Isi buku yang di baca Tissa :
Suku Aztec memercayai cerita kuno bahwa dahulu matahari sudah mengalami pergantian selama lima kali. Matahari pertama adalah persembahan dari pemimpin para dewa, yaitu Tezcatlipoca. Matahari pertama hancur karena Dewa Tezcatlipoca berselisih dengan Dewa Quetzalcoatl. Mereka kemudian bertarung sampai menghancurkan matahari. Matahari kedua merupakan persembahan Dewa angin timur Quetzalcoatl. Ia mengambil alih pengaturan matahari setelah mengalahkan Dewa Tezcatlipoca saat mereka berselisih. Dewa hujan Tlaloc kemudian mempersembahkan diri menjadi matahari ketiga. Lalu, matahari keempat dipersembahkan oleh Dewi air, Chalchiuhtlicue. Matahari ketiga dan keempat itu telah hancur karena bencana besar.
Kini, saatnya menentukan siapa yang akan menjadi persembahan untuk matahari kelima. Para dewa sedang berkumpul di Teotihuacan. Sayangnya, belum ada Dewa yang bersedia menerima tugas tersebut. Mereka merasa belum siap mengorbankan diri dalam api dan malah saling tunjuk. Dewa Tezcatlipoca dan Dewa Quetzalcoatl sebenarnya bersedia menjadi matahari yang kelima. Akan tetapi, mereka sudah pernah mempersembahkan diri untuk menjadi matahari dan tidak bisa melakukannya untuk kedua kali.
“Saya yang akan menjadi matahari berikutnya,” seru seorang Dewa yang baru saja hadir. Dewa itu adalah Tecciztecatl, putra dari Dewa Tlaloc dan Dewi Chalchiuhtlicue. Tecciztecatl adalah dewa yang gagah dan kaya raya. Dia mengajukan diri dengan penuh kesombongan.
Semua mata menatap ke arah Dewa Tecciztecatl. Mereka mengagumi keberanian dewa muda itu. Dewa muda biasanya jarang mengajukan diri, jadi Dewa Tecciztecatl pasti memiliki keberanian yang besar.
“Lalu, siapa berikutnya?” tanya Dewa Tezcatlipoca. Para dewa terdiam, tak ada yang menjawab. Dalam upacara pergantian matahari, biasanya ada dua dewa yang bertanding. Dewa yang berhak menjadi matahari berikutnya hanyalah dewa yang bisa memberikan persembahan terbaik.
Di tengah kasak-kusuk para dewa, ada seorang dewa yang sedari tadi diam. Ia adalah dewa yang rendah hati dan berpenampilan sederhana. Sedari tadi, dia hanya mendengarkan dewa-dewa lain beradu mulut. Dia adalah Dewa Nanahuatzin, dewa yang bersahaja. Dewa Quetzalcoatl yang menyadari kehadirannya, segera mengusulkan Dewa Nanahuatzin menjadi calon berikutnya.
“Dewa yang satu lagi, Nanahuatzin saja,” usul Dewa Quetzalcoatl.
Dewa-dewa yang lain tampak menyetujui usul Dewa Quetzalcoatl. Banyak dari mereka yang menyukai sifat Dewa Nanahuatzin. Namun, ada juga beberapa dewa yang meragukan kemampuan Dewa Nanahuatzin. Tubuhnya yang kecil tampak lemah. Pakaiannya juga sedikit lusuh. Sangat jauh berbeda dengan Dewa Tecciztecatl. Hal tersebut membuat para dewa yakin jika Dewa Tecciztecatl yang akan menang menjadi matahari kelima.
“Bagaimana Dewa Nanahuatzin? Apakah kau bersedia?” tanya Dewa Tezcatlipoca.
“Jika para dewa memberi kepercayaan ini pada hamba, hamba akan melaksanakannya,” jawab Dewa Nanahuatzin.
Dukungan beberapa dewa membuat Dewa Nanahuatzin mau memenuhi permintaan itu. Dewa Nanahuatzin memang tidak segagah dan sekaya Dewa Tecciztecatl. Tapi, ia memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh Dewa Tecciztecatl. Setelah keduanya terpilih menjadi calon matahari kelima, mereka harus menjalani pertapaan. Para dewa lalu membuatkan piramida untuk Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Piramida itu dibangun di Teotihuacan dan akan mereka pergunakan untuk bertapa. Sebelum bertapa, kedua dewa tersebut harus menyiapkan persembahan mereka. Dewa Tecciztecatl telah membawa banyak hadiah mahal dan indah. Sementara Dewa Nanahuatzin masuk ke dalam piramida tanpa membawa apa-apa.
“Kenapa kau tidak membawa sesuatu pun sebagai persembahan? Apa yang akan kau berikan saat kau bertapa nanti?” tanya seorang dewa pada Dewa Nanahuatzin.
“Aku memang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya membawa darah dan jiwaku sebagai persembahan,” jawab Dewa Nanahuatzin. Dewa yang bertanya itu memandangnya rendah, tapi Dewa Nanahuatzin tak memedulikannya.
Bertapa di piramida itu bertujuan untuk menyucikan Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Selama bertapa, mereka harus tinggal di piramida seorang diri selama empat hari empat malam. Sementara mereka bertapa, dewa-dewa lain telah menyiapkan perapian besar di Teotexcalli, di mana Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin akan memberikan persembahan mereka.
Pada saat mereka mulai bertapa di dalam piramida, godaan mulai datang. Dewa Tecciztecatl melihat bayangan dirinya berada di dalam rumah yang besar dan megah. Di dalam rumah itu telah terhampar permadani dari bulu jaguar, dan perabotan rumah yang berkilau-kilau karena berlapis emas. Saat melihat semua itu, Dewa Tecciztecatl merasa ragu akan langkahnya. Menjadi matahari tentu harus meninggalkan semua hartanya. Ia harus terus memberi dan melayani. Sesaat, Dewa Tecciztecatl menghentikan pertapaannya. Ia mulai berpikir ulang.
“Apa kata dewa lain kalau aku mundur. Mereka pasti akan mengejekku. Aku tak akan membiarkan semua itu, akan kutunjukkan pada mereka kemampuanku,” gumam Dewa Tecciztecatl. Ia lupa makna sesungguhnya dari persembahan ini. Makna persembahan itu adalah penyerahan diri. Tapi, ia justru melakukannya demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari dewa lain.
Dewa Nanahuatzin juga mendapat godaan. Ia melihat dirinya merasakan sakit yang teramat sangat ketika memasuki api. Kulitnya terbakar. Panas menusuk sampai ke dalam sumsum tulang. Gambaran itu meniupkan rasa takut dalam diri Dewa Nanahuatzin, tapi dia tidak goyah. Dia terus bertapa untuk mendapatkan ketenangan diri. Dia tak ingin terpengaruh oleh godaan yang mendatanginya.
“Rasa sakit itu hanya sementara. Aku pasti bisa melaluinya. Aku akan menjadi bagian dari api suci dan memberikan manfaat untuk jagat raya,” bisiknya meyakinkan diri.
Setelah menyelesaikan pertapaannya, dewa memberi mereka hadiah. Dewa Tecciztecatl mendapat hadiah rompi dan hiasan kepala dari bulu indah yang disebut aztacomitl. Dia menerimanya dengan bangga. Sedangkan Dewa Nanahuatzin diberi pakaian dan mahkota dari kertas yang disebut amatzontli. Meski mendapat hadiah yang berbeda, Dewa Nanahuatzin tak keberatan dan menerimanya tanpa rasa iri. Saat tengah malam, para dewa berkumpul di Teotexcalli. Mereka berdiri membentuk barisan mengelilingi perapian yang telah dibuat. Dewa Tezcatlipoca yang akan memimpin upacara sudah siap di tempatnya.
“Kita akan mulai upacara ini. Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin bersiaplah di tempat kalian,” seru Dewa Tezcatlipoca.
Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin maju, mendekati lingkaran api. Perapian yang besar itu sesekali memercikkan bunga api. Panasnya sudah terasa sampai ke kulit walau berdiri dalam jarak yang cukup jauh dari perapian. Kini, keduanya berdiri berseberangan.
“Giliran yang pertama. Dewa Tecciztecatl, tunjukkanlah persembahanmu.”
Dewa Tecciztecatl maju, mendekat ke perapian. Dia menjatuhkan barang-barang yang ia jadikan persembahan seperti bulu burung Quetzal yang indah, bola emas, karang merah yang langka, dan batu-batu permata yang mahal. Semua benda itu adalah benda berharga di kalangan para dewa. Dewa Tecciztecatl melemparkan persembahannya dengan bangga.
“Sekarang, giliranmu, Dewa Nanahuatzin. Tunjukkanlah persembahanmu.”
Dewa Nanahuatzin melangkah tenang. Satu per satu ia menjatuhkan persembahannya ke dalam api. Ada sembilan batang tebu yang diikat tiga-tiga, bola jerami, duri tanaman kaktus yang dilumuri darahnya sendiri, dan beberapa potong jamur hitam. Semua benda itu memiliki peran penting dalam upacara-upacara para dewa.
“Kini, saatnya memberikan persembahan diri. Dewa Tecciztecatl, melompatlah ke dalam api.”
Dewa Tecciztecatl maju, semakin dekat dengan api. Panas api terasa semakin membakar kulitnya. Dewa Tecciztecatl belum meloncat. Para dewa yang mengikuti upacara menunggu dengan napas tertahan.
“Dewa Tecciztecatl, ini adalah kesempatan keduamu. Cepatlah melompat ke dalam api suci!” Suara Dewa Tezcatlipoca sedikit meninggi. Ia tak mengira jika Dewa Tecciztecatl ragu untuk mempersembahkan dirinya.
Dewa Tecciztecatl mulai gemetar. Keberanian yang ia sesumbarkan mulai hangus dilalap panasnya api suci. Ia menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan matanya. Namun, kakinya terasa berat untuk diangkat. Dewa Tecciztecatl mematung di tempatnya berdiri.
“Sekali lagi kuminta, Dewa Tecciztecatl. Segeralah melompat ke dalam api!” bentak Dewa Tezcatlipoca mulai tak sabar.
Sayangnya, Dewa Tecciztecatl justru semakin ketakutan. Ia benar-benar kehilangan nyali. Ia tidak sanggup menjatuhkan diri ke dalam api.
“Dewa Tecciztecatl! Ini kesempatan terakhirmu!” teriak Dewa Tezcatlipoca. Suasana menjadi gaduh. Para dewa yang tadinya menjagokan Dewa Tecciztecatl ikut kecewa.
“Diaaaaaam!” teriak Dewa Tezcatlipoca lagi. Suasana langsung hening.
“Kau telah melewatkan kesempatanmu, Dewa Tecciztecatl. Persembahanmu sia-sia. Sekarang mundurlah ke belakang,” pinta Dewa Tezcatlipoca.
Dewa Tecciztecatl mundur ke belakang dengan rasa malu. Meski demikian, hatinya masih diliputi kesombongan. Ia sangat yakin jika Dewa Nanahuatzin tak akan sanggup melangkah ke perapian yang membara itu. Sesaat setelah Dewa Tecciztecatl gagal melakukan persembahan diri, Dewa Tezcatlipoca segera memanggil Dewa Nanahuatzin. Dewa Nanahuatzin maju dengan sikap tenang, seperti biasa.
“Masuklah ke dalam api, Dewa Nanahuatzin. Persembahkanlah dirimu,” perintah Dewa Tezcatlipoca.
Dewa Nanahuatzin menutup matanya. Ia melangkah ke arah perapian tanpa ragu. Ia memasuki api dengan perlahan. Dewa Nanahuatzin berhasil. Namun, tanpa disangka-sangka, Dewa Tecciztecatl ikut melompat ke dalam api. Perasaan malu mendorongnya untuk menyusul Dewa Nanahuatzin. Ia tidak menyangka jika dewa yang ia remehkan justru mempunyai keberanian yang besar. Dewa Tecciztecatl tak mau dikalahkan oleh Dewa Nanahuatzin.
Para dewa terperanjat mengetahui tindakan itu. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi bila dua orang dewa masuk ke api suci bersamaan. Biasanya dewa pertama yang berani masuk ke api akan menjadi matahari. Setelah matahari muncul, dewa kedua yang dilemparkan ke api akan menjadi bulan. Kini, para dewa menanti dengan cemas. Tak lama kemudian, para dewa melihat kemunculan cahaya yang sangat terang. Sebuah cahaya fajar kemerahan menerangi Teotexcalli. Para dewa segera menebak dari mana arah matahari dewa Nanahuatzin muncul.
“Pasti dari utara,” seru seorang dewa.
“Aku rasa ia bisa terbit dari mana pun. Lihatlah cahaya yang menyebar di mana-mana ini,” seru yang lain.
“Tidak. Ia akan muncul dari sana,” pekik Dewa Quetzalcoatl lantang. Tangannya menunjuk ke arah timur. Dan, benarlah tak lama kemudian sang matahari tampak di langit. Akan tetapi, sesaat kemudian para dewa dikejutkan oleh matahari berikutnya. Matahari kedua itu juga terbit dari timur, dan sangat berdekatan dengan matahari pertama. Keduanya juga mempunyai sinar yang sama-sama benderang.
Kini, para dewa mengetahui akibat dari perbuatan Dewa Tecciztecatl. Dua matahari kembar menyinari jagat raya. Matahari pertama adalah dari Dewa Nanahuatzin sedangkan matahari kedua dari Dewa Tecciztecatl. Padahal, seharusnya satu dewa menjadi matahari dan satu lagi menjadi bulan.
Para dewa beranggapan jika kehadiran matahari kembar bisa menandakan terjadinya bencana. Mereka khawatir apabila hal itu benar-benar menjadi kenyataan. Jika bencana besar terjadi dan menyebabkan kedua matahari hancur, jagat raya akan lumpuh dan kehidupan akan berakhir.
Dewa Tezcatlipoca marah besar karena Dewa Tecciztecatl telah mengacaukan upacara pergantian matahari. “Pengecut itu harus diberi pelajaran,” katanya.
Dalam kemarahannya, Dewa Tezcatlipoca menyambar seekor kelinci yang melintas di dekatnya dan melemparkan kelinci itu ke arah matahari kedua. Kelinci itu tepat mengenai wajah Dewa Tecciztecatl.
“Awww!” jerit Dewa Tecciztecatl kesakitan.
Peristiwa itu membuat Dewa Tecciztecatl kehilangan sebagian kekuatannya. Sinar matahari kedua pun meredup dan ia berubah menjadi bulan. Bekas tamparan Dewa Tezcatlipoca masih terlihat di wajah bulan hingga sekarang. Saat bulan purnama, bayangan berbentuk kelinci selalu tampak di wajah bulan. Ketika permasalahan Dewa Tecciztecatl sudah selesai, para dewa mendapat satu masalah lagi. Matahari dari Dewa Nanahuatzin tak mau bergerak, hanya diam di tempat yang sama. Hal tersebut terjadi karena fisik Dewa Nanahuatzin yang lemah. Seluruh energinya telah diubah menjadi sinar yang terang, sehingga ia tak sanggup menggerakkan matahari. Akibatnya, ada tempat-tempat yang mengalami kekeringan dan ada yang membeku karena tak kebagian sinar matahari. Dewa-dewa mulai kebingungan.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewa Tlaloc.
“Ya, kita tak bisa membiarkan keadaan ini berlangsung terus-menerus. Hal ini bisa membuat jagat raya mengalami kerusakan dan sirna,” ujar yang lain, khawatir.
“Kita harus meniupnya dengan angin yang kencang agar mau bergerak,” usul seorang dewa.
“Aku akan mencobanya,” Dewa angin Quetzalcoatl menawarkan diri. Dia berusaha meniup matahari itu sekuat tenaga. Namun, matahari tak juga bergerak dari tempatnya.
“Aku tak sanggup. Kita harus meminta bantuan Dewa angin barat Ehecatl,” usul Dewa Quetzalcoatl.
Dewa Tezcatlipoca lalu memanggil dan menyuruh Dewa Ehecatl membantu Dewa Quetzalcoatl. Kedua dewa itu bekerja sama untuk meniup matahari.
“Ayo, tiup lebih kuat lagi!” seru para dewa menyemangati.
Dewa Ehecatl dan Dewa Quetzalcoatl mengerahkan seluruh kemampuannya, tetapi hasilnya nihil. Mereka pun menyerah.
“Bagaimana ini? Apakah ada cara lain, Dewa Tezcatlipoca?”
Dewa Tezcatlipoca menghela napas, “Satu-satunya cara adalah kita ikut mempersembahkan diri untuk menggerakkan matahari.”
Para dewa terkejut mendengar ucapan Dewa Tezcatlipoca. Ada beberapa dari mereka yang tidak siap, namun banyak juga yang mengangguk setuju. Mereka menyadari jika mereka bertugas untuk menjaga jagat raya ini. Para dewa pun bersiap-siap. Satu per satu mereka masuk ke dalam api dengan sukarela. Tak lama kemudian angin kencang bertiup dan mulai menggerakkan matahari Dewa Nanahuatzin.
Matahari itu bergerak perlahan dari timur ke barat. Semua tempat mendapatkan sinar dan panas matahari secara merata. Kehidupan di jagat raya kembali berjalan normal. Saat matahari mulai bergerak menjauh, bulan dari Dewa Tecciztecatl bergerak mengikuti. Letaknya mulai menjauh dari matahari. Ia memberikan penerangan saat matahari berada di belahan lain jagat raya.
Para dewa merasa lega. Kehidupan di jagat raya sudah berjalan dengan baik. Sejak saat itu Dewa Nanahuatzin dan Dewa Tecciztecatl bekerja sama dan bersinar untuk menerangi jagat raya. Matahari menerangi di kala siang datang, dan bulan menerangi di kala malam menjelang.
***
Tissa selesai baca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asal cerita Mesiko di tulis di buku," kata Tissa.
Tissa menutup bukunya dan buku di taruh di bawah meja bersama buku majalah yang memang di taruh di bawah meja. Tissa beranjak dari duduknya ke dapur, ya membantu ibu memasak di dapur.
No comments:
Post a Comment