PENEGAKAN hukum harus dimulai dari diri sendiri. Itulah komitmen Ellen Soebiantoro, perempuan pertama yang menduduki jabatan Jaksa Agung Muda di jajaran Kejaksaan Agung. Awal Juni 2003, perempuan bernama lengkap Harprilenny Bareno ini dilantik Jaksa Agung M.A Rachman menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Ellen mencapai jabatan ini melalui perjuangan sepanjang 35 tahun. Ketika memulai kariernya tahun 1968, jumlah perempuan jaksa tidak banyak. Hal itu memacu Ellen untuk meniti karier di kejaksaan.
***
Teman-temannya sesama jaksa menjulukinya sebagai orang yang berani mengeksekusi mati. Meski demikian, ia mengakui bahwa hal yang paling berat baginya adalah ketika menduduki jabatan Kepala Seksi Eksekusi terpidana mati dalam kasus Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Ketika melaksanakan eksekusi hukuman mati, hati saya sangat berat, apalagi kalau yang dieksekusi sudah tua. Proses hukuman mati di negeri kita, memang memerlukan waktu lama. Kalau waktu dihukum usianya 40 tahun dan langsung didor mungkin enggak apa-apa. Tetapi kalau sudah 60 tahun, sudah tua, lihat orangnya dalam hati mau menangis," paparnya. Untuk menghibur dirinya, Ellen mencoba berpikir, apabila orang itu masih hidup, mungkin akan lebih jahat lagi.
Menjadi jaksa memang merupakan cita-citanya sejak kecil. Keinginan tersebut mulai muncul ketika melihat ayahnya yang purnawirawan jenderal polisi bekerja. "Dulu melihat ayah saya pakai seragam polisi sangat keren dan gagah, saya ingin jadi polisi. Tetapi, karena dua kakak saya sudah jadi polisi, saya pilih jadi jaksa. Apalagi, kakek saya juga mantan jaksa," tutur Ellen yang dilahirkan di Padang, 56 tahun lalu.
Sejak kecil sikap beraninya sudah kelihatan. Pergaulannya lebih banyak dengan anak laki-laki. Hobinya main sepak bola, naik pohon, sepatu roda, naik kuda, bahkan berkelahi. Semasa kuliah, ia berlatih karate sampai menyandang Dan Satu.
***
Sebagai jaksa, berbagai tugas telah ia jalani. Mulai dari urusan sekretariat, bagian keuangan, penyusunan rencana di biro hukum, hingga bagian perpustakaan. Kariernya terus melejit ketika ia menjadi Wakil Jaksa Tinggi Jambi tahun 1997. Hanya setahun, ia ditarik ke Kejaksaan Agung menjabat Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak JAM Datun. Dua tahun kemudian, ia dipromosikan menjadi Kepala Kejati Jawa Barat. Hanya setahun di sana, ia naik menjadi Sekretaris JAM Datun. Dua tahun kemudian, dia diangkat menjadi JAM Datun setelah sempat sekali menjadi Pelaksana Harian JAM Datun Kejaksaan Agung.
Sebagai perempuan, Ellen pantang bersikap cengeng. "Orang sering meragukan perempuan karena kaum perempuan sendiri tidak membuktikan. Maka, saya berusaha keras untuk membuktikan bahwa perempuan bisa seperti laki-laki," ujarnya. Ia membuktikannya: jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, yang termasuk Kelas I-A yang selama ini hanya dipimpin laki-laki pernah dipercayakan kepadanya.
Meski demikian, Ellen mengakui kepercayaan yang diberikan kepada perempuan jaksa untuk menangani perkara sangat minim. Atasannya khawatir perempuan tidak bisa 24 jam bekerja dan jika dipanggil mendadak tidak siap.
Dalam keluarga ia tidak sependapat jika hanya perempuan yang diserahi tanggung jawab mengurus rumah tangga. "Aneh ya, kalau sudah menikah, biasanya suami suka bilang, sekarang saya sudah ada yang mengurus. Kadang-kadang saya berpikir, perempuan yang menikah ini jadi istri atau jadi pembantu. Makanya saya bertekad, meskipun sebagai ibu rumah tangga, saya harus membuktikan bahwa saya mampu jadi pegawai yang baik," ujar Ellen yang bersuami seorang mantan jaksa ini.
***
Oleh karena itu, ia memacu dirinya agar bisa berhasil menduduki jabatan penting di kejaksaan yang selama ini tidak tersentuh oleh perempuan jaksa. Dorongan suami yang cukup banyak mempengaruhi keberhasilan Ellen sebagai jaksa.
"Ketika dilantik menjadi kepada Kejari sampai kepala Kejati, suami tidak pernah mau hadir. Dia hanya bilang, nanti saja kalau kamu sudah jadi JAM, baru saya ikut. Itulah yang memotivasi saya. Makanya saya kerja terus, lebih bagus, sampai akhirnya saya dilantik menjadi JAM Datun," ujar ibu dari Virginia Hariz Taviane, Heidy Febbyane, Helena Octaviane, M. Hasley Hossein, dan Sri Rejeki Prema Caesariane itu.
Ellen tidak menolak anggapan bahwa kinerja kejaksaan makin merosot. "Namanya manusia tidak luput dari kesalahan. Bisikan setan lebih kuat daripada bisikan malaikat. Saya akui gaji pegawai negeri memang kecil, tetapi sebenarnya kembali kepada diri kita sendiri. Tetapi kalau kita mau jadi jaksa yang baik, seharusnya kita bekerja dengan baik," ujarnya.
Oleh karena itulah, dalam menangani perkara, ia tidak peduli jika ada yang perkara, ia tidak peduli jika ada yang menjulukinya sebagai jaksa yang punya sifat "tega". Ketika menangani perkara, ia sering berhadapan dengan jaksa-jaksa senior atau atasannya yang kebetulan kenal dengan tersangka dari perkara yang dia tanggani. "Soal jaksa, sebenarnya dapat dilihat dari cara hidupnya. Akan kelihatan bagaimana dia menangani perkara," paparnya.
Ellen pernah ditelepon oleh jaksa senior dan kepala Kejari sehubungan dengan kasus pembebasan tanah dengan tersangka seorang lurah. Bukannya melepaskan si tersangka seperti dikehendaki para penelepon, ia malah menahannya. Pernah pula ia menolak permintaan polisi yang meminta sebuah kasus yang sudah siap dilimpahkan ke pengadilan. Ujarnya, "Kalau memang orang itu salah, ya harus diproses. Biar saja, teman mau apa, hukum harus ditegakkan. Kalau tidak mulai dari dari kita sendiri, hukum tidak akan pernah tegak."
Dalam menangani kasus yang terkait dengan perempuan, ia lebih keras lagi. Pernah ada seorang pemimpin band memerkosa anak angkatnya. Ellen pun menuntut tinggi orang tersebut. "Kasihan kalau perempuan sudah rusak, mana ada laki-laki yang tidak mengungkit masalah seperti itu. Makanya hukuman terhadap pemerkosa harus diperberat."
Ia berjanji akan terus melaksanakan penegakan hukum sebaik mungkin. Ia bertekad akan meningkatkan pengetahuan jaksa, terutama dalam masalah hukum yang semakin modern."Jaksa tidak hanya berhadapan dengan pengacara yang pintar, tetapi juga dengan penjahat yang lebih pintar," ujar perempuan pengagum mantan Presiden Soekarno ini.
Selesai...!
No comments:
Post a Comment