap harinya. Terimakasih pak. Kau mau menaruh potretku di Papan Pengumuman. Besok aku akan melihatnya dengan penampilan terbaikku.

Semua menyesal akan apa yang pernah terjadi. Semua menyesal tak ada yang menghalangi Raka pergi. Semua tinggal rasa sesal.

Suatu hari, angin sepoi-sepoi meniup lembut sepucuk kertas yang berisikan puisi indah yang ditulis oleh pengrajin kayu yang dahulu pernah ada di Desa Wood. Seorang warga mengambilnya lalu membacanya keras-keras.

Aku hadir tak sesempurna dan seberuntung kalian

Bisu dan tuli, akulah Raka si pengrajin kayu

Hingga aku tahu ini semua anugerah Tuhan

Tuhan tak ingin aku mendengar suara hati yang malu

Sebab Tuhan sayang padaku…

Pusinya berhenti sampai disitu, semua membisu dan berkata dalam diam dan kalbu. 4 kata yang intinya cuma satu.

Kami ingin kau kembali.


Karya: Fanny Yolan Tamba

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK