Dengan napas terengah-engah dan muka merah padam karena sengatan matahari, seorang petani di desa terpencil yang jauh dari keramian kota berlari-lari meninggalkan ladangnya. Ia pergi menuju ke rumah tetangganya. Beberapa orang penduduk setempat yang berpapasan dengannya menjadi heran. Karena hendak mengetahui apa yang terjadi, mereka pun mengikuti dari belakang.
"Celaka, sungguh celaka! Sapi itu benar-benar gila!" gerutu John, petani tadi, sambil mengepalkan tinjunya. "Tanpa setahuku, sapiku masuk ke dalam kebun sayurmu. Singkatnya, kebun kubismu hancur!"
"Apa?! Seru George, petani tetangganya, dengan terkejut. "Sapimu merusak kebun kubisku sampai hancur?"
"Begitulah," kata John sambil menyeka keringatnya yang membasahi mukanya yang nampak sedih dan cemas. "Binatang itu memang keras kepala. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Apa yang harus kaulakukan?!" teriak George dengan nada tinggi. Kelihatannya ia marah sekali. "Kau seorang tetangga yang jujur, bukan?"
"Benar, Kau sudah mengenalku. Apabila aku tidak jujur untuk apa aku berlari-lari melaporkan peristiwa ini kepadamu?"
George berkata kepada orang-orang yang berkerumuh, "Nah, Saudara-saudara, kalian semua menjadi saksi!" lalu ia menoleh kepada John, serta katanya, "Baik, karena sapimu telah merusak kebun sayurku, kau harus mengganti rugi sebesar harga kubis itu bila tiba masanya memetik. Bukankah itu sangat adil?"
Orang-orang yang berkerumun itu mengangguk. "Ya, tuntunan itu cukup adil!" seru mereka hampir bersamaan.
"Hai, mengapa harus aku yang membayar ganti rugi?" tanya John seakan-akan menjadi keheranan.
"Jangan berlagak pilon!" bentak George garang.
"Bukan aku yang merusak kebunmu!"
"Ya, memang bukan kau! Tapi sapimu itu yang merusaknya. Jadi kau harus memberi ganti rugi kepadaku. Sekarang juga!"
"Ah, apakah .... apakah aku berkata bahwa sapiku telah merusak kebun sayurmu?" Sambil bertolak pinggang. George berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya, "Bagaimana, Saudara-saudara, tadi ia berkata begitu, bukan?"
"Ya, benar. Kau berkata begitu tadi!" sahut beberapa orang dengan serempak yang ditunjukkan kepada John.
John menggeleng-gelengkan kepalanya dan mendecak beberapa kali, lalu berkata, "Kalau begitu, pasti aku telah salah kata. Yang benar, sapi tetanggaku ini masuk ke kebunku dan merusak semua tanaman sayuranku."
"Ha?!" seru orang-orang tercengang. "Jadi, kebaikannya?"
"Benar!" kata John sambil menatap muka tetangganya yang tiba-tiba menjadi pucat pasi.
"Wah, ini suatu perkara yang pelik," kata George kemudian. "Oleh karena itu, marilah kita masuk ke rumah terlebih dahulu. Sebaiknya persoalan ini kita selesaikan secara kekeluargaan."
"Kukira tidak ada lagi yang perlu diselesaikan," kata petani John yang cerdik. "Ketika kau mengira sapiku yang merusak tanamanmu, kau telah menetapkan besarnya ganti rugi dan menuntut untuk membayarnya sekarang juga. Sekarang, pastilah kau rela memberikan ganti rugi sebesar yang telah kau tetapkan tadi, bukan? Kebetulan luas kebun kita sama. Dan bayarnya sekarang juga!"
"Apakah aku telah berkata begitu?" kata George seolah bertanya kepada diri sendiri. "Dan semua orang ini menjadi saksi?"
"Ya, kami semua mendengar perkataanmu. Tuntutanmu begitu jelas," kata beberapa penonton.
"Saudaraku yang baik, janganlah kau terburu nafsu. Berilah aku waktu untuk berpikir," kata George.
"Apa lagi yang harus dipikirkan? Secepat kau menuntutku, secepat itu pula kau harus membayar ganti rugi kepadaku," jawab John.
"Ya, kau harus memberi ganti, rugi kepadanya sekarang ini juga, sesuai dan sebesar yang kauucapkan sendiri tadi," teriak penonton hampir secara bersamaan.
Karya: Nuryati
No comments:
Post a Comment