CAMPUR ADUK

Tuesday, February 5, 2019

PERHAPS IT'S ACCIDENT

Gadis itu beberapa kali terlihat menghela lalu menghembuskan napas panjang. Dipijit keningnya yang terasa pusing karena memikirkan sesuatu dan yang pasti hal tersebut sangatlah penting bagi dirinya. Kakinya dihentak-hentakkan di atas lantai keramik dengan cukup keras. Sementara itu, tangan kirinya berada di pinggang dan tangan kanannya masih terus memijit keningnya yang terasa pusing.

“Are you sure, Chev?” sebuah suara bernada halus namun sangat terdengar cempreng di kuping membuat Gadis tersebut segera berpaling. Ia menatap lekat wajah sahabatnya untuk menunjukkan bahwa ia serius. “You’re not forget it, right?” kali ini suara tersebut terdengar seperti bisikan.

“Oh, my! Come on, Faye. I’m not such an idiot. Meninggalkannya begitu saja? Itu sama saja cari mati!” ucap Gadis itu dengan nada yang terdengar–sangat–panik. Keadaannya saat ini cukup membuktikan bahwa ia begitu stress karena sesuatu yang membuat dia dan sahabatnya itu harus rela menyerahkan diri mereka.

Di tengah-tengah kepanikan yang melanda keduanya, seorang wanita paruh baya -terlihat berumur 40 tahun- bertubuh sedikit gempal berjalan memasuki kelas mereka. Ia mengenakan blazer berwarna chocolate cream kotak-kotak yang cukup longgar dipadu dengan rok selutut yang berwarna sepadan dengan blazer miliknya yang membuat tubuh gempalnya tidak terlalu mencolok. Kemudian dia meletakkan beberapa buku tebal yang sedari tadi ia dekap di atas meja guru.

GULP!

Kepanikan kembali melanda keduanya. Kali ini keringat dingin bercucuran dari pelipis, dahi, leher dan tengkuk mereka. Mereka merasakan seolah-olah mereka akan segera mati atau mungkin sekarang. Saat ini wanita paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah guru bidang studi Sejarah mereka sedang menatap seluruh penjuru kelas –tanpa terkecuali– dengan tatapan yang tajam.

BRAAKK!

“Please, be quiet student! Duduk di tempat kalian masing-masing segera!” titahnya seraya menjentikkan jari telunjuk miliknya. Semua murid segera mematuhinya dan segera duduk di bangku masing-masing dengan perasaan bingung yang menyelimuti mereka. Yang mereka tahu saat ini, biasanya guru mereka yang satu ini ketika masuk akan langsung menagih pekerjaan rumah atau langsung mengerjakan soal dan atau yang lebih parahnya lagi langsung ulangan harian tanpa membahas kembali pelajaran yang sudah dipelajari maupun yang belum dipelajari.

“Oi, Chev. What happen to Madame Ro? Apa dia punya suatu penyakit? Astaga! Jika itu terjadi aku akan segera menyiapkan tempat makam,” bisik Faye kepada Chev untuk menenangkan perasaan Chev sejenak. Akan tetapi, Chev, dia hanya dapat terdiam saking paniknya. Tubuhnya bergetar cukup hebat dan wajahnya terlihat hampir pucat. Keringat dingin terus menerus bercucuran.

Faye yang menyadari keadaan Chev yang cukup tegang, segera menyikutnya bersamaan ketika dia menyadari bahwa Madame Ro melirik ke arah keduanya. Terlebih lagi menatap tajam ke arah Chev. Chev, dia hanya dapat menghela napas panjang mencoba untuk rileks sejenak selain itu, ia berusaha untuk menghindari tatapan tajam Madame Ro. Ya, dia tahu bahwa Madame Ro tidak begitu menyukai murid yang terlihat cukup tegang maupun sakit. Entah apa alasannya ia sendiri pun tak tahu.

Tak lama segera setelah itu, Madame Ro memejamkan mata sejenak seraya menghela lalu menghembuskan napas. Suara dehem yang sengaja dibuat keras terdengar oleh seisi kelas dan hal tersebut semakin membuat Chev kalang-kabut. Dia semakin takut kalau-kalau Madame Ro akan menghukum dirinya -tidak tetapi Faye juga. Hening. Begitu sunyi. Tak ada satu pun dari siswa maupun siswi dari kelas 2-A yang berani membuka mulut mereka untuk sekedar bicara maupun berbisik. “I’ll be die! I’ll be die! I’ll be die! God please help me!” batin Chev. Dia terus berharap dan berdoa.

“Good morning, students. I know this morning you’re all really confused why am I act like this? But, it’s okay. Jangan terlalu tegang,” suara berat dan serak khas Madame Ro membuat seluruh siswa-siswi kembali terdiam. Justru mereka semua semakin bertambah bingung. “Hari ini kita kedatangan tamu spesial. Ya, silahkan masuk!”

Dari arah bibir pintu ruang kelas, masuk seorang pemuda bertubuh tegap namun tinggi badannya bisa dikatakan lumayan pendek. Dia berjalan menunduk seperti tak mau menunjukkan wajahnya di depan seluruh murid penghuni ruang kelas tersebut. Ia terlihat terus menerus mendekap sebuah amplop berwarna cokelat.

“Baiklah, Nak. Silahkan perkenalkan dirimu. Your friends want to know about you!”

Pemuda tersebut masih tak bergeming. Sesaat kemudian, dia berbalik menghadap papan tulis hitam dan mengambil sebatang kapur. Tangan kanannya segera menari-nari di atas papan tulis. Lalu, dia meletakkan kembali batangan kapur tersebut ke tempatnya dan berbalik dengan kepala tertunduk.

“Ah, ada apa dengan pemuda itu? Cih, pelit sekali memperlihatkan wajahnya!” celoteh Faye. Dia cukup kesal karena sejak pemuda tersebut masuk ke dalam kelas, dia tak sedikit pun menunjukkan wajahnya. “Dasar kerdil!” dengus Faye.

Seperti mendengar celotehan Faye dan beberapa anak murid lainnya, pemuda tersebut perlahan mendongakkan kepalanya. Chev yang biasanya akan terlihat senang dan bersemangat untuk menyambut anak baru, kini tak lagi bersemangat seperti biasanya. Kini, dia tak lebih dari sekedar patung yang diam tertunduk dan terlihat pucat.

BRAAAKK!

“UN GARÇON!”

Suara teriakan bernada halus nan cempreng segera terdengar oleh seluruh penghuni ruang kelas 2-A. Hampir seluruh pasang mata siswi menatap dengan kagum pemuda tersebut -terkecuali Chev. Dia, pemuda yang merupakan murid pindahan tersebut memiliki bentuk wajah oval, bibir mungil, mata yang mirip seperti boneka dengan bulu mata yang lumayan lentik, memiliki lensa mata berwarna blue ocean, dan hidung yang tak terlalu mancung. Belum lagi tinggi badan yang tak terlalu tinggi. Hanya sekitar 168 cm. Pendeskripsian yang lebih tepat untuknya adalah… IMUT! dan cantik -hampir menyerupai perempuan jika dilihat sekilas.

“Cute!!!! Kyaaa!!!!”

“He’s more beautiful than me!!!”

Jeritan histeris akan kekaguman pun segera berkumandang di dalam ruang kelas tersebut atau bahkan terdengar hingga ke kelas tetangga mereka.

“Alois Dwight Beaufort from England. Nice to meet you.”

Begitu dingin dan singkat. Perkenalan yang sangat jarang ditemui oleh mereka. Beberapa pasang mata siswa melirik tajam seolah-olah ingin menindas. Chev masih sama. Duduk terdiam dengan tubuh bergetar, panik, takut dan pucat. Semuanya terasa lengkap bagi dirinya.

“Well then, Mr. Beaufort. You can sit behind Miss Chevalier and Fremont!”

Madame Ro mempersilahkan murid pindahan tersebut duduk di belakang Chev dan Faye yang memang kebetulan kosong. Mata Faye begitu berbinar-binar begitu melihat murid pindahan tersebut berjalan ke arah bangku mereka–tepatnya di samping Chev. Sementara itu, sepasang blue oceans melirik ke arah Chev yang terlihat sangat galau. Dia hanya dapat terkekeh pelan namun, kekehan tersebut terdengar oleh Chev.

“Oh, Shut up you bastard!” teriak Chev.

Chev segera sadar bahwa ia sedang berteriak kepada murid pindahan, sedangkan murid pindahan tersebut hanya dapat menyeringai yang membuat Chev terkejut dan semakin ketakutan. Reflek saja dia berdiri. Membungkukkan badan seraya berkata, “Aku minta maaf!”

Setelah Chev mengucapkan permintaan maaf, dia kembali duduk diikuti oleh pemuda tersebut yang juga duduk di bangkunya. Madame Ro dan beberapa siswa maupun siswi lainnya hanya dapat terdiam seolah-olah mereka semua telah mengerti tabiat Chev ketika terkejut akan tanpa sengaja mengeluarkan kata-kata kasar.

“Okay, students. Hari ini kita akan melanjutkan pelajaran kita. About homeworks, maybe later. And for you Miss Chevalier,” jari telunjuk Madame Ro menunjuk tepat ke arah Chev yang kini benar-benar diam seribu bahasa. “Next time, if you get shock. Jangan gunakan bahasa kasar!”

“Now, open your book page 248!”

Sebuah telapak tangan yang terasa sangat besar berada di bahu kiri Chev. Chev yang semula diam seribu bahasa, hanya dapat menoleh dan melihat pemilik telapak tangan tersebut. Kedua mata Chev hanya tertuju pada sebuah amplop cokelat besar yang disodorkan ke arahnya.

“Hi, long time no see! It’s yours. Next time, please be careful, Cheals. Or should I called Chelsea Antoinette Chevalier.”

“Oh, okay. Merci beaucoup!”

Sesaat Chev terdiam setelah mengucapkan kata terima kasih dan mengambil amplop besar yang disodorkan pemuda tersebut. Ada yang mengganjal dari ucapan pemuda tersebut. Sebenarnya untuk memikirkan hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia tak dapat mengerti bagaimana dan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

“Long time no see,” “Next time,” dan “Cheals,” Ketiga kata tersebut terus terngiang-ngiang di otak Chev. Bagaimana orang tersebut tahu? Dan kapan dia pernah bertemu pemuda tersebut? Terlebih lagi, dia mengatakan “Lama tidak bertemu?” Sebenarnya siapa pemuda ini?

Ketika Chev hendak memutar badannya untuk sekedar bertanya kepada pemuda tersebut, sebuah tangan besar yang hangat telah lebih dahulu memegang pundaknya. Sebuah bisikan halus dan menenangkan, “It’s okay if you don’t remember!” Tak tahu mengapa, setelah pemuda itu membisikkan kata-kata tersebut, Chev hanya dapat terdiam dan menurutinya.

Madame Ro menangkap basah Chev yang terlihat melamun. Faye yang sedari tadi sibuk mencatat kalimat yang tertulis di papan tulis, segera menyadari lirikan dari Madame Ro. Segera Faye menyenggol keras siku Chev tapi, kelihatannya Chev tak kunjung sadar.

“Miss Chevalier!!! Page 248!!!”

Chev segera tersadar begitu mendengar suara Madame Ro yang setengah berteriak hanya untuk membangunkan dirinya dari lamunan. Rona merah di kedua pipi Chev terlihat jelas sekali. Ia sungguh malu. Tak perlu menunggu waktu lama, dia segera membuka halaman tersebut dan membacakan beberapa paragraf.

“It’s feel so nostalgic when I hear his voice. But, who is he? When am I met him?”

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK