Ingatannya kembali pada hari itu, disaat ia memakai gaun cantik berwarna merah. 9 maret saat itu umurnya genap menjadi 6 tahun. Pesta ulang tahun yang meriah diadakan kedua orangtuanya, tak tanggung-tanggung hotel mewah dan penyanyi-penyanyi cilik yang terkenal saat itu diundang untuk memeriahkan pesta ulang tahunnya. Semua temannya tersenyum, tertawa, dan sangat menikmati pesta malam itu, tapi tidak begitu dengannya. Disaat semua orang sibuk dengan kemeriahan pesta, di sudut ruangan lain seorang anak kecil berdiri gelisah di dekat pintu masuk.
Aini, dirinyalah mawar pada malam 9 Maret itu. Gaun merah bermotif bunga, sepatu ballet cantik, dan pernak pernik yang dipakainya membuat ia terlihat seperti putri di dalam cerita dongeng yang selalu di dengar anak-anak sebelum tidur. Semua orang menatapnya dengan gemas dan tersenyum manis, tetapi yang diperhatikan hanya diam tanpa senyuman, wajahnya panik, pucat, dan matanya agak merah.
Dari kejuahan tampak seorang wanita berumur 30 tahunan berjalan kearah mawar itu, sesampainya di depan Aini ia menunduk dan membelai rambutnya.
"Sayang, sudah saatnya untuk potong kue," kata wanita itu sambil tersenyum.
"Tapi....abi belum datang umu?" Aini bertanya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bersabarlah, abi pasti datang walau ia terlambat."
"Tersenyumlah untuk umi, abi, dan teman-teman Aini yang sudah datang," lanjutnya.
"Baik Umi," jawab Aini murung.
Pesta yang bertempat di Hotel Sahid itu berlanjut dengan kemeriahan, Aini juga mulai menikmati pesta itu. Ia tersenyum, tertawa dan ikut bermain dengan teman-temannya, kegilasahan tidak tampak lagi diraut wajah Aini tetapi di dalam hatinya ia tetap gelisah menunggu kehadiran sang abi.
9 Maret 2011, hari itu adalah ulang tahun Aini yang ke-15. Seperti tahun-tahun sebelumnya selalu ada pesta meriah pada tanggal itu. Aini tumbuh besar menjadi anak perempuan yang cantik, pintar dan juga selalu taat pada perintah uminya, selain itu ia juga seorang anak yang friendly dan easy going yaaa bisa dibilang anak gaul. Semua orang berkata hidup Aini sangatlah sempurna dan bahagia, apapun yang ia inginkan selalu dapat terpenuhi tapi walaupun begitu Aini tidak pernah menyombongkan diri kepada siapapun, itulah yang menjadikan Aini disayangi orang-orang disekitarnya.
"Aini....waktunya potong kue" seru umi Aini sambil melambaikan tangan kearahnya.
"Ya umi tunggu sebentar" Aini menjawab dan tersenyum memohon. Hampir 25 menit sudah umi menunggu Aini dipinggir kolam renang tempat akan dilaksanakannya acara potong kue, tetapi yang dtunggu tak kunjung datang.
"Anisa....?" panggil umi pada salah satu teman dekatnya.
"Iya umi ada yang bisa Nisa bantu?" tanya Nisa pada umi.
"Tolong panggilan Aini ya nis, ajak dia kesini sepertinya dia ada di teras depan, tadi sih sudah umi panggil tapi nggak datang-datang sampai sekarang. Kasihan teman-teman kalian lama menunggu", pinta umi pada Nisa. Segera Nisa menuju teras depan tetapi sesampainya disana tak seorangpun dilihatnya, matanya terus mencari tapi tetap saja tak ada orang lain selain dirinya ditempat itu.
"Aini.....Ai....kamu dimana? Jangan main petak umpet dong pliss, ini lagi pesta loh" Nisa terus berbicara sendiri tanpa ada yang menyahut. "Uuuuh dimana sih kamu AI?" Ia bergumam kebingungan. Nisa bingung dan mulai panik ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada temannya itu. Baru saja Nisa akan melangkah pergi meninggalkan teras untuk mencarinya diruangan lain, tiba-tiba suara isakan terdengar dari belakang, dan tiba-tiba mata sipitnya terbelalak dan mulutnyapun ikut mengapa.
"Haaaaaah?" ia terkejut saat ia melihat bayangan perempuan dikepang dua, ia yakin sekali bahwa itu adalah bayangan Aini, tapi.....untuk apa Aini sembunyi dariku?, batin Nisa terus saja bertanya-tanya sampai ia menemukan cara agar Aini menghampirinya dan keluar dari belakang dinding bercat biru itu. Tiba-tiba, Nisa mengeraskan suaranya dan memanggil umi Aini, ia tahu dengan begitu Aini akan segera keluar menghampirinya sebab ia juga tahu temannya itu tidak akan membuat uminya kesusahan dan cemas. Baru satu kali Nisa berteriak memanggil umi terdengar suara seseorang berbisik dibelakangnya.
"Sttttttt, kamu ngapain sih Nis teriak-teriak nanti umi mengira kita kenapa-kenapa, aku baik-baik aja kok."
"Astaghfirullah Aini, kamu kenapa sembunyi-sembunyi gitu? Aku benar-benar panik tadi."
"Aku baik-baik aja Nis, nggak perlu khawatir gitu. Ayo kita masuk". Ia lalu berjalan dengan senyuman datar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Nisa melihat kantung mata Aini sedikit bengkak tapi belum sempat ia bicara panjang lebar Aini sudah mengajaknya untuk masuk ke dalam, dan mau tak mau Nisa segera mengikutinya dari belakang. Malam itu terasa sangat aneh bagi Nisa ia seolah-olah melihat sisi lain dari seorang Aini yang selama ini ia kenal, Aini yang selalu ceria dan hangat pada setiap orang. Sejak malam itu, setelah kejadian didepan teras entah mengapa Aini menjadi sedikit tertutup juga pendiam.
Tiga bulan setelah pesta malam itu Aini menemui uminya yang sedang membaca buku diruang tengah.
"Umi.....umi lagi sibuk nggak?" supaya lembut dan langsung duduk disamping sang umi.
"Nggak sayang, ada apa nih nanya-nanya umi pasti lagi ada maunya?" canda umi.
"Lh umi asal nih, Aini nggak mau apa-apa kok, beneran deh."
"Iya...umi percaya tapi kalau kamu mau sesuatu kamu bila langsung bilang sama umi."
"mmm..." Aini berdeham. " I'm sure mom I don't want anything, I just want to meet dad. Ia really miss him.", emosi kesedihan tampak sangat jelas diwajah Aini ketika mengatakannya.
Uminya hanya terdiam mendengar ucapan Aidi, ia terkejut sebab sudah hampir 5 tahun Aini tidak pernah membahas tentang abinya. Dulu disaat ia masih kecil terutama ketika ia berusia 10 tahun, ia selalu bertanya dimana abinya dan mengapa abinya tidak pernah pulang untuk datang menemuinya, bahkan disaat ia berulang tahun sekalipun. Masih teringat jelas di dalam memori Aini, malam itu di saat ulang tahunnya yang ke-10 ia bertanya begitu banyak hal tentang abinya pada sang umi.
"Umi....dimana abi sekarang? Kira-kira abi sedang apa ya?"........"..."
"Kenapa ya.....abi tidak pernah datang menemui kita?"...."..."
"Aku rindu pada abi. Apa abi telah lupa pada kita umi?....."...."
"Atau jangan-jangan abi lupa jalan untuk pulang kerumah?...."....."
"Umi....ayo! kita harus mencari abi sebelum abi benar-benar tersesat dijalan."....".."
Pertanyaan-pertanyaan itu masih diingatnya dengan sangat jelas. Sekian banyak pertanyaan uminya hanya terdiam, hingga akhirnya 3 kalimat itu muncul. Kalimat yang memberinya sebuah harapan, kalimat yang dianggapnya sebuah janji.
"Putri umi yang cantik....abi tidak pergi kemana-mana abi hanya sedang sibuk dan belum sempat menemui kita, dan Aini nggak perlu khawatir abi tidak akan mungkin lupa jalan pulang, sebab umi sudah menyuruh abi untuk mencatat alamat kita agar ia tidak lupa, dan umi sekarang minta satu hal pada Aini, jangan tanyakan lagi Abi dimana, sedang apa, atau mengapa abi tidak pulan. Sebab percayalah suatu hari nanti abi akan datang menemui kita, suatu hari nanti abi akan datang menemui kita, suatu hari nanti abi akan datang di malam pesta ulang tahun Aini, dengan membawa coklat, boneka cantik dan hadiah yang sangat banyak, suatu hari nanti abi akan datang menemui kita."
"Iya, umi benar juga abi tidak mungkin lupa jangan pulang, abi tidak mungkin lupa pada Aini dan abi juga tidak mungkin lupa pada umi, suatu hari nanti Aini yakin abi pasti datang untuk menemui kita dengan membawa banyak hadiah."
Semenjak saat itu Aini tidak pernah bertanya apapun lagi pada uminya dan di setiap malam ulang tahunnya ia akan teringat kembali pada perbincangan mereka malam itu. Aini selalu menunggu kehadiran sang abi di depan teras di setiap malam 9 Maret dengan harapan dialah orang yang pertama kali akan menyambut kedatangan abinya dan juga menjadi orang pertama yang akan dipeluk oleh abinya. Namun, sekarang keadaannya telah berbeda Aini bukanlah lagi anak kecil yang berumur 10 tahun, melainkan sosok remaja berusia 15 tahun.
Suasana hening menyelimuti ruangan itu, mereka hanya terdiam dan saling memandang hingga isakan Aini memecahkannya.
"Aini.......," Umi memandang Aini lekat, uminya tidak tahu harus berbuat apa selain memeluk dan mendekap Aini dengan erat, di dalam pelukan hanyat itu Aini meluapkan segala kesedihan yang telah ia pendam sendiri selama ini.
"Aini rindu pada abi.....Aini ingin abi ada disini bersama kita.... terlebih untuk saat ini umi, Aini ingin abi hadir di sini," isak tangis terdengar disela-sela perkataan Aini. Melihat kesedihannya sang umi tak kuasa lagi menahan tetesan air untuk jatuh dari kedua mata yang membuatnya terlihat tegar selama ini.
Tiap jam, menit, dan detik yang Aini miliki, ia selalu memikirkan abinya dan sementara di setiap hari, bulan, dan tahun yang ia lewati akan ia habiskan untuk menunggu sang abi datang tanpa kenal lelah dan bosan. Menunggu, menunggu, dan menunggu adalah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan.
Seminggu setelah malam mengharukan itu, umi mengajak Aini berlibur kesebuah desa di daerah Pesawaran sebagai hadiah karena Aini lulus SMP dengan rata-rata nilai 9. Aini bersama uminya berangkat dari rumah pukul 07.00 pagi. Sementara uminya mengemudi, Aini asik melihat sawah dan pepohonan disisi kirinya, entah mengapa semua hal yang ia lihat saat itu terasa sangat menyejukkan baginya. Setelah satu jam perjalanan. Mereka tiba disebuah rumah berhalaman luas di desa Banjar Negeri kecamatan Way Lima, rumah itu terlihat unik dengan banyaknya ukiran-ukiran kayu disetiap sudut rumah, model rumah yang jarang ia temui di daerah Pahoman tempat ia tinggal.
"Assalamu'alaikum......assalamu' alaikum...."
"Ada nggak umi orangnya? buka pintu aja lama banget," tanya Aini yang bosan menunggu. Karena lelah menunggu Aini berniat berjalan-jalan disekitar halaman rumah itu, ia kagum melihat banyaknya bunga-bunga yang tumbuh indah dipekarangan rumah, ia bermaskud memetik satu tangkai bunga mawar merah tapi karena terlalu bersemangat dan terburu-buru ia tidak melihat ada duri yang bersembunyi dibalik bunga merah itu.
"Awww, aduuuu.." jerit Aini. Saat ia sedang sibuk melihat jari manisnya yang tertusuk duri, seseorang menepuk pundaknya dari belakang, secara refleks ia menoleh dan mulai memperhatikan orang itu, ia terlihat sangat tua dan begitu banyak kerutan diwajahnya bahkan sepertinya seluruh tubuh wanita itu dipenuhi dengan kerutan, Aini hanya terdiam dan tersenyum pada wanita tua itu ia bingung apa yang harus ia katakan.
"Uli api culukmu tuah coak luah khah gegaoh khena?" wanita itu bicara sambil memperhatikan jari Aini, sementara yang ditanya hanya diam kebingungan.
"Ha,,,eeeh...aduh jawab apa nih gak ngerti sumpah," gumam Aini pada dirinya sendiri.
Aini kebingungan harus menjawab apa, ia tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakakan oleh nenek itu.
"U...umi...umi...tolong bantu Aini dong," jerit Aini memanggil uminya. Seulas senyuman terlukis dibibir umi ketika melihat kearah Aini dan nenek itu, umi segera menghampiri mereka dan sesampainya umi langsung menatap ramah pada wanita tua itu.
"Umi...siapa ya, Aini gak pernah lihat nenek ini sebelumnya?" bisik Aini ditelinga umi.
"Oh iya...umi lupa kenalin ke kamu Ai, ini nenek Fatimah kita akan tinggal di rumah nenek ini selama liburan, ayo dong salaman dulu sama neneknya,"
"Siapa anak bebai hinji, anak kamu Ros?" tanya nenek itu.
"Iya mak, hinji anakmu Ros," nenek itu bicara sambil memandangi wajah Aini. Sementara, Aini yang tidak mengerti arti dari pembicaraan mereka hanya tersenyum dan diam mendengarkan.
Tanpa terasa sinar matahari telah berganti dengan cahaya bulan. Sejak kecil Aini sangat suka melihat langit malam yang cerah dan dihiasi dengan kelap kelip bintang, seperti yang saat ini ia lakukan dihalaman rumah, karena dengan melihat keindahan itu ia dapat melupakan segala kesedihannya untuk sementara waktu.
"Ehm...," Dehaman umi memecahkan atmosfer keheningan yang telah diciptakan Aini.
"Loh, umi mau lihat bintang juga?" tanyanya sambil melemparkan senyuman jahil.
"Iya...umi mau melihat bintang, umi mau mencoba mengerti apa yang Aini rasakan selama ini"
"Apa? kok umi jadi nggak nyambung gini?" tanya Aini bingung dengan mata menyipit.
"Oh....maksud umi bukan hanya mengerti, lebih tepatnya umi mau merasakan apa yang Aini rasakan."
"Sebenarnya umi mau ngomong apa sih....umi bisa to the point ke Aini, jangan bikin aku bingung dong?"
"Hmm...selama ini umi terlalu egois, umi kurang mengerti penasaan Aini, seandainya umi berkata jujur dari awal, umi tidak perlu membuat satu kebohongan yang akhirnya menjadi rantai kebohongan. Maafkan umi Aini," umi diam beberapa saat, terlihat dahi Aini mengerut tanda ia sedang memutar keras otaknya.
"Umi minta maaf karena umi telah berbohong pada kamu selama ini, umi telah menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya," jelas umi.
"Oke,.... Aini maafin umi. Walaupun Ai rasa umi nggak ada salah, dan sebenarnya kenyataan apa yang umi nggak ceritakan ke Aini?"
"Tentang abi Ai, sebenarnya....abi tidak sibuk dan bekerja di tempat jauh seperti yang pernah umi katakan ke kamu."
"Lalu, apa yang terjadi pada abi umi?" jantung Aini berdebar hebat menunggu jawaban umi. Umi diam sejenak. Sebelum bicara umi mencoba menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
"9...Maret 2002. Malam itu abi mengalami kecelakaan, Diperjalanan menuju pesta ulang tahun kamu Ai."
Benar-benar parah. Aini merasa seluruh saraf tubuhnya mulai tak berfungsi, ia diam. Ia merasa seperti dirinya tertimpah batu yang sangat besar sehingga ia tak mampu untuk melakukan apapun. Satu hal yang dapat ia lakukan hanyalah menutup mata, dan tetesan air pun perlahan mulai meluncur berkejaran dipipi Aini.
"Sudahlah Aini. Ini semua bukan salah kami, umi yakin Allah memiliki rencana yang sangat indah untuk kita di kemudian hari, tapi sebelum itu kita harus melewati ujian ini. Sayang, kamu harus tahu cobaan yang kita hadapi adalah kunci untuk meraih kebahagian, semakin kita tabah dan tawakal akan semakin cepat kita memperoleh kebahagiaan itu."
Aini sudah mulai merasa tenang, tubuhnya yang semula dingin sudah mulai terasa hangat di dalam pelukan umi." Apa abi selamat dari kecelakaan itu umi?" tanyanya ragu.
"Alhamdulillah Ai abi selamat, tapi abi...," belum selesai umi bicara ia sudah memotongnya.
"Aini ingin bertemu abi apapun keadaannya! Besok tolong antar Aini menemui abi umi," umi hanya hanya tersenyum mengiyakan.
Esok paginya Aini dan umi pergi menemui abi. Setelah satu jam perjalanan dengan begitu banyak jalan berlubang yang mereka lewati, akhirnya mereka sampai disebuah tempat yang didalamnya terlihat taman kecil yang tersusun rapi. "PONDOK SANTRI AL-FATAH" itulah papan nama yang tergantung di depan gerbang kayu jati bangunan itu.
"Di sini umi?" uminya hanya mengangguk tanda mengiyakan.
Mereka berjalan masuk melalui koridor depan, saat itu Aini sangat gugup. Ia takut ia tidak dapat mengenali abinya. Ia yakin dalam waktu 9 tahun sudah banyak perubahan yang terjadi pada diri sang abi, baik perawakan, wajah, atau pun yang lainnya. Karena rasa gugupnya itu ia terus berjalan tanpa memperhatikan daerah sekitar, sampai-sampai ia tidak sabar bahwa saat ini ia berjalan sendiri sedangkan uminya menghampiri lelaki tua yang sedang bertasbih di bangku taman.
"Aini.....," ia tersadar dan menoleh kearah sumber suara itu. Matanya mencari dan terkejut melihat uminya sudah berada di tengah taman dan bukan dibelakangnya.
"Umi? Umi ngapain disitu, terus siapa laki-laki itu ya?" Umi dan lelaki itu berjalan kearah Aini, tanpa sadar ketika melihat lelaki itu Aini berkata pelan "Abi?"
Aini ragu, tetapi entah mengapa jantungnya berdebar ketika ia melihat lelaki itu. Ia terlihat tua dan letih, dengan rambut putih dan kulitnya yang sedikit mengendur. Ia berjalan dituntun umi dan menggunakan tongkat seperti orang buta. Ketika lelaki itu dan umi berada di depan Aini, ia berhenti mengira-ngira dan tersadar Lelaki itu buta batin Aini tak terucap.
Aini..." Sapa umi kemudian mengalihkan pandangan dari Aini ke lelaki itu.
"Aini...." Lelaki itu memanggil Aini, kemudian ia mencoba mencari dimana letak wajah Aini dan berusaha merabanya. Dengan dibantu arah oleh umi lelaki itu meraba wajah Aini. Aini diam mematung memandangi wajah lelaki itu. Jantungnya berdetak cepat, dalam hatinya mengatakan bahwa dialah abinya tapi satu kenyataan yang tidak bisa ia terima lelaki itu buta!
"Ini abi Ai, abi yang selama ini selalu kamu tunggu kehadirannya," Umi memecahkan keheningan Aini tetap diam, diam dan diam.
'nggak mungkin! abi Aini sehat! abi Aini bisa melihat, Aini nggak mungkin punya abi buta! Nggak mungkin, umi pasti salah, dia bukan abi Aini, NGGAK MUNGKIN! Umi pasti salah' batin Aini terus bicara dan berontak.
"NGGAK! AINI MAU PULANG! UMI PASTI SALAH! AINI MAU PULANG!"
"NGGAK, NGGAK MUNGKIN DIA, NGGAK......." Aini melangkah pergi dengan langkah yang cepat dan lebar, sepanjang jalan Aini terus berteriak tanpa memperdulikan uminya, lelaki itu, dan orang-orang disekitarnya.
"Abi...ini semua salah umi. Umi belum menceritakan keadaan abi yang sebenarnya sampai-sampai Aini terkejut dan bertingkah seperti ini," raut sesal terlihat diwajah umi.
"Sudahlah umi, cepat susul Aini. Abi dapat mengerti ini semua bukanlah salah kalian,"
Umi berlari kecil untuk mengejar Aini, dan akhirnya umi dapat mengejarnya. Setelah itu mereka segera pergi meninggalkan pesatren. Sesampainya di rumah, Aini pergi mengurung diri di kamar. Entah sudah berapa puluh kali umi mengetuk pintu kamar Aini, tetapi ia tetap tidak mau keluar. Dengan berbatasan pintu yang tertutup umi bicara pada Aini.
"Aini...umi tahu kamu terkejut, tetapi tidak seharusnya kamu berlaku seperti itu terhadap abimu. Dia benar-benar merindukan kamu Ai....," uminya berkata lembut tapi tetap tegas.
Tak ada jawaban yang terdengar dari dalam kamar Aini. Setelah hampir 3 jam umi menunggu di depan pintu akhirnya umi memutuskan untuk membiarkannya sendiri sementara waktu.
Di dalam kamar berlantai kayu itu Aini duduk sambil memeluk boneka panda miliknya. Ingatannya kembali pada kejadian siang tadi, fikirannya kacau! Ia tidak tahu mengapa ia begitu bodoh sampai-sampai melakukan hal seperti itu. Pukul 9 malam. Sudah hampir setengah hari ia berdiam diri di kamar, hingga akhirnyapun ia jatuh tertidur meringkuk di lantai kayu.
Di pertengahan malam ia terbangun karena kerasnya dentingan lonceng jam dari ruang tengah. Disaat bangun ia melihat kaligrafi bertuliskan nama Allah SWT dan nabi Muhammad saw tergantung di dinding kamarnya. Tiba-tiba saja ia tergerak untuk melakukan shalat dipertengahan malam yang selama ini hanya ia pelajari di sekolah dan tak pernah ia lakukan. Setelah menghadapi cobaan ini, ia baru menyadari betapa jauhnya ia dari Allah SWT hingga ia merasa malu untuk berdoa dan meminta kepadaNya. Ia telah melalaikan berbagai perintah Allah SWT selama ini, dan pada malam ini ia bertekad akan mulai mencoba mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperbaiki segala kesalahannya.
'ya ALLAH sebenarnya cobaan apa yang engkau berikan kepadaku? Aku sadar selama ini aku lalai terhadap perintahmu tapi janganlah kau hukum aku dengan kenyataan seperti ini ya Allah, tetapi.....jika memang ini jalan terbaik yang engkau berikan untukku bantulah aku untuk menerima kenyataan ini dengan hati yang iklas. 'Doa Aini dalam tahajudnya.
"Robbanaa aatina fid-dun-yaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa adzaaban-naar."
Tiga hari lamanya Aini berdiam diri, ia hanya keluar kamar jika dipanggil untuk makan bersama, tetapi di hari keempat ia menghampiri uminya yang sedang termenung memandangi bunga-bunga indah di halaman.
"Umi, Aini ingin bicara sesuatu...tentang abi," suara Aini mengalihkan pandangan umi.
"Ya, apapun yang ingin Ai katakan umi akan mendengarkannya."
"Aini ingin bertemu abi umi, Ai melakukan kesalahan besar pada abi, umi mau mengantar Aini bertemu abi lagi kan?"
"Tentu sayang."Alhamdulillah ya Allah engkau telah membukakan pintu hatinya-batin umi tak terucap.
Mereka memutuskan untuk menemui abi hari itu juga. Satu jam kemudian mereka tiba di depan pintu masuk pesatren itu, baru beberapa langkah mereka berjalan dikoridor depan langkah Aini tiba-tiba terhenti dengan pandangan yang terpaku pada satu sosok. Itu abi. Ia langsung menghampirinya dan duduk berlutut di depan lelaki itu. Sesaat Aini memandangi wajah lelaki yang sedang bertasbih itu, ia mencoba mengatur nafas dan mulai berbicara.
"A a abi....ini Aini, Aini ingin minta maaf," terbata-bata Aini berusaha bicara.
"Aini....ini benar kamu sayang? Abi yang salah, Ai tidak perlu minta maaf."
Air matanya tumpah tak tertahan, ia menangis sambil menggenggam kedua tangan abinya. Percakapan antara abi dan Aini berlangsung cukup lama sampai umi menghampiri mereka dan ikut bicara.
"Sekarang kita sudah berkumpul bersama kembali, umi benar-benar senang. Terimakasih Ya Allah" ungkap syukur umi.
Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan di dalam hidup Aini. Liburannya di desa itu ia habiskan untuk mengunjungi abinya di pesantren, semakin sering ia melawati hari bersama abinya, lambat laun ia mulai mengerti dan memahami apa saja yang disukai dan tidak disukai abinya, selama ia mengunjungi abinya di pesantren ia mulai mempelajari lebih banyak hal tentang agama islam yang selam ini ia abaikan. Di setiap harinya ia selalu menyempatkan mengaji, bertasbih, serta sholat berjamaah bersama sang abi. Hampir tiga minggu sudah ia berada di desa itu dan tiba saatnya ia untuk pulang dan mulai mencari SMA untuk melanjutkan pendidikannya.
Saat matahari mulai kembali keperaduan terlihat keluarga kecil sedang berbincang di tengah taman.
"Aini....besok sudah saatnya untuk kita pulan." Umi bicara.
"Oke, abi juga ikut kita pulang kan umi?"
"Maaf, abi tidak bisa ikut kalian pulang, sebab setelah sembuh dari kecelakaan itu abi sudah berjanji akan mengabdi dan selalu berada di pesantren ini."
"Abi...pokoknya kalau abi tidak ikut pulang Aini tidak mau pulang," Aini memajukan kedua bibirnya kedepan.
"Aini...." seru abi dan uminya secara bersamaan.
"Yasudah......kalau begitu Aini akan melanjutkan sekolah di pesantren ini bersama abi, bagaimana? boleh kan abi, umi?" belum dijawab Aini sudah bicara lagi, "Lagipula Ai senang ada di pesantren ini, di sini Aini bisa belajar agama lebih banyak lagi, Aini ingin menjadi anak yang solehan untuk abi dan umi, Aini boleh kan melanjutkan pendidikan di pesantren ini.....?"
Abi dan uminya terdiam sesaat sementara Aini memandangi mereka berdua bergantian, tak lama kemudian abinya berkata "Baiklah, jika itu keinginan Aini, iya kan umi?"
"Iya abi, yang terpenting Aini tetap rajin belajar di sini, Tetapi umi tetap harus pulang besok. Umi akan mengunjungi kalian setiap minggunya. Bagaimana?"
Momen kebersamaan itu menjadi sebuah memori terindah yang pernah Aini miliki dan selalu ia ingat sepanjang hidupnya. Aini akhirnya tinggal di pesantren, abi dan uminya sangat bangga kepada Aini sebab ia menjadi salah satu santriwati teladan di pesantren itu, Aini telah banyak berubah, ia sekarang benar-benar menjadi anak solehan yang taat beragama, selalu sholat dan mengaji, Aini juga sudah belajar menutup auratnya. Walaupun abinya buta ia tidak akan pernah meninggalkan abinya, ia akan selalu ada di sambing abinya. Sebab, ia telah berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi mata kedua bagi abinya di dunia ini.
Gadis berjilbab putih itu tersadar dari lamunannya dan kemudian tersenyum menatap langit, ia kembali pada kenyataan bahwa hari ini adalah tanggal 9 Maret 2012. Ia tidak sedang berada di hotel bidang 5 ataupun restoran mewah tempat ia biasa merayakan ulang tahun, tetapi ia sedang berada disebuah ruangan yang tak henti-hentinya bershalawat dan mengumandangkan nama-nama Allah SWT. Musholla ASY-SYIFA, ditempat itulah ia sekarang, dihari ulang tahunnya yang ke-16 ia menyantuni anak yatim dan orang miskin di Mushola Hijau SMAN 9 Bandar Lampung, sekolah tempat uminya mengajar agama islam.
"Abi, umi.....sekarang Aini semakin sadar akan indahnya berbagi, menyantuni orang-orang yang tidak mampu rasanya lebih menyenangkan. Dibandingkan mengadakan pesta meriah di hotel mewah. Aini akan terus seperti ini, mencoba menemukan jati diri Aini melalui ajaran agama islam." Aku Aini sambil tersenyum riang.
"Ya insyaallah, abi bangga sama kamu sayang. Putri abi pasti bisa menemukan jati dirinya. You will found your way with islam."
"Aamiiin......," seru Aini dan uminya bersamaan.
Karya: Marta Sopiya Hamid
Karya: Marta Sopiya Hamid
No comments:
Post a Comment