CAMPUR ADUK

Tuesday, February 5, 2019

HANIPI

Di Pekon Sebelat kabupaten Lampung Barat, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari ina, apak, dan seorang anak laki-laki. Sebut saja keluarga Mamak Rizomi. Keluarga Mamak Rizomi terkenal dengan kehidupan yang serba berkecukupan. Tiga hektar tanah pemukiman dan 100 m persegi persawahan hanyalah segelintir harta dari keluarga ini.

Namun, tamak bukanlah sifat dari keluarga ini, Rendah hari, sopan, dan santun membuat keluarga ini cukup disegani warga pekon setempat. Mamak Rizomi  terkenal di Pekon Sebelat sebagai lelaki paruh baya yang taat beragama. Inggomannya di kenal sebagai ibu rumah tangga yang baik hati. Belum lagi anak lelaki satu-satunya yang tampan nan cerdas, membuat keluarga ini nyaris sempurna.

Marzuki namanya. Merupakan putra tunggal dari keluarga tersebut. Otaknya yang cerdas dan kharismanya yang mempesona, membuat dirinya bak pemuda ideal  bagi para gadis di Pekon Sebelat. Di samping para gadis yang memuji-muji Marzuki, para pemuda seusianya pun mengakui akan kecerdasan otak dan ketampanan panasnya. Bahkan bujang yang tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lampung ini, mampu membuat bakas-bakas tuha pekon setempat mengelu-elukan Marzuki.

Maklumlah, di Pekon sebelat hanya Marzukilah pemuda yang beruntung mencicipi bangku kuliah. Di Pekon Sebelat jarang sekali muli- meghanai   yang bersekolah tinggi, paling tidak lulus SMP atau SMA.

Tidak hanya itu, selain cukup populer Marzuki juga adalah pemuda yang menjadi andalan warga pekon. Sampai-sampai ia di setarakan dengan tokoh adat di Pekon Sebelat karena Intelektualnya yang gemilang. Betapa beruntungnya hidup Si Marzuki itu, sampai-sampai sebagian pemuda pekon ini dibuatnya.

Tapi tetap saja, tiada yang sempurna di dunia ini. Tida yang abadi, pepatah bilang tiada gading yang tak retak. Naasnya pepatah ituharus menimpa keluarga Mamak Rizomi. Kekayaan demi kekayaan Mamak Rizomi kian habis dimakan waktu. Hektar per hektar tanah pemukiman, meter per meter area persawahan Mamak Rizomi kian ludes. Hampirlah habis Mamak Rizomi jual untuk usaha barunya yang tak kunjung membuahkan hasil. Kondisi kesehatan istri Mamak Rizomi pun memburuk. Sang istri kerap jatuh sakit hingga akhirnya meninggal.

Batin Mamak Rizomi akhirnya terguncang saat harus menerima kenyataan hidup yang sangat pahit. Jatuh muskin dan ditinggal mati istri tercinta. Sungguhlah tragis.

Hal itu tentu membawa pengaruh buruk terhadap kondisi mentalnya. Ya Mamak Rizomi hampir di buat gila akibat stress yang tak mampu terbendung. Ia jadi tak banyak bicara, itupun terkadang perkataan yang tak masuk di akal. Sering ia menganggap bahwa sang inggoman  tercinta masih hidup dan masih menemaninya hingga detik ini.

Lalu Marzuki? Mengetahui aset kekayaan apak ludes, dan ina meninggal, Marzuki pun kesal bukan kepalang. Betapa tidak? Bagaimana ia dapat melanjutkan kuliah jika tidak punya uang? Tahu sendirilah sudah sebesar itu ia masih berpangku tangan terhadap apaknya. Belum lagi inanya yang meninggal di saat goyah seperti ini. Sungguh mas nasib si meghanai tampan Marzuki.

***

Di siang hari, saat matahari asik memeluk pekon, Marzuki pergi ke kedai kopi. Di sana telah duduk dua orang pemuda yang terlibat dalam perbincangan seru. Lalang waya kian terlihat dari kedua pemuda tersebut. Marzuki yang terlanjur sampai di warung kopi tersebut langsung memesan segelas kopi kental dengan beberapa potong bebuak yang terjaja di sana.

"aguy wee sinji kisah meghanai sikap sai kak dilegai-legai ko jelma pekon? Ajo liyak pundakni, sikap temon !" sahut pemuda pertama terhadap pemuda ke dua dengan nada yang mengejek.

Marzuki hanya terdiam, ia lalu menyeruput kopi kentalnya yang masih mengepul. Ke dua pemuda yang duduk tepat bersebelahan dengan Marzuki tampak kegirangan mencela Marzuki, saat tahu bahwa reaksinya hanya diam. Sekali, dua kali Marzuki masih bisa meredam emosinya. Tapi lama-kelamaan Marzuki geram. Piil pusenggiri tak dapat lagi di injak. Di angkat lalu dibantingnya meja kedai itu, dan ia pun pergi tanpa membayar apa pun. Meninggalkan gelak tawa yang menjadi-jadi dari ke dua pemuda itu.

Marzuki tidak lagi menjadi idola di seluruh penjara Pekon Sebelat. Bukan karena ia berhenti kuliah melainkan sikap Marzuki yang tidak mencerminkan bahwa ia seseorang yang berpendidikan. 

Bagaimana tidak? Marzuki jadi lebih suka keluyuran, nongkrong-nongkrong tak karuan dengan pemuda-pemuda lainnya. Para tetangga merasa iba melihat Mamak Rizomi yang harus memikul beban berat sendirian. Sering terdengar teriakan dan suara benda yang dibanting dari dalam rumah Mamak rizomi. Para tetangga menduga bahwa suara itu adalah Marzuki yang membuatnya, saat ia kesal dengan apak.

Siang semakin terik, seterik hati Marzuki yang dipenuhi amarah saat melangkahkan kakinya dengan tak tentu arah. Marzuki hanya bisa menelan ludah ketika berpapasan dengan seorang pria paruh baya yang melontarkan pertanyaan untuknya, "niku makwek kuliah lagi kudo?" Senyum simpul dan mata yang sinis adalah jawaban yang Marzuki berikan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia menghentikan langkahnya dan melemparkan wajah masam ke arah ragah ruha.

Pak Cik Rodi, begitu warga Pekon Sebelat memanggilnya. Seorang tualak hanau yang kebetulan lewat pun ikut menyahut. "Mamak Rizomi kan khadu jual tanah sana sini, Pak Cik." Tegas tualak hanau itu sambil membenarkan letak kerudung yang membelit di lehernya. Marzuki hanya mengernyit. Ia mencoba berlari menyusuri dataran aspal kasar yang sudah tak asing lagi baginya. Ia marah, sungguh. Namun ia tak berani memuntahkan api kemarahan dalam dirinya.

Pak Cik Roni lalu berteriak memanggil hingga Marzuki pun menghentikan langkahnya. Nafasnya tersengal-sengal dan keringat membasahi keningnya. Perlahan ia balikkan badannya, kemudian berjalan ke arah Pak Cik Roni yang masih memanggilnya. Pak Cik Roni tersenyum kecil melihat Marzuki menghampirinya.

Saat itulah akhirnya Marzuki dan Pak Cik terlihat perbincangan singkat. Perbincangan tentang iming-imingan uang banyak dari bisnis si Pak Cik Roni. Mendengar imingan uang banyak, raut wajah Marzuki seolah kembali segar setelah lama bermuram durja. Betapa tidak? Jika Marzuki kembali berharta, tentu ia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda. Lalu meredam isu tak sedap yang selama ini menimpa keluarganya.

Kini tiada lagi kebas di hati Marzuki. Yang ada hanyalah senyum penuh harapan dari bisnis  yang ditawarkan oleh Pak Cik tadi. Kendati demikian, sesungguhnya Marzuki bimbang, sebab bisnis yang ditawarkan tersebut membutuhkan modal, dari mana dia akan mendapatkan modal? Yang ia tahu, tanah dan area persawahan milik apak sudah banyak terjual. Setelah lama berpikir keras, Marzuki pun kembali tersenyum lebar. Kali ini senyumnya lebih lebar dari yang tadi. Entah apa yang ada di pikirannya. Marzuki akhirnya mempercepat langkahnya. Kelihatannya ia tak sabar untuk sampai di rumah.

***

Seperti biasanya, Mamak Rizomi duduk mematung dengan tatapan kosong di depan TV, meskipun sejak tadi TV menyala. Suara bantingan pintu memecah kehampaan rumah Mamak Rizomi. Marzuki dengan kasar membuka dan menutup pintu. Tanpa berkata apalagi salam, Marzuki langsung mendekati apak. Marzuki meminta sertifikat tanah yang tersisa pada apak dengan cara memaksa. Tak ada sahutan apa pun yang dilontarkan oleh apak yang tak bergeming.

Marzuki kesal bukan kepalang melihat tidak ada reaksi dari apak. Marzuki sudah seperti orang yang sedang kerasukan setan wajahnya yang tampan kini bak lemaung mengamuk, tangannya pun dikepalkan. Di dorong tubuh lemah apak hingga hampir saja terjatuh. Marzuki pun beranjak ke kamar apak dan kemudian mengacak-acak sebuah lagi pada lemari tua yang terdapat di kamar itu, hanya untuk satu tujuan yaitu mencari sertifikat tanah.
Tak butuh waktu yang lama, Marzuki akhirnya menemukan benda yang dicari. Sesekali Marzuki melompat-lompat kegirangan, dan segera meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun. Bersamaan dengan kepergian Marzuki, terlihat linangan air mata yang kian membasahi wajah Mamak Rizomi.

***

Kecerdasan otak yang gemilang sungguh tiada berarti apapun jika tidak dibarengi oleh ilmu agama. Yang ada hanyalah jalan sesat yang selalu di tuju. Itulah hal yang di sayangkan dari Marzuki.

Meskipun ia terkenal dengan pemuda tampan dan jaminan otak cerdas, namun ilmu agamanya masih rendah. Imannya cetek. Yang ia tahu hanya sholat lima waktu saja. Goyah sedikit hatinya, maka Marzuki akan bertindak brutal. Marzuki yang seharusnya merawat apak yang setengah waras itu, malah menelantarkannya. Awalnya saja ia urus sangapak, tapi lama-kelamaan Marzuki tak tahan dengan kondisi yang menimpanya. Alhasil, hidupnya menjadi tak karuan.

***

Jujur saja, Marzuki belum mengerti sepenuhnya tentang bisnis yang di jalani sekarang. Yang ia tahu, bisnis tersebut merupakan bisnis tersebut merupakan bisnis pembangunan sekolah swasta di kota Liwa. Bahkan Marzuki belum pernah ke sana untuk melihat secara langsung pembangunan sekolah swasta itu. Posisinya hanya sebagai penyokong modal Pak Cik Roni yang ia temui seminggu lalu. Dengan kata lain, meminjamkan uang untuk Pak Cik Roni bakal modal pembangunan sekolah swasta di kota Liwa. Namun, Marzuki sudah dijaminkan fee dari Pak Cik Roni. Tak mengapalah meminjamkan uang untuk Pak Cik. Toh nanti saya akan dapat keuntungan yang berlipat, batin Marzuki.

Hampir dua bulan sudah Marzuki menunggu. Namun tak kunjung ia dapat kabar tentang imingan fee untuknya. Mulanya ia masih bisa bersabar, lama-kelamaan ia tak bisa tinggal diam lagi. Dicarinya Pak Cik itu, di rumahnya tidak ada. "Ah, barangkali di kedai kopi."

Belum sampai di kedai kopi, ia bertemu dengan segerombolan tualak hanau yang menyuccum sayuran di kepalanya. "oi juki! Nyepok sapa niku, hah?" Marzuki akhirnya bertanya kepada salah satu dari tualak hanau tersebut tentang keberadaan Pak Cik Roni. "aih, Pak Cik yang kamu maksud itu nggak tinggal di pekon Sebelat lagi. Sebulan yang lalu ia pindah ke OKU, dia nggak bakal balik lagi ke sini karena istri mudanya kan orang asli sana.

"Marzuki mulai lemas "apa istri muda?"

Lalu bagaimana dengan bisnis pembangunan sekolah di kota Liva? Bagaimana pula dengan iming-imingan fee besar yang dijanjikan padanya? Mimpi semata. Marzuki sadar ia telah tertipu.

***

Aduhai MArzuki sudah jauh tertimpa tangga pula. Inilah yang akan diterima oleh orang yang tak pernah mau bersyukur dan sabar terhadap cobaan dari Allah SWT. Padahal sudah jelas dalam QS. Al-Baqarah Ayat 155,  bahwasannya Allah SWT akan terus menerus menguji umatnya dengan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berita gembira akan diberikan oleh orang-orang yang bersabar. Malangnya nasib si tampan Marzuki.

***

Langit seakan runtuh di kapalanya, Marzuki hanya mampu menghela nafas. Berat dan Panjang. Kelopak matanya tak sanggup lagi membendung buliran air mata penyesalan, sesesal matahari yang saat itu harus berbenah meninggalkan sore untuk sebuah malam, di temani sapuan angin pekon Sebelat yang semula terasa dingin. Perenjak-peranjak pun tak mau kalah, secara bergerombol mereka keluar dari singgasananya, seakan turut merasakan kesedihan Marzuki. Sungguh sebuah pemandangan yang tak lazim di pekon itu.
Malam ini akan menjadi malam yang kelabu bagi Marzuki. Saat ia berharap uang yang banyak akan menghampirinya, saat itu pula ia harus menelan pil pahit bulat-bulat. Ketika Marzuki hendak masuk ke rumah, ia mendapati rumahnya telah kosong. Tiada lagi tubuh rentaapak yang biasanya duduk melawun. Marzuki tak acuh dengan ketidakadaan apak, ia hanya mengira kalau apak pergi keluar untuk sekadar mencari udara segar.

Tiba-tiba terpikirkan olehnya. Apak kan setengah waras mana mungkin dia pergi keluar hanya untuk mencari udara segar, jangan-jangan terjadi sesuatu. Dicari apak ke setiap sudut rumah. Di kamar, dapur, hingga kamar mandi. Tapi nihil.

Marzuki menepuk-nepuk dadanya. Terasa sesak karena rasa amarah, sedih, dan kecewa yang bercampur aduk bak adonan kue yang dikocok dengan mixer. Sekuat tenaga ia berteriak hingga terdengar ke luar rumah.

"Ya Allah, apalagi yang akan menimpa saya? Ina Kau ambil, harta apak Kau tarik, duit bakal modal bisnis di bawa kabur orang. Sekarang apak menghilang. Saya ini bukan Nabi, Ya Allah! Yang bisa menerima cobaan berat seperti ini!" Marzuki marah dan menangis, menyesali cobaan yang datang bertubi-tubi padanya. Lelah terus menangis dan berteriak Marzuki pun jatuh dan tersungkur ke lantai. Ia pingsan.

***

Tepat pukul 12 malam, Marzuki tertidur meskipun apak belum kembali ke rumah. Warga pekon Sebelat pun sudah tertidur tiada lagi yang masih terjaga. Yang ada hanya kesunyian yang menyelimuti warga pekon Sebelat. Burung prenjak yang sejak sore berputar-putar di langit kini tak ada lagi. Dingin semakin merayap menusuk-nusuk setiap makhluk yang terlelap. Termasuk Marzuki, ia terjaga ddari tidurnya dan bermaksud menarik selimut yang terjuntai di ujung ranjang. Namun ia  terkejut ketika sebuah vigura foto ina yang tergantung di dinding kamar terhempas tiba-tiba. Hampir saja menimpa kepalanya. Masih dalam kantuk, ia mencoba mengambil vigura tersebut, namun belum tuntas tubuhnya membungkuk sekonyong-konyong guncangan dan geratan dahsyat muncul dari permukaan bumi. Di susul jeritan dan rintihan ketakutan dari warga pekon. Marzuki pun berusaha menyeimbangkan tubuhnya di tengah guncangan hebat itu, namun ia selalu gagal. Pekon Sebelat seakan di kocok habis oleh tangan Tuhan.

Warga yang menyadari adanya gempa bumi, lontang lantung berlarian keluar rumah mencoba menyelamatkan diri dan keluarganya. Gempa semakin menjadi-jadi, sudah banyak rumah yang roboh, pepohonan mulai tumbang, jalan-jalan mulai terbelah, dan hewan-hewan ternak mulai berlarian.

Bila dibayangkan betapa kuatnya gempa bumi malam itu. Kesunyian dan  udara dingin yang semula menyelimuti malam warga liwa berubah menjadi teriakkan dan kebisingan.

Lalu bagaimana dengan Marzuki? Pemuda tampan itu tak menyadari bahwa malam itu telah terjadi gempa bumi. Pikirannya masih kacau, hatinya masih tak karuan, walaupun kondisinya telah dalam keadaan setengah terjaga. Lukisan dan pajangan yang tertempel di dinding rumah Mamak Rizomi mulai berjatuhan, barang-barang yang ada mulai berhamburan, atap rumahnya pun mulai runtuh menimpah Marzuki. Sadar bahwa beberapa ganteng menimpa dirinya, ia pun terbangun. Tapi sayangnya sudah terlambat. Marzuki tak bisa lagi menyelamatkan diri karena sebuah balok besar penyangga atap rumahnya terjatuh dan menimpa tepat di tubuh Marzuki, disusul  benda lainnya yang akhirnya merobohkan semuanya.

Malam itu, 15 tahun 1994 gempa bumi dahsyat harus mengguncang daerah jiwa termasuk pekon Sebelat. Banyak warga yang tewas dan luka-luka. Bangunan, pepohonan, dan area persawahan rusak. Gempa  yang berlangsung malam itu telah menjadi luka dan trauma sendiri bagi warga liwa. Tubuh-tubuh dengan tangis dan teriakan kian bergelimpangan menghiasi warga liwa.

***

Sekujur tubuh Marzuki terasa sakit, bahkan dapat dirasakan saraf-saraf yang ada di tubuhnya berteriak hingga membuat kepala Marzuki semakin berdenyut pening. Perlahan Marzuki menggerakkan tubuhnya, namun tidak bisa karena tertahan oleh puing-puing reruntuhan. Tubuhnya luka-luka dan berlumuran darah.

Tiba-tiba saja terdengar suara yang membisik Marzuki, "bangunlah, bangunlah, bangunlah" suara itu ternyata mampu membuat Marzuki membuka kedua kelopak matanya. Namun, Marzuki hanya dapat memincingkan matanya karena seberkas cahaya putih yang teramat sangat menyilaukan. Lamat-lamat ia perhatikan cahaya putih itu, tapi samar-samar yang terlihat jelas ialah sosok dengan kain putihnya yang menjuntai lebar. 

Malaikatkah? Ah, jangan-jangan malaikat Izrail yang hendak mencabut nyawa saya. Marzuki pun langsung bergidik ketakutan saat mengira sosok berkain putih itu adalah malaikat Izrail. Ia takut jika harus mati mengenaskan dalam keadaan seperti ini.

Tiba-tiba Marzuki merasakan ada sesuatu yang basah di wajahnya, dingin menyeruap membuat Marzuki spontan bangkit dan terduduk. Wajah apak berdiri di samping ranjang dengan posisi sambil memegang ember yang telah kosong dan memamerkan seringai giginya pada Marzuki.

***

"juki! Geluk lagi wee, nti niku kemawasan kuliah. Ina kak guwai selimpok bakal gham sarapan." Suara khas ina menyadarkan Marzuki dari lamunannya. Masih terbayang jelas di benaknya tentang mimpi semalam. Ada apa ini? Apakah ini sebuah pertanda, ataukah hanya mimpi biasa? Pertanyaan-pertanyaan kian bergelayut di otak Marzuki sejak di siram apak tadi pagi. Sambil melepas seprei dari kasur yang telah basah, Marzuki mencoba menceritakan mimpinya pada ina yang membantu Marzuki melepaskan seprei. Namun tak ada respon yang berlebihan dari ina. Hanya kalimat "gemuk lagi, nti selimpokni kak ngison."
Mobil travel sudah menunggu di depan, pesan ina dan apak seperti biasa sebelum melepas Marzuki untuk ke tanjung karang tak lagi tertangkap jelas olehnya. Hingga dalam perjalanan pun, tetap sama. Pengapnya udara dalam mobil tak membuat Marzuki masih melupakan peristiwa demi peristiwa dalam mimpinya tersebut.

Setibanya di kost-an pun Marzuki mencoba bercerita kepada beberapa teman satu kamarnya, lagi-lagi tak ada yang benar-benar merespon serius kegelisahannya.

Seminggu sudah ia di tanjung karang, kali ini ia sedang berada di sebuah ruang kuliah dengan dosen yang sedang menjelaskan mata kuliah. Semua teman-temannya fokus pada penjelasan dosen, sementara Marzuki pikirannya masih melayang pada mimpinya seminggu yang lalu.

Ponsel Marzuki tiba-tiba bergetar dan berdering. Sebuah pesan singkat terbaca, MARZUKI KAMU DI MANA? BAGAIMANA KELUARGA DI SEBELAT? APA BAIK-BAIK SAJA? SEBAB UDO BARU SAJA DENGAR BERITA DI TV, DI LAMPUNG BARAT DAN SEKITARNYA TERJADI GEMPA BESAR. TOLONG KASIH KABAR SECEPATNYA, YA?

Ponselnya terjatuh, sebelum SMS terjawab. Marzuki terkulai lemas. 15  februari 1994, tepat seperti dalam mimpinya.

***


Karya: Nina Nabilah

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK