Tidak seperti biasa, hari ini aku pulang lebih awal. Aku sengaja tidak bergabung dengan teman-teman seusai belajar. Aku ingin menampilkan perubahan sikapku di hadapan bapak dan ibu bahwa aku mampu menjadi anak yang menyenangkan. Bukankah selama ini aku lebih sering menjengkelkan hati mereka? Aku selalu pulang sore, bahkan malam. Alasannya aku belajar di rumah Roy karena ada PR yang tidak bisa kukerjakan sendiri atau ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang tidak bisa kutinggalkan.
Kuperhatikan, ibu tidak banyak pertanyaan tentang itu. Berbeda dengan bapak, walaupun ia tampak tidak peduli, tetapi ada kecurigaan dalam pendangannya. Aku berusaha menghindar setiap kali bertemu bapak di rumah. Aku tidak ingin dihujani dengan berbagai pertanyaan. Salah-salah, aku bisa kena damprat bila tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Sebenarnya aku sering nongkrong di cafe Bu Sopi di pasar proyek. Sambil mendengarkan lagu-lagu slow rock, aku, Ivan, Roy, Noni, Lola, dan Tesa memesan mie goreng atau nasi goreng. Tesa hampir selalu memesan jus wortel. Pantas kulitnya halus dan mulus. Katanya, jus wortel bagus untuk kulit. Sedangkan Noni dan Lola suka melon karena selain enak, juga wangi. Kadang-kadang aku, Roy, dan Ivan ikut-ikutan memesan jus yang disukai nona-nona manis itu.
Setelah ngobrol ke sana kemari, kadang-kadang kami ngeceng di mal. Karena keenakan ngobrol, apalagi bila ada kenalan baru, tanpa kami sadari hari sudah larut tidak bisa berpisah. Di mataku, mereka pasangan yang sangat serasi. Keduanya anak orang kaya. Papa Roy kepada cabang sebuah bank swasta, sedangkan mamanya mempunyai sanggar kebugaran dan memiliki beberapa salon kecantikan. Sedangkan ayah Lola adalah pengusaha garmen untuk ekspor. Ibunya mengelola beberapa radio swasta.
Sedangkan aku, Noni, dan Tesa pulang bersama Ivan. Kebetulan tempat tinggal kami satu arah. Ivan sangat sayang kepada Tesa. Meskippun begitu, mereka juga sering bertengkar. Tesa terkesan cengeng dan suka ngambek. Sedangkan Ivan lebih sabar dan rada cuek. Kalau Ivan lagi cuek, Tesa langsung puyeng. Mereka berdua juga berasal dari keluarga berada. Ayah Ivan seorang dokter spesialis. Sedangkan papa dan mama Tesa berprofesi sebagai dosen. Noni berasal dari keluarga berada. Bapaknya seorang kontraktor jasa konstruksi.
Sedangkan aku? Aku hanya anak pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan penting di kantornya. Ibuku bukan wanita karier. Ia adalah ibu rumah tangga yang berpenampilan sederhana.
Namun entah mengapa, mereka mau berteman denganku. Apakah karena penampilanku rapi dan bersih? Atau karena aku pintar menyenangkan hati lawan bicaraku? Atau karena aku mampu bermain gitar? Entahlah!
"Tumben pulang cepat!" sapa bapak ketika aku muncul di ambang pintu.
Sapaan itu seperti menyindirku. Aku berusaha untuk tersenyum. Kuletakkan tasku di atas meja belajar. Aku segera mengganti pakaian, kemudian mengambil air wudu. Selesai salat, aku menuju meja makan.
"Makanlah!" kata ibu sambil membuka tudung saji.
"Ibu sudah makan?"
"Sudah!"
"Bapak?"
"Juga sudah!"
Kudengar derit pagar dibuka. Lewat kaca jendela yang tidak ada gordennya, kulihat bapak keluar. Bapak masih mengenakan seragam kantor. Seorang tukang becak menghampiri bapak dan menawarkan jasanya. Bapak mengangkat tangan, lalu pergi. Aku tidak mendengar suara bapak pamit. Kulihat ibu sibuk dengan cucian yang menumpuk. Tidak biasanya bapak pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Setahuku setiap pergi, bapak selalu berpamitan kepada ibu dan anak-anaknya. Namun sekarang sudah berubah. Aku tidak tahu sejak kapan perubahan itu terjadi.
Kutatap hidangan yang tersaji. Hampir tidak ada perubahan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Nasi putih, sayur bening, ikan asin, oncom, dan sambal terasi. Kalupun ada perubahan, mungkin jenis sayur yang direbus atau ditumis. Sesekali saja ibu menghidangkan ikan mas goreng, telur, atau ayam goreng. Terus terang, menu yang dihidangkan ibu tidak membangkitkan selera makanku.
Sejak keadaan ekonomi keluargaku mengalami krisis, aku lebih senang makan di rumah Ivan. Seperti kemarin, aku makan dengan lima macam lauk. Ada sambal goreng hati, empal, telur, karedok, dan kerupuk emping. Karena sering makan di rumah Ivan, aku dapat mencicipi bistik, sop buntut, udang asam manis, cumi saus tiram, dan banyak lagi jenis masakan yang tidak kukenal namanya.
Selain itu, aku juga bisa mencicipi berbagai buah impor, seperti anggur, apel, strawberry, atau sunkist. Semuanya dalam keadaan segar. Rasanya sangat enak.
Bermcam puding pun tersimpan di kulkas. Ivan sangat menyukai puding karamel. Aku juga suka, tapi uding pelangi dan puding pandang lebih terasa lezat di lidahku. Semua makanan itu tidak pernah kujumpai di rumahku.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Ah, tidak!" jawabku gugup Pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku.
"Kau tidak berselera?" tanya ibu lagi.
Aku tidak menjawab, Kuambil nasi dan lauk seadanya. Pelan-pelan kucoba memasukkan ke mulut. Lama aku mengunyahnya, baru bisa kutelan.
Ibu menatapku sejenak, kemudian membiarkanku makan sendirian. Sepertinya ibu tahu bila atau tidak berselera. Aku kasihan pada ibu. Kalau saja bapak mau berusaha lebih keras, tentu menu makan keluarga bisa ditingkatkan. Sebagai pegawai negeri, bapak tidak mau seperti teman-teman sekantornya. Misalnya ikut terlibat dalam beberapa proyek yang ditangani kantor. Atau menerima tip dari orang-orang yang berurusan dengan bapak.
Selama ini bapak hanya menerima gaji bulanan. Sedangkan pengeluaran cukup besar. Untuk biaya kuliah kakakku saja, bapak harus mengeluarkan uang ratusan ribu sebulan. Maklum, dua orang kakakku kuliah di universitas swasta. Sekarang ini aku baru dua bulan di kelas 3 SMU. Berarti tahun depan aku juga sudah harus kuliah. Sedangkan Farid, adikku yang paling kecil akan masuk SMU tahun depan. Aku belum melihat persiapan bapak untuk biaya kuliahku nanti. Yang pasti, aku punya cita-cita untuk melanjutkan studi ke fakultas teknik. Namun sampai saat ini, bapak tidak pernah menanyakan tentang cita-citaku itu.
"Makanmu kok sedikit sekali, Yon!" suara ibu mengejutkanku.
"Aku tidak begitu lapar, Bu!" Tidak begitu lapar atau tidak berselera?" Ketika aku mencuci tangan, ibu datang menghampiri. Kutatap raut wajahnya yang lelah. Hatiku getir. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya. Ibu sering mengeluhkan uang belanja yang tidak cukup pada bapak. Tentang harga kebutuhan sehari-hari yang mahal dan naik setiap saat. Bapak menanggapinya dengan diam. Seolah-olah bapak tidak ingin hal itu dibicarakan. Apalagi membicarakannya di hadapan anak-anak.
"Ya, bagaimana pintarnya ibu berbelanja, deh!" Kalimat itu yang sering kudengar dari mulut bapak untuk mengakhiri keluhan ibu, Biasanya ibu akan segera meninggalkan bapak dan pergi ke belakang atau ke kamar.
"Sekolahmu bagaimana, Yon? tanya ibu. "Lancar, Bu," Jawabku pendek. "Ibu tahu, akhir-akhir ini kamu semakin jarang makan di rumah karena lauknya tidak ada. Di mana kamu makan?" lagi-lagi pembicaraan ibu mengarah ke soal makan.
Aku terdiam. Rasanya malu juga kalau kukatakan bila aku makan di rumah Ivan, Roy, atau ditraktir teman. Tidak masuk akal juga kalau aku ditraktir teman setiap hari. Tetapi, aku yakin ibu sudah menduga bahwa aku makan di rumah teman. Tetapi siapa temanku itu? Ibu tampak enggan bertanya. Sementara uang jajanku sangat terbatas dan hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi, apalagi nasi padang.
"Bareng-bareng sama teman, makan mie atau goreng-gorengan, "jawabku seadanya.
Melihat gelagatku yang tidak ingin di tanyai, ibu meninggalkanku. Sebenarnya banyak hal yang akan kubicarakan dengan ibu. Terutama tentang rencanaku setelah lulus nanti. Lebih kurang tinggal sembilan bulan lagi aku belajar di SMU. Sudah seharusnya aku mempunyai pilihan ke mana aku akan melanjutkan pendidikan.
Hari ini telah kuputuskan untuk tidak keluar rumah. Kamarku yang berantakan seolah minta dirapikan. Aku juga harus menyeleksi buku-buku yang tidak kubutuhkan lagi untuk disimpan. Begitu pula dengan pengaturan kamar yang perlu kuubah agar tercipta suasana baru sehingga aku merasa betah berada di kamar itu. Ada beberapa poster yang sudah rusak terkena air yang merembes dari atap kamarku yang bocor. Poster-poster itu harus kuganti dengan yang baru. Kemarin, Noni memberiku tiga poster. Satu poster bergambar Martina Hinggis, satu lagi David Beckham, si penendang maut dari klub Mancehester United. Poster yang paling besar adalah gambar Ade Ray yang tengah memamerkan tubuhnya yang kekar. Noni tahu jika aku tidak menyukai poster-poster yang dapat memberikan tambahan semangat dalam hidup. Masa depan yang baik harus diperjuangkan. Bukankah ketiga poster itu adalah potret orang-orang yang gigih dalam meraih presasi di bidangnya?
Karya: Hanum Safnas
No comments:
Post a Comment