CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

KE SOLO, KE NJATI....

Bus jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk, tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak di antara desakan berpuluh manusia yang mau menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.

Kemarin pada hari lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannya memegang erat tangan anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggir pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihat sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya dan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersama dengan itu orang-orang yang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bus yang terdiri di dekatnya tidak siap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampakkan di tanah.

Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera meminggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bus yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.

"Bu, kita jadi mudik ke Njati ya, Bu?" anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.

"Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh, penuhnya orang."

"Kita nggak jadi mudik, Bu."

"Besok kita coba lagi, ya?"

Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.

"Sekarang kita mau ke mana, Bu."

"Ya, pulang, Ti."

Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat ari biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.

Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat tinggal. Suaminya,  yang semasa hidup adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup baik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.

Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulung itu, sudah harus sekolah.

Hari demi hari dijalaninya dengan kedataran dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian berpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kanal Njati dan embah-embah-nya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi, setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang lebaran tahun ini.

"Mbok kamu jangan pulang lebaran. Tahun ini, anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan."

"Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak."

"Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang."

"Wah, nawun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak."

Dengan memantapkan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diceritai tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang akan mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bus yang akan membawa mereka.

"Waduh, kota-kotaa mana saja itu, Bu?"

"Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri."

"Waduh yang paling bagus kota mana ya, Bu."

"Wah, embuh. Mestinya ya Solo."

"Waa, kita mau lihat Solo, Dik. Solo. Solo. Solo."

"Solo. Solo. Solo....."

Dia berhenti merenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulsa di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Tatapan muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anaknya.
"Jangan terlalu kecewa ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan pasti akan lihat kota Solo. "Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucapkan, "Solo, Solo, Solo....."

Itu kemarin, pada hari lebaran pertama, sekarang pada hari lebaran kedua, mereka gagal lagi, kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin, Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan gentoyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus dan akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bus terakhir yang ke Wonogiri berangkat.

"Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati ya, Bu."

Ibunya melihat anak-anaknya dengan senyum yang dipaksakan.

"Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi."

"Yaa."

"Yaa."

"Iya, dong. Ibu harus kumpul uang lagi, 'kan?"

"Memangnya sekarang sudah habis, Bu?"

Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.

"Masih, masih. Tapi, hanya bisa ke kebon binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya?"
Anak-anak diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.

"Yuk, yuk, kita lari ke luar cari bajaj, yuk."

Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya di gandengan sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang baru.

"Solo, Solo, Solo, Solo, Solo, Solo."

Mereka tertawa.

"Njati, Njati, Njati, Njati, Njati, Njati."

Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke kebon binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis di makan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang pada peyote semua. Tinggal lagi untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Untung itu cukup untuk ongkos ke kebon binatang. Saya akan ke gedong malam ini,pikirnya. Pasti masih banyak pekerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persennya. Harapannya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janji untuk ke kebon binatang besok.

"Lekas tidur. Besok kita ke kebon binatang."

"Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur."

"Gajah, gajah, gajah, Jrapah, jrapah, jrapah..."

"Ssst, tidur,"

Ibu dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar dengan anak-anaknya menyanyi yang lain-lain.

"Solo, Solo, Solo, Njati, Njati, Njati....."

Ibunya menggigit lagi bibinya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya. Di gedong, nyonya berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.

"To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Syukur tidak dapat bus kamu. Ayo, sini Bantu kami di sini. Tuh, piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana....."


Karya: Umar Kayam

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK