Orang-orang masih mengingat akan kebakaran yang terjadi hampir sepuluh tahun silam. Bahkan, orang-orang masih memperbincangkannya hingga hari ini. Kebakaran yang entah oleh sebab apa, terjadi begitu saja hingga meluluhlantakkan bangunan semipermanen berlantai dua tersebut.
Bukan kebakaran biasa. Tuhan turut andil dalam kebakaran misterius itu. Itu asumsi mereka. Atas dasar apa, aku sama sekali tidak tahu.
Lidah api menjilat-jilat. Asap hitam membubung tinggi ke atas awan kelabu malam hari. Banyak orang di sana. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak berusaha memadamkan api yang bergejolak berwarna merah. Panas.
Ada jeritan dan teriakan di dalam sana. Orang-orang hanya tertawa, bahkan sebagian bertepuk tangan seolah di balik bangunan yang terbakar itu ada pentas drama komedi yang pantas di-aplause dengan begitu gembira.
Jeritan menggema di antara lelatu yang beterbangan ke beberapa penjuru. Tak ada bangunan lain yang berdiri selain bangunan yang terbakar tersebut. Jeritan perempuan, laki-laki setengah baya, dan jeritan kesakitan anak laki-laki.
"Apa kalian tega membiarkannya?" Seorang perempuan muda berkerudung tampak panik luar biasa berusaha mendekati bangunan yang terbakar. Seorang laki-laki tinggi besar mengadangnya.
"Siapa yang lebih tega? Kami atau para pemuja iblis itu?" Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut lantas mendorongnya hingga terjerambab, jatuh.
"Biarkan mereka mampus! Itulah karmanya," lanjut laki-laki itu dengan mata mendelik.
Bangunan itu terus membara. Jeritan itu mulai menghilang berganti dengan gemuruh bangunan yang tampaknya akan segera roboh, lantak ke tanah.
Mereka betepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Akhirnya...."
"Kau dengar sesuatu?" Jari Naomi yang sedang berada di atas tombol keyword-nya, mengetik, tiba-tiba berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pendengarannya. Beberapa saat ia menelengkan telinganya untuk memastikan bahwa suara itu benar adanya.
Albert yang duduk di sebelahnya ikut menelengkan telinga. "Dengar apa?"
"Sssttt!" Naomi menempelkan jari telunjuknya di atas bibir. "Jeritan. Bukan, bukan. Teriakan. Tapi, lebih mirip rintihan."
Albert menatap Naomi dengan banyak kebingungan. Selama ia mengenal Naomi, hal seperti ini memang kerap terjadi. Naomi sering berlaku aneh: melihat sosok asing sementara orang lain tidak, mendengar jeritan padahal orang lain tidak mendengar, terkadang ia terlihat seolah berbicara dengan seseorang yang tak kasat mata. Bagiku ini horor.
"Apakah semua penulis cerita horor kelakuannya seperti kamu?" Dalam bisik, Albert mencoba bertanya.
Tidak ada jawaban kecuali pergerakan Naomi yang mendekati bingkai jendela.
"Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Rintihan perempuan," ucap Naomi.
Albert mendesah. "Mulai lagi."
"Bisa bantu aku?"
"Tidak untuk kali ini, Naomi."
"Ah!" Naomi sedikit kecewa.
Rintihan yang dimaksud oleh Naomi sama sekali tidak bisa didengar oleh Albert. Sementara Naomi kembali ke meja kerjanya, Albert masih terdiam pada posisinya semula.
"Kamu bikin aku paranoid," ujar Albert.
"Aku tidak mengada-ada. Sumpah! Aku mendengarnya dengan sangat jelas."
Albert menghela napas panjang. Lagi-lagi ia merasakan bahwa kekasihnya bertindak aneh.
"Aku yakin kamu butuh liburan, Naomi."
"Naskah ini sudah harus selesai minggu ini."
"Sudah kuduga kamu akan menolaknya."
"Bukan menolak. Tapi, menangguhkan. Kau saja yang tidak memahaminya," jelas Naomi.
Naomi melanjutkan pekerjaannya. Perihal suara yang didengarnya tadi, coba ia abaikan. Fokusnya kembali kepada naskah di layar laptop-nya.
"Labuan Bajo jauh lebih menarik dibanding naskah konyolmu itu." Sepertinya Albert mulai jengah.
Naomi menghentikan ketikannya. Ia menoleh. "Maksudmu apa?"
"Naskah sialanmu adalah segalanya!" Ucapan Albert mulai meninggi.
"Keluar atau aku banting!" Emosi Naomi tersulut. Ia tampak murka.
"Dengan senang hati," jawab Albert dengan wajah ketus. Ia keluar lantas membanting pintu dengan keras.
"Naomi... Naomi."
Naomi menoleh resah. Suara yang memanggil namanya terdengar jelas di belakangnya. Kosong. Bukankah Albert sudah pergi beberapa menit lalu?
"Naomi... Naomi...."
Suara itu terdengar kembali.
Begitu dekat. Serak dan dalam.
Bruuukkk!!!
Suara benda yang jatuh dari atas ketinggian terdengar nyaring dari arah luar. Naomi tersentak kaget. Ia melonjak menuju bingkai jendela dan menyibak tirainya.
Dari cara mereka berjalan, aku sudah bisa memastikan bahwa mereka tampak kelelahan. Keringat yang mengalir deras dari tubuh mereka seakan mengindikasikan jauhnya perjalanan. Udara malam yang mencucuk tidak serta merta membuat mereka kedinginan. Justru sebaliknya.
Mereka terdiri dua orang dewasa; laki-laki dan perempuan, juga seorang anak kecil: laki-laki.
"Salah kita apa, Papa?" Di dalam pelukan bapaknya, sang anak bertanya penasaran. Sang bapak tidak langsung menjawabnya. Ia mengatur dahulu deru napasnya yang memburu.
"Entahlah, Nak," jawab sang bapak.
Dalam situasi genting seperti ini tak ada yang bisa dijelaskan selain berlari secepat yang mereka bisa. Sang ibu yang sangat kelelahan tampak murung, kilat matanya seolah mengabur dan kehilangan harapan lagi.
"Aku sudah tak kuat lagi, Pa," rutuknya.
Bukan kebakaran biasa. Tuhan turut andil dalam kebakaran misterius itu. Itu asumsi mereka. Atas dasar apa, aku sama sekali tidak tahu.
Lidah api menjilat-jilat. Asap hitam membubung tinggi ke atas awan kelabu malam hari. Banyak orang di sana. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak berusaha memadamkan api yang bergejolak berwarna merah. Panas.
Ada jeritan dan teriakan di dalam sana. Orang-orang hanya tertawa, bahkan sebagian bertepuk tangan seolah di balik bangunan yang terbakar itu ada pentas drama komedi yang pantas di-aplause dengan begitu gembira.
Jeritan menggema di antara lelatu yang beterbangan ke beberapa penjuru. Tak ada bangunan lain yang berdiri selain bangunan yang terbakar tersebut. Jeritan perempuan, laki-laki setengah baya, dan jeritan kesakitan anak laki-laki.
"Apa kalian tega membiarkannya?" Seorang perempuan muda berkerudung tampak panik luar biasa berusaha mendekati bangunan yang terbakar. Seorang laki-laki tinggi besar mengadangnya.
"Siapa yang lebih tega? Kami atau para pemuja iblis itu?" Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut lantas mendorongnya hingga terjerambab, jatuh.
"Biarkan mereka mampus! Itulah karmanya," lanjut laki-laki itu dengan mata mendelik.
Bangunan itu terus membara. Jeritan itu mulai menghilang berganti dengan gemuruh bangunan yang tampaknya akan segera roboh, lantak ke tanah.
Mereka betepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Akhirnya...."
"Kau dengar sesuatu?" Jari Naomi yang sedang berada di atas tombol keyword-nya, mengetik, tiba-tiba berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pendengarannya. Beberapa saat ia menelengkan telinganya untuk memastikan bahwa suara itu benar adanya.
Albert yang duduk di sebelahnya ikut menelengkan telinga. "Dengar apa?"
"Sssttt!" Naomi menempelkan jari telunjuknya di atas bibir. "Jeritan. Bukan, bukan. Teriakan. Tapi, lebih mirip rintihan."
Albert menatap Naomi dengan banyak kebingungan. Selama ia mengenal Naomi, hal seperti ini memang kerap terjadi. Naomi sering berlaku aneh: melihat sosok asing sementara orang lain tidak, mendengar jeritan padahal orang lain tidak mendengar, terkadang ia terlihat seolah berbicara dengan seseorang yang tak kasat mata. Bagiku ini horor.
"Apakah semua penulis cerita horor kelakuannya seperti kamu?" Dalam bisik, Albert mencoba bertanya.
Tidak ada jawaban kecuali pergerakan Naomi yang mendekati bingkai jendela.
"Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Rintihan perempuan," ucap Naomi.
Albert mendesah. "Mulai lagi."
"Bisa bantu aku?"
"Tidak untuk kali ini, Naomi."
"Ah!" Naomi sedikit kecewa.
Rintihan yang dimaksud oleh Naomi sama sekali tidak bisa didengar oleh Albert. Sementara Naomi kembali ke meja kerjanya, Albert masih terdiam pada posisinya semula.
"Kamu bikin aku paranoid," ujar Albert.
"Aku tidak mengada-ada. Sumpah! Aku mendengarnya dengan sangat jelas."
Albert menghela napas panjang. Lagi-lagi ia merasakan bahwa kekasihnya bertindak aneh.
"Aku yakin kamu butuh liburan, Naomi."
"Naskah ini sudah harus selesai minggu ini."
"Sudah kuduga kamu akan menolaknya."
"Bukan menolak. Tapi, menangguhkan. Kau saja yang tidak memahaminya," jelas Naomi.
Naomi melanjutkan pekerjaannya. Perihal suara yang didengarnya tadi, coba ia abaikan. Fokusnya kembali kepada naskah di layar laptop-nya.
"Labuan Bajo jauh lebih menarik dibanding naskah konyolmu itu." Sepertinya Albert mulai jengah.
Naomi menghentikan ketikannya. Ia menoleh. "Maksudmu apa?"
"Naskah sialanmu adalah segalanya!" Ucapan Albert mulai meninggi.
"Keluar atau aku banting!" Emosi Naomi tersulut. Ia tampak murka.
"Dengan senang hati," jawab Albert dengan wajah ketus. Ia keluar lantas membanting pintu dengan keras.
"Naomi... Naomi."
Naomi menoleh resah. Suara yang memanggil namanya terdengar jelas di belakangnya. Kosong. Bukankah Albert sudah pergi beberapa menit lalu?
"Naomi... Naomi...."
Suara itu terdengar kembali.
Begitu dekat. Serak dan dalam.
Bruuukkk!!!
Suara benda yang jatuh dari atas ketinggian terdengar nyaring dari arah luar. Naomi tersentak kaget. Ia melonjak menuju bingkai jendela dan menyibak tirainya.
Dari cara mereka berjalan, aku sudah bisa memastikan bahwa mereka tampak kelelahan. Keringat yang mengalir deras dari tubuh mereka seakan mengindikasikan jauhnya perjalanan. Udara malam yang mencucuk tidak serta merta membuat mereka kedinginan. Justru sebaliknya.
Mereka terdiri dua orang dewasa; laki-laki dan perempuan, juga seorang anak kecil: laki-laki.
"Salah kita apa, Papa?" Di dalam pelukan bapaknya, sang anak bertanya penasaran. Sang bapak tidak langsung menjawabnya. Ia mengatur dahulu deru napasnya yang memburu.
"Entahlah, Nak," jawab sang bapak.
Dalam situasi genting seperti ini tak ada yang bisa dijelaskan selain berlari secepat yang mereka bisa. Sang ibu yang sangat kelelahan tampak murung, kilat matanya seolah mengabur dan kehilangan harapan lagi.
"Aku sudah tak kuat lagi, Pa," rutuknya.
No comments:
Post a Comment