Aku menutup buku dengan tangan gemetar. Boneka kesayayanganku, Mary, yang berada di sampingku langsung kudekap erat. Menyeramkan sekali. Baru saja aku membaca buku mengenai Bloody Mary, suatu ritual atau mungkin permainan yang sangat menyeramkan sekaligus membahayakan.
Menurut cerita rakyat Barat, Bloody Mary adalah setan atau penyihir yang akan muncul di kaca ketika namanya dipanggil tiga kali. Bloddy Mary sering digunakan sebagai bagian dari permainan. Ada juga yang bilang, jika menyebut nama Carol tiga kali, maka hantu kaca akan tiba. Untuk membuatnya muncul, biasanya orang akan berdiri di depan cermin kamar mandi dalam keadaan gelapan dan mengulangi namanya tiga kali. Bloddy Mary digambarkan suka memburru anak-anak.
Bloddy Mary merupakan legenda yang berasal dari Amerika. Konon, seorang perempuan bernama Mary Whirnington meninggal di depan cermin secara tak wajar. Ada pula yang menganggap Mary sebagai penyihir. Arwah Mary terperangkap di dalam cermin dan tidak bisa keluar, kecuali ada yang membukakan jalannya. Itu membuat Mary marah dan dapat melakukan hal-hal di luar batas kemanusiaan.
Benar-benar menyeramkan, bukan? Aku sendiri sampai bergidik ngeri.
Tiba-tiba, ketika aku sedang merenungkan buku yang barusan kubaca, seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku yakin, pasti yang mengagetkanku sekarang adalah kakakku Kak Gretha!
“Hahaha ... kaget, ya?” tawa Kak Gretha meledak seketika. Kak Gretha berambut panjang sepunggung berwarna cokelat keemasan, dagunya lancip, dan matanya indah kecoklatan. Dilihat dari postur tubuh dan gaya penampilannya, orang-rang tidak akan percaya bahwa kakakku ini tomboi. Hahaha ..
“Enggak. Aku sudah biasa tau dikagetin kayak gitu. Eh, Kak, coba baca buku ini, deh. Serem banget.” Aku menyodorkan buku Bloddy Mary kepada kak Gretha. “Hmm.. Bloody Mary?” Katanya denan nada bertanya. Kakakku termasuk orang yang sulit mempercayai hal-hal yang belum pasti kebenarannya seperti ini.
“Haha.. lucu sekali. Mana ada jiwa yang terperangkap dalam cermin? Haha.. ada-ada saya,” katanya sambil tertawa. “Jadi Kakak tidak percaya dengan Bloody Mary Itu? Tapi kayaknya itu beneran, deh, Kak.” Ucapku.
Kak Gretha berhenti tertawa lalu menarik tanganku ke dapur. Lalu, dia sibuk mencari-cari sesuatu di dalam lemari. Setelah mengubrak-abrik isi lemari itu, Kak Gretha mengeluarkan dua batang lilin dan memberikannya satu padaku. Apa coba maksudnya?
Akhirnya aku mengerti. Sepertinya Kak Gretha ingin melakukan permainan itu! Ah, tidak.. ini gawat! Bagaimana kalau Bloody Mary itu benar-benar ada?
“Kak.. Kakak gila, apa? Kalo mau ngebuktiin, buktikan saja sendiri. Aku enggak mau ikut-ikutan.” Kataku pada Kak Gretha. “Kalo aku melakukannya sendirian, nanti pasti kamu engak akan percaya kalo aku telah melakukan permainan Bloody Mary dan tidak terjadi apa-apa pada diriku.” Jawabnya memaksaku untuk melakukannya.
Dengan terpaksa akupun menuruti kemauan Kak Gretha. Kami berdua melakukannya di kamar mandi yang berada di ruang tidur kak Gretha.
Pertama, kami menyalankan lilin, lalu Kak Gretha mengunci pintu kamar mandi dan mematikan lampu. Pancaran sinar lilin menjadi sumber penerangan satu-satunya. Kak Gretha menyuruhku menaruh Mary (bonekaku) di samping cermin nya yang lebar.
Kemudian, Kak Gretha menyebut nama “Carol” disertai dengan “Bloody Mary” sebanyak tiga kali. Semuanya hening dan tidak terjadi apa-apa.
Hanya terdengar sedikit desiran angin. Mungkin itu adalah tanda kehadiran Bloody Mary. Aku sangat takut, aku menutup mataku rapat-rapat.
Beberapa menit telah berlalu, Kak Gretha menyuruhku untuk membuka mata.
“Bagaimana? Benar, bukan, perkataanku? Bloddy Mary itu hanya mitos. Udah sana, pergi tidur, sudah malam.” Kak Gretha langsung menyuruhku keluar dari kamarnya.
Akupun langsung pergi tidur dan menghilangkan pemikiranku tentang Bloody Mary. Walaupun aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal.
Keesokan harinya saat aku membuka pintu kamar, aku terdiam kaku di ambang pintu. Aku tak bisa mengucapkan apa ketika melihat cermin kamarku itu ditulisi oleh seseorang dengan lipstik warna merah “I HATE YOU!”
Hal yang sama terjadi di kamar Kak Gretha. Namun, kalimat ini lebih sadis daripada kalimat yangg tertera di cermin kamarku. “I WANT TO WIPE YOU OUT!”
Kami bingung, siapa yang menulis kalimat kejam ini? Dari cermin, aku melihat Mary terlihat senang melihatku tertekan. Aku rasa, Mary telah berubah. Apa mungkin Mary adalah boneka hidup?
Saat larut malam, aku bermimpi bahwa boneka kesayanganku Mary berubah menjadi sebuah boneka menyeramkan dan membunuh semua orang di rumahku. Termasuk Papa, Mama, Kak Gretha, Bibi, dan Pak Bon. Mary berkata “Aku bukan Mary. Aku adalah Bloody Mary. Kau lupa dengan permainan Bloody Mary yang kau dan kakakmu lakukan itu? Aku datang sewaktu kalian memanggil namaku! Aku sengaja memasuki tubuh Mary. Sekarang, terima sendiri akibatnya!”
Saat aku terbangun, aku langsung melihat ke arah Mary. Lagi-lagi dia melempar senyum licik kearahku. Aku berusaha cuek, dan memberanikan diri berkata pada Mary.
“Sebenarnya apa maumu? Jangan menggangguku! Pergi sana ke alamu!”. Mary memutar kepalanya sendiri! Dia menatapku marah! Apa benar Mary kerasukan Blodody Mary?
Keesokan harinya, aku memberi tau pada Kak Gretha, Mama, Papa, Bibi, dan Pak Bon, bahwa Mary telah kerasukan Bloody Mary. Awanya mereka sempat tak percaya, tapi dengan adanya bukti merekapun mempercayainya.
Saat malam tiba, pukul 12.00 Mary datang sambil berkata “I’m coming back!” dia tampak lebih dingin dan terlihat marah, marah sekali. Tana rasa takut, kami langsung melawan Mary. Papa dan Mama memutuskan untuk mencari cara bagaimana memusnahkan Mary dan mengembalikan Bloody Mary ke tempat yang seharusnya.
Sementara itu aku mengalihkan perhatian Mary bersama Kak Gretha. Kami berdua terus berlari, namun Mary berhasil mengejar. Dia melukai tangan kananku. Dia juga melukai kaki Kak Gretha. Rupanya Mary membawa benda tajam di tangannya.
Tiba-tiba, dari belakang Mary, Bibi melemparinya dengan tepung. Mary merasa marah. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Kak Gretha berusaha menolong Bibi, aku dan Pak Bon juga ikkut membantu.
Sementara itu, Papa dan Mama yang sedang googling di internet, akhirnya menemukan solusi untuk melenyapkan Mary. “Ma, cept peahkan semua cermin di rumah!” perintah Papa. Mama dan Papa langsung berpencar.
“Bibi! Fero! Bantu Mama memecahkan semua cermin di rumah ini! Biar Pak Bon dan Kak Gretha yang melawan Mary” Teriak Mama. Aku dan Bibi mengangguk mengerti.
Pyarr! Pyarr! Suara kaca yang telah pecah memekakkan telinga. Satu persatu cermin telah pecah, yang terakhir adalah cermin di kamar Kak Gretha. Pyarr! Cermin terakhir itu telah pecah. Mary yang meronta itu akhirnya ambruk. Suasana menjadi hening kembali. Perlahan-lahan aku mendengar sirene mobil polisi yang datang.
Kami semua segera di larikan ke rumah sakit terdekat. Aku sangat senang, akhirnya Bloody Mary itu telah pergi. Mama, Papa, Kak Gretha, Bibi, dan Pak Bon juga ikut merasa senang.
Selamat tinggal Bloody Mary!{}
Karya: Sahanaya Widya Pitaloka
No comments:
Post a Comment