Hari ini, detik ini, aku duduk di kursi ini, mengerjakan tanggung jawabku sebagai seorang karyawan, menjalani hidupku sebagai Alya Anandita. Untuk sampai ke titik ini dalam hidupku, aku melalui banyak keputusan-keputusan yang aku syukuri telah aku ambil, dan keputusan-keputusan yang aku sesali.
Selama melaluinya aku belajar bahwa what doesn’t kill you make you stronger.
Aku belajar menertawai diri sendiri, belajar mengambil hikmah dari setiap situasi, dan aku yakin-seyakinnya pada pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling hebat. Tapi untukku kegagalan selalu mengajarkan lebih banyak hal dari keberhasilan.
Kegagalan mengajarkan arti manisnya keberhasilan, nikmatnya bersyukur. Kegagalan terkadang menjadi tamparan untuk ego dan kesombongan. Membuatku lebih humble dan realistis.
‘aku sudah di bawah’ bunyi BBM dari Arga, laki-laki yang belakangan ini sedang dekat denganku
‘on my way’ balasku
Aku merapikan barang-barangku lalu keluar dari ruangan, menyapa beberapa teman kantor yang masih lembur dalam perjalanan turun ke lantai bawah. Arga menunggu di parkiran, ketika aku membuka pintu mobil dia sedang ikut menyanyikan lagu yang diputar radio mobilnya.
“hai” aku masuk ke mobil dan menutup pintu, “thankyou for pick me up ya”
“my pleasure, ready to go home?” senyumnya lebar dan ramah
Aku mengangguk sambil memasang seatbelt.
Kami berkendara dalam diam. Hanya suara musik dari radio yang mengisi keheningan.
“aku sudah beli take away tadi” kata Arga
“oke” jawabku
Kami kembali berdiam diri lagi. The silent is comfortable, not the awkward one.
Ketika lagu yang aku suka mengalun dari radio, aku ikut bersenandung.
“your song is always the sad one” kata Arga tiba-tiba
Aku menoleh dari kegiatanku memandangi jalanan, “I am not” bantahku
Arga tertawa, “sepanjang aku mengenal kamu yang selalu aku dengar kamu nyanyikan selalu lagu sendu”
Aku jadi berpikir, am I?
Aku mengangkat bahu, “maybe” jawabku ragu
“kenapa kamu selalu menjaga jarak, Al?” tanya Arga, out of nowhere
Aku menoleh lagi padanya, kali ini dnegan mata memicing, “pardon?” tanyaku dengan nada agak tersinggung
“you heard me right, kamu mungkin membiarkan aku dekat dengan kamu, jalan berdua, texting, but you are always put that invicible wall between us”
“I am not” sanggahku
“kamu nggak pernah membicarakan diri kamu, kamu selalu menjadi pendengar”
“dan kamu nggak suka?” tanyaku jengkel.
“that one of your quality that I admire, tapi aku juga mau mengenal kamu, Al”
Sepanjang percakapan ini Arga hanya memandangku lurus ke depan, ke arah jalanan, tidak sekalipun menengok ke arahku.
“I told you about myself”
Arga tertawa, tawa pahit yang membuatku tidak nyaman, “what is it then? Yang aku tahu tentang kamu kamu seorang wanita berumur 28 tahun yang masih single, hobi membaca dan bekerja, your life is all about your job, aku hanya tahu apa yang kamu ingin aku ketahui”
“don’t judge me” desisku, kembali memandangi lalu lintas.
“I am not”
“so, what you are doing now, then?” tanyaku jengkel.
“aku serius sama kamu, Al, tapi aku nggak bisa melangkah kemana-mana kalau kamu nggak membiarkan aku untuk melangkah”
Arga always keep his voice calm, one of his quality that I admire, copying what he said earlier. Dia selalu berkepala dingin.
“oh, bullsh*t, Ga, sekarang kamu bisa bilang kamu serius, and then when you know everything about me, found out all of my flaws, you just running away” kataku emosi.
“don’t judge me” kata Arga, membalikkan kata-kataku.
Aku berusaha meredakan nafasku yang mulai memburu karena emosi.
“really, Al? Kamu berpikir seperti itu tentang aku?”
“all men do that” kataku, stating the obvious.
“false statement, stereotyping, nggak semua laki-laki seperti itu”
“oh, my father did!” kataku dengan nada yang lebih tinggi dari yang aku inginkan.
Arga terdiam. Mungkin sedang menyusun kata-kata untuk merespon.
“aku nggak bisa berjanji kita nggak akan berpisah, it’s out of my control, tapi aku bisa berjanji untuk memberikan alasan untuk semua yang aku lakukan, apa ada kelakuan aku selama kamu mengenal aku yang bisa membuat kamu berpikir, that I’m going to leave when I’m getting to know you better?”
Aku tidak menjawab. But, the answer is no. He is this kind man, who gladly you bring to your parents as your soon to be husband.
“kamu tahu aku laki-laki yang bagaimana, kamu sudah tahu tujuanku mendekati kamu dari awal itu untuk serius, but I can’t come in if you don’t let me”
“I can’t let anybody in” kataku.
Arga terdiam, menunggu aku melanjutkan.
“aku nggak bisa membiarkan siapapun masuk terlalu jauh, and let myself have no control”
Arga masih terdiam.
Aku memutuskan untuk melanjutkan. If after this damn conversation he leave me, then leave.
“because if I let someone in, that’s mean I let him have control over my happiness, then my life” lanjutku.
“I will not” respon Arga.
“yes you will, if I let you in, and let my heart have contol over my mind, aku nggak akan rasional lagi, aku akan merasa terganggu ketika kamu berbuat kesalahan dan menyakiti hatiku, dan aku nggak akan bisa konsentrasi pada pekerjaan atau hidupku lagi, karena ketenangan dan kedamaianku akan berpusat di kamu” jelasku panjang lebar.
Arga terdiam.
“I will never let anybody in, Ga, I did it once, and I regret it”
No comments:
Post a Comment