Tepat pada hari Pearl Harbour diserang Jepang, Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana pendek. Celana kepar 1001, made in Italia.
Pak Kusno buta pilitik. Tak tahu ia, berapa besarnya arti penyerangan itu. Yang diketahuianya hanya, bahwa anaknya sudah tidak mempunyai celana pendek lagi yang pantas dipakai. Setiap orang yang sedikit banyak kenal politik di seluruh dunia mengernyutkan keningnya: karena dendam, karena khawatir, karena marah. Tapi Pak Kusno tersenyum senang pada hari itu. Ia telah berhasil apa yang disangkanya semula sesuatu yang tidak bisa; membelikan Kusno sebuah celana pendek.
Pada waktu itu Kusno berusia 14 tahun. Baru tamat Sekolah Rakyat. Sekarang hendak melamar pekerjaan. Dan dengan celana baru, rasanya baginya segala pekerjaan terbuka. Ia akan membuktikan kepada ayahnya, bahwa ia adalah anak yang tahu membalas guna. Pendek kata, keluarga Kusno pada hari itu bergirang hati seperti belum pernah sebelum itu. Dan kabar-kabarnya tentang Pear Harbour tidak bergema sedikitpun juga dalam hati orang sederhana ini.
Demikan benarlah ucapan: hanya orang-orang besar yang mau perang; rakyat sederhana mau damai cuma!
Tapi Kusno tak selekas seperti sangkanya mendapat pekerjaan. Kantor-kantor tahu, apa arti penyerangan Pulau Mutiara itu. Mereka tidak menerima seorang pekerja baru lagi. Di atas kantor itu bergumpar awan hitam dan dari sela-sela awan itu menjulur muka malaikatulmaut.
Kusno terpaksa menurunkan harga dagangannya: dari juru tilis menjadi portir dan dari portir menjadi opas. Dan setelah berpuluh kantor dinaikinya, akhirnya berhasil juga ia mendapatkan sebuah pekerjaan,... sebagai opas dengan gaji sepuluh rupiah sebulan.
Pak Kusno bersusah hati. Ia sendiri seorang opas. Mestikah anaknya menjadi opas lagi? Dan anak Kusno kelas opas pula? Turun-temurun menjadi opas? Tidak pernah tercita-cita olehnya, keluarganya akan menjadi keluarga opas. Tapi, seperti juga orang-orang kampung lain dalam kesusahan. Pak Kusno ingat kepada Tuhan; manusia berusaha, Tuhan menentukan!
Kusno bekerja dengan rajin, tapi celana kepar 1001-nya bertambah lama bertambah pudar, karena sering kena cuci. Setiap bulan ia berharap akan dapat membeli celana baru, tapi uang yang sepuluh rupiah itu untuk makan sajapun tidak mencukupi. Dengan sendirinya kepar 1001 bertambah sering harus dicuci, dan setiap kena cuci, rupanya bertambah mengkhawatirkan.
Seluruh pikiran Kusno tertuju kepada celana pendek itu. Apakah yang terjadi dengan dirinya, jika celana pendek itu sudah tidak bisa dipakai lagi? Setiap hari ia berdoa, agar Tuhan jangan menurunkan hujan. Dan jika hujan turun juga, Kusno dengan hati kembang-kempis melihat kepada celananya, seperti seorang ibu melihat kepada anaknya yang hendak di lepas ke medan peperangan.
Kepar 1001 x 1 = 1. Berapakah 1-1 ? Kalau pikiran Kusno mengenakan celana 1001 ini. Apalagi kalau tidak ada uang pembeli sabun, sedang celana lagi kotor.
Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang; ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana.
Tapi orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang; yang satu untuk demokrasi dan yang lain untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemakmuran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti bagi celana. Dan sebab itu disambutnya tentara Jepang dengan peluk cium dan salaman tangan.
Dan seperti kebanyakan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan akan kemerdekaan, Kusno hidup dengan pengharapan celana baru, terus-menerus berharap selama tiga setengah tahun.
Tapi seperti juga kemerdekaan itu, celana itupun tak berbayang. Dan waktu Kusno melepaskan harapan itu, celana 1001 itu sudah tidak seperti celana lagi. Di sana sini benangnya sudah keluar dan apa yang dulunya putih, sekarang sudah kuning kehitam-hitaman. Dan karena itu celana itu tidak pantas lagi dipakai oleh seorang opas. Waktu Kusno memberanikan hatinya meminta kepada sepnya, ia dibentak demikian hebatnya, sehingga pada waktu itu hilang semangatnya.
Dia datang juga beberapa hari lagi ke kantor, tapi akhirnya malunya berkuasa atas gaji yang sepuluh rupiah itu dan ia pun minta berhenti.
Hari kemudian gelap bagi Kusno. Tapi sekarang ia lepas bebas dari malu yang mencoret mukanya. Ia tahu, bahwa hari gelap dan maha menakutkan akan menimpa dia. Tapi Tuhan maha pengasih dan pemurah. Demikian keyakinan Kusno.
Pada suatu hari, Kusno sakit kepala. Ia tahu bahwa sakit kepala itu segera hilang, jika ia dapat mengisi perutnya. Dua hari dua malam tak ada lain yang dimakannya selain daun-daun kayu. Ada terlayang di pikirannya untuk menjual celana 1001 itu, guna membeli sekedar makanan yang pantas dimakan manusia. Tetapi lekas dibuangnya pikiran itu. Jika celana itu dijualnya, perutnya kenyang buat beberapa detik, tapi sesudah itu dengan apa akan ditutupnya auratnya? Sekali pula ada niatnya untuk mencuri. Dan keluarga Kusno turun-temurun takut kepada Tuhan itu, sungguh pun belum pernah dilihatnya.
Begitulah Kusno tidak menjual celana, tidak mencuri, sering sakit kepala dan hidup dengan daun-daun kayu. Tapi ia hidup terus, sengsara memang, tapi hidup dengan bangga.
Tentang celana kepar 1001 itu, tak ada yang diceritakan lagi. Pada suatu kali ia pasti hilang dari muka bumi, seperti juga Kusno akan hilang dari muka bumi. Dan mungkinkah ia bersama-sama dengan Kusno hilang dari muka bumi ini?
Tapi bagaimana juga, Kusno tak akan putus asa. Ia dilahirkan dalam kesengsaraan, hidup bersama kesengsaraan. Dan meskipun celana 1001-nya hilang lenyap menjadi kain topo. Kusno akan berjuang terus melawan kesengsaraan, biarpun hanya guna mendapatkan sebuah celana kepar 1001 yang lain.
Hanya yang belum juga dapat dipahamkan Kusno ialah, mengapa selalu saja masih ada peperangan. Kusno merasa seorang yang dikorbankan.
Karya: Idrus.
No comments:
Post a Comment