Siang itu, Ayah mengajak Adam ke toko sepatu. Sepatu Adam memang sudah sempit dan tak nyaman lagi untuk dipakai. Namun karena ayah Adam baru punya uang lebih, maka baru hari ini permintaannya dikabulkan.
Adam dan ayahnya naik bus patas AC jurusan Block M. Ongkosnya lumayan mahal, pikir Adam. Dan karena hari itu hari Minggu, banyak bangku kosong yang tersedia.
"Di sini saja, Yah," kata Adam sambil menarik legan ayahnya. Mereka duduk di barisan ketiga dari bangku sopir. Sebelum duduk, ayam Adam memindahkan hand phone yang ada di sakunya ke sarung di pinggangnya supaya tidak mengganggu duduknya.
"Setiap hari Ayah naik bus ini, ya, ke kantor?" tanya Adam.
"Tiap hari? Bisa-bisa kamu tidak pakai sepatu ke sekolah," jawab Ayah meledek.
"Tarifnya kan, mahal. Lebih baik ayah naik bus biasa dan sisanya bisa ditabung buat keperluan sekolahmu," jawab Ayah.
Adam terdiam mendengar jawaban ayahnya. Dalam hati terharu sekaligus bangga. Karena Ayah rela setiap hari, berbulan-bulan berdesak-desakan, kepanasan, dan membanting tulang demi kepentingan keluarganya. Sementara Adam sendiri, baru sebulan pakai sepatu kesempitan sudah mengeluh setiap hari.
Bus melaju kencang dan keluar dari tol Komdak. Di halte Komdak, banyak penumpang yang turun dan banyak pula yang naik. Tiba-tiba naik juga 3 orang pria. Salah satunya duduk di sisi Ayah.
"Permisi, Pak," kata pria itu ramah.
"Silakan!" jawab Ayah sambil menggeser tempat duduknya.
Pria yang berpakaian rapi itu pun duduk di samping Ayah. Sementara kedua temannya duduk di bangku di sebelahnya.
Adam mulai curiga meihat gerak-gerik mereka. Apalagi orang yang di sebelah Ayah selalu melirik ke arah hand phone Ayah. Dan tiba-tiba orang itu pindah tempat ke depan bangku teman-temannya. Ayah Adam kemudian bergeser ke posisinya semula, sehingga tempat duduk mereka kembali lega.
Namun pada waktu bergeser ayah Adam merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia meraba pinggangnya. Betapa terkejutnya ia ketika hand phone-nya sudah tidak terselip di pinggangnya.
"Wah! Hand phone ayah hilang, Dan!" seru Ayah sambil bangkit sendiri. Ia lalu memeriksa jok kursi, kalau-kalau hand phone-nya terjatuh. Adam juga sibuk mencari, bahkan memeriksa kolong-kolong bangku.
"Pasti ada yang mencuri," ujar Ayah.
Penumpang lagi menoleh ke arah mereka, mendengar ribut-ribut di dalam bus.
"Ada apa, Pak? tanya kondektur bus.
"Hand phone saya hilang. Tolong berhenti di halte itu," kata ayah Adam sambil menunjuk halte di perempatan jalan, Kebetulan di halte itu ada polisi yang sedang mengatur lalu lintas.
Lalu Ayah maju ke depan, "Mohon jangan ada yang turun dulu. Yang turun berarti itu pencurinya," kata Ayah dengan suara lantang.
"Oh, tidak bisa begitu, dong! Dari mana Bapak tahu kalau yang mengambil ada di bus?" protes orang yang tadi duduk di samping Ayah. Teman-temannya mengiyakan.
"Benar Mana buktinya? Pokoknya kami mau turun di sini," kata teman orang itu lagi dengan suara keras dan agak mengancam.
"Tidak bisa! Pokoknya yang turun akan saya laporkan ke polisi," tantang Ayah berani. Akhirnya ketiga orang itu diam. Kini giliran ayah Adam yang bingung. Bagaimana cara mencari hand phone-nya? Ini seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Tiba-tiba Adam mendapat ide. Ia membisiki ayahnya.
"Eemm...." Ayah mengangguk mengerti. "Maaf, Pak. Bisa pinjam hand phone-nya sebentar?" kata Ayah pada seorang bapak yang kelihatan membawa hand phone di saku kemejanya.
"Silakan..." jawab bapak itu.
Ayah lalu memencet tombol-tombol nomor hand phone-nya. Dan tiba-tiba terdengar suara benda dijatuhkan. "Bruuuuk!" Setelah Ayah selesai memanggil nomor hand phone-nya, terdengarlah bunyi hand phone ayah.
"Itu dia bunyi hand phone ayah, Yah!" teriak Adam girang.
Ayah Adam, dibantu kondektur bus itu, lalu menyusuri asal suara itu. Ternyata hand phone itu ada di kolong bangku yang kosong. Buru-buru ayah Adam memungutnya.
"Alhamdulillah...rupanya hand phone ini masih rezekiku," kata Ayah bersyukur. Hanya ada sedikit goresan di hand phone itu.
Bus kembali berjalan. Ayah dan Adam kembali duduk, namun kali ini tepat di belakang sopir. Baru beberapa menit bus berjalan,"Kiri! Kiri...., Bang!" kata pria yang tadi duduk di sebelah Adam. Bus berhenti. Ketiga orang itu buru-buru turun dari pintu belakang.
"Aman!" kata kondektur bus itu.
"Lo, kok aman. Memangnya kenapa, Pak?" tanya Ayah heran.
"Tiga orang itu sudah sering naik turun bus ini. Setiap kali mereka naik pasti ada penumpang yang kehilangan barang. Dompet atau hand phone," ujar kondektur bus itu.
"Padahal penampilan mereka rapi, seperti orang berduit," sahut bapak yang tadi meminjamkan hand phone-nya.
"Yah, melihat orang jangan dari penampilan luarnya," sambung ibu di sebelahnya.
"O...ya, terima kasih, Pak, atas pinjaman hand phone-nya," kata Ayah sambil menjabat tangan bapak itu.
"Ah, sesama penumpang kita memang harus saling tolong-menolong," jawab Bapak itu.
"Tapi sebenarnya yang paling berjasa, ya adik itu," kata Bapak itu lagi sambil menunjuk ke Adam.
"Iya, nih! Rupanya adik ini berbakat jadi detektif," sambung kondektur, yang tahu ide untuk mencari hand phone itu berasal dari Adam.
"Oh, iya. Terima kasih, ya, Dam," kata ayah Adam sambil menepuk pundak Adam yang tersipu-sipu. Namun Adam lalu buru-buru mencolek lengan ayahnya.
"Yah, beli sepatu sekalian tas, ya. Tas Adam juga sudah sobek," bisik Adam setengah menggoda ayahnya.
Ayah tersenyum geli, "uu, mencari kesempatan dalam kesempitan!"
Karya: Hadi Pranoto
Adam dan ayahnya naik bus patas AC jurusan Block M. Ongkosnya lumayan mahal, pikir Adam. Dan karena hari itu hari Minggu, banyak bangku kosong yang tersedia.
"Di sini saja, Yah," kata Adam sambil menarik legan ayahnya. Mereka duduk di barisan ketiga dari bangku sopir. Sebelum duduk, ayam Adam memindahkan hand phone yang ada di sakunya ke sarung di pinggangnya supaya tidak mengganggu duduknya.
"Setiap hari Ayah naik bus ini, ya, ke kantor?" tanya Adam.
"Tiap hari? Bisa-bisa kamu tidak pakai sepatu ke sekolah," jawab Ayah meledek.
"Tarifnya kan, mahal. Lebih baik ayah naik bus biasa dan sisanya bisa ditabung buat keperluan sekolahmu," jawab Ayah.
Adam terdiam mendengar jawaban ayahnya. Dalam hati terharu sekaligus bangga. Karena Ayah rela setiap hari, berbulan-bulan berdesak-desakan, kepanasan, dan membanting tulang demi kepentingan keluarganya. Sementara Adam sendiri, baru sebulan pakai sepatu kesempitan sudah mengeluh setiap hari.
Bus melaju kencang dan keluar dari tol Komdak. Di halte Komdak, banyak penumpang yang turun dan banyak pula yang naik. Tiba-tiba naik juga 3 orang pria. Salah satunya duduk di sisi Ayah.
"Permisi, Pak," kata pria itu ramah.
"Silakan!" jawab Ayah sambil menggeser tempat duduknya.
Pria yang berpakaian rapi itu pun duduk di samping Ayah. Sementara kedua temannya duduk di bangku di sebelahnya.
Adam mulai curiga meihat gerak-gerik mereka. Apalagi orang yang di sebelah Ayah selalu melirik ke arah hand phone Ayah. Dan tiba-tiba orang itu pindah tempat ke depan bangku teman-temannya. Ayah Adam kemudian bergeser ke posisinya semula, sehingga tempat duduk mereka kembali lega.
Namun pada waktu bergeser ayah Adam merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia meraba pinggangnya. Betapa terkejutnya ia ketika hand phone-nya sudah tidak terselip di pinggangnya.
"Wah! Hand phone ayah hilang, Dan!" seru Ayah sambil bangkit sendiri. Ia lalu memeriksa jok kursi, kalau-kalau hand phone-nya terjatuh. Adam juga sibuk mencari, bahkan memeriksa kolong-kolong bangku.
"Pasti ada yang mencuri," ujar Ayah.
Penumpang lagi menoleh ke arah mereka, mendengar ribut-ribut di dalam bus.
"Ada apa, Pak? tanya kondektur bus.
"Hand phone saya hilang. Tolong berhenti di halte itu," kata ayah Adam sambil menunjuk halte di perempatan jalan, Kebetulan di halte itu ada polisi yang sedang mengatur lalu lintas.
Lalu Ayah maju ke depan, "Mohon jangan ada yang turun dulu. Yang turun berarti itu pencurinya," kata Ayah dengan suara lantang.
"Oh, tidak bisa begitu, dong! Dari mana Bapak tahu kalau yang mengambil ada di bus?" protes orang yang tadi duduk di samping Ayah. Teman-temannya mengiyakan.
"Benar Mana buktinya? Pokoknya kami mau turun di sini," kata teman orang itu lagi dengan suara keras dan agak mengancam.
"Tidak bisa! Pokoknya yang turun akan saya laporkan ke polisi," tantang Ayah berani. Akhirnya ketiga orang itu diam. Kini giliran ayah Adam yang bingung. Bagaimana cara mencari hand phone-nya? Ini seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Tiba-tiba Adam mendapat ide. Ia membisiki ayahnya.
"Eemm...." Ayah mengangguk mengerti. "Maaf, Pak. Bisa pinjam hand phone-nya sebentar?" kata Ayah pada seorang bapak yang kelihatan membawa hand phone di saku kemejanya.
"Silakan..." jawab bapak itu.
Ayah lalu memencet tombol-tombol nomor hand phone-nya. Dan tiba-tiba terdengar suara benda dijatuhkan. "Bruuuuk!" Setelah Ayah selesai memanggil nomor hand phone-nya, terdengarlah bunyi hand phone ayah.
"Itu dia bunyi hand phone ayah, Yah!" teriak Adam girang.
Ayah Adam, dibantu kondektur bus itu, lalu menyusuri asal suara itu. Ternyata hand phone itu ada di kolong bangku yang kosong. Buru-buru ayah Adam memungutnya.
"Alhamdulillah...rupanya hand phone ini masih rezekiku," kata Ayah bersyukur. Hanya ada sedikit goresan di hand phone itu.
Bus kembali berjalan. Ayah dan Adam kembali duduk, namun kali ini tepat di belakang sopir. Baru beberapa menit bus berjalan,"Kiri! Kiri...., Bang!" kata pria yang tadi duduk di sebelah Adam. Bus berhenti. Ketiga orang itu buru-buru turun dari pintu belakang.
"Aman!" kata kondektur bus itu.
"Lo, kok aman. Memangnya kenapa, Pak?" tanya Ayah heran.
"Tiga orang itu sudah sering naik turun bus ini. Setiap kali mereka naik pasti ada penumpang yang kehilangan barang. Dompet atau hand phone," ujar kondektur bus itu.
"Padahal penampilan mereka rapi, seperti orang berduit," sahut bapak yang tadi meminjamkan hand phone-nya.
"Yah, melihat orang jangan dari penampilan luarnya," sambung ibu di sebelahnya.
"O...ya, terima kasih, Pak, atas pinjaman hand phone-nya," kata Ayah sambil menjabat tangan bapak itu.
"Ah, sesama penumpang kita memang harus saling tolong-menolong," jawab Bapak itu.
"Tapi sebenarnya yang paling berjasa, ya adik itu," kata Bapak itu lagi sambil menunjuk ke Adam.
"Iya, nih! Rupanya adik ini berbakat jadi detektif," sambung kondektur, yang tahu ide untuk mencari hand phone itu berasal dari Adam.
"Oh, iya. Terima kasih, ya, Dam," kata ayah Adam sambil menepuk pundak Adam yang tersipu-sipu. Namun Adam lalu buru-buru mencolek lengan ayahnya.
"Yah, beli sepatu sekalian tas, ya. Tas Adam juga sudah sobek," bisik Adam setengah menggoda ayahnya.
Ayah tersenyum geli, "uu, mencari kesempatan dalam kesempitan!"
Karya: Hadi Pranoto
No comments:
Post a Comment