Malin Sabar antara sebentar sakit gigi. Banyaklah sudah obat-obat yang dijual orang di pasar dipakainya, tetapi tiada yang menolong. Baik sehari dua, kembali sakit pula. Jampi-jampi dukun kampung pun telah banyak sekali dicobanya, tetapi tiada mujarab. Sampai ia mengomel, "Zaman ini bukan saja pencarian yang meleset, tetapi jampi-jampi pun turut pula meleset, tidak ada yang mustajab lagi seperti dahulu," katanya.
"Bawa saja ke sekolah, sebentar saja baik," kata seorang guru pensiun kepadanya.
"Entahlah, Engkau, saya tidak berani dengan dokter. Dokter main cabut, main suntik, dan main potong saja. Kalau salah potong, awak juga yang melarat, jadi takut akan lumpur. Lari keduri awak namanya," jawab Malin Sabar.
Pada suatu hari,penyakit giginya menjadi-jadi benar.
"Jika mati pun, matilah. Sekarang, aku pergi ke dokter," kata Malin Sabar sambil memegang pipinya yang sakit itu, lalu pergi ke rumah sakit.
"Tarik, Tuan, tolonglah obati gigi saya," katanya sesampai di sana.
"Boleh, tapi tunggu sebentar," jawab tuan dokter.
Malin Sabar pun duduklah menunggu di atas sebuah bangku sambil mengerang-erang dokter.
Malin Sabar pun duduklah menunggu di atas sebuah bangku sambil mengerang-erang kecil.
Mendengar jerit orang yang sedang diobati dokter di bilik sebelah, Malih sabar terbit takutnya, kecut hatinya. Sudah berpikir-pikir ia hendak meninggalkan rumah sakit itu, tetapi, tiba-tiba pintu terbuka dan tuan dokter memanggil dia, "Ayo, masuk!"
Hati Malin Sabar berdebar-debar, dan badannya pun gemetar sebab ketakutan. Sangat menyesal ia rasanya datang ke rumah sakit itu.
"Duduk di sini," kata tuan dokter menunjuk sebuah kursi, kemudian menyediakan perkakasnya.
Melihat perkakas yang berkilat-kilat itu, hati Malin Sabar makin kecut. Tiada berapa lama, tuan dokter itu pun menghampiri Malin Sabar dengan sebuah perkakas di tangannya.
"Ayo, ngangakan mulut!" katanya.
"Jangan dicabut, Tuan, kasihanilah saya!" kata Malin Sabar dengan suara gemetar.
"Jadi, bagaimana?" tanya tuan dokter heran bercampur gusar rupanya.
"Tuan, obat saja, kasihanilah, Tuan!"
"Ayo, buka lekas!" memerintah tuan dokter.
Malin Sabar pura-pura tidak mendengar. Dagunya makin ditekankannya.
Akan tetapi, tuan dokter tidak sabar rupanya menunggu lama-lama. "Tap," ditangkapnya rahang Malin Sabar, lalu dipijitnya.
Karena Malin Sabar tidak juga mau membuka mulutnya senganga-senganganya, tuan dokter memberi perintah dengan bahasa Belanda kepada verpleger-nya.
Verpleger mengambil sebuah peniti, lalu mencocok kedudukan pantat Malin Sabar dari belakang.
"Auu....," Malin Sabar terkejut, mulutnya ternganga. Dengan tangkas, tuan dokter memasukkan perkakasnya, terus mencabut gigi yang sakit itu sekali.
Setelah memberi pertolongan yang perlu, tuan dokter pun berkata, "Nah, sekarang boleh pulang," katanya sambil tertawa.
"Dari mana engkau, Malin Sabar?" bertanya orang di tengah jalan.
'Dari rumah sakit, mencabut gigi!"
"Sakit.....tidak?"
"Eeei, bagaimana tidak sakit, hampir aku mampus! Pantat uratnya panjang sampai ke sini," katanya sambil meraba kedudukannya.
Karya: M. Kasim
No comments:
Post a Comment