Dari kecil, Hanafi sudah disekolahkan di Betawi, yaitu tidak dinantikan tamatnya bersekolah Belanda di Solok, melainkan dipindahkan ke ibu kota itu. Karena kata ibunya, ia tidak hendak kepalang menyekolahkan anak tunggal yang sudah kehilangan ayah itu. Sebab ibunya ada di dalam bercukupan, dapatlah ia menumpangkan Hanafi di rumah orang Belanda yang patut-patut. Maksud orang tua itu ialah supaya anaknya menjadi orang pandai, melebihi kaum keluarganya dari kampung.
Tamat sekolah rendah, berpindahlah ia ke HBS, yang dijalaninya sampai tiga tahun. Sebab ibunya berasa sudah tua, dan lama pula merindukan anaknya, maka sekolah Hanafi diputuskan saja di situ, dan dengan pertolongan sahabat-sahabat ayahnya, karena sangat pula ibunya meminta, dapatlah ia menjadi klerk di kantor Asisten Residen Solok. Tidak pun lama antaranya, sampailah ia diangkat menjadi Komis.
Sungguhpun ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal diam di kampung saja, tapi sebab kasih kepada anak, ditinggalkannyalah rumah gadang di Koto Anau dan tinggalkah ia bersama-sama dengan Hanafi di kota Solok.
Maka, tidaklah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkata bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam rumah orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.
Tapi, sepanjang orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi, diperbuat secara aturan rumah orang Belanda. Perempuan Bumiputra dari kampung memang lebih senang duduk bersimpuh daripada duduk di atas kursi. Ia gemar sekali berkunjungan-kunjungan dengan orang lain. Tempat sirih, tempat ludahnya, dan dapur, itulah barang-barang yang sangat digemarinya melihat setiap hari: Itulah dunianya.
Tapi, Hanafi sekali-kali tidak mengindahkan segala kesenangan ibunya itu. Setiap sudut di dalam rumah sudah dipenuhi dengan meja-meja kecil, tempat pot bunga dan lain-lain, sedang yang diadakan oleh ibunya buat kesenangan orang tua itu, lalu dibantahinya.
"Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua," demikian ia berkata kalau ibunya mengembangkan permadani di berada belakang, buat menanti tamu yang sesama tuannya.
"Di rumah Gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah. Tapi di sini, kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja."
"Penat pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi," sahut ibunya.
"Itulah salahnya, Ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu....brrr!"
Akhirnya, orangtua itu tidak berani lagi mengubah sesuatu apa di dalam rumah, melainkan dibersihkannya saja sesuatu sudut di muka dapur. Di sanalah, ia bersenda gurau atau menerima tamu yang datang. Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang kebelanda-belandaan itu. Pakaiannya cara Belanda, pergaulannya dengan orang Belanda saja. Jika ia berbahasa Melayu, meskipun dengan ibunya sendiri, maka dipergunakan bahasa Riau, dan kepada orang yang di bawahnya ia berbahasa cara orang Betawi. Begitu pun juga sebagai dipatahkannya lidahnya dalam berbahasa sendiri.
Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi, segala orang yang tidak pandai berbahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal ihwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicacat dan dicemoohkannya. Sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam, tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan 'kuno', agama Islam 'takhyul'. Tidak heran kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya.
Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda, "Bahwa negeri Minangkabau sungguh indah, hanya sayang sekali penduduknya si Minangkalau." Tapi, katanya pula, "seindah-indahnya negeri ini, bila tak ada ibuku, niscaya sudah lamalah kutinggalkan."
Demikian juga ibunya, hanya suka menahan sakit senangnya di rumah Hanafi, karena kasih kepada anak yang hanya seorang saja.
No comments:
Post a Comment