CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

LANTIP

.....

Seperti di tempat-tempat lain di Jawa, tentara Jepang masuk dan menguasai Wanagalih dengan mudah. Jembatan Jamus, satu-satunya jembatan besi dan besar di Wanagalih, yang menghubungkan kota ini dengan ,kota lain di sebelah timur Kali Madiun, yang diledakkan oleh tentara Hindia Belanda, tidak mampu menghambat laju masuknya balatentara Dai Nippon. Pada perasaan saya waktu itu, tahu-tahu, tentara Jepang berada di mana-mana di dalam kota. Dengan cepat, mereka mengambil alih semua kantor pemerintahan di kota kami dan langsung saja memutar kembali roda pemerintahan. Pengumuman yang berisi ancaman tembak mati kepada siapa saja yang  ditempel di mana-mana dan lansung ditaati oleh penduduk. Ceriteria-ceritera dan desas-desus tentang kehebatan balatentara Dai Nippon telah menjadi mitos yang hebat di kalangan ramai. Bayangkan, tentara orang-orang kate, berkepala gundul plontos, berkaki bengkok, bermata sipit, dapat menang dengan mudah melawan Londo-Londo gede, jangkung, yang sudah menjajah tanah Jawa selama ratusan tahun. Pastilah orang-orang kate itu bukan orang-orang sembarangan. Orang-orang yang dapat mengalahkan keturunan Murjangkung, yang dulu pernah mengalahkan Sultan Agung, pastilah orang-orang yang sakti mandraguna dan tidak dapat dipandang enteng. Maka kedatangan mereka disambut oleh penduduk dengan penuh kekaguman dan perintah-perintah mereka pun dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Tentara Jepang itu juga mengatakan kepada kami bahwa mereka datang untuk membebaskan kami dari belenggu penjajahan Belanda, dan kami memercayainya. Pada permulaan pendudukan itu kami juga diperbolehkan menyanyikan lagu "Indonesia Raya" yang untuk pertama kali saya ketahui digubah oleh seorang yang bernama Wage Rudolf Soepratman. Alangkah bangga hati saya memiliki nama Wage. Ternyata, nama itu dapat menyandang orang yang benar dan berjasa. Lagu yang saya dengar dari radio itu hanya diiringi oleh biola, gitar, dan ukulele. Begitu sederhana, begitu mengharukan. Indoneesch, Indoneesch, mulia, mulia. Sayang, bulan madu dengan "Indonesia Raya" itu tidak berlangsung lama sebab lagu itu, bersama dengan banyak hal lainnya, kemudian dilarang oleh tentara Dai Nippon, tentara yang membebaskan kita dari belenggu penjajahan Belanda.

Untuk beberapa lama, sekolah-sekolah di Wanagalih, termasuk sekolah Ndoro Guru Kakung di Karangdompol, ditutup. Rupanya dibutuhkan waktu yang agak lama lagi bagi pemerintahah yang baru untuk mengubah sistem pendidikan gaya Hindia Belanda menjadi gaya baru pemerintahan pendudukan Jepang. Sekolah-sekolah dasar yang dulu dikotak-kotak dalam sekolah ongko loro, angka dua, di desa, sekolah schakel, HIS, dan ELS, sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan anak pejabat tinggi pribumi di kota, dikocok menjadi satu macam sekolah dasar saja. Sekolah Desa Karangdompol, dengan demikian, naik status sosialnya, sedang HIS dan ELS menjadi turun gengsi. Waktu itu, saya sudah tamat sekolah dasar lima tahun di Karangdompol. Pada masa peralihan itu, sambil menunggu sekolah dibuka kembali, saya membantu bekerja di rumah.

Membersihkan rumah, menyapu halaman, menimba air dan sumur untuk mengisi kamar mandi, dan membantu orang-orang belakang untuk macam-macam pekerjaan. Ndoro Kakung dan Ndoro Putri mengisi waktu mereka dengan bekerja lebih banyak di tegalan dan sawah, memeriksa tanaman palawija di tegalan dan padi di sawah tadah hujan mereka. Pada masa peralihan yang terasa belum menentu benar itu, agaknya naluri mereka sebagai keturunan petani muncul. Naluri itu adalah naluri untuk menabung, menumpuk persediaan dalam menghadapi masa paceklik. Bayangan sementara penduduk bahwa dengan kedatangan tentara Jepang harga-harga akan turun, secara bertahap semakin mengabur. Harga-harga tidak turun. Barang-barang bahkan mulai menghilang.

Pada suatu pagi, tiba-tiba ada suatu panggilan mendadak bagi Ndoro Guru Kakung untuk berkumpul di kabupaten. Kata beliau, semua guru diwajibkan berkumpul di kabupaten karena akan mendengarkan penjelasan tentang peraturan sekolah yang baru. Saya sangat tertarik mendengar itu karena berharap sekolah akan segera dibuka kembali. Tetapi, waktu pada siang hari saya melihat Ndoro Guru Kakung pulang dengan wajah lesu, saya jadi khawatir. Jangan-jangan, sekolah akan ditutup untuk selamanya dan semua harapan saya untuk dapat menyambung sekolah sesudah tamat sekolah desa di Karangdompol, akan sirna. Ndoro Guru Kakung, sesudah menyadarkan sepeda beliau di tritisan samping rumah, langsung duduk di kursi goyang di ruang depan. Hari, seperti biasa di Wanagalih, panas bukan main. Teh hangat yang dibawakan Ndoro Guru Putri tidak dijamahnya, tetapi beliau malah langsung memerintahkan saya untuk membuat segelas air kelapa muda dengan sedikit gula Jawa. Saya tahu, bila Ndoro Guru Kakung sudah minta minuman yang tidak terlalu umum pada waktu seperti itu, pasti sedang suntuk pikirannya. Minuman itu, sesudah saya suguhkan, langsung diteguknya habis, dan minta tambah segelas lagi. Saya pun segera melaksanakannya. Barulah kemudian beliau kelihatan puas. Blangkon, ikat kepala, sudah terletak di meja, jas tutup sudah dibuka beberapa kancingnya, kipas untuk mengipas dan meneduhkan leher dan dada beliau yang basah karena keringat, sudah pula saya haturkan. Ndoro Putri, yang duduk di kursi goyang yang satu lagi, memandang beliau, menunggu ceritera dan Kabupaten. Saya duduk di tangga bawah memasang telinga. Agak lama juga rasanya Ndoro Guru Kakung membutuhkan waktu untuk mengeringkan leher dan dadanya.

"Hem, susah."

"Susah bagaimana, to, Pakne?"

"Nippong itu, lho. Sekolah diperintahkan untuk dibuka mulai minggu depan."

"Lha, malah bagus, to, Pakne. Anak-anak sudah terlalu lama menganggur. Nanti keburu nakal semua mereka."

"Tunggu dulu, to Saya tak ceritera, ya?"

Pertemuan di Kabupaten pagi tadi memang pertemuan yang istimewa. Belum pernah saya menghadiri pertemuan yang dihadiri orang sebanyak itu dan dari berbagai macam lapisan pangkat dan jabatan. Ada tiga tuan-tuan Nippong dan dua orang tuan-tuan Jawa yang berpakaian persis seperti Nippong. Cepetnya itu, lho, bangsaku menyesuaikan diri. Tuan Nippong yang kelihatan paling tinggi pangkatnya berpidato dalam bahasa Nippong yang sudah tentu kami semua tidak ada yang tahu. Kemudian, diteruskan oleh Nippong yang seorang lagi dalam bahasa Indonesia yang aneh dan lucu sekali. Lagunya seperti membentak-bentak, begitu. Kemudian, diteruskan oleh bangsa kita sendiri. Eh, tahunya lagunya juga ikut-ikutan seperti membentak-bentak. Pokok, pidato-pidato itu perintah kepada kami untuk mengikuti kebiasaan baru di sekolah. Setiap pagi, kami, baik guru maupun murid, menghadap ke utara, membungkukkan badan dalam-dalam memberi hormat kepada Tenno Heika, yaitu kaisar Jepang yang  katanya adalah keturunan dewa. Habis itu, kami semua diwajibkan taiso, yaitu olahraga, baru kemudian mulai dengan pelajaran. Setiap hari, mesti ada pelajaran bahasa Nippong. Dan untuk itu, akan diadakan kursus kilat bahasa Nippong buat guru-guru yang terpilih.

"Wah, pokoknya repot dan sudah, Bune."

Ndoro Guru Putri diam, nampaknya sedang mencoba membayangkan dan memahami ceritera suaminya itu. Saya pun, yang ikut mendengarkan dari tangga, mencoba juga membayangkan bagaimana semua itu akan dilaksanakan.

"Bayangkan, Bune, orang setua saya disuruh membungkuk-bungkuk menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah Dewa, Lha, rak susah dan, menjengkelkan, to itu? Wong sembahyang menurut agama kita sendiri kita masih belum bagus, kok, ini disuruh menyembah Dewa orang lain. Dan belajar lagi bahasa asing? Wong bahasa Belanda yang sudah di sini ratusan tahun saya belum juga bisa, kok, sekarang saya harus belajar cepat bahasa Nippong! Bagaimana mungkin. Tidak, Bune. Saya mau pensiun saja! Toh sesungguhnya saya ini sudah pensiun, tapi diperintah gupermen untuk masih berada di Karangdompol."

Ndoro Putri diam mendengar gerutu Ndoro Kakung yang panjang itu. Saya mendengarkan gerutu dan keluh-kesah Ndoro Guru Kakung itu dengan perasaan khawatir. Apakah Ndoro Guru Kakung menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan gupermen sudah berakhir dan sekarang sudah diganti oleh pemerintahan Nippong?

Apakah keputusan beliau untuk pensiun tidak dianggap sebagai keinginan untuk melawan? Nampaknya Ndoro Putri juga memendam rasa khawatir tersebut.

"Sudahlah, Pak. Sementara jangan dipikir dulu. Sekarang sebaiknya Bapak dahar dulu, terus istirahat tidur siang."

"Dan celakanya lagi, Bune. Murid-murid sekolah mulai minggu depan harus cukur gundul, berkepala plontos! Bayangkan! Anak-anak priyayi harus berkepala plontos seperti anak gembala.

"Iya, iya, Pakne. Ayolah, kita makan dulu."

Saya segera berlari ke belakang menyiapkan semua hidangan di atas meja. Ndoro Guru Kakung nampak tidak  terlalu berselera makan siang itu. Sayur asem kangkung kesukaan beliau hanya disinggung sedikit.

Rupanya, keputusan Ndoro Guru Kakung untuk pensiun sudah mantap benar. Sepulang beliau dari sekolah di Karangdompol, beliau langsung memberi tahu keputusan itu kepala Ndoro Putri. Saya yang diperintahkan untuk ikut ke sekolah tahu betul bagaimana Ndoro Guru Kakung mengumumkan keputusan beliau untuk pensiun di depan rekan-rekannya di sekolah. Rekan-rekannya pada terkejut mendengar keputusan itu. Mereka pada mencoba menahan beliau agar beliau mau tinggal untuk sementara. Tetapi, agaknya, keputusan beliau sudah mantap. Pensiun.  Ndoro Guru Putri menerima keputusan suaminya dengan tenang. Agaknya, beliau sudah menduga bahwa keputusan itu memang tidak dapat ditawar lagi. Hal itu dapat saya lihat dari kemantapan langkah beliau waktu meninggalkan sekolah dan ketenangan wajahnya. Saya ingat  waktu kemudian kami berada di sampan penyeberangan, beliau menunjuk tempuran Kali Madiun dan Bengawan Solo. Perahu-perahu itu penuh dengan dagangan sayur-sayuran, daun jati, ayam, berkarung-karung beras, dan para petani. Wajah Ndoro Guru Kakung nampak tenang, ayem, tidak tegang atau lesu memandangi hilir-mudiknya lalu lintas di sungai itu. Mereka bekerja dengan keras, rajin dan gembira tidak usah harus membungkuk ke utara setiap pagi, Le....

Kira-kira satu minggu sesudah itu, pada pagi hari, datang beberapa orang ke rumah Jalan Setenan. Saya melihat ada seorang Dai "Nippong" dengan pakaian tentara memakai ban putih dengan tulisan Nippong di tangan kanannya. Selebihnya adalah orang-orang Indonesia. Saya melihat Menir Soetardjo adalah salah seorang dari yang datang itu. Ndoro Guru Kakung dan Ndoro Putri bergegas menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Dengan gugup, Ndoro Guru Kakung menyilakan mereka untuk duduk. Saya melihat Menir Soetardjo juga tidak kurang gugup dan gelisah wajahnya. Beliau yang mulai dengan pembicaraan.

"Nuwun sewu, Kamas Darsono. Kami datang tiba-tiba begini."

"Oh, tidak apa-apa, Menir.

Dan belum lagi kata-kata basa-basi itu yang biasa dilempar pada perjumpaan seperti itu dimulai, tuan Nippong itu menyela dalam bahasa Indonesia yang lucu.

"Ano, Tuan Sasturodarusono desu ka?"

"Ya, ya, Tuan Nippong."

Ndoro Guru Kakung kelihatan semakin gugup. Menir Soetardjo menenangkan beliau dengan mengatakan bahwa Tuan Nippong ini adalah Tuan Sato dari kantor pemerintahan daerah. Beliau ingin bertanya tentang sekolah karangdompol, jelas Menir Soetardjo.

"Tuan Darusono guru Karangdomporu desu ka?"

Ndoro Guru Kakung masih terus gugup, hanya mengangguk-angguk saja.

"Hai?" 

Menir Soetardjo melihat Ndoro Guru Kakung, kemudian berbisik.

"Bilang hai, Kamas. Hai."

"Hai, hei, Tuan Sato."

Tiba-tiba, saya melihat muka Tuan Sato itu beringas dan kulitnya yang kuning kepucatan itu menjadi merah.

"Darusono tidak mau saikere kita ni muke?"

Ndoro Guru Kakung kelihatan hilang akal. Dengan gagap, beliau bertanya setengah minta tolong Menir Soetardjo.

"I-i-ni a-pa maksudnya, Dimas Menir Tardjo?"

"Aduh, Kamas. Tuan Sato ini marah karena dapat laporan Kamas tidak mau ikut upacara membungkuk ke arah utara."

Tiba-tiba, salah seorang Indonesia itu menyela dengan kasar.

"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Menyerah saja!"

Menir Sutardjo kelihatan tersinggung.

"Hus, jangan begitu, to. Ini kolega saya. Tenag, Kamas Darsono, saya akan mencoba melerai Tuan Sato."

Menir Soetardjo kemudian dengan hati-hati sekali menjelaskan kepada Sato bahwa Ndoro Guru Kakung adalah mantri guru yang sudah tua, sudah pensiun tetapi diminta untuk masih mau membantu di Karangdompol. Menir Soetardjo mohon pengertian Tuan Sato agar memaafkan Ndoro Guru Kakung karena beliau tidak paham akan perubahan baru ini.

"Kamas Darsono, saya mohon Kamas minta maaf saja kepada Tuan Sato."

"Mohon maaf?"

"Sudahlah, Kamas. Ini untuk keselamatan Kamas sekeluarga." Ndoro Guru Putri lantas juga cepat-cepat menyela.

"Mbok iyo, to, Pakne. Ngalah, Pakne, ngalah, Minta maaf." Ndoro Guru Kakung dengan gugup, pelan tapi juga jelas gemas mukanya menyampaikan maafnya.

"Sa-sa-ya mohon maaf, Tuan."

Tuan Sato mendekati Ndoro Guru Kakung. Lantas memegang tubuh Ndoro Kakung, membungkukkannya.

"Ayo, bungkuk, bungkuk, Darsono, bungkuk."

Dengan susah payah dan kaku, Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepada Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo, terus kami dudukkan di kursi goyang.

"Darusono, jelek, busuk! Genjimin begero! Sehabis mengumpat begitu, Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu, barulah ketegangan itu terasa mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka , ngokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti. anak kecil.

"Oh, Allah, Buu! Belum pernah saya dihina orang seperti sekarang ini. Dia memukul kepala saya, Blune. Kepala!"

Dan beliau menangis terisak-isak. Mukanya kelihatan tersinggung betul.


Karya: Romo Mangunwijaya.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK