Daerah Lampung Tengah dekat Plaza Bandar Jaya, jelas ini adalah daerah perkotaan yang rumah penduduknya diterangi listrik dan sangat ramai dari subuh hingga malam hari. Banyak pedagang menjajakan jualannya disini, ditambah lagi masjid besar Istiqlal yang tepat berada di depan Plaza Bandar Jaya. Menemani aktivitas para pedagang dan pembeli jika adzan mulai berkumandang. Di tengah riuh ramai tempat ini di saat malam hari, hanyalah rumah keluarga Yari gadis remaja yang duduk di kelas sebelas Madrasah Aliyah yang terlihat redup tanpa lampu listrik menerangi.
Senja sore mulai datang, burung di atas awan berterbangan kembali kesarannya. Adzan mulai dikumandangkan, Yari segera menjalankan sholatnya. Berbekal sebuah lilin yang akan meneranginya malam ini ia tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, walau pikiran tentang kondisi keluarganya kini membebaninya. Bukan hanya tunggakan pembayaran listrik yang belum dibayar, keluarganya memang terbilang tidak mampu. Ia selalu berdoa setelah sholat. memohon kemudahan dalam hidup keluarganya. Ia tak mampu mengeluh kepada ayah karena ayah sudah berusaha untuknya dan adiknya. Seusai membaca Al-qur'an ia berjalan menuju tempat ayahnya menjahit, dengan minimnya penerangan di rumah ini ayah selalu ingin dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. "Ayah, malam ini aku tidak belajar, aku akan menhafal suratan (sebuah doa atau ayat suci Al-Qur'an) untuk bisa mengikuti ujian semester" ucap Yari. Ayah menganggukan kepala dengan tersenyum kearahnya dan matanya seolah berbicara, semoga sukses anakku.
Tidak akan terdengar satupun kata dari mulut ayah karena ia adalah tunawicara dan tak ada satu keluhanpun pada Yari dan adiknya Dimas dengan kondisi ayah. Ketabahan mereka yang ditinggalkan sang ibu saat usia Dimas delapan tahun dan kini ia sudah duduk di kelas tujuh Madrasah Tsanawiyah, menjadikan mereka begitu mengerti keadaan ayahnya.
Yari kembali ke kamar dengan buku hafalan ditangannya, tetapi hafalannya tidak begitu lancar karena matanya sudah terasa pedas jika lama-lama melihat tulisan dengan sebuah lilin. Bukan Yari namanya kalau ia harus berhenti disini, ia mencari cara agar penglihatannya terlihat jelas saat membaca. Ia segera keluar rumah dengan mukena sekaligus buku hafalan menuju sebuah masjid yang di bangga-banggakannya Masjid Istiqlal Bandar Jaya. Sampai di sana ia segera berwudhu masuk dalam masjid dan menggunakan mukena sekaligus membaca hafalannya sambil menunggu adzan isya' berkumandang. Banyak orang dalam perjalanan berhenti di masjid ini, sekedar istirahat dan melepas lelah dalam perjalanan sekaligus mengerjakan sholat.
Jan sudah menunjukkan pukul sembilan malam saatnya ia harus pulang. Di perjalanan menuju rumah ia selalu melihat rumah yang dilewati begitu terang dengan penerangan yang memadai. Rasa iri itu pasti ada, tekad untuk merubah semuanya semuanya memang muncul dalam benaknya. Rumahnya begitu terlihat gelap hanyalah sebuah lilin dan ayah yang menunggunya pulan.
***
"Nyo kabar kak (apa kabar kak)" ucap Dimas sambil mengambil sepatunya "wawai (baik), ayo cepat berangkat hari ini kan upacara" jawab Yari. Dimas buru-buru mengikat tali sepatunya, mereka berdua segera keluar dari gang yang tak jauh dari masjid Istiqlal menunggu angkot (angkutan kota) yang akan membawanya sampai sekolah. Sekolah mereka terletak di daerah Poncowati, sekitar itu biasa disebut kapel (kota pelajar). Cuaca untuk upacara begitu mendukung, adiknya sudah sampai disekolah ia juga harus melaksanakan upacara di sekolahnya. Kaki memang terasa pegal jika harus berdiri lama-lama, tapi yang membuatnya bertahan untuk terus menegakkan kakinya adalah saat wakil kepala sekolah pak Hasim menyampaikan amanatnya, kata-katanya begitu membangkitkan suasana dan membuat senyum di bibir para guru dan murid "anak-anak ku dua hari lagi ujian semester genap jangan sampai kalian tidak belajar! Jangan hanya di kamar mendengarkan musik keras-keras Magadonan atau kalau tetangganya sedang mempunyai Hajat dan ada hiburannya di sana kalian jangan ikut Magadon". Kata Magadon saat pak Hasim mengucapkannya begitu menggelitik, apa itu Magadon artinya tidak begitu mereka tahu yang jelas embel-embel kata Magadon sering di ucapnya, karena itu ia sering di panggil pak Magadon. "Nak, kalian di sini di tuntut untuk belajar dan berusaha. Kualitas belajar kalian itu tergantung dari usaha yang kalian lakukan, kutipan dari buku yang pernah bapak baca bahwa sungguh doa itu di dengar Allah, tapi Dia berhak mengabulkan dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita minta, bisa di tunda atau diganti yang lebih cocok buat kita. Jadi jangan pernah meremehkan doa kalian, tetaplah berdoa dan berusaha MAN JADDA WA JADDA siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses".
MAN JADDA WA JADDA begitu ulangnya berkali-kali dengan nada pelan saat masuk kelas, teman sebangkunya Sera terlihat bingung "ulehnya nikeu (kenapa kamu)" ucapnya "mantra ini baguskan, semester ini aku akan bersungguh-sungguh agar mereka" "amien..." jawab Sera. Tekadnya terlihat sungguh, pelajaran pertama matematika di hembat habis Yari. Nilai seratus didapatnya saat latihan soal Sera yang hanya mendapat delapan lima terkejut, apa ini karena matra yang diucapkan Yari tadi dalam benaknya. Begitu bel istirahat berbunyi jam sepuluh lima belas Yari mengeluarkan mukena dari dalam tasnya, ia segera menuju masjid menjalankan sholat dhuha seperti biasanya untuk mengisi waktu istirahat. Saat ia akan kembali ke kelas, ia dipanggil ke kantor oleh guru. Hatinya bertanya-tanya kenapa ia harus dipanggil ke kantor. Ia mengingat-ingat kejadian apa yang membuatnya punya masalah, tapi tidak satu kali pun ia merasa punya masalah. Sesampainya di kantor ia segera menghampiri Bu Wulan yang memanggilnya tadi "ada apa ya bu?" ucapnya "begini nak, kita mendapat undangan seminar jurnalistik se-provinsi Lampung yang di adakan di Bandar Lampung, untuk itu pihak sekolah memintamu mewakili sekolah kita dalam seminar yang dilaksanakan selesai ulangan semester ini" "oh...iya bu saya menerima tawaran itu" tanpa berpikir panjang ia menerima tawaran itu, karena yang ada dalam benaknya adalah ia suka sekali menulis apalagi bila belajar menulis artikel pasti ia punya pengalaman baru untuk belajar menulis. "kalau begitu, jangan lupa kamu meminta izin pada ayahmu" "iya bu". Ia memang begitu senang menulis dan berpidato, ekstrakulikuler bahasa Indonesia kegemarannya tentu dari sanalah kemampuannya benar-benar diasah.
Sepulang sekolah suara mesin jahit tanpa listrik dirumahnya benar-benar terdengar, ia tahu suara itu sama saja dengan suara perjuangan hidup keluarganya. Terkadang mesin jahit itu suka macet dan tersendat-sendat walau akhirnya bisa benar tapi membuat pekerjaan ayah jadi tidak lancar, wajar karena mesin jahit itu memang sudah tua. Ia masuk ke dalam rumah mencium tangan ayahnya dan segera memberi tahu tentang yang disampaikan bu Wulan di sekolah. Ayah hanya tersenyum ke arahnya sambil mengacungkan jempolnya, tapi jempol itu buru-buru di turunkan "kenapa ya?" ucapnya. Ayah menggerakan pundaknya naik turun sambil mengangkat tangannya jari tengah dan telunjuk digesekkannya dengan jempol, yang artinya bagaimana dengan uangnya. "Tenang yah, uangnya semua dari sekolah jadi ayah tidak usah memberiku sepeserpun karena sekolahlah yang memintaku" lagi-lagi ayah tersenyum.
***
Hari pegambilan nomor ujian semester, tapi terlebih dahulu ia harus menghadap wali kelas untuk hafalan ayat yang sudah ia hafalkan sebelumnya. Hafalannya begitu lancar karena ia memang bersungguh-sungguh agar tidak mengecewakan ayahnya, bahkan tekad bulat sudah di tulis dalam targetnya yaitu mendapat peringkat satu akhir semester ini. Adiknya terheran-heran melihat ia belajar dengan sungguh-sungguh seakan-akan bila belajar satu dua jam tidak cukup baginya.Tapi kosentrasi belajarnya hanya terfokus saat siang saja sepulang sekolah karena pada malam hari penerangan di rumahnya begitu minim "ulahnya nikeu kak (kenapa kamu kak) belajar seperti orang kesurupan?" ucap Dimas "nyak pingin jadei pandai (saya mau jadi pintar)" "nikeu (kamu) harus dapok (dapet) peringat ya" "ya, nikeu munih dek (kamu juga dek)". Adiknya yang sejak tadi melihat ia belajar jadi ikut belajar walau caranya berbeda kadang hanya tiga puluh menit selesai atau paling menim lima belas menit kosentrasi belajarnya sudah selesai. Disetiap ujian memang tidak ada kata mencontek untuk Yari semua harus jujur dan berusaha, mantra Man Jadda Wa Jadda selalu di ingatnya. Satu minggu lebih ujian selesai, memang ujian di madrasah lebih lama dari sekolah biasa karena mata pelajaran agamanya di bagi menjadi qur'an hadist, fiqih, dan aqidah akhlak, di tambah lagi pelajaran bahasa arab. Semua benar dikerjakannya dengan sungguh-sungguh tidak lupa doa yang selalu ia haturkan untuk keluarganya dan hasil ujianya. Berkat kata-kata pak Hasim dalam amanatnya saat upacara itu, membuat ia semakin ingin berusaha meraih mimpinya. Mimpi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya dan membuat perubahan dalam hidupnya.
Pagi cerah kembali hadir menemuinya, selesai ujian semester kali ini ia mendapat kesempatan mengikuti seminar jurnalistik. Ia tinggalkan rumah selama dua hari, berbekal keyakinan untuk mendapatkan ilmu sekaligus pengalaman. Hadinya disekolah bersama kedua temannya yang juga ikut dalam seminar jurnalistik Reni dan Agil, mereka berangkat bersama pak Hasim menggunakan mobil pribadi. Perasaan senang begitu mewarnai hatinya, ia duduk tepat di samping pintu dalam perjalannya ia melirik ke arah jendela melihat-lihat daerah yang di lewatinya. Tidak menyangka akan ke luar dari Kabupaten Lampung Tengah, Tugu Pepadun, Tugu pengantin, patung-patung kebanggaan masyarakat lampung seperti patung mulei meghanai. Patung-patung itu menggambarkan ciri khas Lampung dan identitas masyarakatnya yang berada di Gunung Sugih perlahan mulai dilewatinya.
***
Tempat seminar ini penuh dengan para murid yang mewakili sekolahnya dari berbagai daerah di provinsi Lampung. Para peserta seminar berkumpul di sebuah aula yang besar sambil menunggu seluruh peserta datang. Seminar ini diawali dengan pembukaan dan memperkenalkan para tentor-tentor handal yang akan mengajari para peserta seminar dalam menulis artikel. Acara pembukaan selesai para peserta dipersilahkan mengambil kunci kamarnya, tempat penginapan ini bertingkat jadi perempuan berada di bawah, sedangkan laki-laki di atas. Ia sekamar dengan Reni dan tiga orang lain dari sekolah yang berbeda, mereka mulai memperkenalkan diri, namanya Dea, Zia, dan Afifah.
Awal seminar membahas tentang dasar-dasar sebuah berita. Banyak sekali yang ia pelajari, dari unsur-unsur berita. Hari yang menyenangkan untuknya, sebuah pengalaman sekaligus pelajaran yang menyenangkan. Membahas cara-cara membuat artikel dari mencari berita sampai menerbitkan berita itu ke media massa. Banyak teman baru yang ia kenal di seminar ini, saling bertukar pengalaman dan memperkenalan daerahnya masing-masing. Hari kedua terakhir semua peserta diajak berkeliling melihat gedung percetakan koran dan mendapat arahan dari tim redaksi. Jika ingin membuat sebuah berita dan di terbitkan. Dan yang paling menggiurkan adalah untuk menulis sebuah artikel dan diterbitkan akan dihargai sejumlah uang.
***
Sepulangnya dari seminar, pengumuman kenaikan kelas akan diumumkan. Bukan ketakutan tidak naik kelas yang ia rasakan melainkan peringkat pertama yang ingin ia raih apakah akan terwujud. Dengan seksama ia mendengarkan pengumuman pemberian rapor, rasa dag dig dug mulai dia rasakan. Pengumuman peringkat dimulai dari peringkat pertama, Bu warni selaku wali kelas mulai memberi tahukannya. "Ayari Aulia.....Ayari Aulia" ulang bu Warni. Ternyata ia mendapat peringkat pertama....."alhamdulilah..." ucapnya. Ucapnya syukurnya kepada Allah, Sera mengucapkan selamat kepadanya atas usaha hidupnya yang telah Sera lihat. Ternyata mantra Man Jadda Wa Jadda berhasil di lakukannya. Kali ini ia teringat adik dan Ayah, peringkat ini persembahan untuk keluarganya. Tapi targetnya kali ini adalah dapat mengubah kondisi keluarganya.
Pengalaman yang begitu berharga telah dijalaninya saat seminar, dari pengalaman itu ia mulai mengembangkan bakat menulisnya. Satu percobaan tulisnya ia kirim ke redaksi koran yang berada masih di daerah Bandar Jaya, gedung bertingkat yang bagus menjadikan tempat itu begitu menarik. Satu artikel buah karyanya di serahkan, dan mungkin entah kapan akan diterbitkan. Setiap hari ia membeli sebuah koran untuk memastikan apakah tulisannya diterbitkan. Satu koran pertama yang ia beli belum terlihat tulisannya, tapi tak berhenti di situ setiap hari di lihatnya setiap halaman. Sampai hampir satu minggu tulisannya kini mulai terlihat, artikelnya berada di halaman awal "jelas....bayarannya lebih besar ini" ucapnya. Sebuah amplop kini berada di tangannya, ia membukanya secara perlahan terlihat lima puluh ribuan terdapat tiga lembar dan yang terakhir keluar "wah....nominalnya cukup besar dua ratus lima puluh ribu" ucapnya, Dimas yang melihat itu tersenyum gembira "sukses" ucap Dimas. Ayah tak hentinya bersyukur atas perjuangan dan usaha anaknya.
Bakatnya itu semakin lama semakin ia kembangkan pundi-pundi uang diraihnya, walau kadang artikelnya pernah berada bukan di halaman awal bahkan pernah pula di tolak, tapi tak menyurutkan ia untuk terus menulis. Kini rumah yang dulu gelap dengan penerangan terbatas menjadi memadai dan mesin jahit yang suka macet itu kini bisa di gantikan, karena uang yang di kumpulkannya. Mata Ayah berkaca-kaca bahkan ada tetesan air mata di pipinya.
Allah itu maha adil dan bijaksana. Aku bahkan tak henti-hentinya membanggakan kak Yari yang diceritakan kakak ku Sera. Kini mereka berdua sekolah Universitas yang sama, lagi-lagi kak Yari berhasil dengan usahanya yaitu mendapat beasiswa di Universitas itu. Sebuah pengalaman yang memacu hidupku untuk terus berusaha. Menentukan target, meraih mimpi, dan menembus dunia yang tidak ada batasnya seperti yang telah dilakukan kak Yari. Sebuah pembuktian itu yang harus banyak orang yakini, bahwa tidak ada yang tak mungkin bila kita berusaha, berdoa, sabar serta tawakal.
Karya: Shofy Hakimah
No comments:
Post a Comment