CAMPUR ADUK

Thursday, December 20, 2018

PESAN PUJANGGA

1. KARNA WINISUDA

Para Pandawa telah arif dalam ilmu sasta serta ilmu persenjataan dan telah mahir cara memakainya dan memelihara semua macam senjata. Sang Bisma ingin menguji para ksatria, seberapa jauh mereka itu telah menguasai olah senjata.

Di alun-alun telah dibuatnya tenda bertiang bambu beratapkan daun kelapa dihiasi dengan daun beringin, janur serta diperindah dengan aneka warna bunga-bungaan. Tempat duduk diatur rapi, menurut tata-tingkatan yang akan menempatinya. Rakyat jelata yang terdiri dari kaum paria dan kaum sudra mencari tempat sendiri-sendiri di sekitar gelanggang.

Di tengah gelanggang itulah akan diuji kecakapan para ksatria, para siswa sang Drona, diuji keuletan mereka berolah senjata dengan disaksikan oleh kedua wangsa dan oleh beribu-ribu penonton. Dalam perayaan itu hadir juga sang Dhrestharata, sang Widura, Dewi Gandari, dan Kunthi.

Yang muncul pertama di tengah gelanggang ialah sang Bima, ksatria nomor dua dari Pandawa menurut tingkat kelahiran. Besar dan gagah perkasa tubuhnya, berkumis dan berjanggut tebal, Kuku kedua ibu jarinya panjang-panjang, yang dipakai sebagai senjata sakti bila perlu. Suara sang Bima besar dan menurut kiai dalang ia tak pernah duduk. Hanya satu kali ia mau duduk, ialah di depan Dewa Ruci. Ia adalah seorang pahlawan, yang menjadi kebanggaan para Pandawa.

Kemudian muncul Suyudana, sebagai lawan Bima. Suyudana, putra Dhrestharata yang lahir dari Dewi Gandari, disebut juga Prabu Kurupati, karena ia keturunan keluarga Kuru yang kemudian menduduki kerajaan Astinapura. Suyudana bersama-sama saudara-saudaranya seratus orang jumlahnya disebut Sata Kurawa, namun yang selalu disebut-sebut dalam cerita hanya lima orang untuk mengimbangi Pandawa. Dalam tipu muslihat perlakuan yang jahat Suyudana dengan bantuan Sengkuni dan Durna dapat menguasai seluruh daerah Astinapura, yang semestinya hanya menerima separonya. Persoalan warisan inilah yang menjadi sengketa terus-menerus antara Pandawa dan Kurawa yang akhirnya meluap menjadi perang Baratayudha.

Sejak kecil sampai remaja kedua golongan raja putra  itu dididik oleh Durma dan Bisma dalam ilmu perang dan berolah senjata. Dan kini mereka diuji oleh gurunya. Bima dan Suyudana, yang mendapat giliran pertama, telah berhadapan. Kedua-duanya memegang gada di tangan kanan, sedang tangan kiri bertopang di pangkal paha kiri. Mereka berpandang-pandangan laksana dua ekor harimau akan saling menerkam.

Sang Bisma memberi aba, tanda permainan dimulai. Bergeletuk dan berdesis suara gada dan suara angin dari daya ayunan senjata, kumandang suara tabuhan sebagai penghormatan, dan gemuruh sorak-sorai penonton di sekitar gelanggang. Kedua ksatria sangat cepat geraknya dan gayanya menajubkan penonton. Sikap dan terjang mereka laksana dua ekor gajah jantan yang sedang birahi, bertempur berebut gajah betina. Badan dan muka basah karena cucuran air peluh. Berdesah-desah suara hawa yang keluar-masuk pernapasannya.

Kerajaan Astinapura diwarisnya dari neneknya Abiasa. Bagawan Abiasa berputra dua orang laki-laki, ialah Dhrestharata, yang buta sejak lahirnya, dan tidak dapat memerintah kerajaan Astinapura. Seharusnya Astinapura yang seperdua diwariskan kepada putra-putra Pandu  yang lahir dari kandungan Dewi Kunthi.

Putra Pandu yang lahir dari Dewi Kunthi tiga orang. Yang tertua ialah Puntadewa, raja Amerta, kedua Bima, dan ketiga ialah Arjuna. Ketiga-tiganya titisan dewata. Ada saudara laki-laki lagi kembar, ialah Nakula dan Sadewa yang lahir dari istri Pandu yang lain, ialah Dewi Madrin. Kedua ksatria ini titisan dari Batara Aswin. Karena keserakahan sang Kurawa, maka seluruh kerjaan Astinapura dikuasainya.

Pandawa tak menerima bagian. Hal ini selalu menjadi sengketa antara kedua keluarga yang akhirnya menjadi Perang Baratayudha. Perlombaan dimulai. Tak ada yang mundur setapak pun. Riuh rendah suara penonton. Ada sebagian yang bertepuk tangan, dan ada yang bersorak-sorai, berteriak membari semangat atau mencela. Lama pergulatan kedua pahlawan itu, sampai saat Aswatama disuruh memisahnya.

Selesailah latihan babak pertama. Kedua pahlawan menghadap ibu masing-masing di tratak rambat. Bima menyembah ibunya, Dewi Kunthi, sambil berdiri.

***
Ganti yang dipanggil ialah Arjuna, ksatria penengah Pandawa, yang terkenal juga sebagai Pamade. Ia telah muncul, berdiri di tengah lapangan, tenang sikapnya tak tergesa-gesa, suka tersenyum simpul.

Memang Arjuna terkenal sebagai ksatria yang bagus, selalu menjadi buah ucapan di kalangan kaum wanita. Sampai-sampai ia disebut "jejantan arcapada", dicintai oleh para dewata di Suralaya. Berdering suara baju zirahnya, gemerlap kena sinar sang surya, yang menambah gagahnya sang ksatria muda remaja itu.

Dalam panggung (tenda anjungan) ramai suara keluarga kerajaan yang menyaksikannya, terutama di kalangan para putri hujan senyum dan kerling mata. Mereka saling bercubit paha, memperbaiki tata-busananya yang baik, seolah-olah sang Parta mau menjadi juri memilih mana yang paling cantik.

Sungguh terjadi lomba kecantikan di panggung bangsawan itu. Ada yang nyeletuk, "Saya menjadi tukang sapunya saja mau!" Yang lain menyambung, "Kalau saya ingin menjadi tukang kunyah sirih yang setelah sirih saya kunyah  halus lalu saya aturkan di mulut sang Bagus dengan bibir saya yang njudir sini." Gelak-ketawa dan gurau meletus menambah suasana di panggung menjadi hidup, tidak kaku dan tegang. Malahan Dewi Kunthi yang tadinya duduk termenung di deretan terdepan, terharu memandang putranya, ikut tersenyum simpul mendengar ramai-ramai di belakangnya.

Para penonton di pinggir alun-alun ramai suaranya. Mereka takjub melihat sang Arjuna tegap berdiri di tengah gelanggang dengan seragam perang yang gemerlapan. Ada yang memuji pakaian seragamnya ada pula yang keheran-heranan melihat bentuk badannya yang sempurna dan tingkah-laku yang sopan.

Namun, ada juga sebagian penonton yang hanya duduk melongo, mulut menganga, dan mata terbelalak, diam seribua basa. Mereka keheran-heranan melihat sang Parta dengan segala-galanya yang serba terpuji.

Makin bertambah gemuruh suara seluruh penonton ketika mereka melihat sang Parta mulai "pemanasan", memanaskan tubuhnya dengan memperlihatkan kepadaiannya memainkan bermacam-macam senjata. Ada yang disebut panah api, panah rantai, astra bayu, astra bantala, berganti-ganti dipertunjukkan bagaimana cara menarik pelaksanaan pemakaian busur dan melepaskan anak panahnya.

***
Berganti hal ceritanya. Pada waktu seluruh penonton sedang bersorak-sorai, bertepuk tangan, dan berjejal melihat sang Arjuna memainkan senjatanya, maka muncullah seorang jejaka, bagus parasnya, tangan kanannya memegang sebuah busur dengan anak panahnya, tangan kiri menjinjing lipatan kain batik parangrusak yang dikenakannya.

Pemuda itu dengan sikap yang tenang, tanpa ragu-ragu memasuki gelanggang mendekati Arjuna yang sedang sibuk berolahraga, memamerkan kepandaiannya berolah senjata. Pemuda yang datang tanpa berita itu berdiri di depan Arjuna sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya tetap memegang busur dan anak panahnya.

Arjuna agak terkejut melihat pemuda yang berani mendekatinya. Ia menghentikan pertunjukannya dan berdiri tegap di depan pemuda yang dinilainya sebagai tak mempunyai kesopanan itu. Pemuda itu tak kalah dengan sang Parta mengenai kebagusan badan dan raut wajahnya, hanya agak kasar sikap terjangnya terbawa terbawa oleh hubungannya sehari-hari, sesuai dengan ungkapan: sama corak dan pandangannya namun lain rasanya.
Siapakah jejaka yang tak mempunyai sopan-santun itu? Kaduk wani kurang deduga! (Terlalu berani, kurang sopan-santun). Siapakah pemuda itu? Seorang ksatriakan ia? Seorang bangsawankah? Seorang sudrakah kiranya? Itu semua masih menjadi pertanyaan! Masih menjadi teka-teki! Masih belum diketahui keturunannya. Kesemuanya itu masih menjadi rahasia. Seorang pun belum ada yang mengetahuinya. Siapakah sebenarnya pemuda itu? Berani nian ia masuk gelanggang tanpa panggilan!

Waduh, bagus juga pakaiannya, seperti Arjuna, pakai baju tirah segala,  menyamai Arjuna! Namun anaeh! Ia memakai anting-anting segala! Anting-anting mutiara, terlihat gemerlapan, mengkilat, bersihar, terlihat dari balai bangsawan.

Terlihat oleh para pria dan para putri, terlihat oleh Dwi Kunthi! Rasa hati hati sang dewi, ibu ketiga Pandawa ini seperti tersangkut oleh kail bertalikan sutera ! Det!......Det!.......Det!.......Nunut! Apakah gerangan, yang menimbulkan rasa berdebar-debar hati sang ibu di deretan depan ini? Sabar! Sabar, pembaca yang kami muliakan! Demikianlah ceritanya:

Ditanyalah si pemuda oleh parampara (pemimpin) perayaan itu: siapa namanya, di mana rumahnya, siapa orang tuanya, dan apakah maksudnya datang di tengah gelanggang lomba panah itu. Pemuda itu menjawab dengan tegas, tak ragu-ragu, lantang suaranya, singkat-singkat kalimatnya, tetapi terang. Wajahnya tegap cerah, tanda tak ada rasa takut atau khawatir sesuai dengan bentuk badannya!

"Karna namaku! Aku datang ke tempat ini untuk mengimbangi kesakitan Arjuna. Alangkah ria sikap Arjuna! Seolah-olah ia satu-satunya seorang pria, laksana satu-satunya jantan anggapannya hanya sebesar kepalan tangannya. Sungguh Dunia dianggapnya hanya sebesar kepalan tangannya. Sungguh sombong sang ksatria Pandawa ini! Ia sangat menghina kasta sudra! Ia merendahkan rakyat jelata. Apakah bersangka, bahwa ia satu-satunya pria yang berdarah ksatria, keturunan pertapa? Ayo, izinkanlah aku bertanding dengan Arjuna, beradu kerasnya tulang dan tebalnya kulit dengan si Siwil (nama perolokan Arjuna, karena Arjuna mempunyai cacat badan, pertambahan jari pada tangannya). Biarlah ia meliuk-liuk bak ular tapak angin dan bergetar bak burung beranjangan! Akan saya imbangi dia!"

Melihat adegan yang dramatis itu Duryudana tak sabar hatinya. Ia memeluk si pemuda dan berbisik-bisik di sisi telinganya, bahwa ia sangat menyetujui sikapnya. Para penonton pada menahan napas, menanti dengan jantung berdebar dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi.

Arjuna berkata, "Janma, yang tanpa aturan, masuk dalam suatu perjamuan dengan sekonyong-konyong, tanpa apa panggilan itu termasuk orang yang melanggar sarak, tak kenal sopan-santun. Ia menunjukkan kerendahan dirinya sendiri, mencemarkan nama baik orang tuannya. Tak mengertikah orang itu akan ungkapan: gerak-gerik seorang anak menyangkut nama orang tuannya? Orang yang demikian sikapnya tak akan masuk sorga.

Mendengar kata-kata sindiran Arjuna itu rasa hati Karna seperti mendapat pukulan palu godaan. Untunglah ia seorang pemuda yang tahu diri, keras kemauannya, namun telah kenyang dengan cekokan ilmu dari gurunya, maka ia tidak gegabah tindakannya, tidak tergesa-gesa, tidak lekas naik darah, ia masih dapat menahan emosinya. Gerak napasnya diatur, detak jantungnya, walaupun bertambah cepat, namun tak mempengauhi jiwanya yang telah digembleng, ditempa oleh sang guru. Namun cahaya muka agak kelihatan kemerah-merahan, daun telinganya terasa seperti teriris-iris.

Darah mudanya sukar dikendalikan. Ia berdiri tegak, tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan bergerak-gerak sambil berkata dengan suara yang lantang, mirip suara sang Kresna, lancar kalimatnya, tinggi nadanya, nyaring terdengarnya.

Gigi berkerot-kerot, bibir bergerak-gerak kecil. Berkata ia dengan suara yang nyaring, "E, e, e, Janaka! Baik nian kata-katamu! Inikan lapangan untuk umum, terbuka untuk rakyat seluruhnya! Tak melulu untuk para bangsawan! Siapa-siapa yang punya kecakapan dan kesaktianku, janganlah merendahkan makhluk Yang Maha Kuasa.

Jangan mengagung-agungkan darah keturunanmu. Ada pepatah 'Giri lusi jamma tan kena ingina'. Ini berarti: janganlah menghina sesama umat. Gunung yang tinggi atau cacing yang lemah, kesemuanya itu umat Yang Maha Kuasa; kalau si cacing diinjak, tentu ia akan menggeliat, membuat terkejut orang yang menginjaknya. Gunung yang kelihatannya mati tak bergerak, kalau ia meletus dan mengeluarkan asap beserta lahar, maka tak ada kekuatan yang dapat menahannya."

Demikian ujar Karna. Singkat, tetapi tegas, tanpa ragu-ragu. Para Kurawa mendengar apa yang telah diucapkan oleh Karna. Semua menyetujui, membenarkannya dan semua memihak Karna, terkecuali Bisma, Widura, Durna dan Krepa. Keempat orang itu berdiri di pihak Pandawa. Pecahlah keluarga Barata menjadi dua. Sebagian memihak Pandawa dan sebagian lainnya memihak Kurawa.

Lain hal ceritanya. Ialah Dewi Kunthi, ibu para Pandawa. Sang putri diam seribu basa ketika melihat Karna, yang gagah berani, berdiri dan berbicara dengan Arjuna di tengah gelanggang berpakaian zirah dan beranting-anting mutiara. Ia bermuram durja, kelihatan sangat terharu bercampur susah.Teringat olehnya peristiwa belasan tahun yang lampau, ketika ia menaruh anaknya yang pertama, keturunan ari Batara Surya, yang ditempatkan di dalam kendaga, dan dihanyutkan ke dalam Sungai Gangga.

Terang-benderang peristiwa itu terbayang dalam ingatannya. Sekarang itu Karna muncul sebagai jejaka yang bagus rupanya, gagah dan berani, wajahnya mirip wajah adiknya sang Arjuna, hanya berbeda sedikit, Karna memakai anting-anting. Tidak lupa ia akan peristiwa itu semua. Tidak lupa ia akan curahan darahnya sendiri. Ibu mana yang tidak terharu melihat kejadian yang demikian itu! Namun rahasia ini belum terbuka. Masih tertutup rapat. Selain yang berkepentingan belum ada orang yang mendengarnya. Tes!.......Tes!......Tes! Tetesan air mata tak dapat ditahan, membasahi wajah yang cantik, menghapus bedak dan obat kecantikan lainnya. Namun tak kelihatan, bahwa ramuaan kecantikannya telah terhapus oleh air matanya, karena ibu keluarga Pandawa ini memang seorang putri yang sungguh cantik, bukan cantik pulasan sukar dicari lawannya. Tanpa obat kecantikan pun ia tetap cantik. Benar kata orang tua dahulu: busana yang biasa itu menjadi pertanda keaslian manusianya.

Sapu tangan suteranya dikeluarkan dari pundi-pundinya untuk menghapus wajahnya yang basah. Semerbak bau harum memenuhi suasana sekitar sang putri. Membubung tinggi di angkasa lamunan sang dewi. Angan-angannya melayang menghinggapi wajah Batara Surya yang menemui dirinya di tempat sunyi di tepi Sungai Gangga. Kemudian lamunannya melayang sampai di tempat lahirnya bayi lelaki yang berpakaian zirah dan anting-anting mutiara, keduanya berasal dari ayahnya, sang Surya.

Bayangan pikiran Kunthi terus melayang sampai ke tempat di mana si bayi dilarung dalam Sungai Gangga. Sampai sejauh itu gerak bayangan pikiran Kunthi. Lanjutannya tak terlihat lagi. Hati sang dewi merana, susah dan menyesal itu akhirnya dapat dihalau jauh-jauh, karena memang demikianlah kehendak takdir. Tak ada faedahnya menyesali kejadian yang telah lampau.

Pengalaman yang lampau dibuat cermin untuk menghadapi masa sekarang dan masa yang akan datang. Kenyataan yang ada pada masa sekarang yang harus kita piara baik-baik. Inilah dia, masa sekarang bagi Dewi Kunthi. Sang dewi memandang Karna, gumpalan dari dagingnya yang selama sembilan bulan dikandungnya. Ia telah tumbuh subur menjadi pemuda yang gagah perkasa. Alangkah bangsa rasa hati sang ibu. Namun kebanggaan dan kegembiraannya belum memperngaruhi cahaya wajah dan gerak-gerik sang dewi.

Sungguh luhur budi sang dewi. Kekuatan batinya telah teguh laksana pulau karang di tengah lautan. Tak berubah karena pukulan ombak dan tak tergerak oleh tiupan badai dan taufan. Sungguh tinggi karat dan kadar Dewi Kunthi. Sungguh tak banyak jumlahnya orang yang mempunyai sifat yang demikian itu. Kalau ada lima orang dari seratus itu sudah banyak!

Ramping, tak terlalu tinggi bentuk tubuh Karna, padat, berisi, warna kulitnya hitam manis, sedikit mirip Kresna, sedikit mirip Arjuna. Hal itu sudah selayaknya, bila dipandang dari sudut biologi dan keturunannya. Dalam tubuh Karna mengalir darah Kunthi dan darah Batara Surya dan dalam tubuh Arjuna mengalir darah Kunthi dan darah Pandu. Dan Kresna adalah penjelmaan Wisnu. Suara Karna biasanya disebut Suryatmaja atau Suryaputra.

Nah, pemuda Karna berdiri di tengah gelanggang dengan sikap yang tegak, sikap yang menentukan. Lihat, dia mulai menarik tali busurnya, anak panah yang telah dipasangnya diarahkan ke papan sasaran yang ada gambar lingkaran-lingkaran besar-kecil dan di tengah sendiri ada titik sasaran anak panah. Karna mulai menarik tali busurnya. Sambil memejamkan matanya yang sebelah kiri Karna mengincer titik sasaran dengan mata kanannya. Anak panah diluruskan, segaris dengan titik sasaran. Namun tak mudah pekerjaan ini. Mata anak panah belum lurus, belum segaris dengan titik sasaran, ketinggian.....direndahkan....o, terlalu rendah.

"Plok"! Tepukan tangan seseorang terasa di punggung Karna. Karna agak terkejut. Busur dan anak panah diturunkan. Tak jadi memanah. Ia memandang seorang laki-laki yang telah agak tua usianya dengan pandangan mata yang tajam. Kulit dahi dikerutkan, mulut tetap diam.

Bagawan Krepalah yang menepuk punggung Karna. Berkata sang bagawan kepada Karna, "Hai, Karna, inilah Arjuna, musuhmu! Ia adalah seorang raja putra, putra Maharaja Pandu, yang dilahirkan oleh Dewi Kunthi. Sebaiknya saya bertanya: dari manakah asalmu? Ceritakanlah urutan silsilahmu. Terangkan darah keturunanmu, sebelum kamu bertanding dengan Arjuna."

Karna menundukkan kepadanya setelah mendengar kata-kata Bagawan Krepa. Rupa-rupanya ia agak malu. Duryudana menengahinya sambil bersabda, "Ketahuilah hai Krepa! Yang dapat dinobatkan menjadi ksatria itu ada tiga syarat: yang pertama ialah mengenai keperwiraan. Ia adalah seseorang, yang keras budinya dan mempunyai sifat keadilan dan kebenaran. Kedua ialah mengenai Kewibawaan. Yang dapat dimasukkan golongan ini ialah orang yang dapat penghargaan dari orang banyak.

Dan yang dapat dimasukkan golongan ketiga ialah golongan orang yang luhur asal keturunannya. Apakah disebabkan dari keluhurannya itu maka Arjuna tak mau berhadapan dengan Karna? Apakah dikarenakan Karna bukan orang yang berasal dari darah yang luhur? Bukan keturunan dari Raja?

Kalau memang itu yang menjadi sebabnya, baiklah!  Karna kunaikan pangkatnya. Kuangkat dia menjadi orang yang tinggi kedudukannya. Kuwisuda dia menjadi adipati di Ngawangga, yang merdeka, tak diperintah oleh lain negara."

Demikian sabda sang Duryudana. Dan seketika itu juga Karna diwisuda menjadi adipati di Ngawangga, serta diberi pakaian, busana kebesaran, dan digandeng oleh Duryudana di sebelah kirinya muncul ke tengah alun-alun lagi, yang masih penuh dengan penonton.

Gemuruh sorak-sorai mereka melihat sang Karna muncul kembali dengan busana kaprabon yang serba gemerlapan kena sinar sang surya dan bau semerbak harum yang dibawa oleh sang bayu barasal dari tubuh sang adipati yang baru.

Adipati Ngawangga dengan langkah kakinya yang teratur berjalan pelan-pelan, disengaja untuk menarik perhatian penonton, menuju ke tempat Arjuna di tengah gelanggang. Itu dia! Sang ksatria baru telah berdampingan untuk berlomba memainkan panah. Adipati Karna di dampingi Suyudana (Duryudana), Arjuna didampingi Bima. Adipati Awangga dapat giliran lebih dahulu. Ia mulai menarik tali busurnya, sedang anak panahnya telah dibidikkan ke arah sasarannya.

Lihat! Lihat! Ia telah mulai menarik tali busur! Wah, masih belum pas! Masih terlalu ke bawah! Mata anak panah dinaikkan! Wah, masih ketinggian! Diturunkan sedikit. Ayo, tarik! Satu......, dua......Bug! Bukan saura lepaskan anak panah, melainkan suara tepukan tangan dipeluk dan diciuminya, dan sambil meneteskan air mata kakek itu berkata, "Ngger Karna, Annger Karna, anakku yang bagus! Bapak heran sekali melihat kamu ada di sini dengan pakaian kerajaan. Tidak keliru penglihatanku! Engkau anakku si Karna! Ceritakan asal-mulanya engkau dapat diwisuda menjadi raja itu! Karna melihat kakek yang memeluk dan menciumnya itu terharu hatinya. Ia meletakkan busur dan anak panahnya lalu duduk bersimpuh di tanah lalu angkat sembah. Semua yang diucapkan keluar dari hatinya yang suci, tak dibuat-buat, sungguh keluar dari dalam kalbunya. Bukan pura-pura.

Siapakah gerangan orang yang mendadak datang itu, yang membuat kejutan seluruh penonton? Tak lain dan tak bukan, kakek itu ialah Kakek Adirata, seorang kusir kereta, yang menemukan Karna dulu, selagi masih berwujud "jabang bayi", yang dihanyutkan di Sungai Gangga. Dipiaranya jabang bayi itu, dididik menjadi pemuda yang gagah perkasa, pemberani, tahu harga diri, berani menunjukkan hal-hal yang salah dan yang benar terhadap siapa pun dengan cara yang sopan menurut kaidah-kaidah yang berlaku pada Zaman itu.

Bukan tindakan seorang yang disebut "kaduk wani kurang deduga" (pemberani namun lupa sopan-santun).

Adirata tak lupa kepada Karna, walaupun pemuda itu telah berpakaian kekesaran, karena anting-anting mutiara yang melekat pada kedua telinganya, yang membedakan dia dengan pemuda-pemuda lainnya. Para penonton terpaku mulutnya melihat peristiwa itu. Sungguh suatu kejutan. Mereka pada saling bertanya siapakan sesungguhnya Karna itu. Dan siapakah orang tua itu?

Namun Bima, yang memandang peristiwa itu dengan saksama berkata, "He, Karna! Tak layak kamu perang tanding melawan adikku Arjuna, karena kamu keturunan sudra. Selayaknya pekerjaanmu itu pegang cambuk, menjadi pelayan ksatria, bukan lawannya dalam lomba panah. Amat sayang negara Awangga diberikan kepada darah sudra.

Itu sama halnya air susu dan mentega diberikan kepada anjing, atau sama dengan bunga yang harum baunya diberikan kepada kera, yang tak mengerti akan khasiat arang yang baik.

Akhirnya hanya akan dirobek-robek, dirusak barang itu, dibuang tak dipergunakan sebagaimana layaknya. Negara Awangga akan rusak berantakan, apabila pemerintahannya dipegang oleh keturunan kaum sudra."

Demikian khotbah Bima, yang didengar oleh seluruh penonton. Kata-katanya sinis, nylekit, membuat kemerahan-merahan anak telinga mereka yang mendengarnya, lebih-lebih rakyat jelata di pinggir gelanggang. Mereka merasa terhina mendengar kata-kata Bima itu.

Namun mereka hanya berani berkata-kata dalam hati saja, paling tidak hanya bersungut dan berkomat-kamit mulutnya. Ada juga yang menggeleng-gelengkan kepala, ada yang bernapas dalam-dalam, pertanda keluhan hati, namun tak ada yang mengangguk-angguk menunjukkan persetujuan.

Bima, seorang ksatria yang sebelumnya disanjung-sanjung oleh orang banyak, seketika itu juga jatuh namanya. Hapus segala kebaikannya. Memang! Betul kata-kata mutiara yang berbunyi: "Di antara keluargamu, jagalah sinar wajahmu! Di antara orang banyak jagalah gerak lidahmu! Waktu kamu sendirian jagalah bisikan hatimu!" Kemudian tampillah Duryudana di depan Bima untuk mengambil kesempatan menyerang Bima. Dengan segera ia menyambut dengan pembelaan seperti berikut:

"He, Bima! Adikku yang gagah perkasa! Janganlah anda berkata dengan gegabah! Tanpa anda pikir terlebih dahulu! Tanpa minta nasihat saudara-saudaramu sebelumnya! Janganlah Anda selalu menyombongkan kekuatan diri Anda, membanggakan tebalnya kulitmu dan kerasnya tulang-tulangmu. Hai, Bima, janganlah Anda bersifat ria, merasa tak dapat dikalahkan. Ingatlah kepada pepatah: Giri lusi janma tan kena ingina! Janganlah menghina sesama umat! Janganlah Anda menyebut diri "Satria linuhung", kebal terhadap segala macam senjata.

Ketahuilah, Bima! Di dunia ini tak ada sesuatu yang abadi sifatnya. Semua yang berada di dunia ini akan mengalami perubahan. Bunga mawar yang indah warnanya dan harum baunya, tak berumur lebih dari dua hari. Hari ketiga setelah ia dipuji-puji dan dicium-cium oleh orang banyak, pada pagi-pagi harinya si mawar cantik telah mulai layu dan berkurang bau wanginya.

Dan sebentar lagi ia sudah hilang baunya dan telah rontok kelopak bunganya. Dicabutlah si bunga cantik itu dan dibuang di tempat sampah, lurah dan ngarai dapat gugur, danau yang penuh airnya dapat kering dasarnya.

Pohon besar dapat rebah karena serangan taufan, gunung setinggi langit dapat runtuh disebabkan gempa bumi. Demikianlah keadaan di dunia ini. Semua akan dimakan masa, dan mengalami perubahan.

Hai, Bima! Tak dengarlah Anda desas-desus rakyat di sekitar alun-alun ini? Ketahuilah bahwa suara rakyat itu suara dewata. Tahukah Anda, bahwa rakyat itu laksana asap api yang keluar dari tumpukan sekam. Apinya tak terlihat, tetapi ia terus membara, sambil habis tumpukan sekam itu menjadi abu.

Hai Bima, tahukah Anda, bahwa gajah dapat dikalahkan oleh semut? Si semut masuk dalam telinga gajah, dan menggigit-gigit di dalam telinga. Si gajah tidak tahan sakitnya, menggoyang-goyangkan kepalanya sampai tergerak-gerak otak dan jantungnya, dan akhirnya mati karenanya.

Ternyata baik, permainan anak "si jempol kalah dengan si kelingking dan si kelingking dikalahkan oleh si telunjuk dan si telunjuk dikalahkan oleh si jempol (ibu jari)". Dapat kita buat cermin juga mainan kanak-kanak ini.

Hai, Bima, ketahuilah, bahwa sifat ksatria itu tidak hanya melekat di hati kaum atasan saja. Sifat perwira dan keberanian tak hanya memilih tempat yang baik. Siapa pun dapat memiliki sifat keluhuran dan keberanian. Sebaliknya sifat rendah dan bengis dapat melekat di hati tingkatan kaum yang paling atas.

Ksatria yang mempunyai sifat rendah tak pantas mendapat penghormatan. Ksatria "gadungan" itu namanya. Dari luar kelihatan serba baik, tetapi dalamnya ternyata busuk. Hai, Bima, ingatlah, bahwa waktu sekarang ini banyak keturunan darah luhur yang dihinggapi sifat rendah, bertindak sekehendak sendiri, tak tahu diri, tak kenal malu, dan memeras darah rakyat. Tak dapat membedakan, ini punyaku itu punyamu, mana yang  halal dan mana yang haram. Banyak orang gila pangkat, gila sebutan ksatria, tangan selalu di bawah, lupa asal-usulnya, lupa orang tua dan sanak-saudara. Malahan ada yang lupa nusa, lupa bangsa, suka melayani tamu sampai tidak tahu anaknya sendiri mati kelaparan. Dan banyak sekarang orang yang gemar pamer. Pamer kekayaan, pamer kecantikan badan, dan masih banyak lagi. Adikku Bima! Janganlah anda sebagai ksatria mempunyai sifat suka menghina, merendahkan sesama manusia! Ingatlah akan ungkapan "Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati".

Lihatlah Bagawan Krepa. Apakah sang bagawan asal dari kaum bangsawan? Bagawan Krepa hanya keturunan rakyat biasa. Demikian pula sang Hyang Drona, guru kita semua. Ia bukan darah bangsawan. Sekalipun demikian, ia punya sifat-sifat yang patut kita tiru.

Hai, Bima, ingatlah, bahwa daun teratai yang tumbuhnya di tempat yang berlumpur, yang becek dan menjijikkan, pada waktunya muncullah bunga seroja, yang dikagumi dan dicintai oleh tiap manusia yang melihatnya, dan konon katanya, dari dalam bunga teratai juga lahir sang Budha Gotama.

Tahukah Anda, hai Bima, bahwa tumbuh-tumbuhan yang bernama kaktus yang asalnya dari padang pasir, yang bentuk batangnya tak menarik pandangan, penuh dengan duri-duri yang tajam-tajam, tahukah kamu Bima, bahwa dari dalam batang yang mengerikan itu keluar bunga yang indah warnanya.

Dan tahukah kamu, hai Bima, bahwa pasthika atau mutiara itu asalnya dari dalam perut tiram yang menjijikkan dilihatnya? Maka dari itu Karna kami wisuda, kami angkat menjadi ksatria dan kami tetapkan dia menjadi raja di Ngawangga, sekalipun ia bukan keluarga bangsawan.

Bima, sang diwangkara telah mengijak puncak gunung-gunung. Sudah waktunya kita mengikuti jejak sang surya. Mari kita bubarkan perayaan ini dan marilah kita istirahat.
(Saduran dari "Adiparwa")


2. MISI KRESNA GAGAL UNTUK KEDUA KALINYA

Setelah Kresna tak berhasil dalam perundinganya dengan Kurawa untuk menuntut seperdua dari Negara Hastinapura, maka dengan hampa tangan ia kembali pulang ke Wiratha, tempat perundingan seluruh keluarga Pandawa.

Dalam perjalan pulang itu Kresna mengajak Karna ikut naik kereta. Dalam kereta itulah Kresna mengambil kesempatan untuk membujuk Karna, supaya ia memihak Pandawa. Ia mererangkan kepada Karna, bahwa sang adipati sesungguhnya putra Dewi Kunthi, lahir dari Batara Surya. Ia putra yang pertama, kakak Prabu Puntadewa. Dari sebab itu dipandang dari sudut darah kelahiran ia sama kedudukannya dengan keluarga Pandawa lainnya, sebab menurut adat, orang yang seibu kedudukannya sama dalam keluarga, walaupun berlainan ayahnya. Malah-malah sebenarnya Karnalah yang menjadi "sesepuh" Pandawa.

Sri Kresna minta kepada Karna, yang telah diangkat oleh Suyudana menjadi Adipati Awangga, supaya sang adipati mengumumkan hal ini kepada khalayak ramai. Namun Karna menjawab, bahwa hal ini kepada khalayak ramai. Namun Karna menjawab, bahwa hal ini telah diketahuinya sejak lama. Ia telah mengetahui, bahwa ia putra Dewi Kunthi dengan sang Hyang Surya. Ketika ia masih berwujud bayi ia dibuang oleh ibunya dalam Sungai Gangga atas perintah sang Hyang Surya. "Hal yang demikian itu," kata Karna, "membuktikan, bahwa Dewi Kunthi telah ikhlas kepada diri saya, tak mau memelihara saya. Selanjutnya saya diambil oleh seseorang bernama Adirata dari dalam sungai. Adirata ialah seorang pemelihara kuda dan juga menjadi kusir dokar. Saya dibawahnya pulang dan diserahkan kepada istrinya bernama Rada. Oleh perempuan itu saya dipiara baik-baik, dengan penuh kasih sayang, sehingga saya menjadi orang dewasa. Kemudian saya dikawinkan dengan seorang gadis sebangsa orang tua angkat saya.

Dengan demikian anak-cucu saya akan sebangsa dengan ayah angkat saya." Demikian penjelasan Karna. Ia melanjutkan uraiannya, "Kakanda Prabu, silakan kakanda memikirkan hal ini sedalam-dalamnya. Dapatkah saya meninggalkan Kurawa, hanya untuk mengejar kemuliaan dan kenikmatan dunia semata-mata? Telah terlalu besar hutang budi saya kepada Adinda Prabu Hastina. Telah tiga kelas tahun lamanya saya pegang tampuk pemerintahan di Awangga, atas kebaikan Adinda Prabu Duryudana.

Sebaliknya, Kakanda Prabu! Telah terlalu banyak saya menerima tamparan dengan kata-kata dan penghinaan dari Bima dan Arjuna di muka ribuan orang pada waktu lomba memanah di alun-alun, di depan istana Hastina. Pada waktu itu saya dikatakan "orang sinting, rusak pikiran, tak tahu tata-krama, hanya seorang anak sudra, tak layak melawan seorang ksatria, dan seterusnya". Kakanda, belum terhapus kata-kata Bima dan Arjuna dari hati, otak dan telinga saya. Kata-kata itu semua masih melekat erat dalam sanubari saya,  masih berdering dan terngiang-ngiang dalam telinga saya dan masih belum terhapus dari pikiran saya. Bagaimana saya dapat melupakan itu semua? Dapatkan Kakanda Prabu menemukan obat untuk menyembuhkan luka-luka itu semua?

Ini baru satu hal, yang menyebabkan saya terpaksa tidak dapat menerima ajakan Kakanda Prabu untuk memihak Pandawa dalam sengketa mengenai negara warisan itu. Soalnya ialah kalau saya menerima tawaran kakanda, di manakah saya akan menyembunyikan muka saya terhadap Kurawa? Oleh Kurawa saya tentu akan diumpat-umpat sebagai "orang munafik, pengecut, penakut, takut mati, dan entah apalagi".

Ditinjau dari segi lain, Kakanda Prabu, lebih sulit lagi pemecahannya. Coba Kakanda Prabu renungkan sedalam-dalamnya dengan hati suci kakanda. Kalau rundingan kita ini terdengar oleh Yudisthira, ia tentu tidak mau menjadi raja, karena ia akan mengerti, bahwa sesungguhnya yang mempunyai hak menjadi raja ialah saya! Dan kalau saya yang dinobatkan menjadi Raja Hastina, pastilah kerajaan Hastina saya serahkan penuh kepada Adinda Duryudana. Itulah soalnya!" Karna melanjutkan penjelasnya:

"Kakanda Prabu! Sengketa mengenai Negara Hastinapura memang harus memuncak menjadi perang "BARATAYUDHA". Tak dapat dielakkan. Dan akan sangat mengerikan kejadiannya. Namun itu memang telah digariskan oleh sang Mahatma. Dan Kakanda Prabulah yang akan menjadi Biksu, yang merestui segala tindakan Pandawa. Itu saya tahu! Memang demikian kehendak Hyang Wikan. Saya mengetahui juga, bahwa pihak Pandawalah yang akan unggul dalam peperangan. Namun saya merasa: lebih baik gugur di medan Kurusetra daripada menyesal untuk selama hidup. Perkenankanlah, ya Kakanda Prabu, yang melepaskan nyawa saya di medan laga. Kalau nanti sehabis perang kita habis sama-sama hidup, kita akan bertemu lagi di tempat ini. Akan tetapi kalau kita bersama-sama gugur, maka kita akan bertemu lagi di delahan, di akhirat. Dan menurut perasaan saya yang terakhir inilah yang benar." Kedua-duanya diam sejenak, mengheningkan cipta, bertafakur. Kemudian kedua-duanya bersama-sama turun dari kereta lalu berpeluk-pelukan, dan kedua-duanya pulang ke negara masing-masing.

(Alihbasa bebas dari "Pusaka Jawi" th. 1927, No.10).


3. BAGAWATGITA

Dialog antara KRESNA dan ARJUNA

Berkatalah sang Arjuna kepada Kresna, yang menjadi penghela (kusir) keretanya, "Sudilah Kakanda Prabu mengemudikan kereta kita ke tengah medan peperangan, agar supaya adinda dapat melihat siapa-siapa yang kita hadapi sebagai lawan dalam peperangan ini. Adinda ingin mengetahui, siapa sajakah yang  memihak Kakanda Prabu Suyudana."

Dicambuklah kuda-kuda penarik kereta itu oleh Sri Kresna dan digiringnya sampai ke tengah-tengah gelanggang peperangan. Sampai di tengah gelanggang kereta dihentikan. Arjuna berdiri di dalam kereta lalu melihat dari jatuh keadaan lawan yang dihadapinya.

Tertampak olehnya, sang Bisma, Drona, serta para raja dan sanak saudara, yang kesemuanya telah siapa menghadapi keluarga Pandawa. Bebayu (usat-saraf) Arjuna menjadi lemah melihat keadaan yang demikian itu.

Dengan suara yang mengharuskan ia berkata kepada sang Kresna, "Wahai, Kakanda Prabu! Setelah adinda melihat, bahwa yang kita hadapi saudara-saudara kita sendiri, malahan di antara mereka tampak juga kakek kita sang Bisma dan guru kita sang Drona, maka bergetaranlah seluruh urat-saraf dinda dan menjadi lemahlah seluruh anggota badan adinda.

Bulu roma adinda berdiri karena adinda merasa gementar, kaki dan tangan adinda menjadi ringan, busur dan anak panah adinda jatuh terlepas dari tangan adinda.

Adinda tak mampu berdiri, seluruh kekuatan adinda hilang, lenyap. Pikiran adinda menjadi ringan, busur dan anak panah adinda jatuh terlepas dari tangan adinda.

Adinda tak mampu berdiri, seluruh kekuatan adinda hilang, lenyap. Pikiran adinda kacau, adinda berdebar-debar. Kalbu adinda melihat alamat yang tidak baik.

Apakah faerahnya apabila adinda dapat menghabiskan nyawa saudara-saudara kita dalam peperangan?"

Demikianlah Arjuna kepada Sri Kresna, serta ia melihat yang dihadapinya adalah eyang (kakek), guru, paman-paman, saudara sepupu, kemanakan, cucu, serta handai taulan, lebih-lebih mertua dan lain-lain kenalan yang tak terhitung jumlahnya.

Mereka semua berhadap-hadapan untuk melampiaskan amarahnya. Itulah yang membuat hati sang Arjuna menjadi lemah, sudah tak tahan rasanya dan tak sampai hati menjalankan tugas yang "seganas" itu.

Ia melanjutkan tutur katanya, "Kakanda Prabu, Junjungan Pandawa! Adinda tak menginginkan menang dalam peperangan, tak menginginkan sebuah kerajaan, tak mengharapkan kegembiraan hati.

Apakah manfaatnya bagi hidup adinda, apabila dapat mencapai kehendak adinda mendapat sebuah kerajaan serta kemuliaan, sedang lawan adinda kehilangan harta bendanya dan nyawanya. Padahal di antara mereka ada guru kami, ada bapak-bapak kami, ada anak-anak kita, ada kakek, ada paman, ada mertua, ada cucu, ada ipar, dan lain-lainnya lagi.

Kakanda Prabu, adinda menyerah, tidak mau membunuh saudara-saudara kita sendiri. Walaupun adinda dapat meraih kekuasaan di tribuana, namun adinda menyerah tak sanggup menjalankan tugas yang tak ada manfaatnya itu. Maaf Kakanda Prabu yang kami muliakan.

Apakah gunanya menjalankan dharma yang hanya untuk kemuliaan duniawi semata-mata? Dharmakah itu namanya Kakanda Prabu?

Apakah hasil, jika adinda dapat memusnahkan para Dhrestaharata putra? Dapatkah seseorang menikmati kebahagiaan dengan jalan membunuh saudara-saudaranya?

Adinda mengira dengan cara yang demikian itu hasilnya hanya nista-papa dan perasaan dosa dan nestapa untuk selama-lamanya. Maka tak pantaslah bagi adinda menjalankan pembunuhan terhadap putra-putra Paman Dhrestharata, keluarga kita sendiri. Dapatkah adinda mengenyam kebahagian di dunia dan di akhirat dengan jalan merampas nyawa saudara sendiri, ya, kakanda yang selalu kami hormati?

Apabila saudara-saudara kita itu tidak merasa dosa atas perlakuan mereka membunuh saudaranya secara ganas dan bermusuhan dengan handai- taulan mereka, dan perlakuan mereka itu dikerjakan karena diliputi oleh budi angkara, apakah pantas kelakuan yang demikian itu adinda imbangi? Apakah tidak lebih baik apabila kita mencegah angkara murka yang selalu menggoda hati manusia? Menurut perasaan adinda berdosa besarlah seseorang yang membunuh orang banyak beserta anak dan istrinya. Bila seseorang tertumpas bersama keturunannya, maka lenyaplah dharma orang itu untuk selama-lamanya. Apabila dharma tidak dilaksanakan, maka rusaklah tata susila dunia. Kemudian keturunan yang bersifat wanita rusak dan kerusakan itu akan menjerumuskan seluruh bangsanya ke dalam neraka, karena sang nenek moyang tidak membantunya dengan puja-puja.

Berdosalah orang yang merusak bangsa dan golongannya karena hal itu mengakibatkan kerusakan peraturan tata-tertib dalam golongan manusia, yang selanjutnya mengakibatkan campur-aduknya keturunan. Orang-orang yang kehilangan tata-tertib kemanusiaannya tempatnya dalam neraka. Demikianlah pendengaran adinda, ya Kakanda Prabu!

Apabila adinda tidak memegang suatu senjata, dan kemudian adinda di bunuh oleh putra-putra Paman Dhrestharata, maka adinda masih merasa lebih bahagia dalam hati adinda, daripada bila adinda membunuh mereka.

***
Setelah Arjuna mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, maka duduk tersimpuhlah ia dalam keretanya. Busur dan anak panahnya dilemparkan, lepas dari pegangannya, hatinya sangat merana. Batara Kresna lalu ganti berbicara, "Hai Arjuna, telah hilangkah keberanian Anda? Apakah yang menjadi sebabnya? Tak patut seseorang mendapat gelar ksatria kalau ia telah kehilangan keberaniannya. Ia tak akan naik ke Inderaloka, malahan tercela namanya untuk selama-lamanya. Hai, Adinda Arjuna! Bangunlah, dan tegakkan kembali seluruh tubuhmu! Besarkan hatimu dan jangan lekas putus asa! Kobarkan kembali semangatmu! Ayo, berdirilah tegak seperti semula!" Menjawab Arjuna dengan kata-kata yang lemah-lembut, "Kakanda yang mulia, bagaimana adinda dapat melepaskan jemparing adinda kepada sang Bisma beserta Dyanghyang Drona dalam gelanggang yudha ini? Bukankah beliau-beliau itu guru kami yang mulia, yang terjudi yang pantas kita sangjung-sanjungkan? Seandainya ada seorang  guru saya yang menghendaki barang saya, lalu sang guru itu saya bunuh, hal yang demikian itu laksanakan makanan yang saya makan telah dikotori dengan darah guru saya. Kakanda yang saya muliakan! Sesungguhnya dalam peperangan ini hati saya masih belum tetap, masih ragu-ragu. Saya masih belum dapat menemukan jalan mana yang terbaik bagi saya, jalan mana yang harus saya tempuh. Mana yang harus saya pilih, manakah yang baik: saya yang menang atau lebih baik lawan saya yang menang. Kakanda Prabu yang adinda muliakan. Paduka kakanda mengetahui sendiri, bahwa yang berhadapan dengan adinda ialah para putra Paman Prabu Dhrestharata. Seandainya telah terjadi saudara-saudara saya itu  saya bunuh semua, sudah barang tentu saya tak mempunyai keinginan lagi hidup lama di dunia yang fana ini, tentulah saya lalu menghadap ajalnya diri saya sendiri. Hati saya tentu selalu merasa ngeri merasakan dosa saya yang sebesar itu, yang disebabkan oleh hati saya yang lemah itu. Hati saya selalu merana dan ragu-ragu, tak tahu kewajiban mana yang harus saya jalankan. Maka dari itu, sudilah Kakanda Pradu memberi tahu kepada diri saya, jalan mana yang harus saya tempuh. Saya masuk menjadi siswa Paduka Kakanda Prabu. Mudah-mudahan Kakanda Prabu berkenan memberi wejangan kepada diri adinda. Apapun sebabnya saya mempunyai permohonan ini, ialah: saya tidak akan mampu melemparkan rasa prihatin yang akan merusak angan-angan saya, apabila terjadi saya dapat menang dalam peperangan merampas istana kerajaan di arcapada tanpa lawan. Andaikata saya dapat menguasai para dewa sekalipun, angan-angan saya tentu akan rusak, karena selalu dikejar-kejar oleh rasa merana dan dosa. Itulah yang menyebabkan keengganan saya untuk maju perang."

Habis mengucapkan kata-kata itu, sang Arjuna diam sejenak dan tetap duduk bersandar pada tempat duduk di dalam keretanya. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya jauh di alam lamunan.

Ganti Sri Kresna buku bicara, "Hai Arjuna, Adikku yang kucintai, tumpuan harapan Pandu-awa! Banyak nian yang Adinda pikirkan. Amat tinggi yang Adinda renungkan. Hilangkanlah pikiranmu yang kacau balau itu, Adikku! Tak ada gunanya Adinda memikirkan hal-hal yang muluk-muluk, bak seorang bijaksana.

Dengarkanlah nasihat kakanda, janganlah Adinda menyusahkan diri, disebabkan seseorang yang telah mati, dan janganlah Adinda menyusahkan diri terhadap orang yang tidak mati. Sikap orang sekarang ini jauh dari sifat orang bijaksana.

Dengarkanlah kataku, hai Adinda yang ku-cintai. Aku ini tak pernah tidak ada, demikian pula Adinda, demikian pula para raja-raja semua. Di kemudian hari pun kita semua tetap ada. Ada yang masih anak kecil, ada yang telah menjadi remaja, dan ada pula yang telah menjadi tua bangka, serta ada  yang telah berulang-ulang berganti raga, berganti badan kasarnya.

Orang yang telah tetap pikirannya, yang telah kokoh pendiriannya, tidak was-was hatinya segala perubahan. Sukma di arca pada menusup dalam raga (badan kasar), lalu dapat merasakan dingin dan panas dan dapat merasakan keadaan sudah dan gembira, serta dapat melihat, bahwa selalu ada yang datang dan ada  yang pergi. Jadi tak ada hal-hal yang langgeng, tak ada yang abadi di dunia ini.

Dari sebab itu, hai Arjuna, tetapkanlah hatimu, kokohkanlah pikiranmu, janganlah lekas-lekas takjub dan gemetar melihat dan mengalami sesuatu perubahan. Orang yang kuat dan sentosa budinya, yang tak keheran-heranan, yang tidak takjub melihat sesuatu, terlebih-lebih orang yang perasaannya tak ubah dalam keadaan suka dan duka, orang yang demikian itu akan langgeng hidupnya, akan abadi, tak akan goyah atau berubah. Demikian pula yang ada tetap ada. Tak ada zat yang berkuasa, yang dapat menghilangkan sesuatu yang abadi adanya. Raga yang menjadi busana nyawa akan kedatangan pula hari akhirnya.
Hai, Arjuna, darah Barata, Maju peranglah! Siapa-siapa yang bersangka, bahwa atma itu menjadi pembunuh atau yang terbunuh, maka orang yang demikian itu belum mengetahui atau menginsafi "rasa sejati". Sesungguhnya atma itu tidak mati dan tidak dimatikan. Tidak lahir dan tidak mati. Lain sifatnya dengan raga. Misalkanlah pakaian. Jika pakaian telah lusuh ia akan dibuang, diganti dengan yang baru. Demikian pula raga, bila telah rusak, ia ditinggalkan oleh sukma. Sukma lalu masuk (menusup) ke dalam raga baru.

Sukma tak pasah senjata, tak dapat dilukai oleh sesuatu senjata, ia kebal, tak dapat angus dan tak dapat terbakar oleh api, tak basah karena air, tak kering karena dijemur. Tempat sukma di mana-mana, kokoh tidak lembek serta abadi, langgeng. Tak terlihat oleh mata, tak terduga, tak tersangka-sangka, dikatakan tak bergerak dan tak berkutik.

Karena Adinda sekarang telah menginsafi semua itu, tak perlu adinda susah-susah. Walaupun ada yang bersangka, bahwa sukma itu berulang-ulang lahirnya, namun tak perlu Anda susahkan. Karena sesuatu yang lahir, pastilah ia akan mati. Demikian pula sesuatu yang mati, pasti akan lahir. Maka dari itu, janganlah membuat dirimu susah karena sesuatu yang tak dapat berubah dan tak dapat dihindarinya.

Semua ciptaan, sebelum diciptakan, serta setelah selesai diciptakan, tak dapat dibuktikan dengan nyata. Dapatnya dibuktikan dengan nyata pada waktu masih dalam penciptaan. Apakah perlunya itu semua Anda susahkan?

Adapun yang disebut atma, ada yang menganggap, bahwa itu sangatlah gaib, sesuatu yang gaib tak dapat dipikirkan oleh manusia mana pun. Namun apa pula seseorang yang "hanya dengar", bahwa itu sesuatu yang amat gaib. Sekalipun ada yang menyatakan bahwa ia mendengar sendiri perihal atma, namun tak ada seseorang yang tahu dan dapat menjelaskan secara gamblang keadaannya.

***
Sukma dalam raga tak dapat ditembus oleh senjata tajam. Karena itu anda tak perlu susah-susah. Apabila anda telah menetapi dharma, tak perlu anda merasa was-was ataupun ragu-ragu.

Rasa khawatir pun dapat anda jauhkan, sebab bagi seorang ksatria tak ada keluhuran budi selain di dalam menjalankan peperangan untuk mempertahankan hak. Suatu kebahagiaan yang tertinggi bagi seorang ksatria ialah yang mengalami peperangan yang demikian itu.

Berjuang untuk menuntut hak! Itulah pintu gerbang yang lebar untuk masuk surga. Sebaliknya: papa cintraka, nista-nestapa yang akan menyertai seorang ksatria, jika ia menghindari peperangan yang demikian itu.

Hai, Arjuna, adikku yang gagah perkasa! Anda akan dirundung oleh rasa malu dan menyesal untuk selama-lamanya, apabila menghindari dharma dan menolak keluhuran nama anda. Padahal bagi seseorang yang terpuji lebih baik mengikhlaskan jiwanya daripada melanggar tindakan nista dan nestapa. Lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah.

Namun anda tak jadi maju perang, hai adikku Arjuna, para senapati tentu menduga, bahwa anda takut mati. Semua orang yang semula menyanjung-nyanjungkan diri anda akan berbalik seratus delapan puluh derajat, menghina dan mengumpat umpat diri anda dan mencemoohkan nama anda. Selain itu anda akan dihina oleh musuh-musuh anda. Di antara mereka yang tadinya diam seribu basa, akan ikut berteriak-teriak, ikut menghina anda. Keperwiraan anda tak akan berharga sepeser pun. Harga diri anda bak harga daun jati yang kering, laksana bunga yang telah layu. Adakah derita dan kesusahan yang melebihi dari itu semua?

Dengarkan nasihat kakanda, hai Arjuna, tumpuan harapan seluruh Pandawa. Majulah perang! Jangan mundur setapak pun. Salah satu dari dua kepastian itu akan anda alami: menang atau kalah!

Kalau anda mendapat kemenangan, kelak anda masuk surga, di jemput para bidadari kahyangan sambil menghambur-hamburkan bunga-bunga yang harum semerbak baunya. Dan selama anda masih di arcapada anda mendapat kemulyaan dan nama anda bertambah harum.

Namun kebahagiaan dan kenistaan tak dapat di tentukan sebelumnya oleh manusia, ketentuannya tidak dipegang oleh seseorang di arcapada. Maka dari itu, hai Arjuna, anggaplah kedua-duanya sama. Bahagia, nista nestapa, mulia, hina, anggaplah itu semua sama. Dan kobarkanlah semangatmu, bangunlah kembali, anda takkan menemui keburukan.

Nasihatku ini tadi, hai Arjuna, semua berdasarkan "Sangkya" Apabila anda telah menginsyafi itu semua, hari Arjuna, anda tidak akan memandang perihal bahagia nestapa yang melekat pada karya bakti anda. Anda tak akan mendapat kerugikan dalam menjalankan dharma anda. Dan segala usaha anda tak akan sia-sia. Sekalipun hanya sebagian dari nasihat tadi yang anda laksanakan, anda pasti dapat memberantas bahaya yang amat besar.

Siapa tahan menangkis bahaya yang besar, siapa tak punya keinginan kepada kebahagiaan, siapa dapat melepaskan kecintaan, siapa dapat melepaskan ketakutannya dan hawa nafsunya, itulah yang disebut bijaksana dan sakti, lunak hatinya seperti bubur, kokoh pendiriannya dan dapat menanggulangi pancainderianya, laksana seekor kura-kura menarik kaki dan kepalanya ke dalam tempurung perisainya.

Orang yang demikian itu, hai Arjuna, dapat tenteram hidupnya. Ia telah berbadan batara. Bila sifat yang demikian itu dapat dipertahankan sampai akhir hidupnya, maka bila ia meninggal dunia ia mendapat kemuliaan, tenang dan terang benderang menghadap Mahatma."

Sang Arjuna menjawab, "Kakanda Prabu mengatakan, bahwa menusup ke dalam Mahatma itu keluhurannya melebihi dari segala pekerjaan. Mengapakah adinda kanda suruh menjalani pekerjaan yang sekeji itu?"

"Arjuna!" kata Sri Kresna. "Manusia dapat bebas dari segala karya, tidak karena menghindari karya, karena karya tak dapat dihindari oleh manusia, walaupun hanya sekejap mata.

Seseorang yang menghentikan daya kerja pancainderianya, padahal sesungguhnya ia mengharapkan apa yang menyebabkan daya kerjanya pancainderianya, orang yang demikian itu disebut munafik, apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan isi hatinya, hanya pura-pura saja.

Namun seseorang yang menahan angan-angannya dengan atmanya serta menjalankan sesuatu karya dengan anggota badanya menurut tugas masing-masing, orang yang demikian itu termasuk orang yang terpilih.

Maka dari sebab itu, hai Arjuna, jalankalah dharma anda, karena mengerjakan suatu pekerjaan itu lebih baik daripada duduk bertopang dagu.

Namun dunia ini menjadi rusak disebabkan tindakan manusia yang tak mau berkorban. Ketahuilah, pada waktu Yang Maha Pencipta menciptakan manusia, peristiwa itu bersamaan dengan penciptaan kurban. Anggaplah kurban itu alat untuk memperkuat kepercayaanmu kepada dewa agar supaya anda diperkuat oleh dewa.

Siapa mendapat kenikmatan hidup, dan ia tidak mau berkorban, maka sudah selayaknya, bahwa ia termasuk golongan durjana. Selanjutnya anda harus menjalankan pekerjaan yang patut ditiru oleh sesama manusia. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa apa yang dijalankan orang atasan itu selalu ditiru oleh orang banyak.

Orang menjalankan suatu pekerjaan, biasanya disebabkan kegemarannya terhadap pekerjaan itu. Akan tetapi orang yang bijaksana hendaknya menjalankan suatu pekerjaan dengan tujuan, supaya menjadi tauladan bagi orang banyak.

Semua karya bakti anda hendaknya anda serahkan kepada Ku (Wisnu). Pusatkanlah seluruh jiwamu (atmamu) kepada sang Mahatma, dan terjunlah ke medan laga tidak karena kegemaran anda akan berjuang.

Majulah perang dengan bekal "tanpa kegemaran". Dengan kata lain: berjuanglah dengan bekal "sepi ing pamrih". Semua manusia harus bekerja sesuai dengan kekuatan masing-masing, sesuai dengan  bakat, tingkatan hidup dan tugas masing-masing."

Untuk mengakhiri percakapan itu Sri Kresna berkata, "Siapa dapat menaklukkan diri sendiri, ia menjadi kawan dirinya. Siapa tak dapat menaklukkan dirinya sendiri ia menjadi musuh dirinya sendiri.

Siapa dapat menaklukkan angkara murka yang melekat pada dirinya sendiri, serta merasa dapat membeda-bedakan antara rumput dengan batu kerikil atau emas, serta dapat membedakan orang jahat dengan orang baik, maka orang yang demikian itu dapat menusup ke dalam Mahatma.

Siapa dapat menjatuhkan anggapan kepada sesuatu seperti kepada dirinya sendiri, serta menganggap kebahagiaan atau kesusahan orang lain seperti kebahagiaan dan kesusahan diri sendiri, orang yang demikian itu termasuk golongan orang yang paling tinggi tingkatannya kepada dewa.

(Disalin bebas dari teks bahasa dan sastra Jawa termuat dalam majalah "Pusaka Jawi" tahun 1927 no. 9-10)


4. ASTHABRATA

Setelah negara Alengkadiraja dapat dihancurkan oleh Ramawijaya dengan bantuan tentara kera, maka Gunawan Wibisana, adik Dasamuka, yang telah memihak Rama, diminta oleh Rama, supaya menduduki takhta kerajaan Alengka mengganti kakaknya Prabu Dasamuka, yang gugur dalam peperangan bersama dengan putranya Indrajid dan adiknya Kumbakarna.

Mula-mula tawaran Rama itu ditolak Wibisana, karena menurut Wibisana yang berhak mengganti menduduki kerajaan Alengka ialah Rama. Itu sudah sewajarnya menurut hemat Wibisana. Alasan kedua penolakan Wibisana ialah, karena ia masih merasa susah atas gugurnya Kakanda Rahwana dan Kumbakarna. Wibisana minta sekali lagi kepada Rama, supaya beliaulah yang memangku kerajaan Alengka, sebab, kata Gunawan, "Padukalah yang berhak mengganti menduduki takhta kerajaan Alengka, karena Padukalah yang menang dalam perang." Namun Rama tak mau juga menggantikan Rahwana sebagai raja, karena tujuan peperangan melawan Rahwana itu bukan mencari jajahan, melainkan untuk membebaskan istrinya dari cengkeraman si angkara murka. Mengenai alasan Wibisana yang kedua Rama berkata, "Janganlah anda bersedih hati atas meninggalnya kakak anda, hai Wibisana. Ketahuilah Kakanda Dasamuka telah memenuhi jiwa kekasatriaannya. Ia sebagai seorang raja yang gagah perkasa telah maju ke medan peperangan untuk membela negaranya dan melindungi rakyatnya. Ia telah gugur sebagai pahlawan besar, tak tercela sifat keberaniannya sebagai ksatria perang."

Rama melanjutkan kata-katanya, "Peliharalah jenazah Rahwana baik-baik, sebagaimana mestinya. Selenggarakanlah upacara pembakaran dan pelarungan abunya ke sungai secara besar-besaran sebagaimana umumnya menghormati jenazah raja-raja."

Hati Wibisana menjadi tenang, rasa susahnya terhapus oleh kata-kata penghibur dan Rama. Dan segera melaksanakan pembakaran jenazah dan pelarungan abunya.

Setelah upacara pelarungan abu jenazah, Rama memberi wejangan kepada Wibisana perihal yang patut dilaksanakan oleh seorang raja yang bijaksana, berupa:

HASTHABRATA

Berkata Sri Rama kepada Wibisana, "Hai, Gunawan! Mulai hari ini adalah yang memegang kekuasaan di negara Alengkadiraja, yang akan dihormati dan ditaati oleh semua raksasa di seluruh daerah Alengka.

Ada delapan macam persyaratan yang wajib anda perhatikan dalam memutar roda pemerintahan, supaya anda dapat berhasil membuat Alengka menjadi negara yang makmur dan rajanya dihormati oleh seluruh rakyatnya, mulai dari tingkatan teratas sampai tingkatan yang paling rendah.

Ingatlah, Gunawan, bahwa semua sepak-terjang seorang raja selalu diawasi oleh rakyatnya dan sudah ditiru dan diikutinya. Maka dari itu hendaknya seorang raja berusaha mengikuti dan menjalankan sifat-sifat yang dijalankan oleh delapan dewa yang disebut HASTHABRATA.

Nama dewa-dewa itu ialah:

1. Batara Endra
2. Batara Yama
3. Batara Surya
4. Batara Candra
5. Batara Bayu
6. Batara Kuweda
7. Batara Baruna
8. Batara Brahama

Adapun kedelapan sifat itu ialah:

1. Sifat Batara Endra: menyebarkan segala yang serba berbau harum di atas bumi ini; membagi dana-dana merata meliputi seluruh negara, orang besar, orang kecil, tak ada yang terkecualikan, semua menerima dana kebaikan dari Hyang Endra, sama besarnya. Hendaklah anda jalankan sifat-sifat yang baik Hyang Endra bersama seluruh rakyat, ya tentara ya orang preman.

2. Sifat Batara Yama: memberantas segala kejahatan di bumi, semua penjahat di dalam negara diberantas sampai ke akar-akarnya, tak pandang bulu. Sekalipun keluarga sendiri apabila ternyata menjalankan kejahatan tak akan luput dari hukuman yang berat atau dimusnahkan dari muka bumi. Seluruh cabang pemerintahan diperiksa, diteliti, hal-hal yang membuat cemar nama negara diperiksa dengan teliti, dicari apa yang menyebabkannya dan biang keladinya akan dihukum sebagaimana mestinya.

3. Sifat Batara Surya: menyebarkan paramartanya, menghamburkan segala yang serba harum semerbak, ujar manis, enak didengarnya. Tidak keras kata-katanya, sampai-sampai tak terasa oleh bala tentara yang dimarahinya, karena kehalusan budinya. Tak kelihatan corak wajah kemarahannya, tetap cerah dan bersih, kata-kata dalam kalimatnya selalu halus susunannya, sehingga yang diperintah tak merasa ada paksaan. Sesuai dengan peribahasa: kena ikannya, tak keruh airnya. Tak terdengar keluh-kesah rakyat, tak ada yang menggerutu, karena tidak mendapat keadilan. Pemerintahan berjalan dengan tenang, berkat sifat kesabaran, yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. Laksana gunung di tengah lautan kesabaran sang Batara Surya. Tak tergerak oleh taufan dan badai dan tak tengelam oleh ombak   yang bergulung-gulung.

4. Sifat Batara Candra: selalu memberi maaf, memberi keampunan, tak tercela tegur-sapanya, dan orang yang melihat senyum-simpul mendengar kata-katanya. Gelak-ketawa dan senyum-simpulnya keluar dari lubuk hati, tak ada rasa sindiran atau pura-pura. Semua isi hatinya diucapkan secara terbuka. Kasih sayang terhadap rakyat membuahkan rasa taat dan bakti dari yang dikasihinya, sehingga  jalannya pemerintahan teratur rapi, merata dan serasi. Tak ada jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin, dan tak ada gunung yang menjulang tinggi di tengah-tengah tanah yang tandus.

5. Sifat Batara Bayu: selalu mengintai, melihat, memasang telinga, meneliti suara dari segala jurusan, menguji mana yang benar dan mana yang salah. Mendengarkan keluh-kesah dan ratap tangis si miskin. Sikap dan tingkah laku si kaya diperingatkan, supaya sebagian dari harta bendanya yang berlimpah-ruah dipergunakan  untuk meringakan derita si miskin. Negara adil dan makmur disertai rasa aman dan damai. Ikutilah suri-tauladan sang Bayu!

6. Sifat sang Hyang Kuwera: mempercayakan segala macam pekerjaan kepada petugas masing-masing, yang mahir menjalankan kewajibannya. Sangat besar kepercayaan sang prabu kepada para petugas, bahwa mereka tak menjalankan kesalahan dalam pemerintahan. Ternyata negara kelihatan makmur, semua dana dipergunakan baik-baik, dan tak pernah ada celaan dari sang prabu atau dari pihak rakyat. Memang itulah yang dituju.

7. Sifat sang Baruna, Dewa laut: Untuk mencapai kesejahteraan negara dipergunakannya bermacam-macam senjata dan sarana. Segala kecerdasan otak dan perasaan serta kekuatan batin manusia dikumpulkan diikat menjadi satu kekuatan dan didayagunakan untuk membangun negara. Segala macam kejahatan dimusnahkan dan kemiskinan diberantas. Tirulah tindakan sang Baruna, hai Adikku Wibisana!

8. Sifat sang Brahma, dewa yang kedelapan: yang patut anda ikuti cara memerintahnya, hai Wibisana! Seluruh rakyat di kerahkan untuk bekerja giat: besar-kecil, tua-muda, pria-wanita, semua harus bekerja menurut kekuatan dan bakat masing-masing. Tak diperkenankan orang hanya duduk-duduk bertopang dagu, atau duduk termenung mengharapkan gumpalan emas jatuh dari langit. Tuhan tak akan merubah nasib manusia kalau manusia tak berusaha merubahnya sendiri. Bekerja, bekerja! Semua orang harus bekerja. Jangan membuang-buang waktu. Sungguh rugi orang yang menyia-nyiakan waktu. Waktu itu sangat berguna bagi tiap orang. Janganlah dibuang-buang waktu yang sangat berharga. Waktu itu terus berjalan, tak ada hentinya. Pergunakanlah waktu baik-baik. Dengan mempergunakan waktu sebaik-baiknya kemakmuran negara cepat tercapai; kejahatan berkurang, keselamtan negara terjamin, ketahanan nasional tak perlu diragukan.

Seluruh ASTHABRATA telah kanda uraikan, hai Wibisana! Jalankan ASTHABRATA seutuhnya baik-baik, supaya Negara Alengka lekas bangun kembali dengan selamat dan aman, rakyatmu akan merasa bahagia. Mudah-mudahan!

(Dialihbahasakan dengan bebas dari Bahasa Jawa Baru - tembang macapat,  termuat dalam Majalah KAWI 1-9-1928)

Bagi para pembaca yang mahir dalam bahasa Jawa, kini kami sajikan teks aslinya dengan alih aksara dari huruf Jawa dalam tembang Pangkur.

ASTHABRATA

Pangkur

1. Nrepati Ramawijaya,
angandika semu angarih-arih,
heh Wibisana ta uwus,
aywa prihatin dahat,
Dasamuka pan uwis manggih linuhung,
narendra mati ing rana,
wus punagi nguni-uni.

2. Apan iya Dasamuka,
wus amangun ing kautaman nenggih,
sarana gagahing ratu,
kacakrawarteng jagad,
nora mingket ing wacana wus kawuwus,
tan surud ing rananggana
kautamaning nerpati.

3. Netepi patining raja,
aprang rame nutug sagelarneki,
ing aprang agung angamuk,
amrih ayuning bala,
iya amrih karusakaning kang mungsuh,
wajibing ratu rumeksa,
balane menanga jurit.

4. Ing mengko si Dasamuka,
balanira kabeh rempu ing jurit,
punggawa satriyanipun,
remak ngasmareng laga,
si Rahwana anglabuhi melu mampus,
uwus tan ana cinacad,
patine ratu sayekti.

5. Luhung ta prasetyakena,
tanpa tuwas yeku sira tangisi,
pancakanen mring pratunu,
aterna mring kamulyan,
malar-malar nemua apureng lampus
mungguh Hyang Jagad Pratingkah,
amanggiha sawarga di.

6. Kagyat Arya Wibisana,
wungu noleh ndheku ngarsaning gusti,
bukuh misih senggruk-senggruk,
anut kang pangandika,
angejepi marang ditya wadyanipun,
prapta kang ngaturi wreksa,
ingkang lenga lawan agni.

7. Tinuhu wangkening raka,
kalih wus pinujan dupa semadi,
kumutug kukus kumelun,
minantran sampun sirna,
wangkenira ingkang raka kalihipun,
sineksi Bathara Rama,
Nerpati ngandika malih,

8. Heh, Gunawan Wibisana,
sira ingkang medega narapati,
Ngalengka gumantya prabu,
siniwiyeng raksasa,
prabawanta mardikeng bawana nulus,
kertarta mumpuni guna,
wi weka asih ing dasih.

9. Pulihna praja Ngalengka,
rahayune payunen waluyaning,
raksasa kweh mudha punggung,
lumrah ati durjana,
undhangena ngalapa ing rehireka,
wenang anut marenana,
tingkah kang murka ing bumi,

10. Ngenteni pituturira,
ing becike sasolahing praja di,
apanta sira pinutus,
ing susila tan kurang,
ing wiweka norantek ing krama tuhu,
tetapi yayi yen sira,
pitutur amarentahi,

11. Mring balanira sadaya,
barang sira mamrih panggawe becik,
amrih utama tinemu,
aja atinggal sarat,
iya wajib sarat wong arsa pitutur,
dheweke anetepana,
den panggah den anglakoni.

12. Yen sira wus kalampahan,
angawruhi kalawan anetepi,
tan angel balanireku.
sagung mantri punggawa,
kretya patih sagung kang mamatah laku,
iku padha bisakena,
ing reh ayu kramaniti.

13. Warata sarewangira,
sarerehan kabeh sayekti pinrih, panggawe rahayunipun,
jer wus netepi sira,
panggawe kang den pituturaken iku,
sapatih lan sapunggawa,
kabeh wus padha nglakoni.

14. Samantri-mantri warata,
wonge cilik mangsa 'na gelem kari,
sanaan sarabinipun,
kudu milya sadaya,
nadyan praja milu tangi nedya ayu,
marmane wajibing Raja,
agawe tuladan becik.

15. Yekti tinelad sajagad,
yen ratune ing reh wus den ugemi,
tetep ing agama tutug,
sumebaring parentah,
marma yayi prayatnen yening Prabu,
yekti tiniru sajagad,
mungguh ing reh ala becik.

16. Ala ati niru ala,
yen abecik mesthi tiniru becik,
manuk sasolahing ratu,
tiniru isining rat,
lawan sira elinga bathara wolu,
poma iku munggeng sira,
lire kang sawiji-wiji.

17. Wewolu sariranira,
yekti nora kena sira ngoncati,
salah siji saking wolu,
cacad karatonira,
yen tinggala salah siji saking wolu,
kang dhinin Bathara Endra,
Banthara Surya ping kalih.

18. Bayu ingkang kaping tiga,
Kuwera kang sakawanipun menggih,
Baruna kalimanipun,
Yama Candra Ian Brama,
jangkep wolu den pasthi mangka ing prabu,
angganira ngastha brata,
sayekti ing Narapati.

19. Lampahe Bathara Endra,
ngudanaken wawangi ing sabumi,
dana sumebar sumawur,
maratani sajagad,
kawaratan gung alit sawadyanipun
pan nora (a) milih janma,
lakuning Endra sayekti,

20. Iku yayi lakokena,
sawadyane kabeh kamot ing bumi,
dening Yama lampahipun,
milara krama ala,
wong durjana ing praja kabeh linebur,
nora nganggo kadang warga,
yen durjana den pateni.

21. Barang kang laku dursila,
ingupaya kabeh den osak-asik,
sanggone ingungsi tinut,
kacandhak pinatenan,
reregeding praja pinrih biratipun,
mangkono Bathara Yama,
nggoning rumekseng praja di.

22. Maling mamalaning praja,
pinrih ilang dursila ngreregedi,
angundhangi wadyanipun,
tan kena ulah ala,
ingkang sandhing panggawe ala tinundhung,
kang ala wus pinatenan,
sajinise tumpes-tapis.

23. Kang jinis panggawe ala,
lah anggonen Bathara Yama yekti,
Surya kaping tiganipun,
lakune paramarta,
ngudanaken sabarang reh arum-arum,
amaningaken rarasan,
angresep kang den tetapi,

24. Tan galak nutut sakarsa,
tan karasa wadya pinrih ing becik,
tan ana rerengunipun,
sumusup amrih kena,
ingkarang pinrih rinasan rarasan alus,
pangingsepe reresepen,
kasesep kena kang pinrih.

25. Tan age saliring karsa,
nadyan mungsuh tyase kena pinulih,
tan katenger pan rinasuk.
Pangingsepe sarasa,
kang kaping pat Bathara Candra ing laku,
apura sarananira,
amenuhi ing sabumi.

26. Mrih eca isining praja,
ing pangrehe wawangi lan mamanis,
sawuwus amanis arum,
saulat parikrama,
guyu-guru eseme winor ing tanduk,
satindak datan rekasa,
mung marentahken mamanis.

27. Ambek santasa buwana,
trusing manah marta-marta mamanis,
sangsaya  sru arum-arum.
asih sagung pandhita,
kaping lima lampahe Bathara Bayu,
anginte pakaryaning rat,
budining rat den kawruhi.

28. Tanpa wangen tanpa tengran,
nggening ngamrih met budining dumadi,
kena a budayanipun,
ing reh datan kawruhan,
bisa amet budining wadya sawegung,
dursila mulya kawruhan
sasolahing wadya keksi.

29. Sinambi angupa boga,
myang busana anggung mangun kamuktin,
tan ana antaranipun,
mrih kasukaning bala,
amamaes saparayoganing wadu,
sartanggung tyase sinuksma.
gunaning yuwana pinrih.

30. Ing tyas datan kena molah,
sapolahe kabeh wus den kawruhi,
dibyan dana-dana tinut,
lampah susilaharja,
wus kakenan jagad kautamanipun,
mengkono Bayu lampahnya,
iya engeten sayekti.

31. Kaping nem sang Hyang Kuwera,
anggung mukti boga sarya ngenaki,
tan anngepok raganipun,
namakaken sarana,
kang wus kinon amusthi pasthining laku,
amung pracaya kewala,
denira tan amrih silib.

32. Gunging praja pinarcaya,
dananya sru kayekten den ugemi,
nora ngalem nora nutuh,
samoha sinasama,
rehning sukprah kabeh kawiryan wus sinung,
tan wruh ingupaya sira,
wet tuning pribadi pinrih.

33. Kasaptanira Baruna,
anggung ngagem sanjata lampah neki,
bisa basukining laku,
amusthi ing wardaya,
guna-guna kagunan kabeh ginelung,
angapusi isining rat,
putus wiweka kaeksi,

34. Angapus sagung durjana,
sedhih kingkin dursila sila juti,
saisining rat kawengku,
kenthi kang ala harja,
tempuhing sarana datan kegah-keguh,
kukuh kautamanira,
tuladen Baruna yekti.

35. Bratane Bathara Brama.
ngupaboga wadyane agung alit,
kabeh galak maring mungsuh,
bisa basaning wadya,
sirna parangmuka, kaparag kapupus,
tirunen Bathara Brama
garwane Ni Rarasati.

Alih aksara dari Majalah "Kawi" (1-9-1928).


Karya S. Prawirodihardjo

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK